• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jing-sia-pay Ternyata Pernah Dikalahkan Pi-sia-kiam-hoat

Dalam dokumen Pendekar Hina Kelana (Halaman 74-82)

"Lak-kau-ji, ingin kutanya kau, pada waktu Toasuko berteriak-teriak tentang 'empat binatang dari Jing-sia', tatkala itu kau ikut-ikut berteriak atau tidak?" demikian tanya seorang Suhengnya yang berbadan gede. "Haha, jika begitu cara teriakan Toasuko, sudah tentu aku ikut-ikut memberi suara," sahut Liok Tay-yu. "Memangnya kau malah ingin aku membantu pihak Jing-sia-pay dan memaki Toasuko?"

"Jika begitu hukuman rangket Suhu atas dirimu itu sedikit pun tidak keliru," ujar si badan gede.

"Ya, peringatan Suhu terhadap Toasuko itu memang perlu juga diingat baik-baik oleh kita semua," kata si kakek pula. "Menurut Suhu, banyak orang persilatan memang suka memakai julukan yang muluk-muluk dan

berlebihan, tapi masakah kita dapat mengurusnya satu per satu? Orang mau menyebut dirinya sebagai 'kesatria' atau 'pahlawan' boleh biarkan saja, buat apa ambil pusing. Tentang perbuatannya, tingkah lakunya, apakah betul-betul kesatria atau pahlawan atau cuma 'jual kecap' melulu, tentu orang persilatan umumnya akan memberi penilaian sendiri, kita tidak perlu ambil tindakan sendiri-sendiri."

Semua orang mengiakan uraian sang Jisuko. Maka dengan tersenyum kakek itu meneruskan, "Setelah kejadian Hau-Jin-eng dan Ang Jin-hiong dihajar oleh Toasuko, tentu saja hal mana bagi Jing-sia-pay merupakan suatu hinaan besar dan sangat memalukan, maka sama sekali mereka tidak berani membicarakannya, bahkan anak murid mereka sendiri jarang yang mengetahui kejadian itu. Suhu juga wanti-wanti memperingatkan kita agar jangan menyiarkan kejadian itu keluar untuk menghindari percekcokan kedua pihak. Maka selanjutnya kita pun jangan membicarakannya lagi, awas kalau didengar orang luar dan disiarkan."

"Ah, padahal kepandaian Jing-sia-pay kukira juga cuma membual belaka," ujar Liok Tay-yu. "Biar kita menyalahi mereka juga tidak menjadi soal ...."

"Laksute," bentak si kakek, "jika kau sembarangan omong lagi, awas kalau kulaporkan kepada Suhu, tentu kau akan terima rangketan lagi. Dapatnya Toasuko menggulingkan kedua lawan dengan gerakan 'Pah-bwe-kah', pertama adalah karena pihak mereka sama sekali tidak siap, kedua, Toasuko adalah jago muda yang paling menonjol dari golongan kita yang sukar dibandingi orang lain. Coba kau sendiri saja, apakah kau mampu menendang orang sehingga terguling ke bawah loteng?"

Liok Tay-yu melelet-lelet lidah, jawabnya, "Ya, jangan bandingkan Toasuko dengan aku, dong!"

"Maka dari itu janganlah kita tinggi hati. Ih-koancu, ketua Jing-sia-pay, sesungguhnya adalah tokoh pilihan di dunia persilatan pada zaman ini, siapa berani memandang enteng padanya tentu akan merasakan akibatnya," kata si kakek dengan sungguh-sungguh. "Kau, Siausumoay, kau sudah pernah melihat Ih-koancu, coba bagaimana pendapatmu tentang dia?"

"Tentang Ih-koancu maksudmu?" si nona menegas. "Aku ... aku menjadi takut bila melihatnya. Lain ... lain kali aku tidak ingin melihat dia lagi."

"Bagaimana sih macamnya Ih-koancu itu sehingga Siausumoay kita sampai ketakutan padanya? Apakah mukanya sangat bengis dan jahat?" tanya Liok Tay-yu.

Anak dara itu agaknya masih merasa ngeri, maka badannya agak mengkeret dan tidak menjawab pertanyaannya.

