• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keluar Pintu Lebih Dari Sepuluh Langkah: Mati

Dalam dokumen Pendekar Hina Kelana (Halaman 26-42)

Semula Cin-lam menduga ada orang mendadak binasa lagi, tetapi semalam orang-orang yang dikirim keluar untuk menyelidiki dan meronda itu seluruhnya ada 23 orang, masakah mungkin seluruhnya amblas? Maka cepat ia tanya, "Apakah ada orang mati lagi? Besar kemungkinan mereka masih melakukan tugas penyelidikan dan belum sempat pulang lapor."

Namun Piauthau itu menggeleng kepala dan menjawab, "Sudah ... sudah diketemukan 17 sosok jenazah ...." "Haaaah! 17 sosok jenazah?" Cin-lam dan Peng-ci menegas berbareng.

"Ya, 17 sosok," sahut Piauthau itu dengan roman penuh rasa cemas dan khawatir. "Di antaranya terdapat Thio-piauthau, Go-piauthau dan lain-lain, jenazah-jenazah itu sekarang berada di ruangan tengah."

Tanpa bicara lagi, Cin-lam lantas menuju ke ruang tengah dengan langkah lebar. Tertampaklah meja kursi di ruang besar itu sudah disingkirkan, sebagai gantinya 17 sosok jenazah telah membujur di situ secara berjajar-jajar.

Biarpun selama hidup Lim Cin-lam sudah banyak mengalami damparan gelombang badai, tetapi sekonyong-konyong menyaksikan adegan yang demikian ini, mau tak mau kedua tangannya rada gemetar juga, kedua kaki pun terasa lemas dan hampir-hampir tak sanggup berdiri tegak. "Seb ... sebab ...." demikian ia ingin tanya, tapi tenggorokan serasa kering dan sukar mengeluarkan suara.

Tiba-tiba terdengar pula di luar ada orang berkata, "Ai, Ko-piauthau biasanya sangat jujur dan baik hati, siapa nyana jiwanya juga kena direnggut setan jahat."

Maka tertampaklah beberapa orang penduduk tetangga telah menggotong masuk sesosok jenazah dengan daun pintu, seorang setengah umur di antaranya lantas berkata, "Waktu membuka pintu tadi mendadak hamba melihat sesosok tubuh menggeletak di tengah jalan, kemudian dapat dikenali sebagai Ko-piauthau dari

perusahaan kalian. Mungkin dia terkena penyakit menular atau kemasukan setan, maka sengaja kami antar pulang ke sini."

"Terima kasih, terima kasih!" sahut Cin-lam sambil memberi hormat. Lalu katanya kepada seorang pegawainya, "Para tetangga yang baik hati ini masing-masing boleh dipersen tiga tahil perak, lekas, pergi mengambil pada kasir."

Namun sebelum menerima hadiah, demi tampak di tengah ruangan situ sudah penuh mayat, lekas-lekas saja para tetangga itu sudah mohon diri lebih dahulu.

Tidak lama kemudian, kembali ada orang mengantar pulang tiga-empat sosok jenazah para Piausu yang lain. Cin-lam coba menghitung jumlah korban itu, semalam dia telah mengirim keluar 23 orang, sekarang sudah ada 22 sosok jenazah, hanya ketinggalan mayat Ci-piausu saja yang belum diketemukan. Namun hal ini terang hanya soal waktu saja.

Ia kembali ke kamarnya, diminumnya secangkir teh panas, tapi perasaannya kusut dan sukar ditenangkan. Tiba-tiba Peng-ci datang memberi tahu, "Ayah, ada seorang Ang-suya dan seorang Pi-lothau dari kantor kabupaten ingin bertemu padamu."

Sebenarnya Cin-lam tidak ingin terima tamu, tapi mengingat tempatnya telah jatuh korban jiwa sebanyak ini, kalau dari kantor pemerintah ada petugas yang datang, mau tak mau mereka harus ditemui juga.

Begitulah, terpaksa ia keluar untuk melayani tamu-tamu itu, tapi sama sekali ia tidak menyinggung tentang ada orang datang menuntut balas sehingga terjadi urusan, ia hanya mengatakan besar kemungkinan berjangkit penyakit pes atau penyakit menular yang lain sehingga banyak di antara pegawainya telah ikut menjadi

korban.

