• Tidak ada hasil yang ditemukan

Si Budak Bermuka Jelek dari Hoa-san-pay

Dalam dokumen Pendekar Hina Kelana (Halaman 42-50)

Diam-diam Cin-lam membatin, "Kabarnya Siong-hong-kiam-hoat (ilmu pedang angin meniup pohon Siong) Jing-sia-pay mereka mengutamakan gesit dan enteng sebagai angin serta ulet sebagai pohon Siong. Untuk bisa menang harapanku hanya mencari kesempatan untuk mendahului saja."

Karena itu tanpa sungkan-sungkan lagi pedangnya lantas bergerak, kontan ia menebas dari samping dalam jurus "Kun-sia-pi-ih" (kawanan iblis terkocar-kacir) dari Pi-sia-kiam-hoat (ilmu pedang penghalau iblis). Melihat sergapan Cin-lam yang cukup dahsyat itu, Jin-ho juga tidak berani menangkisnya secara keras lawan keras, cepat ia mengegos untuk menghindarkan diri.

Namun sebelum serangan pertama itu mencapai titik sasarannya, dengan cepat Cin-lam sudah lantas tarik kembali pedangnya dan segera melancarkan jurus kedua "Ciong-Siu-kiap-bok" (Ciong Siu mencolok mata), ujung pedangnya terus menusuk kedua mata lawan.

Tatkala itu sinar sang surya lagi menembus melalui celah-celah hutan bambu, walaupun tidak terlalu terang, namun menyilaukan juga ketika memantul di atas pedang yang gemerlapan itu.

"Celaka," diam-diam Jin-ho mengeluh, cepat ia melompat mundur. Syukurlah ia dapat lolos dari serangan keji itu namun tidak urung hatinya memukul keras.

Dalam pada itu, serangan Cin-lam yang lain sudah menyusul tiba pula. Terpaksa Jin-ho menangkis. "Trang", tangan kedua orang sama-sama tergetar. Diam-diam Cin-lam bergirang malah, pikirnya, "Kukira ilmu silat Jing-sia-pay betapa hebatnya, tak tahunya juga cuma begini saja."

Selama beberapa hari Hok-wi-piaukiok dirongrong oleh pihak lawan secara misterius sehingga timbul rasa jerinya, tapi sekarang setelah diketahui orang yang dibunuh oleh Peng-ci itu adalah putranya Ih Jong-hay, selain menghadapi musuh dengan mati-matian tiada jalan lain lagi, maka Cin-lam menjadi nekat, cara bertempurnya menjadi tidak sungkan-sungkan lagi, serangan-serangannya menjadi lebih hebat. Sebaliknya Uh Jin-ho berpikir, "Tenaga tua bangka ini ternyata boleh juga."

Padahal setelah Peng-ci didepak terjungkal dengan mudah olehnya, ia sangka Lim Cin-lam paling-paling juga cuma jago silat gadungan saja, siapa tahu di antara ayah dan anak ternyata mempunyai perbedaan sedemikian jauh. Bahkan dalam hal pengalaman di medan pertempuran Cin-lam malah lebih luas daripada Jin-ho sendiri. Maka Jin-ho tidak berani ayal lagi, ia putar pedangnya dengan kencang. Mendadak ia menusuk ke depan, seketika bintang-bintang bertaburan, sekaligus ujung pedangnya telah menusuk tujuh tempat.

Karena tidak tahu ke mana pedang lawan hendak menusuk, Cin-lam tidak berani sembarangan menangkis, terpaksa ia mundur satu tindak. Ketika Jin-ho hendak susulkan tusukan lain pula, di luar dugaan perubahan Lim Cin-lam juga amat cepat, hanya sedetik luang saja sudah digunakan dengan baik olehnya untuk balas

menyerang.

orang maju dan mundur dengan cepat, meski sudah berlangsung lebih 30 jurus tetap susah menentukan kalah atau menang.

Di sebelah lain, Ong-hujin yang harus menempur si orang berkepala kecil yang bernama Pui Jin-ti itu, berulang-ulang telah menghadapi serangan musuh yang berbahaya. Golok emas yang diputarnya itu beberapa kali terlilit oleh ruyung musuh dan hampir-hampir terbetot lepas dari cekalan.

