• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lebih Baik Mengemis daripada Mencuri

Dalam dokumen Pendekar Hina Kelana (Halaman 50-58)

Tapi diam-diam Pui Jin-ti berpikir, "Urusan ini benar-benar rada ganjil, rasanya perempuan ini tidak bakal menyuruh bocah she Lim ini minum racun kecuali kalau dia benar-benar gentar kepada Siong-hong-koan kami?"

Mendadak pikirannya tergerak dan paham duduknya perkara, ia bergelak tertawa dan berkata, "Hahaha, ucapan nona ini seakan-akan menganggap kami berdua ini sebagai anak kecil umur tiga saja! Ketiga cawan itu hakikatnya berisi darah babi, darah anjing, masakan kau katakan arak Ho-ting-ang campur warangan apa segala? Kami cuma merasa muak untuk minum darah babi dan anjing yang kotor demikian itu, kalau benar-benar arak berbisa, jangankan cuma tiga cawan, biarpun 30 cawan juga akan kami minum dan kami tentu mempunyai obat penawar racunnya. Coba lihat, sesudah minum, anak jadah she Lim itu masih tetap segar bugar, apakah benar arakmu itu beracun? Huh, apakah nona kira kami begini gampang untuk dibohongi?" Waktu Jin-ho memandang Peng-ci, muka pemuda itu tampak sebentar merah sebentar pucat dan tiada sesuatu yang luar biasa. Seketika ia pun sadar, pikirnya, "Kiranya arak itu tidak berbisa, hampir-hampir saja aku tertipu. Untung Pui-suko cukup cerdik, tidaklah percuma namanya pakai 'Ti' (cerdik)."

Dalam pada itu si nona telah menjawab dengan tersenyum. "Jadi kalau arak ini benar-benar arak beracun, maka 30 cawan sekalipun akan kau minum juga?"

"Anak murid Jing-sia-pay kami biasanya sih tidak begitu gentar terhadap obat beracun atau benda berbisa," sahut Jin-ti. Tadi mereka telah memperlihatkan rasa takut mati ketika tidak berani minum arak suguhan si nona yang dikatakan berbisa, maka sekarang mulut Jin-ti sedapat mungkin tidak mau kalah.

Si nona tidak bicara lagi, segera ia angkat sebuah poci teh yang berada di atas meja, ia tuang tiga cawan teh ke dalam cawan-cawan arak yang sudah kosong itu, lalu mengeluarkan sebuah botol porselen kecil dari bajunya, dari botol kecil itu dituangkan sedikit bubuk warna hijau ke dalam cawan-cawan teh. Begitu sumbat botol dibuka, bubuk warna hijau itu lantas mengeluarkan semacam bau yang sangat menusuk hidung, kontan Peng-ci bersin beberapa kali.

Setelah mencair ke dalam air teh, seketika air teh yang tadinya warna kuning kecokelat-cokelatan itu lantas berubah menjadi hijau gelap, sampai-sampai air muka si nona yang kuning benjol-benjol itu pun kehijau-hijauan tersorot oleh bayangan air teh itu.

Walaupun ketiga cawan itu hanya berisi sedikit air hijau, tapi di tengah warna hijau kental itu lapat-lapat kelihatan berminyak yang mengeluarkan pancawarna mirip upas ular berbisa dan liur kelabang, kelihatannya menjadi sangat seram, berbareng bau amis yang memuakkan lantas timbul juga dari cawan. Tanpa merasa Pui Jin-ti dan Uh Jin-ho sampai melangkah mundur dua tindak.

Dengan tersenyum si nona berkata pula, "Ketiga cawan arak berbisa ini memang lebih lihai daripada tadi, kalian jadi minum atau tidak?"

Dari bau dan warnanya Jin-ti tahu ketiga cawan air hijau itu hakikatnya bukan lagi arak, tapi adalah campuran obat racun dengan air teh, jangankan diminum, melulu baunya saja sudah dapat membikin orang kelengar. Maka jawabnya, "Meski kami mempunyai obat mujarab penawar racun, tapi biasanya baru kami gunakan bila tergigit ular atau kelabang dan makhluk-makhluk berbisa lain, atau bila kena diracuni oleh kaum bangsat keroco kalangan Hek-to. Tapi nona adalah murid Hoa-san-pay yang terhormat, masakah kami berani sembarangan mencari perkara?"

