• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketua Mo-kau Tonghong Put-pay

Dalam dokumen Pendekar Hina Kelana (Halaman 190-200)

Segera ia balas menghormat dan menjawab, "Jauh-jauh Hui-suheng datang kemari, mengapa tidak sudi ikut minum barang secawan arak, tapi malah sembunyi di atas rumah merasakan terik sinar matahari? Rasanya Ting-suheng dan Liok-suheng tentu juga sudah datang, boleh silakan keluar saja sekalian. Melulu menghadapi orang she Lau, seorang Hui-suheng saja sudah jauh lebih dari cukup. Tapi untuk melayani para kesatria sebanyak yang hadir di sini mungkin kawan Ko-san-pay yang datang ini masih kurang cukup."

Hui Pin tersenyum, katanya, "Buat apa Lau-suheng mengeluarkan kata-kata mengadu domba demikian? Seumpama mesti berlawanan dengan Lau-suheng sendiri, Cayhe juga tidak mampu menahan gerakan 'Siau-lok-gan-sik' Lau-suheng barusan ini. Ko-san-pay sekali-kali tidak berani merecoki Heng-san-pay, lebih-lebih tak berani memusuhi setiap kesatria mana pun yang hadir di sini ini. Soalnya urusan ini menyangkut keselamatan jiwa beribu kawan-kawan Bu-lim, maka terpaksa kami harus minta agar Lau-suheng membatalkan maksud akan 'cuci tangan di baskom emas' ini."

Kata-kata itu membuat para kesatria melengak heran semua. Mereka tidak habis mengerti ada hubungan apakah antara acara "cuci tangan" yang dilakukan Lau Cing-hong dengan para orang Kangouw? Mengapa dikatakan menyangkut keselamatan jiwa beribu kawan Bu-lim?

Benar juga. Lantas terdengar Lau Cing-hong menjawab, "Ucapan Hui-suheng tadi sungguh terlalu menjunjung tinggi padaku. Padahal orang she Lau ini hanya seorang anggota Heng-san-pay biasa saja, sebaliknya tokoh-tokoh Ngo-gak-kiam-pay tak terhitung banyaknya, apa artinya bertambah atau berkurang dengan seorang Lau Cing-hong saja? Mengapa tindakanku ini dikatakan menyangkut jiwa ribuan orang kawan Bu-lim?"

"Ya, betul," demikian Ting-yat Suthay menyambung. "Soal Lau-hiante ingin Kim-bun-swe-jiu dan mau menjadi pembesar tergolong keroco itu, untuk bicara terus terang sesungguhnya aku pun merasa hina. Cuma setiap manusia mempunyai cita-citanya sendiri-sendiri, dia suka menjadi pembesar dan ingin rezeki nomplok, asalkan tidak merugikan rakyat jelata, tidak merusak kesetiakawanan sesama orang Bu-lim, maka siapa pun tidak dapat merintangi kebebasannya. Kukira Lau-hiante juga tidak mempunyai kemampuan sebesar itu sehingga dapat membikin celaka kawan Bu-lim sedemikian banyaknya."

"Ting-yat Suthay," ujar Hui Pin, "engkau adalah orang beribadat, sudah tentu kurang paham akan tipu muslihat orang luar. Hendak maklum, bilamana intrik besar ini sampai terlaksana, bukan saja banyak kawan Bu-lim yang akan menjadi korban, bahkan juga rakyat jelata yang tak berdosa akan ikut mengalami bencana besar. Coba kalian pikir sendiri. Lau-samya dari Heng-san-pay adalah seorang tokoh termasyhur, seorang kesatria yang terkenal di Kangouw, masakah beliau sudi merendahkan diri untuk mengekor kepada kawanan pembesar anjing yang korup itu? Harta benda Lau-samya sendiri sudah cukup kaya raya, masakan beliau masih kemaruk harta dan ingin kedudukan segala? Sebab itulah sudah lama kami merasa sangsi, bahwasanya seorang tokoh sebagai Lau-samya hanya sudi menjabat pangkat sedemikian kecilnya, hal ini benar-benar terlalu aneh dan mencurigakan."