Melihat ibunya terdesak, cepat Peng-ci berlari masuk ke dalam warung nasi, ia angkat sebuah bangku panjang terus menerjang ke arah Pui Jin-ti, bangku panjang itu lantas disodokkan ke depan.

"E-eh, Lim-siaupiauthau kenapa berkelahi secara ngawur begini?" demikian Jin-ti tertawa mengejek. Sekali ia sendal ruyungnya, sekonyong-konyong senjata itu memutar balik, "plak", segera pinggang Peng-ci tersabat satu kali.

Keruan Peng-ci meringis kesakitan, hampir-hampir saja ia tak sanggup berdiri tegak. Tapi ia tahu bila dirinya roboh, pastilah mereka ibu dan anak akan mati konyol. Maka dengan mengertak gigi menahan rasa sakit, sekuatnya ia angkat bangku itu terus mengepruk ke atas kepala Pui Jin-ti.

Ketika Jin-ti mengegos ke samping, seperti banteng ketaton segera Peng-ci menerjang maju lagi. Tapi sekonyong-konyong kakinya tersangkut entah tersandung apa, kontan ia jatuh tersungkur, berbareng itu terdengar suara seorang lagi berkata, "Rebahlah!" menyusul sebuah kaki telah menginjak di atas tubuhnya, berbareng ujung sebuah benda tajam juga terasa mengancam di punggungnya.

Sudah tentu Peng-ci tak dapat melihat bagian belakang, yang tertampak hanya debu pasir di depan matanya, hanya terdengar jeritan sang ibu, "Jangan, jangan membunuh anakku!"

Tapi lantas terdengar Pui Jin-ti membentak, "Kau juga merebah saja!"

Kiranya pada saat Peng-ci hendak menerjang maju tadi, mendadak dari belakang ia dijegal oleh kaki seseorang sehingga Peng-ci jatuh tersungkur, menyusul orang itu lantas mencabut belati dan mengancam di punggung pemuda itu.

Ong-hujin sendiri memangnya tak sanggup melawan Pui Jin-ti, melihat keselamatan putranya terancam, keruan ia tambah gugup dan bingung. Pada saat itulah Pui Jin-ti lantas mengayun ruyungnya sehingga sebelah kaki Ong-hujin terlilit, sekali tarik, kontan nyonya itu pun terseret roboh. Menyusul Jin-ti lantas memburu maju untuk menutuk Hiat-to ibu dan anak itu.

Orang yang menjegal Peng-ci dari belakang itu kiranya adalah orang she Keh yang pernah bertempur melawan The dan Su-piauthau di warung arak di luar kota Hokciu tempo hari. Nama lengkapnya adalah Keh Jin-tat. Bicara tentang ilmu silat, Keh Jin-tat ini memang terhitung nomor satu di antara murid-murid Jing-sia-pay, namun bukan nomor satu dari depan, tapi nomor satu dihitung dari belakang. Cuma sehari-hari Jin-tat selalu mendekati dan menjilat Ih Jin-gan, itu putra bungsu kesayangan Ih-koancu, mereka sama-sama makan-minum, sama-sama berjudi dan cari cewek. Berkat bantuan Ih Jin-gan itulah maka Keh Jin-tat juga ikut-ikut datang ke Hokciu.

Dia bersama Pui Jin-ti telah dapat merobohkan Peng-ci dan ibunya, Perlahan-lahan mereka lantas menggeser ke belakang Lim Cin-lam.

Cin-lam menjadi gugup melihat istri dan putranya tertawan musuh, "sret-sret-sret", cepat ia menyerang beberapa kali.

"Awas, Uh-sute, kura-kura ini hendak kabur!" seru Pui Jin-ti.

Sekarang Uh Jin-ho sudah mulai dapat meraba jalan ilmu pedang lawan, maka ia telah mainkan Siong-hong-kiam-hoat dengan kencang, sinar pedang gemerlapan membungkus rapat di sekeliling Lim Cin-lam.

