• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

5.8 Pengaruh Sikap terhadap Pemberian ASI Eksklusif

Sikap adalah kecenderungan untuk merespon secara positif maupun secara negatif terhadap objek, manusia ataupun situasi. Sikap adalah cara menempatkan atau membawa diri, atau cara merasakan, jalan pikiran dan perilaku. Sikap adalah kondisi mental yang kompleks yang melibatkan keyakinan dan perasaan, serta disposisi untuk bertindak dengan cara tertentu (Wawan, 2010). Hasil penelitian di Kecamatan Woyla Barat menunjukkan bahwa mayoritas ibu menyusui memiliki sikap yang negatif terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan yaitu sebanyak 51,5%. Sikap yang negatif ini menunjukkan bahwa masih kurangnya keyakinan ibu terhadap manfaat ASI eksklusif.

Hasil analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square didapatkan bahwa sikap berpengaruh secara signifikan terhadap pemberian ASI eksklusif (p=0,001). Hasil ini menggambarkan bahwa semakin negatif sikap ibu terhadap pemberian ASI eksklusif, semakin kurang pemberian ASI secara eksklusif.

Dari hasil penelitian terlihat bahwa kelompok ibu hamil yang memiliki sikap negatif, 92,0% tidak memberikan ASI eksklusif. Ini menunjukkan bahwa sikap memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap pemberian ASI eksklusif. Dari jawaban responden juga menunjukkan bahwa pernyataan sikap yang paling disetujui responden adalah anjuran petugas kesehatan tentang pentingnya memberi hanya ASI saja sampai bayi berusia 6 bulan perlu diikuti, dan pernyataan sikap yang paling tidak disutujui responden adalah hingga usia 6 bulan, ASI saja tidak cukup bagi bayi.

Sebenarnya bila sudah ada sikap yang positif, ibu hanya perlu mendapat dukungan untuk memberikan ASI kepada bayinya. Berdasarkan hal ini petugas kesehatan harus mengupayakan perbaikan sikap ibu hamil untuk menjadi lebih baik melalui upaya penyuluhan kesehatan.

5.9 Panutan

Panutan adalah contoh yang dijadikan teladan dan akan diikuti oleh orang yang meneladaninya. Kecenderungan seseorang untuk dicontoh disebabkan karena banyak sebab baik karena kelebihan pengetahuannya atau juga karena kekuasannya. Hasil penelitian di Kecamatan Woyla Barat menunjukkan bahwa mayoritas ibu menyusui menyatakan bahwa ada panutan dalam pemberian ASI yaitu sebanyak 60,0%. Umumnya responden menjadikan ibu kandung, petugas kesehatan, anggota keluarga lain dan teman sebagai panutan dalam pemberian ASI eksklusif namun panutan yang terbanyak adalah teman dan petugas kesehatan. Alas an responden menjadikan mereka sebagai panutan karena dianggap lebih mengerti tentang

kesehatan dan lebih berpengalaman serta responden mengatakan bahwa ingin meniru karena melihat anak-anak dari panutan mereka tumbuh sehat , cerdas dan jarang sakit. Hasil analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square didapatkan bahwa panutan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pemberian ASI eksklusif (p=0,686). Hasil ini menggambarkan bahwa ada atau tidak ada panutan bagi ibu tidak memengaruhi perilaku ibu.

Dari hasil penelitian terlihat bahwa kelompok ibu menyusui yang memiliki panutan, 65,6% tidak memberikan ASI eksklusif. Ini menunjukkan bahwa panutan belum tentu memberikan ASI eksklusif sebagaimana yang diharapkan.

Dalam pemberian ASI eksklusif yang menjadi panutan atau yang diteladani biasanya adalah orang tua. Oleh karena itu bila orang tua tidak memberikan ASI eksklusif maka ada kecenderungan si ibu juga tidak memberi ASI eksklusif. Terlebih lagi sekarang iklan susu formula sangat gencar dilakukan sehingga ada sebagian ibu-ibu yang mencontoh bintang iklan tersebut.

