• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II FORMAT POLITIK ORDE BARU

5. Korporatisasi Organisasi Sosial

Untuk melengkapi strategi pengendalian terhadap birokrasi dan menghilangkan pengaruh partai politik, penerapan korporatisasi ini adalah untuk mengendalikan perwakilan kepentingan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat sedemikian rupa, guna meredam konflik antar kelas dan antar kelompok demi menciptakan keselarasan, keharmonisan dan kerja sama dalam hubungan antara negara dan masyarakat.

Sasaran pertama kebijakan korporatisasi pada masa Orde Baru adalah suatu organisasi profesi yang mewakili pegawai negeri. Kokarmendagri yang dibentuk untuk menggantikan organisasi yang sudah ada, yang dibentuk pada Rezim Sukarno, serta merta digabungkan kedalam jaringan Golkar.

Dengan dukungan peraturan pemerintah, organisasi ini mengembangkan monopoli dalam mewakili kepentingan korps pamong praja dengan sejumlah besar anggota. Efektifitas organisasi korporatis ini dalam mengerahkan anggotanya selama masa kampanye Pemilihan Umumm 1971 mendorong dibentuknya – segera setelah pemilihan umum itu berakhir – kelompok kepentingan lebih besar yang menyatukan semua pegawai negeri dari semua departemen dan badan-badan pemerintahan serta perusahaan-perusahaan negara.

Organisasi baru yang bernama Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

(KORPRI) ini, merupakan satu-satunya asosiasi yang disahkan bagi pegawai negeri dan keanggotaannya bersifat wajib. 115

115 Agus Basri ”Membangkitkan Indonesia Mereformasi Birokrat” dalam Buletin The Fatwa Center, edisi I/Juni (Jakarta: The Fatwa Center, 2008) hal. 16

Sejak pembentukannya, Korpri secara umum sangat efektif dalam menggerakkan pegawai negeri beserta keluarganya untuk memberikan suaranya kepada Golkar dalam Pemilihan Umum dan dalam menjauhkan mereka dari kegiatan partai politik. Ketidak patuhan pada tuntutan Korpri bisa berakibat hilangnya pekerjaan sebagai pegawai negeri. Dan hidup dalam sistem ekonomi yang tidak dapat menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup bagi warganya, kehilangan pekerjaan sebagai pegawai negeri – walaupun bergaji minim – dapat mengakibatkan penderitaan yang besar.

Struktur Korpri sangat sentralistik. Dewan Pimpinannya terdiri dari Menteri Dalam Negeri sebagai ketua dengan anggota semua Sekretaris Jenderal Departemen dan Sekretaris Negara; karena ketua, sekretaris negara dan hampir semua sekretaris jenderal itu adalah para jenderal, maka pengendalian oleh Angkatan Darat terjamin. Gubernur, secara otomatis menjadi ketua Korpri di provinsinya, Bupati di kabupatennya dan seterusnya, dan kepemimpinan Korpri pada masing-masing tingkat perlu pengakuan dari kepemimpinan tingkat atasnya.

Diantara kelima tujuan Korpri, hanya yang terakhir yang menyebutkan kesejahteraan pegawai negeri dan keluarganya; yang lainnya menekankan patriotisme, disiplin dan kepatuhan pada tugas.

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

Sasaran korporatisasi yang kedua adalah organisasi buruh. Sejak 1950-an, partai politik di Indonesia pada umumnya mengembangkan sendiri organisasi massa mereka termasuk serikat buruh, sehingga jumlah serikat buruh sama banyaknya dengan jumlah serikat buruh sama banyaknya dengan jumlah partai politik. Sebagi contoh, NU memiliki SARBAMUSI (Serikat Buruh Muslim Indonesia) dan PKI mendirikan SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Hal ini tidak berarti bahwa tidak ada upaya untuk mengkoordinasikan serikat-serikat buruh dan mengkoordinasikan mereka.116

Seperti bisa diduga, SOKSI sangat bersedia untuk bergabung dengan BKS-Bumil (Buruh-Militer) yang diprakarsai Angkatan Darat. Kemudian para pengurus BKS-Bumil mencoba menyatukan gerakan-gerakan buruh yang ada dibawah parta-partai politik, tetapi tidak berhasil. Pada tahun 1959 ada usaha serupa, kali ini dilakukan oleh pemerintah, yang juga gagal karena ditentang oleh

