• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gak Put-kun, Ketua Hoa-san-pay, Guru Lim Peng-ci yang Baru

Dalam dokumen Pendekar Hina Kelana (Halaman 157-165)

Tapi dasar Bok Ko-hong memang seorang yang culas dan licin, walaupun batinnya mendongkol, tapi lahirnya dia masih tertawa-tawa dan berkata, "Bagaimana? Apakah kau anggap kepandaian si Bungkuk belum cukup untuk menjadi gurumu?"

Sekilas Peng-ci melihat air muka si Bungkuk berubah menjadi bengis dan murka, walaupun perasaan demikian itu segera lenyap, tapi tanpa merasa Peng-ci sudah bergidik. Ia merasa keadaannya serbasulit dan serbasalah, jika menolak menjadi muridnya, boleh jadi dia lantas mengamuk dan bukan mustahil dirinya akan terus dibinasakan olehnya. Terpaksa ia menjawab, "Bok-tayhiap, kau sudi menerima aku sebagai murid, sungguh hal ini adalah jauh di luar harapanku. Cuma yang kupelajari adalah ilmu silat keluarga kami sendiri, jika perlu berguru pada orang luar harus mendapatkan izin dahulu dari ayah. Cara demikian adalah hukum keluarga dan hukum Bu-lim yang telah sama-sama kita ketahui pula."

Bok Ko-hong manggut-manggut, katanya, "Ya, beralasan juga ucapanmu ini. Cuma sedikit permainanmu ini hakikatnya belum dapat dimasukkan dalam hitungan ilmu silat. Pasti kepandaian ayahmu juga sangat terbatas. Untung bagimu hari ini hatiku lagi senang dan mendadak suka menerima kau sebagai murid, lewat sebentar lagi mungkin pikiranku ini akan segera berubah. Jadi kesempatan ini hanya dapat kau ketemukan secara kebetulan dan tidak dapat dicari. Tampaknya kau cukup cerdik, mengapa justru begini tolol? Sudahlah, kau boleh menyembah dan mengangkat guru dulu padaku, kelak aku sendiri yang akan bicara dengan ayahmu, rasanya dia pun takkan berani menolak."

Tiba-tiba pikiran Peng-ci tergerak. Segera ia berkata pula, "Bok-tayhiap, saat ini ayah-ibuku berada di dalam cengkeraman orang-orang Jing-sia-pay dan tidak jelas mati-hidupnya. Untuk mana kuharap Bok-tayhiap sukalah pergi menolong mereka, bila berhasil, untuk membalas budi kebaikanmu, apa pun yang Bok-tayhiap inginkan pasti akan kupenuhi."

"Apa? Kurang ajar! Jadi kau berani main tawar-menawar dengan aku?" semprot Bok Ko-hong dengan gusar. "Huh, kau bocah ingusan ini, memangnya anggap dirimu sebagai apa sehingga kau kira kakek harus menerima kau sebagai murid dan berani main tawar-menawar padaku? Hm, kurang ajar!"

Cepat Peng-ci berlutut dan berkata, "Tentang Pi-sia-kiam-boh apa segala sebenarnya Wanpwe sama sekali tidak tahu. Andaikan Bok-tayhiap telah menerima aku sebagai murid juga tidak ada gunanya. Tapi ayah-ibuku tentu tahu akan Kiam-boh yang dimaksud itu. Bila Bok-tayhiap dapat menyelamatkan ayah-ibuku, barulah dapat mencegah jatuhnya Kiam-boh itu ke dalam tangan Ih Jong-hay."

Sesungguhnya Peng-ci sendiri memang tidak tahu Pi-sia-kiam-boh itu benda macam apa. Tapi mengingat Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong sedemikian menghargai barang itu, tentulah Kiam-boh itu menyangkut sesuatu yang mahapenting. Segera ia berkata pula, "Jika Ih Jong-hay berhasil mendapatkan Kiam-boh, boleh jadi ilmu silatnya akan jauh lebih lihai daripada Bok-tayhiap, bilamana dia mencari perkara padamu, tentu Bok-tayhiap yang terpaksa harus sembunyi ke sana ke mari untuk menghindari."