Ucapannya itu seakan-akan hendak mengatakan bila kau berkeras memaksa kami minum arak berbisa itu, maka kau sendirilah yang akan merosotkan harga diri sebagai kaum bangsat keroco kalangan Hek-to.

Si nona juga lantas berkata, "Lim-siaupiauthau ini telah membunuh Ih-tayhiap dari Jing-sia-pay kalian lantaran membela diriku, sekarang kalian hendak merecoki dia, masakah aku boleh berpeluk tangan tanpa ikut campur? Namun Jing-sia-pay dan Hoa-san-pay kami biasanya mempunyai hubungan baik, agar persoalan ini tidak meretakkan persahabatan kedua belah pihak, rasanya kita harus cari suatu jalan tengah yang sempurna. Sekarang aku ingin memintakan kelonggaran pada kalian, apakah boleh?"

Jin-ho dan Jin-ti menjadi serbasusah. Akhirnya Jin-ti menjawab, "Jika kami diharuskan mengampuni jiwa bocah she Lim ini, lalu cara bagaimana kami harus mempertanggungjawabkan urusan ini kepada Suhu?"

"Baik, begini saja," kata si nona, "kita boleh silakan Lim-siaupiauthau menghabiskan isi tiga cawan arak ini agar dia mangkat dengan tubuh utuh. Dengan demikian sakit hati kalian akan terbalas, sebaliknya aku pun

mendapat muka, ini namanya sama-sama baiknya."

Semula Peng-ci mengira si nona hendak membelanya dan suruh kedua orang itu jangan mengganggu dirinya, siapa tahu akhirnya tetap dirinya harus mati dengan minum racun. Ia lihat mereka bertiga bicara tentang hubungan baik antargolongan mereka, sudah tentu mereka tidak mau bertengkar hanya untuk membela seorang luar yang tidak penting bagi mereka. Apalagi seorang laki-laki sejati buat apa mesti minta seorang wanita memohonkan ampun kepada orang lain?

Karena pikiran demikian, dengan bersitegang Peng-ci lantas berseru, "Orang she Lim mengaku sudah kalah, buat apa mesti diperdebatkan lagi. Kedua golongan kalian adalah sahabat baik, mana boleh bertengkar

lantaran diriku?" Habis berkata ia terus angkat arak berbisa di atas meja dan sekali tenggak ia bersihkan isinya. Jin-ho sampai bersuara heran. Pikirnya, "Orang ini benar-benar seorang laki-laki yang tidak takut mati,

sungguh hebat."

Dalam pada itu, susul-menyusul Peng-ci telah minum habis cawan kedua dan ketiga. Seketika ia merasa kepala pusing dan mata berkunang-kunang, bumi dan langit serasa terjungkir balik. Ia tak kuasa lagi dan jatuh terjungkal.

Karena tidak berani menyalahi pihak Hoa-san-pay, pula jeri kepada ilmu silat si nona burik yang lihai itu, apalagi Peng-ci sudah minum racun, jiwanya hanya tergantung sesaat dua saat saja, Pui Jin-ti pikir kesempatan ini paling baik untuk mundur teratur. Maka ia lantas berkata kepada si nona sambil memberi hormat, "Demi kehormatan nona, betapa pun kami harus mengalah. Jika biang keladinya sudah binasa, maka biarkan dia mati dengan jenazah sempurna saja. Namun Lim Cin-lam dan istrinya tetap kami bawa pergi agar dapat

dipertanggungjawabkan kepada Suhu."

mampu merintangi Pui-tayhiap dan Uh-tayhiap yang termasyhur dari Jing-sia-pay?"

Segera Uh Jin-ho berjongkok untuk membuka Hiat-to di tubuh Cin-lam dan istrinya. Segera Cin-lam hendak mencaci maki, tapi belum lanjut ucapannya, secepat kilat Jin-ho menutuk pula "Koh-ceng-hiat" dan "Tay-cu-hiat" di tubuh mereka. Dengan demikian mereka suami istri hanya bisa berjalan saja, tapi tubuh bagian atas tetap tak bisa berkutik.