Ketika militer mencoba menandingi partai politik untuk membentuk basis massa, militer juga mulai membentuk aliansi dengan berbagai kelompok kepentingan melalui mekanisme Badan Kera Sama (BKS) pada tahun 1956, suatu BKS BUMIL (Badan Kerja Sama Buruh-Militer)-pun dibentuk. Sementara itu, di perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi oleh pemerintah dan dikelola oleh perwira militer, Pimpinan Angkatan Darat juga mensponsori pembentukan Serikat Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI), yang bertujuan melawan pengaruh PKI yang ideologinya merupakan bagian dari perjuangan buruh.

116 Mohtar Mas’oed, Ekonomi...., op., cit., hal. 221

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

serikat buruh komunis yang kuat, yaitu SOBSI. Dalam bulan Desember 1961, didirikanlah Sekretariat Bersama Seriakt Buruh. Organisasi yang sangat longgar ini pada dasarnya bersifat politis, yakni sebagai bagian dari propaganda untuk membebaskan Irian Barat dari Belanda, dan tidak efektif. 117

Kesempatan bagi integarasi yang efektif akhirnya tiba pada tahun 1973, aitu ketika kesembilan partai politik yang ada mengalami fusi menjadi hanya dua partai baru. Akbitnya, serikat-serikat buruh itu kehilangan induknya. Denagn disponsori oleh para perwira militer yang dekat dengan Jenderal Soeharto, beberapa aktifis buruh pada 20 Februari 1973 membentuk federasi serikat buruh baru yang disebut Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI – sekarang SPSI).

Organisasi ini menyatakan diri independen, berkegiatan nonpolitis

Setelah Partai Komunis dilarang, para aktifis buruh sekali lagi mencoba membentuk suatu federasi pada bulan November 1969. Hasilnya, adalah berdirinya Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia (MPBI). Tetapi ia juga tidak berjalan efektif sebagai suatu organisasi. Seriakt-serikat buruh itu tetap independen dan dikendalikan oleh partai poliiknya masing-masing.

118

Pada tangal 11 Maret 1974 pemerintah mengakui FBSI sebagi satu-satunya serikat buruh di Indonesia dan mendorong perusahaan-perusahaan untuk membantu pendirian cabang-cabang FBSI. Dengan dukungan pemerintah tersebut, dan basis keanggotannya terletak pada jenis industri dan pekerjaan.

117 Suryadinata, op., cit., hal. 26

118 Berbeda dengan serikat-serikat buruh sebelumnya yang sebagian besar berdasar ideologi, sesuai dengan ideologi masing-masing partai politiknya.

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

FBSI tumbuh dngan mantap, walaupun lamban, selama 1970-an.119

Prinsip-prinsip Hubungan Perburuhan Pancasila dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, prinsip kekeluargaan antara buruh dan majikan, dimana kedua belah pihak memiliki tanggung jawab yang sama terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Buruh mempunyai kewajiban untuk meningkatkan produksi dan sebagai patner dalam keuntungan, sedangkan pemilik modal wajib membagi keuntungan kepada buruh berupa jaminan sosial dan kesejahteraan buruh. Kedua, prinsip mawas diri yaitu buruh dan majikan harus mematuhi tingkah laku yang telah disepakati sebelumnya guna mencegah pertikaian dan terakhir adalah prinsip keseimbangan dan keserasian, yaiu harus ada keseimbangan yang serasi antara

Kendatipun tidak semua perusahaan menyambut baik kehadiran organisasi ini, mereka umumnya dapat mentolerirnya seba pemerintah emberikan jaminan terciptanya ketentraman industrial dengan melarang pemogokan.

Dalam hal hak buruh untuk mogok, posisi FBSI jauh berbeda dari serikat-serikat buruh terdahulu. Pendahulunya, MPBI, menekankan tugas pokok melindungi hak-hak kaum buruh, termasuk hak untuk mogok. Sebaliknya, FBSI cenderung menghindari hal tersebut dengan cara menciptakan, atas petunjuk pemerintah, suatu teori baru yang disebut ”Hubungan Perburuhan Pancasila”.