Si kakek lantas menyambung ceritanya, "Karena Toasuko masih belum juga datang, daripada iseng biarlah kuceritakan sekalian dari awal mula. Sesudah kita mengetahui seluk-beluk urusan ini, kelak bila bertemu dengan orang-orang Jing-sia-pay dapatlah kita dapat berjaga-jaga sebelumnya dan tahu bagaimana cara bagaimana menghadapi mereka. Hari itu sesudah Suhu terima suratnya Ih-koancu, dengan marah beliau lantas memberi hukuman rangket kepada Toasuko dan Laksute. Besoknya beliau lantas menulis surat balasan dan menyuruh aku mengantarkannya ke Jing-sia-san ...."

"O, makanya hari itu kau turun gunung dengan tergesa-gesa, kiranya kau diutus pergi ke Jing-sia?" seru beberapa Sutenya.

"Benar," sahut si kakek. "Suhu suruh aku jangan mengatakan kepada kalian supaya tidak timbul hal-hal yang tak diinginkan."

"Hal-hal yang tak diinginkan apa sih? Itu kan cuma pikiran Suhu yang biasanya memang sangat hati-hati," ujar Liok Tay-yu.

"Kau tahu apa?" omel Samsuhengnya. "Bila Jisuko mengatakan padamu, tentu kau akan usil mulut dan

menyampaikannya pula kepada Toasuko. Andaikan Toasuko tidak berani membangkang perintah Suhu, tapi dia tentu akan menggunakan akal aneh-aneh untuk mengacau pihak Jing-sia-pay."

"Benar juga ucapan Samte," kata si kakek. "Toasuko mempunyai banyak sekali sahabat Kangouw, untuk melakukan sesuatu tidak perlu mesti dia sendiri yang melaksanakannya. Menurut Suhu, dalam surat mengatakan kedua murid yang nakal telah diberi hukuman yang setimpal, mestinya akan dipecat dari

telah terjadi keretakan, maka sekarang kedua murid nakal itu sudah diberi hukum rangket sehingga tidak mampu berjalan, sebab itulah sengaja menyuruh Jitecu bernama Lo Tek-nau untuk minta maaf. Urusan yang ditimbulkan oleh murid nakal ini hendaklah Ih-koancu mengingat hubungan baik kedua pihak dan janganlah marah dan macam-macam ucapan merendah lagi."

Mendengar uraian isi surat itu, diam-diam Peng-ci membatin, "Hubungan Hoa-san-pay kalian dan Jing-sia-pay ternyata sangat akrab, pantas nona burik itu tidak mau menyalahi mereka hanya untuk membela aku dan ayah saja."

Dalam pada itu si kakek yang bernama Lo Tek-nau telah meneruskan ceritanya, "Sesampainya aku di Jing-sia-san, masih mendingan si Hau Jin-eng itu, yang kurang ajar adalah si Ang Jin-hiong, beberapa kali dia mengejek dan mencemooh, bahkan menantang aku untuk berkelahi ...."

"Keparat! Labrak saja, takut apa, Jisuko? Masakah keparat she Ang itu mampu menandingi kau?" seru Liok Tay-yu dengan gemas.

"Tapi Suhu menyuruh aku ke Jing-sia-san untuk meminta maaf dan bukan untuk mencari perkara," sahut Lo Tek-nau. "Maka sedapat mungkin aku hanya bersabar saja. Aku menunggu enam hari di sana, sampai hari ketujuh barulah Ih-koancu menemui aku."

"Hm, lagaknya!" omel Liok Tay-yu. "Selama enam hari enam malam itu tentu engkau sangat tersiksa, Jisuko." "Ya, sudah tentu aku kenyang disindir dan diejek," sahut Lo Tek-nau. "Syukurlah aku cukup sadar akan tugas yang dibebankan Suhu kepadaku, bahwasanya aku yang diutus ke Jing-sia bukan lantaran ilmu silatku melebihi orang lain, beliau tahu usiaku paling tua dan jauh lebih sabar daripada para Sute. Sesudah menemui aku, Ih-koancu juga tidak bilang apa-apa, dia hanya menghibur aku beberapa patah, malamnya lantas mengadakan perjamuan untukku. Besok paginya dia sendiri yang mengantar keberangkatanku, sedikit pun tidak kurang adat. Tapi mereka tidak menduga bahwa selama enam hari aku dibiarkan tinggal di Siong-hong-koan mereka tanpa digubris sesungguhnya malah merugikan mereka sendiri.