Menyusul Jin-ho lantas lolos pedang sambil membentak, "Untuk selanjutnya jika kau tidak menurut perintah dalam perjalanan, segera sebelah lengan binimu akan kutebas kutung. Sebaliknya jika binimu yang

membangkang, segera aku pun mengutungi sebelah lenganmu. Kalau kalian ingin tahu rasanya nanti, tentu kalian takkan kecewa. Nah, jalanlah lekas!"

Perasaan Cin-lam dan istrinya seperti disayat-sayat demi tampak putra mereka menggeletak tak bergerak di atas tanah, terang pemuda itu sudah mati keracunan. Sekarang mendengar pula ancaman Uh Jin-ho yang keji itu, sungguh tidak kepalang rasa murkanya. Namun bila dirinya membangkang, tentu ancaman musuh itu akan dilaksanakan, kalau lengan sendiri yang ditebas sih tidak menjadi soal, celakanya justru lengan sang istri yang akan ditebas olehnya. Terpaksa dengan menahan rasa duka dan murka, mereka melangkah keluar warung nasi itu dengan agak sempoyongan.

Sebelum melangkah keluar Ong-hujin masih menoleh memandang sekejap kepada si nona dengan sorot mata yang penuh kebencian. Tapi nona itu lantas berpaling ke arah lain dan pura-pura tidak tahu.

Pui Jin-ti jalan paling belakang, ia coba memeriksa dahulu pernapasan Peng-ci dan terasa sangat lemah, hampir-hampir putus setiap saat. Khawatir kalau sebentar lagi bila dirinya sudah pergi lalu si nona akan menolong pemuda itu dengan obat penawar, maka sambil memaki, segera ia tendang sekali di bagian Pek-hwe-hiat di ubun-ubun kepala Peng-ci.

Keruan si nona terperanjat, cepat ia melompat maju untuk mencegahnya, akan tetapi sudah terlambat .... Setelah habiskan tiga cawan air berbisa, keadaan Peng-ci sudah dalam keadaan sadar tak sadar, remang-remang dilihatnya ayah-bundanya telah digiring pergi, ia ingin berteriak, tapi tak bisa mengeluarkan suara. Pada saat itulah mendadak ubun-ubunnya kena ditendang dengan keras oleh Pui Jin-ti, seketika ia merasa batok kepalanya seperti pecah terbelah, lalu tidak ingat apa-apa lagi.

*****

Entah sudah lewat berapa lama, perlahan-lahan ia siuman kembali seperti habis bermimpi buruk, ia merasa sekujur tubuhnya tertindih dan sukar bernapas, ia bermaksud meronta sekuatnya, tapi tak bisa berkutik pula. Ia coba membuka mata lebar-lebar, tapi keadaan gelap gulita, seluruh badannya sakit tak terkatakan. Ia menjadi takut. Pikirnya, "Celaka, tentu aku sudah mati, sekarang aku sudah menjadi setan dan bukan manusia lagi. Aku tentu berada di neraka dan bukan di dunia ramai."

Selang agak lama, ia coba meronta-ronta lagi dan membuka mulut hendak berteriak, tiba-tiba mulutnya kemasukan tanah pasir yang menyesakkan napas. Ia terkejut, "Wah, aku benar-benar sudah dikubur." Sekuatnya ia coba menahan dengan kedua tangan, di luar dugaan kepalanya lantas menongol keluar dari dalam tanah.

Sesudah merangkak keluar dan duduk di atas tanah, ia coba periksa sekitarnya. Kiranya dia masih tetap berada di samping warung nasi itu, sekelilingnya gelap gulita, nyata sudah jauh malam, yang terdengar hanya suara serangga yang sahut-menyahut di kejauhan.