Tapi orang she Pi yang bertugas sebagai opas itu lantas berkata, "Congpiauthau, maafkan jika aku dianggap usil mulut, namun kukira sebaiknya engkau lekas pergi mengundang seorang ahli nujum dan coba tanya dia

sebab apakah tempat kediamanmu ini tidak selamat, apakah karena arahnya tidak betul atau waktunya tidak cocok atau sebab lainnya."

Sedangkan Ang-suya, juru tulis kabupaten, lantas menanggapi, "Ya, apa yang dikatakan Pi-loji memang tidak salah. Selamanya Congpiauthau mengusahakan pengawalan tentu tidak terhindar dari menimbulkan korban jiwa. Nasib orang sering kali susah diduga, boleh jadi tahun ini Congpiauthau lagi apes sehingga setan iblis pun datang menggoda. Sebaiknya panggil saja serombongan Hwesio atau Tosu untuk mengadakan kenduri dan melenyapkan sial, kerja demikian tentu tidaklah sukar untuk dilaksanakan."

Cin-lam merasa sebal melayani mereka, sambil mengiakan secara tak acuh ia lantas suruh orang pergi mengambil 100 tahil perak untuk dibagikan kepada kedua petugas pemerintah itu.

Akan tetapi opas Pi itu menolak, katanya dengan tertawa, "Congpiauthau adalah kawan sendiri, kedatangan kami hanya main-main saja, toh bukan menyelidiki perkara, mana boleh kami minta uang? Pula perkara jiwa sebanyak ini, andaikan kami diharuskan menanggung perkara ini rasanya juga tidak mau terima uang yang sedikit ini. Betul tidak? Hahahaha!"

Sungguh dalam hati Cin-lam gusar tak terkatakan, pikirnya, "Kurang ajar! Hanya seorang opas keroco saja berani menggunakan kesempatan ini untuk memeras padaku? Hm, aku Lim Cin-lam kalau mau membunuh seorang opas kecil sebagai kau adalah seperti memites mati seekor semut saja."

"Ah, ucapan adik Pi terlalu sembrono, hendaklah Lim-congpiauthau jangan marah," demikian Ang-suya lantas mengipasi dengan tertawa. "Perkara ini dibilang besar memang tidak besar, dikatakan kecil sesungguhnya juga tidak kecil, tentu pihak atasan akan tetap mengusut. Cuma Congpiauthau boleh jangan khawatir, dalam urusan dinas paling tidak hamba masih dapat memberi bantuan, asalkan sehelai laporan singkat menyatakan di sini telah terjadi penyakit menular, maka segala apa akan menjadi beres dan habis perkara."

"Ya, betul juga, supaya sama-sama tidak repot," ujar Cin-lam. Segera ia suruh orang mengambil pula 100 tahil perak. Dengan demikian barulah kedua orang she Pi dan Ang itu merasa puas, setelah mengucapkan terima kasih mereka lantas mohon diri.

Waktu Cin-lam mengantar keluar, dilihatnya kedua tiang benderanya sudah diangkat seluruhnya dari tempat altar, hatinya menjadi tambah kesal. Sampai saat ini musuh sudah membinasakan lebih dari 20 orang Piaukiok, tapi masih tetap tidak unjuk muka, juga belum menantang secara terang-terangan dan memperkenalkan diri. Ia menoleh dan memandang papan merek Hok-wi-piaukiok yang terpasang di atas pintu itu. Pikirnya, "Hok-wi-piaukiok sudah beberapa puluh tahun malang melintang di dunia Kangouw, siapa duga hari ini akan hancur di tanganku?"