"Karena aku belum dapat bertemu dengan Ih-koancu, dengan sendirinya aku menjadi menganggur saja. Hari ketiga pagi-pagi sekali aku telah bangun dan keluar jalan-jalan, sampai di lapangan berlatih di belakang kuil mereka itu, terlihat ada beberapa puluh murid Jing-sia-pay sedang latihan. Kita mengetahui orang Bu-lim paling pantang kalau mengintip orang lain yang sedang berlatih, maka cepat-cepat aku memutar balik ke kamar. Akan tetapi hanya sekilas pandang itu saja aku sudah lantas timbul rasa curiga. Kulihat beberapa puluh murid Jing-sia-pay itu semuanya menggunakan pedang dan sedang berlatih sesuatu ilmu pedang baru, sebab tampaknya gerakan mereka masih kaku. Cuma sekilas saja aku pun tidak jelas ilmu pedang apa yang mereka latih itu.

"Sepulangnya di kamar, hatiku semakin curiga. Aku tidak habis mengerti mengapa murid-murid Jing-sia-pay itu tanpa kecuali sekaligus telah latihan bersama sebuah ilmu pedang. Apalagi di antara mereka juga termasuk empat tokoh muda yang terkenal sebagai Jing-sia-su-siu, yaitu Hau Jin-eng, Ang Jin-hiong, Uh Jin-ho dan Lo Jin-kiat. Coba para Sute, jika kalian yang memergoki keadaan begitu, bagaimana dugaan kalian?"

"Mungkin Jing-sia-pay baru menciptakan semacam ilmu pedang," ujar orang pembawa Swipoa.

"Semula aku pun berpikir begitu," sahut Lo Tek-nau. "Tapi setelah kupikir lagi kukira tidak tepat. Ilmu pedang Ih-koancu sudah cukup terkenal, jika dia berhasil menciptakan ilmu pedang baru, maka ilmu pedang ini pasti luar biasa dan tidaklah mungkin serentak diajarkan kepada semua muridnya tanpa membedakan tingkatan. Paling-paling dia cuma pilih dua-tiga muridnya yang paling pandai untuk melatihnya. Maka pagi hari berikutnya kembali aku memutar ke belakang kuil lagi, lewat di lapangan berlatih, kembali kulihat mereka masih latihan ilmu pedang. Sekilas pandang pula aku dapat mengingat baik-baik dua jurus di antaranya dengan maksud sepulangnya di Hoa-san akan kuminta keterangan kepada Suhu. Maklumlah aku menjadi curiga jangan-jangan Jing-sia-pay hendak memusuhi Hoa-san-pay kita, bukan mustahil ilmu pedang mereka yang baru itu khusus akan ditujukan untuk mengalahkan kita, untuk mana kita harus siap siaga sebelumnya."

"Jisuko, apakah tidak mungkin mereka sedang berlatih semacam Kiam-tin (barisan pedang)?" tiba-tiba si badan gede ikut tanya.

"Hal ini pun sangat mungkin. Cuma dari cara latihan mereka itu kukira bukanlah sebuah Kiam-tin apa-apa," sahut Lo Tek-nau. "Ketika esok paginya aku pura-pura lalu di lapangan latihan itu, namun keadaan sunyi

senyap tiada seorang pun. Kutahu mereka sengaja menghindari aku, maka rasa curigaku semakin menjadi. Malamnya selagi aku hampir pulas, tiba-tiba dari jauh terdengar suara saling benturnya senjata. Aku terkejut, apakah Siong-hong-koan mereka telah kedatangan musuh? Pikiranku yang timbul pertama adalah: jangan-jangan Toasuko yang sengaja menyatroni mereka karena merasa dendam habis dimarahi Suhu? Jika demikian halnya, seorang diri tentu Toasuko sukar melawan orang banyak, aku harus keluar untuk membantunya. Karena aku tidak membawa senjata, terpaksa dengan bertangan kosong aku lantas keluar ...."