"Kentut, kentut! Mana bisa jadi!" semprot Bok Ko-hong. "Bila memang Kiam-boh milik keluargamu itu memiliki mukjizat demikian, mengapa ayah-ibumu kena ditawan oleh Ih Jong-hay?"

Walaupun demikian mulutnya berkata, tapi diam-diam ia pun percaya Pi-sia-kiam-boh tentu bukan

sembarangan kitab pelajaran ilmu pedang, hal ini dapat dilihat dari sikap Ih Jong-hay yang lebih mementingkan Kiam-boh itu daripada sakit hati kematian putranya. Ia lihat Peng-ci masih terus berlutut di hadapannya, segera ia berkata, "Jika begitu, hayo lekaslah menjura padaku. Asal kau menjura tiga kali saja kau sudah terhitung muridku. Ayah-ibu muridku sendiri sudah tentu akan kuperhatikan dan Ih Jong-hay tentu takkan berani main gila kepada kedua orang tua muridku."

kepada seorang yang mestinya tidak disukai, asal dapat menolong kedua orang tuanya, apa artinya menahan sedikit perasaan. Dan baru saja ia bermaksud menjura, sekonyong-konyong Bok Ko-hong telah menggunakan tangannya untuk menekan kepalanya ke bawah agar menjura. Rupanya si Bungkuk khawatir Peng-ci tidak jadi menjura padanya, maka sengaja main paksa.

Seharusnya Peng-ci sudah akan menjura, tapi karena kepalanya ditekan ke bawah secara paksa, kontan timbul perlawanannya, ia justru bikin kaku lehernya dan enggan menunduk ke bawah.

"He, apakah kau tidak mau menjura?" bentak Bok Ko-hong dengan gusar. Segera ia tambahkan tenaga tekanannya.

Dasar watak Peng-ci memang tidak doyan kekerasan. Dalam usahanya menolong ayah-ibunya mestinya ia sudah mau telan segala perasaan dan penderitaan dan akan menjura kepada Bok hong. Tapi sekali Bok Ko-hong main paksa, bukannya Peng-ci menurut, sebaliknya ia malah melawan. Dengan suara keras ia menjawab, "Jika kau berjanji akan menolong ayah-ibu, maka aku pun akan berjanji berguru padamu. Tapi saat ini tidak mungkin suruh aku menjura padamu."

"Hah, tidak mungkin?" jengek Bok Ko-hong. "Baik, ingin kulihat apakah benar-benar kau takkan menjura padaku!"

Habis berkata, kembali tenaganya bertambah kuat untuk menahan kepala Peng-ci ke bawah.

Sekuatnya Peng-ci bermaksud menegakkan kepala dan berdiri, tapi tenaga tekanan Bok Ko-hong terlalu kuat baginya sehingga mirip tertindih batu yang beribu kati beratnya, sampai-sampai kedua tangannya dipakai menahan di atas tanah, tapi tulang leher terasa berkeretekan seakan-akan patah dan tetap tak dapat berbangkit.

Bok Ko-hong terbahak-bahak, katanya, "Kau mau menjura atau tidak? Jika tanganku tambahi tenaga pula, tentu lehermu ini bisa patah."

"Tidak, aku justru tidak mau menjura!" teriak Peng-ci dengan merah padam.

"Betul-betul tidak mau?" jengek Bok Ko-hong sambil menahan lebih kuat, makin tekan makin ke bawah sehingga batok kepala Peng-ci hampir-hampir menyentuh tanah.

Pada saat itulah sekonyong-konyong Peng-ci merasa punggungnya menjadi panas, ada suatu arus hawa hangat menyalur masuk ke dalam tubuhnya. Tiba-tiba daya tekanan di atas tengkuknya menjadi kendur, begitu kedua tangannya menahan tanah, seketika dia dapatlah berdiri.

Kejadian ini benar-benar di luar dugaan Peng-ci, bahkan Bok Ko-hong juga terkejut. Sekilas itu si Bungkuk itu lantas tahu bahwa tenaga hangat yang mematahkan daya tekanannya itu adalah "Kun-goan-kang", semacam Lwekang berasal dari Hoa-san-pay.