Di kala menghadapi ilmu pedang lawan yang hebat itu, sekarang bertambah lagi dua orang lawan yang lain, untuk mundur terang tiada jalan lagi, terpaksa Cin-lam mengerahkan seluruh semangatnya untuk bertahan. Sekonyong-konyong pandangannya menjadi kabur, serentak seperti berpuluh pedang menyerang berbareng

dari berbagai jurusan. Cin-lam terkejut dan cepat ia putar pedangnya untuk melindungi tubuhnya.

"Kena!" mendadak terdengar Jin-ho membentak. Kontan lutut kanan Cin-lam terkena pedang, kakinya lemas dan sampai bertekuk lutut. Cepat ia melompat bangun pula, walaupun begitu, ujung pedang Uh Jin-ho tahu-tahu sudah mengancam di depan dadanya.

"Uh-sute, sungguh suatu jurus 'Liu-sing-kan-goat' yang hebat!" memuji Keh Jin-tat. Biarpun jago kelas kambing dari Jing-sia-pay, namun terhadap jurus ilmu pedang golongannya sendiri ia masih dapat membedakannya.

Cin-lam menghela napas, ia melemparkan pedang ke tanah, katanya, "Ya, apa mau dikata lagi. Harap bereskan kami secara cepat dan gampang saja!"

Mendadak punggungnya terasa kesemutan, kiranya telah ditutuk oleh gagang kipasnya Pui Jin-ti.

"Huh, secara gampangan bereskan kalian, masakah di dunia ini ada urusan begini enak? Kau harus ikut ke Jing-sia-san untuk menemui Suhuku!" jengek orang she Pui itu.

Cin-lam pikir yang terbunuh adalah putra guru mereka, sudah tentu mereka ingin meringkus dirinya sekeluarga untuk dibawa ke Sucwan sebagai pertanggungjawaban kepada guru mereka. Perjalanan sejauh ini juga ada baiknya, di tengah jalan boleh jadi ada kesempatan untuk meloloskan diri.

Dalam pada itu Keh Jin-tat tidak membuang kesempatan untuk melampiaskan dendamnya, mendadak ia cengkeram punggung Peng-ci terus diangkat ke atas, "plak-plok", dua kali ia tempeleng pemuda itu sambil memaki, "Anak kelinci keparat, sejak hari ini aku akan hajar kau setiap hari sehingga sampai di Jing-sia-san, akan kubikin mukamu yang resik ini menjadi belang bonteng!"

Peng-ci tahu sesudah jatuh dalam cengkeraman musuh, untuk selanjutnya pasti akan kenyang dihina dan disiksa. Sekarang dirinya tak bisa berkutik, dengan gusar ia terus meludahi musuh yang bermartabat rendah itu.

Karena jarak dua orang sangat dekat, maka Keh Jin-tat tidak sempat mengelak, "plok", dengan tepat riak kental yang disemprotkan Peng-ci itu kena di batang hidungnya. Keruan Jin-tat menjadi murka, ia banting pemuda itu ke tanah dan segera sebelah kakinya hendak menendang.

"Sudahlah, sudah cukup! Jika dia mati kau tendang, cara bagaimana kita harus bertanggung jawab kepada Suhu?" ujar Jin-ti dengan tertawa. "Bocah ini mirip seorang nona, mana dapat menahan pukulan dan tendanganmu?"

Sesungguhnya dendam Keh Jin-tat tak terkatakan. Maklumlah dia tidak punya kepandaian yang berarti, biasanya juga tidak disukai sang guru dan saudara-saudara seperguruan, di atas Jing-sia-san hanya Ih Jin-gan seorang yang menjadi sandaran satu-satunya. Sekarang sandaran satu-satunya itu telah "kuik" ditubles belati oleh Peng-ci, keruan bencinya kepada pemuda itu tidak alang kepalang. Tapi demi dicegah oleh Jin-ti, terpaksa ia urungkan maksudnya menghajar Peng-ci lebih jauh, hanya berulang-ulang ia meludahi pemuda itu untuk melampiaskan dendamnya.

"Marilah kita makan dahulu barulah berangkat," ujar Pui Jin-ti. "Nah, Keh-sute harap kau capaikan diri untuk menanak nasi dan menyediakan daharan."