"Hahaha! Bagus, bagus!" demikian Lau Cing-hong tidak marah, berbalik ia tertawa. "Kiranya di balik persoalan ini dikatakan masih mengandung suatu intrik besar yang maharahasia. Hm, Hui-suheng, jika kau mau

memfitnah hendaklah juga perlu mencari alasan yang masuk di akal. Sebenarnya aku tidak ingin

membicarakan urusan ini, sebab kalau kukatakan sesungguhnya akan membikin malu Heng-san-pay sendiri. Tapi karena urusan sudah telanjur begini, terpaksa aku tidak dapat mengelakkan lagi, biarlah para kawan yang hadir di sini sukalah menimbang dengan adil. Nah, Ting-suheng dan Liok-suheng boleh silakan keluar saja sekalian!"

"Baik!" berbareng terdengar dari sebelah timur dan barat di atas rumah ada dua orang berseru. Bayangan kuning berkelebat, tahu-tahu dua orang sudah berdiri di depan ruangan. Ginkang kedua orang ini serupa benar dengan cara Hui Pin melompat turun tadi.

Yang berdiri di sebelah timur adalah seorang botak, botak dalam arti kata gundul kelimis tanpa seujung rambut pun, sampai-sampai batok kepalanya kelihatan mengilap. Dia adalah tokoh kedua dari Ko-san-pay, namanya Ting Tiong.

Sedangkan orang yang berdiri di sebelah barat adalah seorang kurus kering seperti orang sakit TBC, agak bungkuk lagi pucat seperti orang yang sudah lebih seminggu kelaparan. Para kesatria mengenalnya sebagai tokoh ketiga dalam Ko-san-pay yang terkenal, namanya Liok Pek, berjuluk Wi-bin Cukat atau si Cukat Liang (Khong Beng) bermuka pucat, yaitu lantaran dia sangat banyak tipu akalnya.

Ting Tiong dan Liok Pek sangat termasyhur di dunia persilatan, maka para kesatria serentak berbangkit menyambut kedatangan mereka berbareng saling mengucapkan salam hormat masing-masing. Tampaknya tokoh Ko-san-pay yang datang ini makin lama makin banyak dan makin jempolan, agaknya urusan hari ini sangat penting, rasanya Lau Cing-hong pasti akan menghadapi kesukaran.

"Lau-hiante," demikian Ting-yat Suthay telah membuka suara, "kau jangan khawatir. Segala urusan di dunia ini tak terlepas dari satu kata, yakni 'kebenaran'. Janganlah kau anggap orang lain berjumlah banyak, memangnya para kawan kita dari Thay-san-pay, Hoa-san-pay dan Hing-san-pay hanya datang untuk gegares saja tanpa bekerja?"

Di balik ucapannya itu, secara terang-terangan ia hendak menyatakan bilamana Ko-san-pay berani main kekerasan dan mengandalkan orang banyak, maka Hing-san-pay yang dipimpinnya adalah pihak pertama yang akan membela keadilan. Sedangkan Thian-bun Tojin, Gak Put-kun dan lain-lain juga takkan tinggal diam. Tapi Lau Cing-hong hanya tersenyum getir saja. Katanya, "Sungguh memalukan kalau urusan ini diceritakan. Sebenarnya persoalannya mengenai urusan dalam Heng-san-pay kami, tapi sekarang para kawan mesti ikut-ikut khawatir, sungguh aku merasa tidak enak. Sekarang aku pun dapat memahami duduknya perkara. Tentulah Bok-suheng kami juga telah mengadu biru kepada Co-suheng Bengcu tentang macam-macam kesalahanku sehingga para Suheng dari Ko-san-pay lantas dikerahkan kemari untuk merecoki aku. Ya, ya, apa mau dikata lagi, biarlah aku mengaku salah saja kepada Bok-suko."

Sorot mata Hui Pin yang tajam menyapu sekeliling kepada para hadirin. Kemudian ia berkata, "Kau bilang urusan ini ada sangkut pautnya dengan Bok-taysiansing? Jika demikian silakan Bok-taysiansing keluar saja, biar kita bicara secara terus terang."