Walaupun datangnya arus Lwekang itu sangat mendadak, dalam keadaan belum siap sehingga dirinya tergetar dan Peng-ci sempat meronta berbangkit, tapi Kun-goan-kang itu jelas sudah sangat sempurna, bahkan tenaga susulannya masih terus membanjir tiba.

Dalam kagetnya dengan cepat sekali tangan Bok Ko-hong lantas menahan pula ke atas kepala Peng-ci, bahkan sekali ini ia pun menggunakan semacam Lwekang yang mahalihai. Tapi begitu tenaganya membentur kepala Peng-ci, tiba-tiba terasa Kun-goan-kang seperti tadi timbul pula dari ubun-ubun pemuda itu. Begitu kedua arus tenaga saling bentur, seketika tangan Bok Ko-hong kesemutan, dada pun terasa sakit.

Cepat si Bungkuk mundur dua langkah, serunya sambil tertawa, "Haha! Gak-heng, mengapa diam-diam kau sembunyi di pojok sana dan bergurau dengan si Bungkuk?"

Tiba-tiba terdengar suara tertawa orang di balik pojok rumah sana, seorang Susing (kaum terpelajar) berbaju hijau dan berjubah ringan telah muncul. Sambil tangan kanan menggoyang-goyangkan kipas lempit, orang itu berkata, "Engkoh Bungkuk, sudah lama tak bertemu, ternyata ketangkasanmu tidak berkurang dari dahulu, sungguh harus diberi selamat."

ketua Hoa-san-pay yang termasyhur.

Biasanya Bok Ko-hong memang rada jeri terhadap ketua Hoa-san-pay itu. Apalagi sekarang dia kepergok sedang memaksa seorang anak muda, keruan ia serbarunyam. Tapi dasar dia memang orang yang licin dan tidak kenal malu, dengan cengar-cengir ia lantas menyapa, "Gak-heng, makin lama makin muda kau ini, sungguh si Bungkuk ingin mengangkat guru padamu untuk belajar ilmu awet muda itu."

"Hus, kau makin tua makin tak genah," semprot Gak Put-kun. "Kenalan lama baru saja bertemu dan kau sudah mengoceh tak keruan."

"Habis, usiamu mestinya sudah 60-70 tahun, mengapa mendadak muda kembali dan kelihatannya malah seperti cucu si Bungkuk saja," ujar Bok Ko-hong dengan tertawa.

Ketika Bok Ko-hong mengendurkan tangannya tadi, dengan cepat Peng-ci sudah lantas melompat bangun. Dilihatnya Susing baju hijau itu berjenggot cabang lima, mukanya putih bersih dan berwibawa, seketika timbul rasa kagum dan hormatnya. Ia tahu orang inilah yang tadi telah menolongnya dari paksaan Bok Ko-hong. Setelah mendengar si Bungkuk itu memanggilnya sebagai "Gak-heng" (saudara Gak), seketika pikirannya tergerak, "Apakah tokoh yang mirip dewa ini jangan-jangan adalah Gak-siansing, ketua Hoa-san-pay yang sering disebut-sebut oleh orang banyak selama beberapa hari ini? Cuma usianya kelihatannya baru 40 tahun, entah betul atau tidak?"

Tapi kemudian sesudah mendengar Bok Ko-hong memuji orang she Gak itu awet muda, segera Peng-ci teringat kepada cerita ibunya dahulu bahwa tokoh-tokoh Bu-lim yang memiliki Lwekang tinggi bukan saja bisa panjang umur, bahkan mukanya juga awet muda. Maka ketua Hoa-san-pay ini mungkin juga memiliki ilmu Lwekang yang tinggi itu. Keruan ia tambah kagum tak terkatakan.

Dalam pada itu Gak Put-kun telah berkata dengan tersenyum, "Bok-heng, pemuda ini adalah seorang anak berbakti, juga punya jiwa kesatria, sungguh suatu bakat yang sukar dicari, pantas Bok-heng jatuh hati padanya. Padahal semua penderitaan yang menimpa dia itu adalah lantaran tempo hari dia telah membela keadilan dan menolong putriku si Leng-sian, maka sekarang terpaksa aku harus turun tangan juga, diharap suka memandang diriku, sukalah Bok-heng membebaskan dia saja."