"Wah, tabah benar, Jisuko," puji Liok Tay-yu alias Lak-kau-ji. "Jika aku tentu tidaklah berani melawan Ih Jong-hay, ketua Jing-sia-pay itu dengan bertangan kosong".

"Kau omong melantur saja, monyet," semprot Lo Tek-nau. "Aku toh tidak mengatakan akan menempur Ih-koancu. Aku cuma khawatirkan keselamatan Toasuko, biarpun berbahaya juga terpaksa ikut maju. Memangnya kau suruh aku enak-enak tidur dan mengkeret di dalam selimut seperti kura-kura?"

Mendengar itu, para Sutenya lantas bergelak tertawa.

Liok Tay-yu menyengir, sahutnya, "Aku kan memuji kau, kenapa kau marah malah?" "Terima kasih saja, pujianmu itu tidak enak didengar," ujar Lo Tek-nau.

"Sudahlah Jisuko, lanjutkan saja ceritamu, jangan gubris Lak-kau-ji yang mengacau melulu itu," kata Sute-sutenya yang lain.

"Ya, maka diam-diam aku lantas keluar dari kamar, kudengar suara senjata itu makin lama makin ramai, hatiku semakin berdebar juga. Kedengaran suara senjata itu datang dari ruangan belakang, terlihat pula di balik jendela ruangan belakang itu memang terang benderang, segera aku menuju ke sana. Waktu kuintip ke dalam ruangan melalui celah-celah jendela, maka legalah hatiku. Kiranya curigaku itu tidaklah beralasan, hanya lantaran Ih-koancu tidak menemui aku sampai beberapa hari, maka aku selalu berpikir hal-hal yang buruk. Ternyata di dalam ruangan pendopo belakang itu ada dua pasangan sedang bertanding pedang, yang satu partai adalah Hau Jin-eng melawan Ang Jin-hiong, partai lain adalah Pui Jin-ti melawan Uh Jin-ho." "Wah, giat amat anak murid Jing-sia-pay itu, sampai malam hari juga berlatih," Liok Tay-yu mengolok-olok. Lok Tek-nau melototinya sekali, lalu menyambung dengan tersenyum, "Kulihat di tengah ruangan itu duduk seorang Tojin pendek kecil berjubah hijau, usianya sekitar 50-an tahun, mukanya kurus ciut, melihat

macamnya itu bobot badannya paling-paling cuma 60-70 kati saja. Orang-orang Bu-lim memang mengetahui ketua Jing-sia-pay adalah seorang Tojin yang pendek dan kecil, tapi kalau tidak menyaksikan sendiri tentu tidak tahu sampai begitulah pendek dan kecilnya, apalagi percaya bahwa dia adalah Ih-koancu yang namanya termasyhur.

"Di sekeliling ruangan itu berdiri beberapa puluh anak muridnya, semuanya sedang mengikuti pertandingan ilmu pedang di tengah kalangan itu. Sesudah mengintip beberapa jurus saja aku lantas tahu bahwa ilmu pedang yang dimainkan mereka itu tak lain dan tak bukan adalah ilmu pedang yang pernah kulihat di lapangan latihan itu.

"Kutahu keadaanku waktu itu sangat berbahaya, jika sampai ketahuan orang Jing-sia-pay, bukan saja aku akan mengalami hinaan, bahkan akan merugikan nama baik perguruan kita. Peristiwa Toasuko menendang terguling kedua jago muda Jing-sia-pay itu walaupun mengakibatkan Suhu menghukum Toasuko, tapi di dalam hati Suhu mungkin juga ada perasaan senang. Sebab apa pun juga Toasuko toh sudah menonjolkan namanya, apa yang disebut Jing-sia-su-siu itu ternyata tidak tahan oleh sekali tendang murid utama Hoa-san-pay kita. Akan tetapi lain soalnya jika aku ketangkap basah selagi mengintip orang lain berlatih, maka dosaku pastilah tak

terampunkan, bukan mustahil aku akan diusir keluar dari perguruan kita.