Habis ucapannya, suasana di tengah sidang menjadi hening senyap. Sampai agak lama tetap tidak tertampak munculnya "Siau-siang-ya-uh" Bok-taysiansing, ketua Heng-san-pay atau Suheng Lau Cing-hong yang termasyhur itu.

Dengan tersenyum getir Lau Cing-hong lantas membuka suara pula, "Tentang pertengkaran antara kami bersaudara seperguruan cukup diketahui oleh para kawan dari Bu-lim dan tidak perlu kututup-tutupi lagi. Para sahabat tentu maklum bahwa dari warisan leluhur, maka keluargaku boleh dikata cukup berada, sebaliknya Bok-suko kami adalah orang yang miskin. Sebenarnya saling membantu antarkawan adalah lazim, apalagi antarsesama Suheng dan Sute. Namun berhubung urusan ini Bok-suko lantas sirik dan selamanya tak mau menginjak lagi ke rumahku, sudah ada beberapa tahun kami Suheng dan Sute tidak berbicara dan tidak bertemu, maka dengan sendirinya hari ini Bok-suko juga tidak mungkin hadir di sini. Adapun yang membuat aku merasa penasaran adalah Co-bengcu hanya percaya kepada pengaduan sepihak saja lalu mengirimkan para Suheng kemari untuk menghadapi aku, sampai-sampai anak-istriku juga ikut ditawan, bukankah hal ini agak ... agak keterlaluan?"

"Angkat panjimu!" seru Hui Pin kepada Su Ting-tat.

Su Ting-tat mengiakan dan segera mengangkat panjinya dan berdiri di samping Hui Pin.

"Lau-suheng," kata Hui Pin dengan keren, "urusan hari ini sama sekali tiada hubungannya dengan

Bok-taysiansing, ketua Heng-san-pay kalian, maka kau tidak perlu menyinggung tentang dirinya. Menurut perintah Bengcu, kami diharuskan menyelidiki dan menanya kau dengan jelas, yaitu bagaimana persekongkolanmu

dengan Tonghong Put-pay dari Mo-kau, intrik apa yang telah kalian atur untuk menghadapi Ngo-gak-kiam-pay kita dan para kawan dari Bu-lim?"

Kata-kata itu telah mengguncangkan perasaan setiap hadirin. Hendaklah maklum bahwa Mo-kau (agama sesat) selalu memusuhi para kesatria dari kalangan Pek-to, permusuhan demikian sudah berlangsung selama ratusan tahun dan tidak habis-habis, kedua belah pihak sama-sama banyak jatuh korban. Dari ribuan hadirin sekarang paling sedikit ada separuhnya yang pernah diganggu oleh pihak Mo-kau, ada yang ayah-bundanya terbunuh, ada gurunya terbinasa, maka bila menyebut agama iblis itu semuanya merasa dendam dan benci. Sebabnya Ngo-gak, yaitu aliran lima gunung (Ko-san, Thay-san, Hoa-san, Heng-san dan Hing-san) berserikat justru tujuan utamanya adalah untuk menghadapi Mo-kau.

Ilmu silat Mo-kau baik Lwekang maupun Gwakang mempunyai caranya yang khas, betapa pun hebat ilmu silat pihak Ngo-gak sering juga kewalahan melawannya. Lebih-lebih ketua Mo-kau yang bernama Tonghong Put-pay, bahkan oleh orang diberi julukan sebagai "jago nomor satu selama seabad ini". Sesuai dengan namanya: Put-pay (tidak terkalahkan), maka sejak dia mengetuai Mo-kau memang belum pernah dikalahkan oleh siapa pun juga.

Lantaran itulah demi para kesatria mendengar Hui Pin membongkar hubungan antara Lau Cing-hong dengan pihak Mo-kau, apakah hal ini betul atau tidak, yang jelas setiap kesatria itu ikut berkepentingan dan

menyangkut keselamatan mereka pula. Maka dari itu rasa simpatik mereka kepada Lau Cing-hong semula lantas lenyap seketika.