"Apa katamu?" Bok Ko-hong menegas dengan keheran-heranan. "Hanya dengan sedikit kepandaian bocah ini saja dia mampu menolong keponakan perempuan si Leng-sian? Aha, kukira ucapanmu itu harus dibalik, mungkin si dara jelita itulah yang telah ...."

Gak Put-kun tahu ucapan si Bungkuk selanjutnya tentu adalah ocehan yang tidak enak didengar, maka cepat ia menyela, "Sesama orang Kangouw adalah jamak saling memberi pertolongan, membantu dengan bertempur mati-matian termasuk menolong, membantu dengan ucapan saja juga menolong, maka tak dapat

memandangnya dari soal ilmu silatnya tinggi atau rendah. Bok-heng, bila kau berkeras ingin mengambil pemuda ini sebagai murid, memang paling baik kalau membiarkan dia minta izin dulu kepada ayah-ibunya, dengan demikian kedua pihak menjadi sama-sama baiknya."

Bok Ko-hong sadar urusan hari ini bila Gak Put-kun sudah ikut campur, maka terang sukar terlaksanalah keinginannya. Segera ia geleng-geleng kepala dan menjawab, "Tidak. Hanya seketika timbul maksud si Bungkuk ingin menerimanya sebagai murid, tapi sekarang hasratku itu sudah hilang, biarpun sekarang bocah ini menjura seribu kali padaku juga aku tidak sudi menerimanya."

Setelah berkata begitu, mendadak "plok", kontan Lim Peng-ci ditendangnya hingga terpental dan terguling sampai beberapa meter jauhnya.

Serangan Bok Ko-hong ini benar-benar di luar dugaan Gak Put-kun sehingga ingin mencegah juga tidak keburu lagi. Apalagi gerakan kaki si Bungkuk juga sangat cepat, caranya juga sangat aneh dan sukar dibayangkan orang sebelumnya.

Untunglah sesudah terguling, seketika Peng-ci dapat melompat bangun, tampaknya tidaklah terluka.

"Bok-heng, mengapa sifatmu seperti anak kecil saja, barang yang tidak dapat kau peroleh lantas kau buang. Kubilang kaulah yang telah kembali muda dan bukan aku," demikian Gak Put-kun balas mengolok-olok. Bok Ko-hong tertawa. Jawabnya, "Jangan khawatir, Gak-heng. Betapa pun besarnya nyaliku juga tak berani

menyalahi kau punya ... kau punya ... kau punya apa ya? Ah, sudahlah, sampai berjumpa pula. Sungguh tidak nyana Hoa-san-pay yang sudah begini ternama juga menaruh perhatian juga terhadap 'Pi-sia-kiam-boh' itu." Sembari bicara ia terus memberi hormat dan mundur teratur.

"Kau mengoceh apa, Bok-heng?" teriak Gak Put-kun sambil mendesak maju selangkah. Seketika air mukanya bersemu ungu, tapi air muka demikian hanya timbul sekilas saja lantas hilang.

Melihat air muka bersemu ungu itu, hati Bok Ko-hong tergetar. Pikirnya, "Wah, itu adalah 'Ci-he-kang' (ilmu pelangi ungu) yang merupakan Lwekang tertinggi. Selama ratusan tahun ini kabarnya belum pernah ada tokoh Hoa-san-pay yang mampu meyakinkannya. Tapi Gak Put-kun ternyata berhasil melatih ilmu sakti itu. Wah, si Bungkuk tidak boleh membikin marah padanya."

Tapi lahirnya dia tenang-tenang saja, ia masih cengar-cengir dan menjawab, "Entahlah, aku pun tidak tahu Pi-sia-kiam-boh itu benda macam apa. Cuma kulihat Ih Jong-hay telah mengincar Kiam-boh itu dengan mati-matian, maka tanpa sengaja aku telah sembarangan mengoceh, harap Gak-heng jangan pikirkan." Habis berkata, ia putar tubuh terus melangkah pergi.