Mendadak terdengar suara derapan kuda dari jalan raya sana, beberapa ekor kuda dengan perlahan-lahan sedang mendatangi. Waktu Cin-lam membalik tubuh, dilihatnya seluruhnya ada empat ekor kuda, semuanya tanpa penunggang, tapi di punggung kuda-kuda itu ada orang tengkurap secara melintang. Diam-diam Cin-lam sudah dapat menerka beberapa bagian, cepat ia memapak maju. Benar juga, empat tubuh yang melintang di atas kuda itu adalah mayat semua dan dikenali adalah Tio, Ciu, Pang dan Ciang-piauthau yang kemarin ditugaskan pergi mengejar Su-piauthau itu, terang mereka terbunuh di tengah jalan, lalu mayat mereka ditaruh melintang di atas kuda, karena kuda-kuda itu kenal jalanan dan sekarang telah pulang sendiri. Waktu Cin-lam periksa jenazah-jenazah itu, semuanya juga tiada tanda terluka apa-apa, senjata dan uang yang dibawa para Piauthau itu pun tiada yang kurang.

Dan baru saja Cin-lam menyuruh usung keempat jenazah itu ke dalam rumah, tiba-tiba datang lagi seorang pengemis berbaju compang-camping dan menggendong satu orang. Dari pakaiannya Cin-lam mengenali orang yang digendong itu adalah Ci-piausu. Diam-diam ia membatin, "Sekarang seluruh jenazah sudah lengkap kembali semua."

Segera ia memberi tanda kepada seorang tukang kawal yang berdiri di sebelahnya agar menyelesaikan urusan-urusan di situ, lalu ia putar tubuh masuk ke dalam.

Sekonyong-konyong terdengar Ci-piauthau berseru dengan suara lemah, "Cong ... Congpiauthau, dia ... dia suruh aku ...."

Cin-lam terkejut dan girang pula, cepat ia berpaling dan mendekati sambil berkata, "Ci-hiante, kiranya engkau tidak mati."

Waktu Ci-piauthau diangkat bangun, tertampak kedua matanya tertutup rapat dan mulut masih mendesiskan kata-kata, "Dia suruh aku me ... menyampaikan padamu bahwa ... bahwa Siaupiauthau ...."

"Ya, ya, Siaupiauthau kenapa?" Cin-lam menegas.

"Bahwa Siaupiauthau akan ... akan ... akan ...." berulang-ulang Ci-piauthau hendak menyambung ucapannya, akan tetapi napasnya sudah kempas-kempis dan tidak kuat lagi, setelah badan berkejang dan berkelojotan sejenak, lalu putus napasnya.

Cin-lam menghela napas panjang, air mata pun bercucuran dan menetes di atas tubuh Ci-piauthau yang sudah tak bernyawa itu.

Sambil memondong jenazah itu ke dalam, Cin-lam berkata, "Ci-hiante, aku bersumpah takkan menjadi manusia jika tidak membalaskan sakit hatimu. Cuma sayang ... sayang kau mangkat terlalu cepat dan tidak sempat mengatakan nama pihak musuh."

Sebenarnya Ci-piauthau itu tiada sesuatu yang menonjol di dalam Piaukiok, juga tiada sesuatu hubungan istimewa dengan Cin-lam, soalnya hati Cin-lam saking terharu sehingga meneteskan air mata, padahal rasa gusar lebih banyak daripada rasa dukanya.

Ia lihat Ong-hujin sedang berdiri di depan ruangan sambil memegang golok emas, tangan kanan menuding ke arah pelataran dan sedang memaki, "Kawanan bangsat yang rendah, hanya pandai main sembunyi-sembunyi dan mencelakai orang secara menggelap. Jika memang orang gagah dan kesatria sejati seharusnya datang ke Hok-wi-piaukiok secara terang-terangan, marilah kita bertempur secara blak-blakan, tapi pintarnya cuma main sergap dan kasak-kusuk seperti kawanan tikus, kaum pengecut demikian apakah bisa dianggap sebagai orang persilatan?"

"Niocu (istriku), apakah kau melihat sesuatu yang mencurigakan?" tanya Cin-lam dengan suara tertahan sambil meletakkan jenazah Ci-piauthau ke atas tanah.

"Justru karena tidak melihat apa-apa," kata Ong-hujin dengan suara keras. "Kawanan bangsat anjing itu tentu takut pada 17 jurus Pi-sia-kiam-hoat dan 108 gerakan Hoan-thian-ciang kita serta ...." ia putar golok emasnya dan menebas sekali ke udara, lalu menyambung, "takut juga kepada golok emas nyonya besar ini!"