Cepat Jin-tat mengiakan. Biasanya ia juga tunduk kepada Pui-suhengnya itu, apalagi sekarang Ih Jin-gan telah dibunuh orang dan hanya dia yang menyaksikan, kalau pulang mustahil gurunya takkan menghukumnya karena tidak melindungi sang Sute, bahkan menyelamatkan diri sendiri secara pengecut. Untuk ini beberapa kali dia telah mohon bantuan Uh Jin-ho dan Pui Jin-ti agar sepulangnya nanti sudi menutupi sedikit dosanya itu di hadapan sang guru. Sekarang Jin-ti hanya menyuruhnya menanak nasi dan menyediakan daharan, sekalipun dia disuruh mengerjakan sesuatu yang berpuluh kali lebih sulit juga pasti akan dilakukannya. Begitulah, maka dengan cepat ia lantas pergi ke belakang untuk melaksanakan tugasnya.

ho dan ti lantas menyeret Cin-lam bertiga ke dalam warung dan dilemparkan di pojok sana. Kata Uh Jin-ho, "Pui-suko, perjalanan pulang ke Jing-sia ini akan makan tempo cukup lama, kita harus waspada akan kemungkinan lolosnya mereka ini. Ilmu silat yang tua ini pun boleh juga, kau harus mencari suatu akal yang baik."

"Apa susahnya?" ujar Jin-ti dengan tertawa. "Sehabis makan nanti kita putuskan saja urat tangan mereka, lalu gunakan ruyungku yang lemas untuk menembus tulang pundak mereka dan diikat menjadi satu seperti ikatan kepiting, tanggung mereka tidak mampu lolos lagi."

Otak Cin-lam serasa menjadi kopyor mendengar itu, kalau urat tangan diputus dan tulang pundak ditembus, untuk seterusnya tentu akan menjadi cacat selamanya. Dalam keadaan demikian sekalipun berhasil meloloskan diri juga tiada gunanya lagi. Pikiran orang she Pui ini benar-benar teramat keji.

Peng-ci lantas mencaci maki, "Bangsat keparat yang tidak tahu malu! Kalau berani lekas bunuh saja tuan besarmu ini, cara kalian itu tidak lebih adalah perbuatan bajingan yang rendah dan kotor."

"Uh-sute," tiba-tiba Jin-ti berkata dengan tertawa, "kalau anak jadah ini memaki satu kali lagi segera aku akan mengambil sedikit kotoran kerbau dan anjing untuk menjejal mulutnya."

Ancaman ini ternyata sangat manjur. Seketika Peng-ci bungkam, tidak berani memaki lagi walaupun gusarnya tidak kepalang.

Kemudian Pui Jin-ti masih terus membual dengan kata-kata yang lucu-lucu tapi menusuk. Jin-ho hanya mendengarkan saja dengan mengerut kening, terkadang ia pun mengiringi tersenyum. Namun yang terbayang dalam benaknya adalah jurus-jurus pertarungannya dengan Lim Cin-lam tadi.

Tidak lama kemudian Keh Jin-tat keluar dengan membawa daharan. Katanya, "Tempat ini benar-benar terlalu miskin, seekor ayam saja tidak ada. Apakah kalian suka makan kalau kupotong sedikit daging paha anak jadah ini untuk digoreng."

Jin-ti tahu Sutenya itu cuma bergurau saja, segera ia menanggapi, "Ya, bagus! Anak jadah ini putih lagi halus, dagingnya tentu lebih lezat daripada ayam goreng. Cuma sayang tidak ada arak ...."

"Segala apa ada di sini! Tuan ingin apa, segera kubawakan!" demikian tiba-tiba dari belakang suara seorang wanita muda yang nyaring merdu menukas ucapan Pui Jin-ti itu.

Keruan mereka terperanjat. Berbareng mereka memandang ke belakang, maka tampaklah keluar seorang nona baju hijau dengan membawa sebuah nampan kayu, di tengah nampan ada sebuah poci arak dengan tiga buah cawan.

Meski nona ini menundukkan kepalanya, tapi masih tampak jelas kelihatan mukanya yang benjol-benjol bekas penyakit cacar.