Hubungan Perburuhan seperti ini menekankan ketentraman kerja sebagai satu-satunya tujuan terpenting, karena ideologi Pancasila itu sendiri mempromosikan hubungan sosial kekeluargaan diantara rakyat.

119 Pada tahun 1977 pemerintah menyatakan hari lahir FSBI, 20 Februari menjadi hari Buruh Indonesia, namun dewasa ini buruh lebih memperingati tanggal 1 Mei sebagai hari Buruh Internasional akibat dari proses kesejarahan dari dua tangal ini.

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

usaha-usaha memajukan kepentingan buruh dan usaha melindungi melindungi kepentingan majikan.

Hubungan perburuhan yang tidak memiliki kontradiksi seperti ini dijamin oleh forum permusyawaratan tripartite yang terdiri dari buruh, pengusaha dan pemerintah di tingkat nasional dan regional. Serta pada masing-masing industri sebagai forum tawar menawar, perjanjian kerja bersama, penggunaan mahkmah khusus perburuhan, dan undang-undang perburuhan diserahkan kepada lembaga bipartite yang hanya terdiri dari buruh dan pengusaha.120

Yakin bahwa mekanisme Hubungan Perburuhan Pancasila memiliki potensi besar untuk menghilangkan berbagai penyeba konflik perburuhan, para fungsionaris FBSI dan pemerintah berpendapat bahwa hak buruh untuk mogok dan hak pimpinan perusahaan untuk menutup perushaan (lock-out) tiaklah relevan lagi. Kedua hak tersebut dipandang sebagai produk falsafah hubungan buruh majikan yang konfrontatif, sedangkan teori Hubungan Perburuhan Pancasila menjunjung tinggi hubungan buruh majikan yang damai dan kekeluargaan.

Selanjutnya argumen ini membawa kepada pemahaman, bahwa sebagai suatu bangsa yang sedang berjuang memulihkan perekonomian, Indonesia akan sangat dirugikan oleh adanya pemogokan dan lock-out. Dengan kata lain, yang mendasari pemikiran Hubungan Perburuhan Pancasila adalah pengingkaran

120 Moertopo, op., cit., hal 175

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

terhadap angapan adanya perbedaan kelas dalam perburuhan. Dan penciptaan organisasi korporatis ini, FBSI, jelas adalah untuk meniadakan konflik kelas.121

Pertama, semua rancangan pidato di muka umum yang akan dibawakan oleh pimpinan seriakt buruh secara rutin harus dikirimkan kepada KOPKAMTIB.

Kedua, KOPKAMTIB terlebih dahulu melakukan screening terhadap calon-calon pimpinan serikat buruh. Dan akhirnya, dewan pimpinan serikat buruh (FBSI) secara periodik mengadakan pertemuan dengan Presiden dan penjabat-penjabat keamanan yang lain (Kopkamtib, Bakin, Hankam) untuk melaporkan kegiatan FBSI dan mohon petunjuk tentang partisipasi buruh. Selain daripada itu, pemerintah juga menugaskan para perwira militer sebagai fungsionaris FBSI di pusat maupun di daerah-daerah.

Menyadari bahwa mekanisme semacam ini tidak akan menarik bagi serikat buruh yang sejak dulu aktif dalam politik, pemerintah menciptakan suatu mekanisme kontrol. Secara tidak langsung, pemerintah mengendalikan FBSI dengan memasukkannya kedalam kerangka organisasi Golkar. Sedangkan secara langsung pemerintah bisa menerapkan pengendalian dengan tiga cara.

122

Sasaran penting ketiga dari kebijakan korporatisasi ini adalah sektor bisnis. Proses ini telah dimulai sejak rezim Sukarno berkuasa, ketika pemerintah mulai mendirikan Organisasi Perusahaan Sejenis (OPS) yang keanggotannya bersifat wajib, dalam setiap jenis industri dan perdagangan. OPS-OPS ini dikoordinasikan oleh organisasi yang lebih tinggi tingkatannya, yaitu Gabungan

121 Lihat Moertopo, ibid, hal. 176

122 Mohtar, Mas’oed, op.,cit., hal. 121

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

Pengusaha Sejenis (GPS), yang pada gilirannya diatur secara nasional oleh Dewan Industri dan Perdagangan Nasional.