Setelah si Bungkuk lenyap dalam kegelapan, Gak Put-kun menghela napas dan berkata, "Tokoh berbakat kelas tinggi dunia persilatan seperti dia ini justru berkelakuan tidak genah."

Sekonyong-konyong Peng-ci berlari maju terus berlutut dan menyembah tak berhenti-henti kepada Gak Put-kun, katanya, "Mohon Suhu mau menerima diriku sebagai murid. Tecu pasti akan taat kepada tata tertib perguruan dan giat belajar, sedikit pun tidak berani membantah titah guru."

Gak Put-kun tertawa, katanya, "Jika aku menerima kau sebagai murid, tentu kelak akan diolok-olok si Bungkuk bahwa aku berebutan murid dengan dia."

"Begitu melihat Suhu, seketika Tecu merasa sangat kagum, permohonan ini adalah timbul dari ketekadan Tecu sendiri," kata Peng-ci sambil terus menyembah.

"Baiklah," sahut Gak Put-kun dengan tertawa. "Untuk menerima kau adalah tidak sulit, cuma kau belum memberitahukan kepada ayah-ibumu, entah mereka mengizinkan atau tidak."

"Asal Tecu dapat diterima, tentu ayah dan ibu akan kegirangan, mustahil beliau-beliau itu takkan meluluskan," ujar Peng-ci.

Put-kun manggut-manggut. "Baiklah, lekas bangun saja!" katanya kemudian. Lalu ia menoleh dan berseru, "Tek-nau, A Hoat, Sian-ji, keluarlah semua!"

Maka muncul segera satu rombongan orang dari balik rumah sana. Kiranya adalah anak murid Hoa-san-pay yang sejak tadi sudah sembunyi di sana. Rupanya Gak Put-kun sengaja suruh mereka jangan tampakkan diri agar tidak membikin malu kepada Bok Ko-hong.

Sesudah berhadapan, segera Lo Tek-nau berkata dengan girang, "Terimalah ucapan selamatku, Suhu. Engkau telah menerima seorang Sute baru yang mempunyai hari depan yang gilang-gemilang."

"Peng-ci," kata Gak Put-kun kemudian. "Para Sukomu ini sudah pernah kau lihat di rumah minum itu. Sekarang kalian boleh berkenalan secara resmi."

Memang sebagian besar anak murid Hoa-san-pay itu sudah dikenal Peng-ci. Yaitu, yang tua adalah Jisuko Lo Tek-nau, yang bertubuh tegap adalah Samsuko Nio Hoat. Yang berdandan sebagai kuli adalah Sisuko Si Cay-cu. Yang selalu membawa Swipoa (alat hitung) adalah Gosuko Ko Kin-beng. Laksuko Liok Tay-yu alias Lak-kau-ji adalah tokoh yang paling gampang diingat, karena dia selalu membawa seekor monyet kecil. Selain mereka terdapat lagi Citsuko To Kun dan Patsuko Eng Pek-lo yang masih muda-muda.

Sesudah satu per satu Peng-ci memberikan hormat, tiba-tiba dari belakang Gak Put-kun ada suara mengikik tawa yang nyaring genit. Lalu berkata, "Dan aku terhitung Suci atau Sumoay, Ayah?"

luar kota Hokciu itu, para murid Hoa-san-pay sama memanggilnya sebagai "Siausumoay" (Sumoay cilik), kiranya dia adalah putri sang guru sendiri.

Sekilas Peng-ci melihat sebagian roman muka yang putih bersih dengan sebelah mata yang tampak hitam jeli sedang mengintipnya sekejap, lalu mengkeret kembali ke belakang Gak Put-kun.

Keruan Peng-ci terheran-heran, "Nona penjual arak itu berwajah burik dan sangat buruk, mengapa sekarang telah ganti rupa?"

Nona itu hanya melongok sedikit saja, lalu mengkeret kembali, dalam kegelapan tidaklah jelas. Tapi bahwasanya wajahnya pasti sangat cantik adalah tidak perlu disangsikan lagi.