"Namun menghadapi pertandingan orang yang menarik itu, boleh jadi ada sangkut pautnya pula dengan kepentingan Hoa-san-pay kita, masakah aku mau tinggal pergi begitu saja? Diam-diam aku berjanji hanya akan melihat beberapa jurus saja, lalu pergi. Tapi beberapa jurus ditambah beberapa jurus lagi, makin melihat makin tertarik sehingga aku tetap mengintip terus. Kulihat ilmu pedang yang dimainkan mereka itu agak aneh, tapi toh tiada sesuatu yang lihai, mengapa orang Jing-sia-pay sedemikian tekun melatihnya?

"Sesudah mengintip beberapa jurus lagi, aku tidak berani mengintip terus, perlahan-lahan aku pulang ke kamar. Kukhawatir bila pertandingan mereka sudah berhenti, dalam keadaan sunyi, asal sedikit aku bergerak

saja pasti akan diketahui oleh Ih-koancu. Maka untuk dua malam selanjutnya aku tidak berani pergi mengintip lagi. Padahal jika sebelumnya aku tahu mereka berlatih di hadapan Ih-koancu betapa pun aku tidak berani mengintipnya. Soalnya cuma secara kebetulan saja aku memergoki mereka. Maka dari itu pujian Laksute tentang ketabahanku sebenarnya aku tidak berani terima. Malam itu bila Laksute melihat mukaku yang pucat takut itu mustahil takkan mengatakan Jisukomu ini sebagai seorang pengecut nomor satu yang takut mati." "Ah, mana berani aku berkata begitu," ujar Liok Tay-yu dengan tertawa. "Paling-paling Jisuko adalah penakut yang nomor dua. Sebab bila aku yang mengintip waktu itu, aku sih tidak takut dipergoki Ih-koancu, karena saking takutnya aku tentu menjadi kaku dan tak bisa bergerak, bernapas pun tak dapat, maka tak perlu khawatir diketahui oleh Ih-koancu, tidak nanti Ih-koancu mengetahui di luar jendela ada 'tokoh' nomor satu sebagai diriku ini sedang mengintip."

Serentak tertawalah semua orang mendengar ucapan Lak-kau-ji yang lucu itu.

Lalu Lo Tek-nau melanjutkan lagi, "Akhirnya Ih-koancu menerima aku juga. Dia bicara dengan sangat sungkan, katanya hubungan Hoa-san-pay dan Jing-sia-pay biasanya sangat baik, kalau anak murid bertengkar adalah seperti anak kecil berkelahi saja, buat apa orang tua ambil pusing. Malamnya aku lantas dijamu, besoknya waktu berangkat Ih-koancu mengantar sendiri keluar Siong-hong-koan. Sebagai kaum muda waktu mohon diri sudah seharusnya aku berlutut untuk menjura padanya. Tapi baru sebelah kakiku berlutut, tangan kanan Ih-koancu sudah lantas menyanggah perlahan sehingga aku terangkat bangun.

"Tenaga Ih-koancu benar-benar luar biasa, seketika badanku terasa enteng, sedikit pun tak bisa mengeluarkan tenagaku, kalau dia mau melemparkan aku, tentu aku akan terguling-guling beberapa meter jauhnya. Dengan tersenyum dia tanya padaku, 'Toasukomu masuk perguruan lebih dahulu beberapa tahun daripadamu? Apakah kau berguru sudah memiliki ilmu silat?'

"Aku mengiakan dan mengatakan Toasuko masuk perguruan 12 tahun lebih dulu. Maka Ih-koancu tertawa lagi, katanya, 'O, jadi lebih dulu 12 tahun!'"

"Apa maksudnya dia menanyakan hal itu?" tanya si nona burik.

"Aku pun tidak tahu, cuma wajahnya sangat aneh ketika menanyakan hal itu padaku," sahut Lo Tek-nau. "Kukira dia hendak mengatakan kepandaianku toh tidak tinggi, biarpun Toasuko belajar lebih lama 12 tahun rasanya juga tidak berbeda banyak."

"Hm!" si nona mendengus, lalu tidak tanya pula.

Lo Tek-nau lantas melanjutkan, "Sepulangnya di rumah aku lalu mengaturkan surat balasan Ih-koancu kepada Suhu. Isi suratnya ternyata sangat ramah dan merendah hati. Suhu sangat senang sesudah membaca. Beliau lantas tanya padaku tentang pengalamanku di Siong-hong-koan. Kuceritakan tentang ilmu pedang yang dilatih anak murid Jing-sia-pay itu, segera Suhu suruh aku untuk mempertunjukkan jurus-jurus yang kulihat itu. Karena aku cuma ingat lima-enam jurus saja, aku lantas memainkan apa yang kuketahui itu. Sesudah melihat, Suhu lantas berkata, 'Ilmu pedang ini adalah Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim dari Hok-wi-piaukiok!'"