Pemerintah Orde Baru secara resmi menghapuskan jaringan OPS, ketika mencoba menerpakan kebijakan liberalisasi. Akan tetapi, dalam tahun 1971 ia mendirikan Kamar Dagang dan Industri (KADIN), suatu organisasi puncak untuk mengkoordinasikan berbagai ososiasi bisnis dan menjembatani kepentingan mereka dengan pemerintah. Kadin dimaksudkan sebagai satu-satunya saluran perwakilan kepentingan dunia bisnis.123

123 Moertopo, op., cit., hal. 177

Meskipun dilakukan banyak usaha-usaha oleh beberapa departemen pemerintah untuk mendorong perusahaan-perusahaan agar menjadi anggota asosiasi bisnis dalam bidang masing-masing, dan mendorong asosiasi-asosiasi ini agar bergabung dengan Kadin. Namun banyak pengusaha-pengusaha besar menangapi usaha pemerintah ini dengan dingin. Mereka percaya bahwa tanpa terlibat dalam Kadin mereka tetap dapat menjalankan ushanya dengan cukup baik.

Kurangnya kemajuan dalam korporatisasi di sektor bisnis ini barang kali akibat dari sikap pemerintah yang ambigu terhadap persoalan tersebut. Di satu sisi, pemerintah ingin mengatur dan mengendalikan perwakilan kepentingan masyarakat bisnis.Pemerintah Orde Baru sebenarnya dapat memaksa para pengusaha untuk bergabung dalam Kadin, namun di sisi yang lain pemerintah khawatir bahwa tindakan otoritarian seperti ini akan menggangu iklim usaha yang baik yang telah diciptakannya dengan susah payah.

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

Akibat dari semua itu, kebijakan korporatisasi pemerintah di sektor bisnis sangat berbeda dengan di sektor perburuhan. Kalau dalam korporatisasi serikat buruh pemerintah menekankan penggunaan kekerasan atatu paksaan, maka menangani para pengusaha pemerintah lebih banyak menggunakan pemikat dengan memberikan fasilitas. Pemerintah cendrung untuk melakukan penekanan terhadap serikat buruh dan melakukan privatisasi atau membuka sebagian lembaganya untuk kepentingan bisnis besar.

Kadin yang untuk waktu yang lama diketuai oleh seorang perwira militer ini sejak lama mencoba membukt ikan diri sebagai satu-satunya medium efektif antara pemerintah dengan kelompok kepentingan bisnis. Tetapi baru pada tahun 1987, tujuh belas tahun sejak pembentukannya, pemerintah secara resmi memberikan Kadin status sebagai satu-satunya saluran komunikasi antara pemerintah dengan bisnis. Walaupun ini bisa memperkuat posisi Kadin di dalam komunitas bisnis dan memberi peluang lebih besar kepada para pengusaha untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan publik secara lebih langsung dan terlembaga, hubungan baru itu juga bisa digunakan pemerintah untuk menerapakan kendali atas komunitas bisnis.

Disamping di sektor kepegawaian negeri, perburuhan dan bisnis, koorporatisasi-negara juga diterapkan di banyak bidang kehidupan lain. Baik sebagai kelanjutan usaha-usaha rezim sebelumya, seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), maupun berwujud pembentukan organisasi baru, seperti Komite Nasional Pemuda Indonesis (KNPI),

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), dan Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Semua organisasi ini dimaksudkan sebagai saluran tunggal bagi perwakilan kepentingan di bidang masing-masing, akan tetapi dalam praktek kebanyakan tidak efektif. 124

124 Mohtar Mas’oed, Ekonomi..., op., cit., hal 215

Walaupun diakui oleh pemerintah sebagai satu-satunya organisasi pemuda yang resmi, KNPI masih menghadapi banyak masalah dalam mewakili dan mengendalikan pemuda Indonesia. Sebagai suatu federasi dari banyak organisasi, KNPI masih menghadapi masalha koordinasi. Beberapa organisasi pemuda dan mahasiswa masih menolak bergabung kedalamnya. Di beberapa daerah, KNPI bahkan berhadapan dengan sekutu alamiahnya, yaitu kelompok pemuda Golkar, Angkatan Muda Pembangunan Indonesia (AMPI). Masalah serupa jaga dihadapi kebanyakan organisasi korporatislainnya.