Kondisi seperti ini harus menjadi perhatian petugas kesehatan untuk memberikan contoh dan teladan yang baik dalam pemberian ASI eksklusif. Tenaga kesehatan juga sebaiknya jangan menganjurkan ibu menyusui untuk memberikan susu formula sebelum waktunya, walaupun ada sebagian bidan yang bekerja sama dengan produk-produk susu formula.

5.10 Budaya

Budaya adalah tradisi atau kebiasaan yang berlaku di suatu tempat tertentu. Berkaitan dengan pemberian ASI eksklusif, budaya yang dimaksudkan disini adalah kebiasaan atau tradisi yang berlaku dalam masyarakat dan lingkungan responden dapat menghambat pemberian ASI secara eksklusif, seperti pemberian madu, pisang, dan sebagainya sebelum usia 6 bulan.

Hasil penelitian di Kecamatan Woyla Barat menunjukkan bahwa mayoritas ibu menyusui memiliki lingkungan yang budayanya yang tidak mendukung dalam pemberian ASI eksklusif yaitu sebanyak 55,7%. Hasil analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square didapatkan bahwa budaya berpengaruh secara signifikan terhadap pemberian ASI eksklusif (p=0,003). Hasil ini menggambarkan bahwa ada budaya yang kurang mendukung pemberian ASI eksklusif akan memengaruhi perilaku ibu dalam pemberian ASI eksklusif. Dari hasil penelitian terlihat bahwa kelompok ibu menyusui yang memiliki budaya tidak mendukung, 79,6% tidak memberikan ASI eksklusif. Ini menunjukkan bahwa semakin tidak mendukung budaya maka semakin rendah pemberian ASI eksklusif.

Berdasarkan jawaban responden juga terlihat bahwa 68,0% responden menyatakan ada makanan dan minuman tertentu yang diberikan saat bayi lahir sebagai suatu penyambutan bagi bayi ketika lahir ke dunia dan 79,4% ibu menyatakan ada kebiasaan menghentikan pemberian ASI bila bayi diare. Hal ini tentu merupakan suatu kebiasaan yang tidak tepat. Umumnya bayi diberikan madu segera setelah lahir dengan tujuan sebagai simbol”selamat datang” dan agar kelak bicaranya

baik sehingga akan di dengar dan di sukai oleh orang lain, sedangkan pemberian ASI dihentikan bila diare dimaksudkan agar diare tidak bertambah parah, untuk selanjutnya biasanya bayi akan diberikan air putih atau air tajin dan tetap diberikan makanan seperti nasi dan pisang. Dari segi kesehatan tentu hal ini sangat merugikan apalagi bila pemberian minuman dan makanan ini tidak memperhatikan higienitas dalam persiapan dan penyajian sehingga malah akan memperparah kondisi diare pada bayi.

Menurut responden umumnya bayi mereka pernah mengalami diare dan konstipasi selama berusia 0-6 bulan. Namun hal ini dianggap biasa oleh masyarakat setempat dan dapat di atasi dengan penghentian pemberian ASI dan diganti dengan memberi air putih, air manis, air tajin serta di beri pisang. Pemberian makanan dan minuman selain ASI menurut responden dimaksudkan supaya bayi cepat besar dn jarang rewel. Hal ini tentu sangat merugikan bagi si bayi yang seharusnya bisa mendapatkan makanan dan minuman yang jauh lebih baik dan berkualitas yaitu ASI.

Dari hasil wawancara terhadap responden tentang ASI eksklusif juga diperoleh informasi bahwa kebanyakan mereka memberikan ASI sehari setelah melahirkan. Hal ini disebabkan karena kondisi ibu yang masih lelah dan juga ASI susah keluar. Disamping itu kebanyakan ibu juga tidak memberikan kolostrum kepada bayinya, karena kolostrum tersebut dianggap sebagai ASI yang basi. Sebagai pengganti ASI sesaat setelah melahirkan biasanya pihak keluarga memberikan air putih manis atau madu kepada si bayi.

