• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIY Syarat :

C. Hasil Penelitian

1. Budaya PSBK

Bimbingan rehabilitasi sosial di PSBK dilaksanakan selama satu periode terhitung sejak bulan Februari hingga Desember setiap tahunnya. Sehari-hari bimbingan dilaksanakan setiap hari Senin sampai Jumat sejak pukul 08.00 sampai 13.00 WIB. Setiap hari bimbingan diawali dengan apel pagi, kemudian dilanjutkan dengan bimbingan yang bersifat teori dan praktek hingga pukul 13.00 WIB. Waktu jeda istirahat pukul 09.45-10.00 WIB. Tidak ada bimbingan setelah pukul 13.00 WIB. WBS memiliki waktu bebas setelah jam tersebut. Sebagian besar pegawai PSBK pun pulang setelah pukul 13.00 WIB tersebut.

Secara umum, bimbingan terbagi atas bimbingan yang bersifat teoritis di kelas dan praktek di lapangan. Bimbingan yang bersifat praktek adalah bimbingan fisik, pertanian dan keterampilan. Bimbingan fisik berupa senam aerobik. Bimbingan pertanian berupa mengelola ladang (palawija), sedangkan bimbingan keterampilan dibagi untuk WBS laki-laki dan perempuan. Pilihan bimbingan keterampilan bagi

WBS laki-laki adalah pertukangan kayu, batu dan las. WBS laki-laki ditempatkan pada salah satu dari tiga pilihan keterampilan yang disedikan PSBK. Penempatan WBS pada pilihan keterampilan ditentukan oleh pihak PSBK. Bimbingan keterampilan bagi WBS perempuan meliputi memasak (olah pangan), kerajinan tangan dan menjahit. Berbeda dengan WBS laki-laki, WBS perempuan mengikuti semua bimbingan keterampilan yang tersedia.

Bimbingan teori berisi ceramah di kelas meliputi semua bimbingan selain bimbingan fisik, pertanian dan keterampilan. Seluruh WBS (dengan berbagai macam latar belakang pendidikan) mengikuti ceramah di kelas. Prinsip yang diterapkan dalam bimbingan teori ini adalah ”selama WBS tidak berbuat keributan di kelas, maka tidak ada masalah”. Hal-hal mengenai apakah WBS dapat memahami materi ceramah, apakah WBS tidur atau memperhatikan menjadi sesuatu yang tidak terlalu diutamakan. Bimbingan bersifat praktek lebih mudah dipahami oleh WBS dibandingkan dengan bimbingan bersifat teori di kelas.

Hasil karya bimbingan praktek bernilai ekonomis. Hasil karya dijual kepada pihak lain di luar PSBK maupun kepada pihak internal PSBK (pegawai atau WBS). Uang hasil penjualan akan digunakan untuk pembelian bahan baku bimbingan praktek berikutnya. Bagi WBS yang memiliki kemampuan keterampilan yang baik akan mendapat kesempatan untuk mengikuti praktek kerja di instansi lain yang bekerja sama dengan PSBK (seperti bengkel las, toko roti).

Semua bimbingan wajib diikuti oleh WBS secara teratur. Kehadiran WBS di setiap bimbingan akan dicatat dalam lembar presensi (oleh instruktur), namun

dalam beberapa bimbingan hal ini tidak berjalan sepenuhnya karena kelalaian instruktur dalam mencatat kehadiran WBS.

Setiap bimbingan didampingi oleh instruktur. Instruktur memiliki peran sentral dalam memimpin jalannya bimbingan. Instruktur memiliki otoritas lebih, posisi lebih dominan serta sebagai orang yang lebih tahu dari WBS. Instruktur memberikan sesuatu (ilmu, informasi, keterampilan) kepada WBS. Berdasarkan peran yang demikian, pola komunikasi yang terbangun antara WBS dengan instruktur adalah top-down. Instruktur memberi, WBS menerima. Komunikasi yang terbangun juga sangat terbatas pada penyampaian materi, ceramah dan ucapan salam saat bimbingan, bahkan pada beberapa bimbingan, komunikasi verbal sama sekali tidak terbangun. Instruktur biasanya langsung pergi meninggalkan PSBK setelah bimbingan berakhir.

Pola hubungan instruktur dengan WBS seperti di atas membuat instruktur tidak mampu memahami WBS. WBS pun merasa tidak dipahami serta menilai pendampingan yang dilakukan instruktur kepada WBS hanya sebatas tuntutan tugas dari pekerjaannya. Hal ini semakin diperburuk dengan adanya penilaian-penilaian dari instruktur bahwa WBS adalah kelompok orang bodoh yang tidak mampu menerima materi yang kompleks serta pergantian instruktur setiap minggunya pada bimbingan tertentu.

Figur lain yang sesungguhnya juga memiliki peran penting bagi WBS adalah Pekerja Sosial (PS). Setiap PS membawahi kurang lebih lima orang WBS. Sejauh ini PS belum menunjukkan kinerja secara optimal. PS tidak mengenali dengan baik latar belakang serta dinamika kehidupan WBS yang didampinginya.