Pada saat itulah mendadak terdengar di ujung atap rumah sana ada suara orang mendengus, berbareng sebentuk senjata gelap terus menyambar tiba dengan membawa suara mendenging. "Trang", golok emas Ong-hujin tepat kena tertimpuk. Seketika nyonya itu merasa tangan kesemutan, golok terlepas dari cekalan, bahkan terus terpental ke pelataran.

Tanpa bicara lagi Cin-lam terus mengayun tangannya, kontan dua titik perak menyambar ke pojok atap sana, menyusul sinar hijau berkelebat, pedang dilolos pula, sekali lompat ia sudah berada di wuwungan rumah, dengan gerakan "Sau-thong-kun-mo" (menyapu bersih kaum iblis), di mana sinar pedang memancar, dengan cepat ia menusuk ke tempat datangnya senjata gelap musuh tadi.

Sudah beberapa hari Cin-lam menahan dongkolnya dan selama itu belum pernah melihat bayangan musuh, sekarang ada kesempatan berhadapan dengan musuh yang dinanti-nantikan, maka jurus serangannya itu dilontarkan dengan sepenuh tenaga, sedikit pun tidak memberi ampun.

Siapa duga tusukannya itu ternyata mengenai tempat kosong, pojok wuwungan situ ternyata kosong

melompong, tiada bayangan seorang pun. Sekali loncat segera Cin-lam melayang ke wuwungan rumah sebelah timur yang lebih tinggi, tapi bayangan musuh tetap tidak kelihatan. Dalam pada itu Ong-hujin dan Peng-ci juga sudah memburu tiba untuk memberi bantuan.

Karena senjatanya dipukul jatuh oleh senjata rahasia musuh, keruan Ong-hujin berjingkrak-jingkrak gusar, teriaknya murka, "Hayo, kawanan bangsat anjing, kalau berani keluarlah untuk bertempur mati-matian, hanya main sembunyi terhitung anak anjing macam apa itu?"

rupanya.

Namun Cin-lam hanya menggeleng kepala saja, sahutnya dengan suara perlahan, "Jangan bersuara keras supaya tidak mengejutkan orang lain!"

Setelah mereka bertiga mengelilingi dan mencari seputar wuwungan rumah dan tetap tidak menemukan jejak musuh, akhirnya mereka melompat kembali ke pelataran rumah sendiri.

"Sungguh gila, sampai-sampai dua batang panahku juga kena ditangkap musuh, tapi bayangannya saja tiada kelihatan, benar-benar luar biasa," kata Cin-lam dengan suara rendah.

"Bisa demikian?" baru sekarang Ong-hujin terkejut.

"Dengan senjata gelap apakah golokmu tertimpuk?" tanya Cin-lam. "Entah, bangsat benar!" maki Ong-hujin.

Segera kedua orang memeriksa sekitar pelataran dan tidak tampak sesuatu senjata rahasia musuh yang jatuh tadi. Hanya di bawah pohon sana banyak tersebar pasir-pasir batu bata yang lembut. Nyatalah bahwa musuh telah menggunakan sepotong kecil bata untuk menyambit golok Ong-hujin. Hanya sepotong kecil batu bata saja membawa tenaga sekuat itu, sungguh mengagumkan dan menyeramkan pula.

Kalau semula Ong-hujin masih mencaci maki, sesudah menyaksikan remukan batu bata di bawah pohon itu, rasa gusarnya tadi tanpa terasa berubah menjadi jeri. Ia termangu-mangu sejenak, tanpa bicara lagi kemudian ia masuk ke kamar.

Sesudah sang suami dan putranya juga sudah ikut masuk, cepat-cepat ia lantas menutup pintu kamar, katanya dengan suara bisik-bisik, "Kepandaian musuh terlalu lihai, kita bukan tandingannya, lantas ... lantas bagaimana ...."

"Urusan sudah kadung begini, terpaksa kita harus minta bantuan kepada sahabat," kata Cin-lam. "Saling membantu di waktu menghadapi kesukaran adalah soal jamak di dalam dunia persilatan."