Pada saat itulah rembulan muda lapat-lapat baru saja menongol dari balik awan. Pohon bambu bergoyang-goyang tertiup angin laksana setan iblis hendak menerkam. Hati Peng-ci berdebar-debar, ubun-ubun kepala terasa sangat sakit pula seperti ditusuk-tusuk. Ia coba merangkak mendekati sebatang pohon, dengan berpegangan batang pohon itu, perlahan-lahan ia berdiri. Baru sekarang ia melihat di sebelahnya memang terdapat sebuah liang, nyata tadi dirinya memang sudah terkubur di situ.

"Sudah terang aku telah minum air racun nona itu, ubun-ubun kena ditendang pula, mengapa aku tidak jadi mati?" demikian pikirnya. "Siapakah yang mengubur aku di sini? Ya, tentulah si nona burik dari Hoa-san-pay itu."

Dengan langkah sempoyongan ia masuk ke dalam warung nasi pula. Pikirnya, "Ayah dan ibu telah ditawan pergi oleh kedua penjahat dari Jing-sia-pay itu, tentu lebih banyak celaka daripada selamatnya, aku harus lekas-lekas menyusul untuk menolongnya. Meski aku bukan tandingan kedua musuh itu, tapi diam-diam aku dapat menyergap mereka dan mungkin berhasil. Bilamana gagal, toh ayah-ibu akan mati, buat apalagi aku hidup sendirian."

Terpikir betapa pentingnya menolong ayah-bundanya, ia menjadi gelisah dan bersemangat pula. Ia pikir agar bisa mengelabui mata musuh, paling baik kalau dirinya menyamar saja.

Karena tekadnya hendak menolong kedua orang tua, seketika rasa sakit ubun-ubun kepalanya menjadi terlupa. Soalnya sekarang adalah cara bagaimana dia harus menyamar?

Ia coba menuju ke dapur. Dalam kegelapan ia meraba-raba, akhirnya dapat digerayanginya pisau ketikan api dan batunya. Segera ia mengetik api dan menyalakan pelita minyak. Dengan penerangan itu, ia masuk ke kamar tidur si pemilik warung dengan maksud mencari seperangkat pakaian.

Siapa tahu, dasar miskin, orang gunung lagi, kemiskinannya benar-benar luar biasa, sampai seperangkat pakaian pengganti saja tidak ada. Di dalam kamar memang ada beberapa potong baju dan celana yang penuh tambalan, tapi semuanya adalah pakaian wanita, rupanya milik istri tukang warung itu.

Setelah merenung sejenak, akhirnya Peng-ci keluar lagi dengan membawa pelita minyak, dilihatnya jenazah suami istri pemilik warung itu masih menggeletak di situ.

Mendadak angin dingin berkesiur, pelita minyak itu lantas padam. Berada di tengah-tengah mayat dalam keadaan gelap gulita, mau tak mau Peng-ci sampai mengirik, kaki pun terasa lemas.

Dengan langkah setengah diseret Peng-ci kembali ke dapur untuk menyalakan pelita pula. Lalu mayat pemilik warung itu diseretnya ke sana untuk dilucuti pakaiannya. Coba kalau hari-hari biasa, jangankan memegang mayat, baru melihat saja tentu dia sudah menyingkir jauh-jauh. Tapi sekarang demi untuk menolong ayah-bundanya, biarpun pekerjaan yang sukar bagaimanapun juga dilakukannya.

Setelah menanggalkan pakaian orang mati, mendadak ia pencet hidungnya sendiri, baunya jangan ditanya lagi. Mestinya ia ingin mencuci bersih dahulu pakaian itu, tapi tentu akan makan tempo lama sehingga kehilangan kesempatan untuk menolong ayah-ibunya, bila demikian tentu dirinya akan menyesal untuk selama hidup. Dengan nekat ia lantas membuka bajunya sendiri hingga bersih, lalu memakai baju bekas orang mati dengan menahan napas karena baunya. Untunglah pakaian itu cukup pas baginya. Kemudian ia bungkus mayat telanjang bulat itu dengan pakaiannya sendiri tadi, bersama mayat wanita lantas dimasukkan ke dalam liang, lalu diuruknya dengan tanah. Pikirnya, "Belatiku sudah dibawa pergi nona itu, aku harus mencari suatu senjata lagi."