Hal ini tampak dari ketidakmampuan PS dalam memberikan informasi secara mendalam mengenai WBS yang didampinginya.

Pola hubungan yang terbangun antara WBS dengan PS sebatas hubungan administratif, seperti pendataan WBS saat mendaftar di PSBK, administrasi praktek kerja, serta hal-hal administratif lainnya di PSBK. Selama WBS tidak melakukan pelanggaran peraturan di PSBK, maka PS menilai WBS baik-baik saja. Hubungan baru terbentuk ketika WBS melakukan pelanggaran, tidak hadir dalam bimbingan, meninggalkan PSBK tanpa pamit beberapa hari, atau perilaku yang melanggar peraturan lainnya. Teguran dan ancaman dikeluarkan dari PSBK karena tidak taat pada peraturan biasanya akan diberikan PS kepada WBS yang dinilai bermasalah. Kondisi ini semakin diperburuk dengan adanya prasangka, penilaian, serta tidak antusiasnya PS kepada WBS. PS juga tidak memiliki rancang bangun atas pendampingan yang hendak dilakukannya.

Kinerja dan pola hubungan seperti dipaparkan di atas membuat WBS menunjukkan sikap canggung, takut serta tidak berani terbuka dengan PS yang mendampinginya. WBS bahkan tidak dapat menangkap bahwa ada figur PS yang sesungguhnya memiliki tugas mendampinginya. Beberapa WBS hanya dapat menangkap bahwa PS adalah figur yang mengurusi hal-hal administrasi di PSBK. Kinerja yang masih sangat terbatas ini sering kali memaksa Kepala Rehabilitasi Sosial turut campur membantu kerja PS yang belum terlaksana.

Serangkaian program bimbingan yang diikuti WBS belum mampu membawa perubahan mendasar atas pola hidup WBS. Sehari-hari WBS tetap melakukan ’profesinya’ sebagai pengemis, pengamen ataupun pemulung pada waktu bebas

setelah bimbingan berakhir. WBS yang sedemikian mapan hidup menggelandang bahkan tidak mampu bertahan lama di PSBK karena merasa penghasilan yang diterimanya berkurang akibat bimbingan rehabilitasi sosial mengurangi waktu bekerja. Pola keuangan dan konsumsi WBS masih berkutat pada hutang piutang, tingkat konsumsi tinggi (berapa pun penghasilan yang diperoleh akan habis dikonsumsi) serta bekerja hanya untuk hari ini, tanpa memikirkan hari esok. WBS masih hidup tanpa kelengkapan surat identitas sebagai warga negara serta bertahan hidup ’kumpul kebo’. WBS juga masih akrab dengan kekerasan di jalanan. Tidak jarang WBS membuat masalah di luar PSBK. PSBK akhirnya dimaknai sebagai tempat penampungan, tempat singgah, kontrakan gratis, tempat rekreasi dari kejenuhan hidup jalanan, atau sebagai tempat menenangkan pikiran, bukan sebagai sebuah wadah dan sarana memperbaiki diri ke arah hidup yang lebih baik.

Mobilitas keluar masuknya WBS di PSBK cukup tinggi. Hal ini dapat dikarenakan WBS melanggar peraturan, kemudian dikeluarkan atau keluar atas inisiatif pribadi karena merasa tidak betah di PSBK. Ironisnya, sebagian WBS yang mampu bertahan di PSBK justru WBS dengan latar belakang bukan sebagai gepeng, namun karena faktor lain (korban bencana alam, korban konflik keluarga, dsb). WBS dengan latar belakang gepeng yang sesungguhnya tidak mampu bertahan di PSBK. Adanya WBS gepeng dan non gepeng juga menciptakan jurang tersendiri dalam proses bimbingan mengingat riwayat pendidikan mereka jauh berbeda.

Signifikansi rehabilitasi sosial di PSBK dalam menangani pengemis semakin dipertanyakan. Pasca satu periode bimbingan rehabilitasi sosial berakhir, WBS dipersilahkan berdikari sendiri atau melakukan transmigrasi. Kenyataan menunjukkan tingginya WBS yang kembali hidup menggelandang pasca rehabilitasi sosial berakhir. Jika WBS melakukan transmigrasi, tanah yang diperoleh akan dijual, kemudian uang digunakan sebagai ongkos kembali ke Jawa dan habis dikonsumsi lalu kembali menggelandang di jalan.