Maka terdengar Lau Cing-hong telah menjawab tuduhan Hui Pin tadi, "Selamanya Cayhe belum pernah melihat, apalagi kenal kepada ketua Mo-kau Tonghong Put-pay, entah dengan dasar apa aku dituduh bersekongkol dan berintrik dengan pihak Mo-kau?''

Hui Pin tidak menjawabnya, ia hanya melirik Samsuhengnya, yaitu Liok Pek.

Maka dengan suara perlahan-lahan, Liok Pek telah bicara, "Lau-suheng, apa yang kau katakan rasanya masih banyak yang ketinggalan dan tidak sesuai dengan kenyataan. Di dalam Mo-kau ada seorang Hou-hoat-tianglo (sesepuh pembela agama) yang bernama Kik Yang. Entah Lau-suheng kenal atau tidak?"

Sejak mula Lau Cing-hong sebenarnya sangat tenang, tapi demi mendengar nama "Kik Yang", seketika air mukanya berubah hebat. Namun bibirnya terkatup rapat-rapat dan tidak menjawab.

Ting Tiong, tokoh kedua Ko-san-pay yang berkepala botak kelimis itu sejak datang tadi belum bersuara sepatah pun. Sekarang mendadak ia bertanya dengan suara bengis, "Kau kenal tidak kepada Kik Yang?" Sedemikian keras dan lantang suaranya sehingga anak telinga setiap orang sampai mendenging. Dalam pandangan semua orang jejak Ting Tiong seakan-akan bertambah tinggi besar secara mendadak dan penuh wibawa.

Namun Lau Cing-hong masih tetap tidak menjawab. Seketika perhatian beribu orang terpusat kepadanya, dalam hati setiap orang sama merasa sikap Lau Cing-hong yang bungkam itu serupa saja dengan mengakui pertanyaan Ting-Tiong secara diam-diam.

Selang agak lama barulah Lau Cing-hong mengangguk dan berkata, "Betul! Kik Yang, Kik-toako memang kenalanku. Malahan bukan cuma kenalan sekadar kenalan, bahkan dia adalah sahabatku yang baik. Sahabatku yang paling kental selama hidupku ini."

Seketika suasana sidang menjadi gempar. Para kesatria ramai membicarakan pengakuan Lau Cing-hong yang terus terang dan di luar dugaan itu. Semula mereka menyangka paling-paling Lau Cing-hong hanya akan mengaku bahwa Kik Yang memang betul pernah dikenalnya dan sekali-kali tidak menduga bahwa dia berani menyatakan bahwa gembong Mo-kau itu justru adalah sahabatnya yang paling kental.

Hui Pin tampak tersenyum, katanya, "Baik sekali karena kau sendiri sudah mengaku. Seorang laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab. Nah, Lau Cing-hong, sekarang Co-bengcu telah menentukan dua jalan, bolehlah kau pilih sendiri."

Akan tetapi Lau Cing-hong seperti tidak mendengar apa yang dikatakan Hui Pin itu, dengan tenang saja ia duduk kembali, ia menuang secawan arak dan ditenggaknya habis.

Diam-diam para hadirin memuji dan merasa kagum terhadap sikap Lau Cing-hong yang tabah dan tenang itu. Menghadapi saat segawat ini ternyata dia masih sanggup bersikap tenang tanpa sedikit memperlihatkan tanda-tanda kecemasan.

Dengan suara lantang Hui Pin lantas berseru pula, "Menurut Co-bengcu, katanya Lau Cing-hong adalah tokoh yang jarang terdapat di dalam Heng-san-pay, hanya karena sedikit kekhilafannya sehingga salah bergaul dengan orang jahat, apabila mau insaf kembali, sudah tentu kaum kita akan suka memberi kesempatan padanya untuk memperbaiki kesalahannya. Jikalau jalan ini yang kau pilih, maka Co-bengcu memberi batas waktu sebulan agar kau membunuh gembong Mo-kau yang bernama Kik Yang itu, bawalah buah kepalanya sebagai bukti, dengan demikian segala kesalahan yang lain takkan diusut lebih lanjut dan kita masih tetap sahabat baik dan saudara dalam Ngo-gak-kiam-pay."