Ia coba memeriksa sekitarnya, tertampak pedangnya sendiri dan pedang ayahnya serta golok ibunya,

semuanya sudah patah menjadi dua dan terlempar di atas tanah. Tanpa pikir ia jemput pedang patah ayahnya itu dan dibungkus dengan sepotong kain kotor, lalu diselipkannya di pinggang.

Ketika melangkah keluar warung nasi itu, terasalah kesunyian yang demikian memilukan, hampir-hampir ia ingin menangis sekeras-kerasnya. Sekuatnya ia lemparkan pelita itu, "plung", pelita itu jatuh ke dalam kolam dan padam seketika, sekelilingnya kembali gelap gulita lagi.

"Lim Peng-ci, wahai Lim Peng-ci! Jika kau kurang waspada dan tidak sabaran sehingga jatuh ke dalam cengkeraman bangsat-bangsat Jing-sia-pay lagi, maka nasibmu akan serupa dengan pelita yang kecemplung ke dalam kolam itu," demikian ia memperingatkan dirinya sendiri.

Tanpa merasa ia angkat lengan baju untuk mengucek-ngucek mata, tapi mendadak ia menyengir dan hampir-hampir muntah-muntah, kiranya terciumlah bau lengan baju yang bacin itu. "Wahai Lim Peng-ci, jika cuma bau busuk begini saja kau tidak tahan, percumalah kau menjadi manusia, apa lagi hendak menolong ayah-ibumu?"

demikian ia berteriak sendiri. Segera ia angkat kaki menuju ke depan.

Tidak berapa jauhnya, ubun-ubun kepalanya terasa kesakitan lagi. Ia mengertak gigi dan bertahan sekuatnya sehingga jalannya menjadi tambah cepat malah.

Ia terus berjalan tanpa kenal arah di lingkungan jalan pegunungan yang naik turun itu. Sampai fajar menyingsing, tiba-tiba matanya menjadi silau oleh cahaya sang surya yang memancarkan sinarnya yang gilang-gemilang. Seketika hati Peng-ci terkesiap. "Kedua bangsat itu hendak menggiring ayah-ibuku ke Jing-sia-san yang terletak di Sucwan. Padahal Sucwan terletak di daerah barat, mengapa aku malah menuju ke arah timur?"

Maka cepat ia putar tubuh dan ganti haluan dengan berjalan membelakangi sinar matahari. Pikirnya, "Ayah-ibu sudah digiring pergi setengah malaman, aku telah berjalan salah arah pula, jarak dengan mereka menjadi semakin jauh. Aku harus membeli seekor kuda saja, entah berapa harganya?"

Tapi ia lantas mengeluh ketika merogoh saku. Kiranya keberangkatannya kali ini seluruh barang bekalnya tertaruh di kantong kulit yang digantungkan di samping pelana kuda. Maka keadaannya sekarang benar-benar bokek, tidak punya barang sepeser pun. Ini namanya sudah sial tertimpa malang lagi, "Wah, bagaimana ini, bagaimana baiknya ini?" demikian ia menjadi bingung.

Setelah termangu-mangu sejenak, akhirnya ia pikir paling penting harus menolong ayah bundanya dahulu, masakah dirinya khawatir mati kelaparan? Maka dengan langkah lebar segera ia meneruskan perjalanan ke depan dan menuruni bukit.

Menjelang tengah hari, saking laparnya perutnya mulai berkeruyukan. Tiba-tiba terlihat di tepi jalan ada belasan pohon lengkeng dengan buahnya yang besar, walaupun belum masak, tapi sudah cukup sekadar buat tangsel perut.

Segera ia menuju ke bawah pohon, tangan terangkat ke atas hendak memetik buah lengkeng itu. Tapi baru saja jarinya menyentuh buah yang bundar-bundar itu, sekilas teringat olehnya, "Hok-wi-piaukiok kami adalah keluarga yang terhormat, buah lengkeng ini ada yang punya, jika aku mengambilnya tanpa permisi, ini berarti aku telah mencuri. Turun-temurun keluarga Lim melakukan pekerjaan mengawal dan menjaga harta benda milik orang, selama itu selalu menjadi lawan kaum penjahat, sekarang aku sendiri mana boleh melakukan perbuatan mencuri? Jika perbuatanku kepergok orang, lalu aku dimaki sebagai pencuri di depan ayah, lantas ke mana ayah akan menyembunyikan mukanya? Hok-wi-piaukiok tidak sukar untuk dibangun kembali, tapi sekali anggota keluarga Lim menjadi pencuri, maka merek Hok-wi-piaukiok pasti susah dipasang lagi."