Maka terdengar Gak Put-kun telah menjawab dengan tertawa, "Setiap Sukomu yang hadir di sini semuanya masuk perguruan lebih lambat daripadamu, tapi semuanya juga memanggil kau Siausumoay. Rupanya nasibmu menjadi Sumoay sudah ditakdirkan. Maka sekali menjadi Siausumoay, tentu saja kau tetap adalah

Siausumoay."

"Tidak, tidak bisa! Sejak kini aku harus menjadi Suci juga," ujar nona itu dengan tertawa. "Ayah, Lim-sute harus panggil aku sebagai Suci. Selanjutnya bila ayah menerima seratus atau dua ratus murid lagi juga harus memanggil Suci padaku."

Sambil bicara dan tertawa nona itu lantas muncul dari belakang Gak Put-kun. Di malam gelap, samar-samar Peng-ci hanya melihat raut muka yang bulat telur itu agaknya sangat cantik. Sinar mata si nona yang tajam terasa sedang menatap ke arahnya.

Cepat Peng-ci memberi hormat dan menyapa, "Gak-sumoay, hari ini Siaute telah diterima sebagai murid oleh Suhu yang berbudi. Yang masuk perguruan dulu adalah lebih tua, Siaute sudah sepantasnya mengaku sebagai Sute."

Putri Gak Put-kun itu bernama Gak Leng-sian, dengan girang ia lantas berkata kepada sang ayah, "Nah, kau dengar sendiri, Ayah. Dia sendirilah yang suka memanggil aku sebagai Suci, tapi bukan aku yang memaksa dia, lho!"

"Orang baru saja masuk perguruan kita dan kau sudah bicara tentang 'paksa' apa segala, jangan-jangan nanti dia akan menyangka setiap muridku akan sama seperti kau, yang tua suka memaksa yang muda, apakah kau takkan membikin takut padanya?" demikian kata Put-kun.

Maka bergelak tertawalah para muridnya.

Gak Leng-sian lantas berkata pula, "Ayah, Toasuko sembunyi di sini untuk menyembuhkan lukanya, tadi kena dihantam sekali pula oleh Ih Jong-hay, keadaannya tentu tambah payah. Hayolah lekas kita menjenguknya." Dengan mengerut kening Gak Put-kun menggeleng kepala, katanya, "Bolehlah Kin-beng dan Cay-cu saja, kalian menggotong keluar Toasukomu."

Ko Kin-beng dan Si Cay-cu mengiakan berbareng, lalu melompat masuk ke dalam kamar melalui jendela. Tapi lantas terdengar seruan mereka, "Suhu, Toasuko tidak berada di sini, di dalam kamar juga ... juga tidak ada orang."

Menyusul tertampaklah cahaya api, mereka sudah menyalakan lilin di dalam kamar.

Dahi Gak Put-kun terkerut makin kencang. Dia tidak sudi masuk ke rumah pelacuran yang kotor dan hina itu. Maka katanya kepada Lo Tek-nau, "Coba kau masuk ke sana untuk memeriksanya."

Tek-nau mengiakan dan mendekati jendela.

"Biar aku juga masuk ke sana untuk melihatnya," kata Leng-sian.

Namun Gak Put-kun lantas menarik tangan putrinya itu sambil membentak, "Hus! Tempat begini mana boleh sembarangan kau datangi?"

Karena cemasnya hampir-hampir Leng-sian menangis. Serunya khawatir, "Tapi ... tapi Toasuko terluka parah, mungkin dia ... dalam keadaan payah."

"Jangan khawatir," bisik Gak Put-kun. "Dia telah dibubuhi obat Thian-hiang-toan-siok-ko dari Hing-san-pay, tidak nanti jiwanya berbahaya."

Leng-sian menjadi girang-girang khawatir, katanya, "Da ... dari mana engkau tahu, Ayah?" "Ssst, jangan ceriwis!" Put-kun mendesis.

Kiranya dalam keadaan terluka parah dan kesakitan, namun pikiran Lenghou Tiong masih cukup sadar. Ia dapat mengikuti suara pertengkaran antara Bok Ko-hong dan Ih Jong-hay dan kemudian orang-orang itu pergi satu per satu dan akhirnya didengarnya Suhunya sendiri telah datang.

Dalam dokumen Pendekar Hina Kelana (Halaman 157-165)