Jin-ti dan Jin-ho menjadi heran dari mana datangnya nona bermuka burik ini. Sebaliknya Keh Jin-tat sangat terkejut, sebab ia kenal nona burik ini tak lain tak bukan adalah si gadis penjual arak di warung arak di luar kota Hokciu itu. Kematian Ih Jin-gan justru disebabkan dia menggoda nona ini, mengapa sekarang nona ini mendadak muncul lagi di warung yang terpencil ini?

Saking kagetnya Jin-tat sampai melonjak bangun, serunya sambil menuding nona itu, "Meng ... mengapa kau pun ber ... berada di sini?"

Nona itu tidak menjawab, kepalanya tetap menunduk, katanya dengan suara perlahan, "Inilah araknya, cuma tiada sayur apa-apa."

Berbareng ia terus menaruh nampannya di atas meja.

"Kau dengar tidak? Kutanya kau mengapa kau pun berada di sini?" demikian Jin-tat berteriak pula dan segera lengan si nona hendak dipegangnya.

Tapi sedikit mengegos saja nona itu sudah mengelakkan cengkeraman Keh Jin-tat. Lalu katanya, "Ya, hidup kami ini adalah menjual arak. Di mana pun tuan-tuan ingin minum arak, di situlah kami akan berada untuk melayani."

Walaupun Keh Jin-tat termasuk kaum keroco, namun jelek-jelek adalah murid Jing-sia-pay. Si nona dapat mengelakkan cengkeramannya itu, teranglah juga mahir ilmu silat.

Jin-ti memandang sekejap kepada Jin-ho, kemudian bertanya, "Bagus sekali! Lantas arak apakah yang nona jual ini?"

"Arak Hong-ting-ang (merah jengger bangau) campur warangan, arak 'Chit-kang-liu-hiat-ciu' (tujuh lubang keluar darah)," sahut si nona itu sambil menuangkan arak ke dalam cawan dan disodorkan ke depan Jin-ho bertiga. Warna arak itu memang merah seperti darah dan lain daripada yang lain. (Yang dimaksudkan tujuh lubang adalah mata, hidung, telinga dan mulut).

Keh Jin-tat menjadi gusar, bentaknya, "Kurang ajar! Kiranya kau adalah begundal dan gendak anak kura-kura ini!"

Berbareng sebelah tangannya terus menampar dari samping.

Namun nona itu hanya mundur setindak saja sudah menghindarkan diri dari serangan lawan, Jin-tat merasa malu kepada kedua Suheng dan Sutenya itu, masakah terhadap seorang anak dara saja tidak mampu menang? Sambil menggerung kalap ia menubruk maju, sepuluh jarinya terus mencengkeram ke dada si nona.

Serangan Keh Jin-tat ini benar-benar kotor dan tak bermoral. Sebagai anak murid golongan terhormat mestinya tidak pantas menyerang ala bajingan demikian. Tapi dasarnya dia memang bangor, si nona penjual arak itu tak dipandang sebelah mata pula olehnya, maka cara menyerangnya menjadi tidak sungkan-sungkan dan pakai aturan segala.

Tentu saja nona itu menjadi gusar. Sedikit mengegos ke samping, dengan cepat sekali tangan kirinya terus menolak ke punggung Jin-tat, ia pinjam daya tubrukan Jin-tat itu sekalian didorong ke depan sekuat-kuatnya. Tanpa ampun lagi tubuh Jin-tat lantas melayang ke depan sebagai terbang sambil berkaok-kaok, "bluk", kepalanya tertumbuk pada tiga batang bambu yang tumbuh di situ.

Pada umumnya batang bambu memang sangat keras daya melentingnya, maka begitu melengkung tertumbuk oleh Jin-tat, kontan tubuh Jin-tat lantas terlempar kembali ke udara. Khawatir kalau terbanting dengan lebih keras dan kehilangan muka disaksikan orang banyak, lekas-lekas Jin-tat menggunakan gerakan "Le-hi-pak-ting" (ikan lele meletik) untuk membalik tubuh di atas dengan maksud menurunkan kakinya dahulu ke bawah. Tak terduga daya pegas batang bambu itu memang aneh dan susah diraba arahnya, masih mendingan kalau dia diam saja, tapi lantaran membalik tubuh di atas sebagai ikan meletik, maka tubuh Jin-tat berbalik

terjungkir, kepala di bawah dan kaki di atas, terus menubruk ke atas tanah. "Prok", tanpa ampun lagi beberapa gigi Jin-tat rompal. Lekas-lekas ia merangkak bangun, namun muka dan mulutnya sudah penuh berlumuran darah tercampur debu.