Singkatnya, korporatisasi ini menggambarkan upaya rezim Orde Baru menyalurkian perwakilan-kepentingan masyarakat dengan cara-cara yang bisa mencegah ketidakstabilan. Keinginan keras untuk menjaga kestabilan ini telah memaksa pemerintah untuk melakukan apa saja demi menekan konflik antar kelas dan antar kelompok kepentingan, sementara kebutuhan untuk menggalakkan produktivitas ekonomi telah membuat pemerintah membatasi perwakilan kepentingan kelas bawah tetapi membuka beberapa lembaganya untuk dipengaruhi oleh kepentingan kelompok-kelompok bisnis utama.

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

BAB III

PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

1. Partai Politik dalam Konfigurasi Politik Rezim Orde Baru

Komitmen untuk melaksanakan pembangunan ekonomi menjadi kerangka dasar untuk memahami penataan politik kepartaian yang dilaksanakan rezim Orde Baru. Restrukturisasi kehidupan politik dianggap sebagai tuntutan yang amat logis dan wajar untuk menjaga dan mempertahankan stabilitas. Dalam konteks ini pembaruan politik kepartaian dan tuntutan akan suatu sistem politik yang lebih stabil serta dapat menjamin berlangsungnya perbaikan kehidupan ekonomi pada dasarnya menjadi pembenaran akan cara pandang semacam itu.

Pada suatu sistem politik yang menempatkan partai politik sebagai penghubung antara rakyat dengan pemerintah, partai politik seharusnya menjadi institusi yang mengemban fungsi-fungsi komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan sarana pengatur konflik sebagaimana umumnya.

Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu dengan yang lainnya.

Sebagai sarana komunikasi politik, partai berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interests articulation) atau political interests yang terdapat atau kadang-kadang yang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi ide-ide, visi, dan kebijakan-kebijakan partai politik yang bersangkutan. Setelah itu, ide-ide dan

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diproses sedemikian rupa sehingga dapat diharapkan mempengaruhi atau bahkan menjadi kebijakan negara atau pemerintah.

Terkait dengan komunikasi politik itu, partai politik juga berperan penting dalam melakukan sosialisasi politik (political socialization). Ide, visi, dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatkan umpan balik berupa dukungan dari masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai juga berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partai politiklah yang menjadi struktur-antara yang harus memainkan peran dalam mesosialisasikan cita-cita kebangsaan dalam kesadaran kolektif masyarakat.

Fungsi ketiga partai politik adalah sarana rekrutmen politik (political recruitment). Partai dibentuk memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu. Kader-kader itu ada yang dipilih secara langsung oleh rakyat, ada pula yang dipilih melalui cara yang tidak langsung, seperti oleh Dewan Perwakilan Rakyat, ataupun melalui cara-cara yang tidak langsung lainnya. Partai hanya boleh terlibat dalam pengisian jabatan-jabatan yang bersifat politik seperti Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota yang pengangkatan pejabatnya melalui prosedur politik.

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

Fungsi keempat adalah pengatur dan pengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat. Seperti sudah disebut di atas, nilai-nilai (values) dan kepentingan-kepentingan (interests) yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika partai politiknya banyak, berbagai kepentingan yang beraneka ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi partai-partai politik yang menawarkan ideologi, program, dan altrernatif kebijakan yang berbeda-beda satu sama lain.

Dengan perkataan lain, sebagai pengatur atau pengelola konflik (conflict management), partai berperan sebagai sarana agregasi kepentingan (aggregation of interests) yang menyalurkan ragam kepentingan yang berbeda-beda itu melalui saluran kelembagaan politik partai. Partai mengagregasikan dan mengintegrasikan beragam kepentingan itu dengan cara menyalurkannya dengan sebaik-baiknya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik.