Hati Peng-ci tergetar mendengar ucapan terakhir itu. Untunglah orang-orang Hoa-san-pay itu lagi asyik mendengar cerita Jisuko mereka sehingga tidak memerhatikan orang-orang di sekitarnya.

Dalam pada itu terdengar Lo Tek-nau lagi menyambung, "Waktu itu aku lantas tanya Suhu, 'Apakah Pi-sia-kiam-hoat ini sangat hebat? Mengapa Jing-sia-pay mempelajarinya sedemikian tekun?'

"Namun Suhu tidak menjawab, sesudah merenung sejenak barulah beliau berkata, 'Tek-nau, sebelum berguru padaku kau sudah pernah berkelana beberapa tahun di Kangouw, apakah kau pernah mendengar orang Bu-lim memberi komentar tentang ilmu silatnya Lim Cin-lam, itu pemimpin Hok-wi-piaukiok di Hokkian itu?'

"Aku menjawab, 'Ya, menurut cerita kawan-kawan Bu-lim, katanya tangan Lim Cin-lam sangat terbuka dan suka menolong, maka setiap orang suka memberi muka padanya tanpa mengganggu barang kawalannya. Adapun mengenai kepandaiannya yang sejati sebaliknya tidak terlalu jelas.'

"Lalu Suhu berkata pula, 'Memang perkembangan Hok-wi-piaukiok beberapa tahun terakhir ini sebagian besar adalah berkat bantuan kawan-kawan Kangouw. Tapi kau tidak tahu bahwa Ih-koancu punya Suhu, yaitu Tiang-jing-cu, pada waktu mudanya pernah terjungkal di bawah Pi-sia-kiam-hoatnya Lim Wan-tho.'

"Aku tanya siapakah Lim tho itu, apakah ayahnya Lim Cin-lam. Tapi Suhu menjawab, 'Bukan, Lim Wan-tho adalah kakeknya Lim-Cin-lam. Dialah yang mendirikan Hok-wi-piaukiok. Dia punya 72 jurus Pi-sia-kiam-hoat, 108 gerakan Hoan-thian-ciang, dan 18 batang panah yang boleh dikata tiada tandingannya di kalangan Hek-to pada masa itu. Lantaran melihat Lim Wan-tho terlalu menonjol di kalangan Kangouw, ada juga kawan kalangan Pek-to yang sengaja pergi mencari dia untuk minta bertanding, lantaran itulah Tiang-jing-cu telah dikalahkan oleh Pi-sia-kiam-hoat.'

"'Jika begitu, jadi Pi-sia-kiam-hoat memang sangat lihai?' demikian tanyaku.

"Suhu menjawab, 'Tentang kalahnya Tiang-jing-cu itu kedua pihak telah tutup mulut rapat-rapat, maka orang Bu-lim tiada yang tahu. Kakek gurumu adalah sobat kentalnya cu, pada waktu bertemu Tiang-jing-cu telah menceritakan kekalahannya itu kepada beliau, katanya hal itu merupakan hinaan terbesar selama hidupnya, tapi dia pun merasa tidak dapat melawan Lim Wan-tho, dendam itu tentu sukar dibalas. Kakek gurumu pernah coba-coba mengikuti permainan Pi-sia-kiam-hoat yang diperlihatkan Tiang-jing-cu dengan maksud akan membantu dia menemukan kelemahan ilmu pedang itu.'

"Akan tetapi ke-72 jurus ilmu pedang itu memang luar biasa, tampaknya saja tiada sesuatu yang aneh, tapi di dalamnya ternyata mengandung kemukjizatan yang sukar diraba orang. Kedua orang tua itu menyelaminya sampai beberapa bulan dan tetap tidak dapat memecahkan cara mengalahkan Pi-sia-kiam-hoat. Tatkala mana

Dalam dokumen Pendekar Hina Kelana (Halaman 74-82)