"Ya, sahabat baik kita memang tidak sedikit, tapi orang yang berkepandaian lebih tinggi daripada kita hanya terbatas beberapa orang saja," ujar Ong-hujin. "Jika orang yang berkepandaian lebih rendah dari kita, andaikan diundang membantu juga tiada gunanya."

"Betul juga pendapatmu," kata Cin-lam. "Tapi orang banyak tentu akan punya pikiran banyak pula, tiada jeleknya jika kita berunding dengan para kawan."

"Habis siapa saja yang akan kau undang?" tanya sang istri.

"Kita mengundang yang berdekatan dahulu, seperti para jago yang terdapat di kantor cabang Hangciu, Lamjiang dan Kwiciu, habis itu baru para kawan dunia persilatan di daerah Hokkian, Ciatkang, Kwitang dan Kangsay dapat kita undang pula, misalnya Tan-lokunsu di Unciu, Kio It-liong di Coanciu dan Ho Tiong, Ho-jiko dari Ciangciu, semuanya dapat kita kirim undangan."

"Cara minta bala bantuan begini, kalau sampai tersiar di luaran benar-benar akan sangat merosotkan pamor Hok-wi-piaukiok," ujar Ong-hujin dengan mengerut kening.

"Niocu, tahun ini kau berusia 39 tahun bukan?" tiba-tiba Cin-lam bertanya.

"Cis, dalam keadaan demikian kau masih tanya umurku segala?" semprot sang istri. "Aku shio Hou (macan), masakah kau lupa umurku berapa?"

"Ya, aku akan mengirimkan kartu undangan dengan alasan akan merayakan ulang tahunmu yang ke 40 ...." "Hus, tanpa sebab apa-apa kenapa usiaku ditambah satu tahun? Memangnya kau kira aku belum cukup lekas tua?"

alasan saja supaya tidak dicurigai orang. Sesudah para teman berkumpul, diam-diam kita lantas

memberitahukan maksud tujuan kita, dengan demikian nama baik Piaukiok kita tidak sampai tercemar." "Baiklah, terserah padamu. Dan hadiah apa yang akan kau berikan pada ulang tahunku?"

"Hadiah paling berharga, yaitu tahun depan kita akan mempunyai seorang putra yang gemuk!" bisik Cin-lam di telinga sang istri.

"Cis, sudah tua masih omong tak genah," omel Ong-hujin dengan muka merah.

Cin-lam tertawa sambil tinggal pergi ke kantor untuk menyuruh juru tulis menyiapkan kartu undangan. Padahal perasaannya juga sangat tertekan, dia sengaja bergurau pada istrinya untuk sekadar mengurangi rasa gelisah sang istri.

Diam-diam ia pun menimbang dalam hati, "Air di tempat jauh susah memadamkan kebakaran di tempat dekat. Malam ini juga di dalam Piaukiok tentu akan terjadi apa-apa lagi, bila mesti menunggu datangnya kawan-kawan yang diundang entah setiba mereka nanti Hok-wi-piaukiok ini masih berdiri di dunia atau tidak?" Setiba di depan kamar kantor, tiba-tiba tertampak dua orang pesuruh menyambutnya dengan air muka pucat ketakutan, kata mereka, "Wah, ce ... celaka, Cong ... Congpiauthau!"

"Ada apakah?" tanya Cin-lam dengan hati berdebar.

"Tadi tuan kasir menyuruh Lim Hok pergi membeli peti mati, tapi ba ... baru saja sampai di pengkolan gang sana, Lim Hok lantas roboh dan mati," kata salah seorang pesuruh.

"Bisa terjadi demikian? Dan di manakah dia?" Cin-lam menegas. "Masih ... masih di pengkolan gang sana," kata pesuruh itu.

"Coba pergi mengusung pulang jenazahnya," perintah Cin-lam. Diam-diam ia merasa sangat penasaran dan penuh dendam, ternyata di siang hari bolong musuh pun berani mengganas di tempat ramai.

Kedua pesuruh itu mengiakan, akan tetapi tidak menggeser selangkah pun. "Kenapa sih?" desak Cin-lam.

Terpaksa seorang pesuruh berkata dengan suara gemetar, "Si ... silakan Congpiauthau pergi ... pergi melihatnya sendiri."