Berbeda halnya dalam konfigurasi politik rezim Orde Baru, partai politik yang ada (PPP dan PDI ) termasuk Golkar ini berubah menjadi patner pemerintah dalam arti menjaga kelangsungan Pancasila dan UUD 1945 dalam tatanan politik yang tengah dibangun. Oleh karena itu, partai dijadikan salah satu “modal dasar pembangunan” yang dimaksudkan sebagai pendukung dari segala kebijakan rezim.

Dalam rangka mengukuhkan dan memperjelas kedudukan partai yang antik itulah maka tidak hanya penyederhanaan jumlah partai yang dilakukan, tetapi juga diciptakan “jarak”, baik antara partai dan masyarakat pedesaaan

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

(melalui konsep massa mengambang) maupun antara partai dan birokrasi (melalui konsep monoloyalitas).

Pola “politik aliran”125

125 “Politik aliran” adalah pola politik yang lahir dari jaringan korporasi antara partai, organisasi masyarakat yang menjadi onderbouw partai dan massa yang dibangun atas dasar ikatan-ikatan primordial, seperti agama, ideologi, hubungan darah, bahasa, dan etnis. Tentang hal ini lihat, Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981).

seperti yang pernah berkembang dalam kehidupan kepartaian pada masa sebelumnya agaknya menjadi sumber kekhawatiran yang beralasan bagi rezim Orde Baru guna membatasi keterlibatan partai.

Akan tetapi, pembatasan itu berlaku juga bagi partai (PPP dan PDI) maupun Golkar. Kenyataannya Golkar justru dapat memanfaatkan hubungan itu untuk menembus massa hingga di tingkat pedesaan. Kecuali itu, dinamika internal Gokar bahkan sebagian besar mencerminkan pengaruh suprastruktur proses politik nasional. Kedudukan Golkar yang jauh lebih baik, dimungkinkan karena sejak awal Golkar dianggap sebagai alternatif golongan pembaruan yang bersama-sama dengan militer menjadi pendukung utama format politik yang dibangun Presiden Soeharto.

Dalam keadaan seperti itu bisa dimaklumi bahwa format politik yang dikehendaki hanya dapat dicapai dengan membiarkan Golkar bekerja sama dengan birokrasi – yang pada dasarnya merupakan tangan resmi pemerintah dalam melaksanakan tugas – dan yang mengasingkan partai dari birokrasi. Pada gilirannya kecenderungan faktual seperti ini menimbulkan struktur kepartaian yang tidak setara setidaknya bagi kalangan partai, PPP dan PDI.

Eka Nova Prasetya Pinem : Kebijakan Politik Fusi : Suatu Tinjauan Politik Kepartaian Rezim Orde Baru, 2009.

USU Repository © 2009

Arah penataan itu menciptakan dua persoalan yang lain. Pertama, posisi partai politik menjadi begitu bergantung kepada arah dan kecenderungan politik nasional karena tidak berakar ke bawah. Kedua, kalangan partai menjadi sulit mengidentifikasikan hakikat keberadaan mereka dalam tatanan politik yang berlaku. Apalagi bila dihubungkan dengan masa silam kehidupan partai yang kurang menarik bagi rezim Orde Baru. Konflik-konflik di dalam tubuh PPP dan PDI tampaknya berhubungan erat dengan kedua permasalahan yang dikemukakan ini.

Rezim Orde Baru mempunyai anggapan dasar bahwa partai politik menjadi sumber konflik dan ketidakstabilan politik, seperti yang pernah dialami pada periode Demokrasi Liberal. Dengan demikian, pemerintah oleh partai maupun keikutsertaan partai dalam pemerintah dianggap sebagai “masa lalu yang buruk” yang tidak perlu diulang lagi.

Penciptaan “jarak” antara partai politik dan birokrasi tampaknya menjadi indikasi kecenderungan tersebut. Selain itu, keterlibatan partai politik dalam bitokrasi akan mengganggu dan bahkan menghambat tugas pelayanan birokrasi.

Apalagi dalam era pembangunan yang menjadi obsesi pemerintah sejak awal.

Apalagi dalam era pembangunan yang menjadi obsesi pemerintah sejak awal.

Dokumen terkait