Kebiasaan memberi air putih dan cairan lain seperti teh, air manis, madu dan jus kepada bayi menyusui dalam bulan- bulan pertama, umum dilakukan di berbagai negara. Alasan untuk memberi tambahan cairan kepada bayi berbeda-beda sesuai nilai budaya masyarakatnya masing-masing. Alasan yang paling sering dikemukakan adalah diperlukan untuk hidup, menghilangkan rasa haus, menghilangkan rasa sakit, sembelit dan menenangkan bayi.

Nilai budaya dan keyakinan agama juga ikut memengaruhi pemberian cairan sebagai minuman tambahan untuk bayi. Dari generasi ke generasi diturunkan keyakinan bahwa bayi sebaiknya diberi cairan. Air dipandang sebagai sumber kehidupan, suatu kebutuhan batin maupun fisik sekaligus. Sejumlah budaya menganggap tindakan pemberian cairan kepada bayi baru lahir sebagai cara menyambut kehadirannya di dunia (Arini, 2012).

Selain kebiasaan yang tersebut di atas, pemberlakuan pantangan makanan dan minuman bagi ibu setelah melahirkan juga masih banyak terjadi. Setelah melahirkan ibu dilarang makan dan minum seperti pada saat sebelum hamil dan melahirkan karena ditakutkan badan ibu akan gemuk, sedangkan makanan yang diperbolehkan hanya nasi putih dan teri gongseng. Walaupun ada juga yang memperbolehkan makan sayur dan ikan akan tetapi tidak boleh berminyak. Daging dan telur sama sekali tidak boleh dikonsumsi karena diyakini dapat mengakibatkan amis daerah intim wanita. Hal ini tentu sangat merugikan karena setelah melahirkan ibu sangat membutuhkan makanan dan minuman yang sehat untuk mengembalikan tenaganya dan juga untuk kualitas ASI yang diberikan untuk bayinya.

Sebenarnya untuk menjaga kualitas ASI, ibu harus mengikuti pola makan dengan prinsip gizi seimbang dan konsumsi beragam makanan, terutama sayuran yang berwarna hijau misalnya, daun katuk, kacang-kacangan, buncis,jagung, pare dan lain-lain. Pada dasarnya , ibu yang sedang menyusui membutuhkan sekitar 500 kalori tambahan per hari. Sebagian dari jumlah itu ada sekitar 100-150 kalori dapat diperoleh melalui pembakaran lemak yang tertimbun selama kehamilan. Oleh karena itu, ibu sebaiknya menambah sekitar 330 kalori setiap hari selama 6 bulan pertama setelah melahirkan, serta 400 kalori setiap hari setelah lewat 6 bulan sampai tidak menyusui lagi.

Kebutuhan ibu yang meningkat karena harus menyusui bayinya seharusnya di iringi dengan intake makanan yang seimbang. Pantangan yang dijalani ibu tentu membawa kerugian bagi bayi dan ibu. Makanan yang tidak seimbang berpengaruh terhadap produksi ASI, sementara dalam memberikan ASI eksklusif di perlukan ASI yang lancar, cukup dan berkualitas sehingga bila produksi ASI terganggu maka akan memengaruhi dalam pemberian ASI eksklusif. Keadaan inilah yang kemudian menimbulkan pemikiran dalam masyarakat bahwa bayi yang rewel karena lapar dan pemberian ASI saja tidak cukup sehingga di perlukan makanan dan minuman lain.

Mengubah suatu tradisi memang sangat sulit, apalagi tradisi itu sudah turun temurun dan diyakini oleh masyarakat. Namun demikian petugas kesehatan terutama tenaga bidan harus berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya ibu menyusui untuk memahami kondisi yang sebenarnya, walaupun tidak sesuai dengan tradisi masyarakat melalui penyuluhan kesehatan.

BAB 6