Para kesatria berpikir bahwa selamanya antara yang baik dan yang jahat tidak pernah hidup bersama. Orang-orang Mo-kau bilamana kepergok oleh tokoh-tokoh dari kalangan pendekar tentu lantas saling labrak mati-matian. Kalau sekarang Co-bengcu mengharuskan Lau Cing-hong membunuh dulu Kik-Yang untuk

membuktikan kesetiaannya, hal ini pun dapat dimengerti dan bukan sesuatu permintaan yang berlebihan. Sekilas air muka Lau Cing-hong bersenyum sedih, sahutnya kemudian, "Kik-toako dan aku begitu bertemu lantas seperti sobat lama, lalu berhubungan dengan sangat akrab. Dia telah bertemu belasan kali dengan aku, kami tidur satu ranjang dan bicara sepanjang malam, terkadang bila kami menyinggung tentang persengketaan di antara berbagai golongan, Kik-toako selalu menghela napas dan merasa menyesal, beliau anggap

pertengkaran antara kedua pihak sesungguhnya tidak ada gunanya. Persahabatanku dengan Kik-toako hanya mengutamakan saling bertukar pikiran tentang seni musik. Beliau adalah ahli menabuh kecapi dan aku suka meniup seruling. Di kala bertemu sebagian besar waktu kami gunakan untuk menabuh musik kesukaan masing-masing. Tentang ilmu silat selamanya kami tidak pernah membicarakannya."

Sampai di sini Lau Cing-hong tertampak tersenyum puas, lalu menyambung, "Boleh jadi para hadirin tidak percaya, tapi aku anggap pada zaman ini dalam hal menabuh kecapi rasanya tiada orang lain yang sanggup melebihi Kik-toako, sedangkan dalam hal meniup seruling rasanya juga tiada orang kedua yang melebihi Lau Cing-hong. Meski Kik-toako adalah orang Mo-kau, tapi dari suara kecapinya aku cukup mengenal wataknya yang baik dan budinya yang luhur, beliau benar-benar seorang manusia yang berperasaan. Sebab itulah Lau Cing-hong benar-benar sangat kagum padanya dan biarpun bagaimana jadinya tidak nanti aku mau mencelakai seorang jantan sebagai Kik-toako."

Para kesatria bertambah heran. Sama sekali mereka tidak menduga bahwa persahabatan Lau Cing-hong dengan Kik Yang itu dimulai dari seni musik. Melihat ucapan Lau Cing-hong yang sungguh-sungguh dan jujur itu, mau tak mau mereka harus percaya kepada ceritanya itu. Di dunia Kangouw memang banyak orang-orang kosen yang aneh-aneh tingkah lakunya, jika Lau Cing-hong keranjingan dalam hal musik juga tidak perlu diherankan.

Bagi orang yang tahu akan seluk-beluk san-pay lantas teringat pula bahwa di antara tokoh-tokoh Heng-san-pay dari dulu sampai sekarang memang banyak yang suka kepada seni musik. Misalnya pejabat ketua mereka sekarang, yaitu Bok-taysiansing yang berjuluk "Siau-siang-ya-uh", beliau juga paling suka menabuh rebab sehingga diberikan gelar "di dalam rebab tersimpan pedang, di tengah pedang bersuarakan rebab". Dari itu bila persahabatan Lau Cing-hong dengan Kik Yang itu diawali dengan main musik, hal ini memang cukup masuk di akal.

Hui Pin lantas berkata pula, "Tentang persahabatanmu dengan gembong Mo-kau itu dalam seni musik, hal ini sudah diselidiki Co-bengcu dengan jelas. Kata Bengcu kita, setiap orang Mo-kau mempunyai tipu muslihat tertentu. Mereka tahu sesudah perserikatan Ngo-gak-kiam-pay kita, pasti kekuatan kita akan bertambah besar dan sukar dilawan oleh Mo-kau. Sebab itulah dengan segala daya upaya pihak Mo-kau berusaha hendak memecah belah dan mengadu domba kita, segala akal licik dapat pula dijalankan oleh mereka. Terhadap kaum muda kita sering pula mereka pancing dengan wanita cantik. Terhadap tokoh sebagai Lau-suheng yang hidupnya serbakecukupan, mereka lantas berusaha mendekati kegemaranmu dalam hal seni musik dan tugas ini telah diserahkan kepada Kik Yang. Untuk ini hendaklah Lau-suheng suka menggunakan pikiran secara dingin, sudah berapa banyak saudara-saudara kita yang telah menjadi korban keganasan pihak Mo-kau? Mengapa engkau kena dikelabui mereka dengan akal-akal licik itu dan tanpa sadar sedikit pun?"