Sambil mencaci maki secara kotor, dengan nekat Jin-tat lantas mencabut belati dan menubruk maju pula. Tapi kembali si nona mengegos, sebelah tangannya menolak dan mendorong pula, ia tetap menggunakan pinjam tenaga lawan untuk memukul lawan, sekali ini yang diincar adalah sebuah kolam di samping hutan bambu sana. "Plung", tanpa ampun lagi Jin-tat tercebur ke dalam kolam sehingga air muncrat ke mana-mana. Belati yang dipegangnya juga ikut mencelat dari cekalannya sehingga mengeluarkan sinar kuning kemilau di atas udara.

Segera si nona meloncat ke sana, sekali sambar belati yang melayang-layang di udara itu kena dirampas olehnya.

Belum kapok juga, Jin-tat masih terus mencaci maki. Tapi sekali mulutnya mengap, seketika air kolam masuk ke tenggorokannya seperti dicekoki, keruan ia gelagapan.

Padahal air kolam itu biasanya oleh si pemilik warung itu digunakan untuk menyiram sayur dan tanaman-tanaman lain, air kolam itu sebagian besar adalah air kotoran dan kencing manusia. Keruan sekali ini Keh Jin-tat benar-benar "tahu rasanya".

Melihat Sute mereka dihajar orang, Pui Jin-ti dan Jin-ho hanya duduk tenang-tenang saja dan tidak menolongnya. Tunggu setelah si nona jalan kembali dengan belati rampasannya itu, barulah Jin-ti berkata dengan nada dingin, "Selamanya Hoa-san-pay dan Jing-sia-pay kami tiada permusuhan apa-apa, orang tua dari kedua belah pihak selamanya juga bersahabat baik. Apakah nona tidak keterlaluan dengan menyuguhkan kami arak 'Chit-kang-liu-hiat-ciu' campuran dari Hong-ting-ang dan warangan ini?"

Nona itu tampak melengak, tapi lantas mengikik tawa. Lalu jawabnya, "Tajam benar penglihatanmu, dari mana kau tahu aku berasal dari Hoa-san-pay?"

"Kedua gerakan 'Sun-cui-tui-ciu' (mendorong perahu menurut arus) yang digunakan nona barusan ini terang adalah ajaran asli Gak-tayciangbun dari Hoa-san-pay," kata Jin-ti. "Nama Hoa-san-pay cukup menggetarkan Kangouw, biarpun picik juga Cayhe masih sanggup membedakannya."

"Kau tidak perlu menyanjung diriku," ujar si nona. "Aku pun tahu engkau adalah Pui-toaya, tokoh terkemuka Siong-hong-koan dari Jing-sia-pay dan ini adalah Uh-toaya, satu di antara empat murid utama yang terkenal sebagai "Eng Hiong Ho Kiat". Nah, silakan kalian mulai saja."

"Ah, menghadapi nama Hoa-san-pay yang termasyhur betapa pun juga kami harus mengalah sejauh mungkin," sahut Jin-ti. "Tapi sedikitnya nama nona yang budiman juga perlu kami ketahui, kalau tidak, cara bagaimana kami harus menjawab jika kami ditanya oleh Suhu?"

"Asalkan kau katakan 'si budak jelek dari Hoa-san-pay' saja sudah cukup, rasanya di dunia ini tiada orang kedua yang bermuka lebih buruk daripada diriku ini," sahut si nona dengan tertawa.

Dalam pada itu Keh Jin-tat sudah merangkak bangun dari dalam kolam yang berair kotor dan bau itu, ia masih

Dalam dokumen Pendekar Hina Kelana (Halaman 42-50)