Sejak kecil Peng-ci telah mendapat didikan dan petuah-petuah, ia tahu kawanan perampok asalnya adalah pencuri kecil, pencuri itu mula-mula cuma menggerayangi benda-benda kecil yang tak begitu berharga, akan tetapi dari sedikit kemudian menjadi banyak, dari kecil kemudian menjadi besar dan akhirnya lantas menjadi biasa. Kalau kaki sudah kejeblos ke dalam lumpur, maka sukarlah ditarik keluar.

Teringat demikian, tanpa merasa keluarlah keringat dinginnya. Segera ia menetapkan tekad, "Pada suatu hari akhirnya aku dan ayah pasti akan menegakkan kembali nama baik Hok-wi-piaukiok. Seorang laki-laki sejati harus berpijak pada tempat yang betul, aku lebih baik menjadi pengemis daripada menjadi pencuri."

Begitulah ia segera meneruskan perjalanan dengan langkah lebar dan tidak mau mengincar sekejap pun pada buah lengkeng di tepi jalan itu.

Setelah beberapa li lagi, sampailah dia di suatu desa kecil. Ia coba mendatangi rumah seorang petani, dengan rasa kikuk ia ingin minta sedikit makanan. Padahal selama hidupnya dia sudah biasa dilayani, segala apa serbakecukupan, belum pernah dia minta-minta kepada orang lain. Sebab itulah baru saja bicara beberapa kata, belum-belum mukanya sudah merah jengah.

Dasar perempuan desa itu baru saja bertengkar dengan suaminya, habis dihajar oleh suaminya, memangnya rasa dongkolnya belum terlampiaskan, sekarang datang Lim Peng-ci hendak mengemis, kontan saja ia menyambutnya dengan dampratan habis-habisan, dia sambar sebatang sapu dan membentak, "Kau maling kecil ini, tentu kau yang telah mencuri ayamku yang baru saja hilang itu, sekarang kau datang hendak menggerayangi lagi. Biarpun aku ada nasi sisa juga tidak memberi sedekah kepada maling kecil seperti kau. Kau mencuri ayamku, akibatnya lakiku keparat itu marah-marah dan menggebuki aku sampai babak belur dan matang biru sekujur badanku ...."

Setiap kali perempuan desa itu memaki satu kalimat, kakinya juga lantas mendesak maju, sebaliknya Peng-ci lantas mundur satu langkah. Semakin memaki perempuan itu semakin bersemangat, sampai akhirnya mendadak dia mengangkat sapu terus hantam ke muka Peng-ci.

Peng-ci menjadi gusar, sambil mengegos sebelah tangannya lantas balas memukul. Tapi mendadak terpikir olehnya, "Aku mengemis dan tidak diberi, sebaliknya aku lantas menyerang perempuan desa yang bodoh ini, bukankah terlalu menertawakan?"

Karena itu, sekuatnya ia lantas menarik kembali pukulannya itu.

Tak tersangka dia terlalu nafsu mengeluarkan tenaga, untuk menarik kembali tangannya menjadi rada kagok, apalagi kepalanya masih cekot-cekot, gerak-geriknya kurang gesit, sedikit terhuyung, sekonyong-konyong sebelah kakinya menginjak di atas setumpuk tahi kerbau dan terpeleset, "syurrr ... bluk", ia jatuh terjengkang. Sudah begitu sapu si perempuan desa tidak urung sempat mampir juga di atas mukanya.

Melihat kelakuan Peng-ci yang lucu itu, perempuan desa itu mengakak geli. Dampratnya pula, "Maling busuk,

Dalam dokumen Pendekar Hina Kelana (Halaman 50-58)