Cin-lam tahu tentu telah terjadi sesuatu yang ganjil lagi. Sambil menjengek sekali ia lantas melangkah ke pintu gerbang. Tenyata di ambang pintu sudah berdiri tiga orang Piausu dan lima orang tukang kawal, dengan muka pucat ketakutan mereka sedang memandang ke luar pintu sana.

"Ada apakah?" tanya Cin-lam cepat. Tapi sebelum ada jawaban ia sudah tahu apa yang terjadi.

Kiranya di atas balok batu di depan pintu sana telah ditulis orang dengan darah sebanyak enam huruf besar yang berbunyi: "Keluar pintu lebih sepuluh langkah mati!"

Selain itu, kira-kira sepuluh langkah dari pintu tergaris pula satu jalur merah darah selebar dua-tiga senti dan panjang melintang.

"Sejak kapan orang menulis di situ? Apakah tiada seorang pun yang melihatnya?" tanya Cin-lam.

"Karena tadi Lim Hok diketahui mati di ujung gang sana, maka beramai-ramai kami telah mengerumun ke sana sehingga di depan pintu sini tiada seorang pun. Entah siapakah yang bergurau dan sengaja menulis demikian ini?"

Dengan penasaran Cin-lam lantas berteriak keras-keras, "Ini dia orang she Lim sudah bosan hidup, maka dia ingin tahu 'keluar pintu lebih sepuluh langkah mati' cara bagaimana jadinya!"

Habis itu dengan langkah lebar ia terus bertindak ke depan sana. "He, Congpiauthau!" seru beberapa orang Piausu itu berbareng.

Namun Cin-lam tidak peduli lagi, langsung ia melangkahi garis merah darah itu. Dilihatnya huruf darah itu masih basah, segera ia gunakan kakinya untuk menghapus keenam huruf itu sehingga tak bisa dibaca lagi, kemudian barulah ia kembali. Katanya kepada para Piausu, "Ini hanya permainan gertak sambal saja, kita sudah biasa berkecimpung di Kangouw, kenapa mesti takut? Silakan kalian pergi membeli peti mati, sekalian mampir di Thian-ling-si untuk memanggil Hwesio-hwesio di sana supaya datang kemari mengadakan

sembahyangan selama beberapa hari."

Ketiga Piausu itu menyaksikan sang pemimpin melalui garis darah itu dan tetap selamat tak kurang apa pun, segera mereka pun tidak takut lagi, sambil mengiakan mereka lantas betulkan pakaian dan siapkan senjata, lalu keluar bersama. Cin-lam menyaksikan mereka sudah melampaui garis darah itu dan sudah membelok ke jalan sana, habis itu barulah ia masuk ke dalam.

Sampai di kantor, ia berkata kepada juru tulis Wi-siansing agar menulis beberapa kartu undangan kepada para sobat handai agar datang ikut merayakan ulang tahun sang istri. Dan baru saja juru tulis itu menanyakan hari ulang tahunnya serta alamat para tamu yang akan diundang, sekonyong-konyong terdengar suara orang berlari mendatangi, cepat Cin-lam menoleh, tahu-tahu seorang telah roboh tidak jauh dari tempatnya. Dengan terkejut Cin-lam memburu maju untuk memeriksanya, kiranya orang itu adalah Tik-piauthau, salah seorang Piausu yang disuruh pergi membeli peti mati tadi. Badan Tik-piauthau terasa masih berkelojotan, cepat Cin-lam membangunkannya dan bertanya, "Tik-hiante, ada apakah?"

"Me ... mereka sudah mati semua, ha ... hanya aku saja yang dapat berlari pulang," sahut Tik-piauthau dengan suara lemah.

"Bagaimana macamnya musuh?" tanya Cin-lam lagi.

"En ... entah, tidak ... tidak ...." hanya sekian jawaban Tik-piauthau, lalu badannya berkejangan sejenak terus putus napasnya.

Kejadian itu hanya sebentar saja sudah diketahui oleh semua orang di dalam Piaukiok. Ong-hujin dan Peng-ci juga lantas keluar. Terdengar setiap orang secara bisik-bisik sedang saling membicarakan tentang tulisan

Dalam dokumen Pendekar Hina Kelana (Halaman 26-42)