"Benar, apa yang dikatakan Hui-sute memang tidak salah," demikian Ting-yat Suthay menimbrung.

mereka yang licik dan sukar diterka itu. Lau-sute, engkau adalah orang baik-baik, kalau tanpa sadar kena ditipu juga tidak menjadi soal. Biarlah kita bersama-sama turun tangan dan membunuh gembong Mo-kau yang bernama Kik Yang itu, maka segala urusan akan menjadi beres. Ngo-gak-kiam-pay kita selamanya senapas dan sehaluan, jangan sekali-kali kena diadudombakan oleh Mo-kau sehingga saling bertengkar sendiri." "Ya, Lau-sute, seorang laki-laki sejati bila tahu akan kesalahan sendiri dan mau memperbaiki, hal ini bukanlah sesuatu yang mesti diributkan," ujar Thian-bun Tojin. "Asalkan sekali tebas kau binasakan gembong Mo-kau she Kik itu, maka kawan-kawan dari dunia persilatan akan tetap memuji ketegasanmu sebagai seorang kesatria yang bijaksana. Sebagai kawanmu kami pun akan ikut merasa bangga."

Lau Cing-hong ternyata tidak menjawabnya, sinar matanya beralih ke arah Gak Put-kun. Katanya, "Gak-toako, engkau adalah seorang laki-laki yang bijaksana, para kawan-kawan terhormat dari Bu-lim yang hadir di sini sama mendesak aku menjual kawan, kalau menurut pendapatmu bagaimana baiknya?"

"Lau-hiante," sahut Gak Put-kun, "jika benar-benar demi sahabat, sebagai kaum Bu-lim kita ini biarpun leher putus demi membela kawan juga tidak menjadi soal. Namun gembong Mo-kau she Kik itu terang adalah manusia palsu mulutnya, tapi hatinya berbisa. Dia sengaja mendekati Lau-hiante dan mengikuti kegemaranmu dalam seni musik untuk melaksanakan tipu muslihatnya yang keji. Bila manusia demikian juga kau anggap sebagai sahabat, bukankah kata-kata 'sahabat' akan ternoda? Manusia iblis demikian masakah kau anggap sebagai sahabat karib segala?"

"Itu dia, apa yang diucapkan Gak-siansing memang tegas dan tepat," demikian orang banyak menanggapi. "Kita harus dapat membedakan antara kawan dan lawan. Terhadap kawan kita memang harus setia, tapi terhadap lawan kita tidak kenal ampun, apalagi bicara tentang setia kawan pula?"

Lau Cing-hong menghela napas. Ia tunggu sesudah suara orang banyak rada tenang kembali barulah bicara dengan perlahan, "Sejak mulai bersahabat dengan Kik-toako sudah kuduga akan terjadi seperti hari ini. Melihat gelagatnya akhir-akhir ini, kutaksir tidak lama lagi Ngo-gak-kiam-pay kita tentu akan terjadi suatu pertarungan habis-habisan dengan Mo-kau. Di satu pihak adalah para saudara serikat sendiri, di lain pihak adalah sahabat karib pula sehingga sukar bagiku untuk menentukan pihak mana harus dibantu. Lantaran itulah aku mencari jalan dengan mengadakan upacara 'cuci tangan' seperti sekarang ini, maksudku adalah untuk mengumumkan kepada para kawan kaum kita bahwa orang she Lau sejak kini telah mengundurkan diri dari dunia persilatan dan tidak ikut campur kepada segala persengketaan orang Kangouw, harapanku adalah supaya dapat hidup

Dalam dokumen Pendekar Hina Kelana (Halaman 190-200)