2. Subjek 1 (AA)

a. Latar belakang individu

1) Fisik. AA memiliki fisik yang sehat dan normal (tidak cacat), namun

AA adalah seorang perokok. AA melakukan manipulasi fisik secara sadar dan sengaja. AA menampilkan kondisi fisik yang tidak terawat kepada orang lain. AA sengaja merobek dan mengotori pakaian agar tampak lusuh dan menggunakan pakaian berlapis-lapis agar tampak seperti orang gila. Manipulasi ini sengaja dilakukan AA untuk menciptakan kesan bahwa dirinya adalah seorang gelandangan yang mengalami gangguan jiwa (orang gila). AA sengaja menampilkan diri seperti orang gila karena tidak ingin berurusan dengan administrasi kependudukan. AA berharap petugas atau aparat pemerintahan serta orang kebanyakan tidak akan menghiraukan AA dengan penampilannya yang demikian.

Persoalan makan bagi AA adalah suatu kebutuhan yang tidak mutlak untuk dipenuhi. AA makan tidak teratur, tergantung pada ada tidaknya makanan. AA akan makan hanya pada saat ia punya uang untuk makan atau ada orang yang

memberi. AA memaknai makan sebagai sebuah ibadah puasa. AA memaknai dirinya melakukan ibadah puasa saat tidak mendapat makanan, sedangkan saat mendapat makanan, AA memaknainya sebagai buka puasa. AA juga secara sengaja dan sadar melakukan ritual puasa 40 hari 40 malam. AA tidak makan dan minum selama 40 hari 40 malam untuk menguji apakah hidupnya sungguh-sungguh bergantung pada Tuhan. AA menilai dirinya yang masih dapat hidup (sekalipun tidak makan dan minum selama 40 hari 40 malam) membuktikan adanya Tuhan

2) Mental. AA tidak menunjukkan adanya hambatan dalam aspek

kognitif, sebaliknya AA banyak melakukan aktivitas kognitif (berpikir). AA membaca buku dan memiliki pergulatan pemikiran atas hal-hal seperti kemiskinan di Indonesia, cinta kasih dan kedamaian serta hakekat manusia. AA juga mempelajari paham tertentu yaitu paham Syekh Siti Jenar. AA bahkan secara intensif mengisi kesehariannya dengan proses berpikir melalui permenungan dan pemikiran atas fenomena-fenomena yang diamati dan pengalaman hidup yang dilalui. AA memiliki wawasan yang luas.

AA mengaku tidak memiliki riwayat pendidikan formal. AA sebenarnya disekolahkan oleh orang tuanya, namun ia menolak (tidak mau sekolah). AA melakukan pembelajaran secara otodidak, seperti baca tulis dan pengamatan atas fenomena. AA sejak kecil suka mengamati fenomena alam (seperi kupu-kupu) dan memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar. AA memandang pendidikan formal hanya mengandung hal-hal teoritis saja dan tidak menggambarkan kenyataan yang terjadi.

AA memiliki gambaran diri sebagai seseorang yang memalukan, tidak berharga, bodoh, melarat, tidak bisa mengelola diri dengan baik, orang aneh, tidak normal. AA yakin bahwa orang lain menilai dirinya sebagai orang stress, orang gila, dan suka membantah. AA juga yakin bahwa jalan hidup yang dipilihnya tidak dapat dipahami oleh kebanyakan orang dan pembicaraannya tidak dapat diterima oleh orang kebanyakan. AA tidak pernah merasa sebagai orang yang stress dan gila di dalam hati kecilnya. AA bahkan merasa sebagai manusia unik dan memiliki wawasan yang luas.

AA tidak merasa dirinya sebagai seorang pengemis. AA mendefinisikan diri sebagai seorang petualang atau pengembara yang mencari kebenaran. Kebenaran yang dimaksud AA mengarah pada kebenaran teologis, seperti apakah Tuhan ada, siapa Tuhan, apa hubungan manusia dengan Tuhan, dan apa yang terjadi setelah kematian. AA menjadi WBS sebagai bagian dalam pengembaraannya. AA memaknai dirinya hanya singgah di PSBK.

AA juga tidak memiliki motivasi untuk mencapai hal-hal yang pada umumnya dicapai manusia, seperti memiliki pekerjaan atau mencapai kedudukan tertentu. AA menganggap hal tersebut dipandang sebagai sebuah beban hidup yang menghalangi dirinya menemukan kebenaran. Pencapaian hal-hal yang bersifat duniawi, seperti pekerjaan dan kedudukan dipandang hanya akan memperbesar keegoisan diri, sedangkan orang yang ingin mengenal Tuhan harus melepaskan diri dari hal materi atau duniawi.

Kehidupan religi AA juga sangat unik. AA semula bergama Kristen Protestan kemudian pindah menjadi Islam. Perpindahan keyakinan ini didahului oleh

pengalaman spiritual yang diyakininya. AA dalam beberapa hari tidak dapat berbicara selain mengucapkan kata dalam bahasa yang tak dikenalnya

(ashaduallah lha ilha lha ilallah). Ia baru dapat berbicara secara normal kembali

setelah bertemu seorang laki-laki tua di warung. Laki-laki tua tersebut menyarankannya untuk pergi ke pulau Jawa jika hendak mengetahui arti kata yang diucapkannya. Sejak pengalaman spiritual tersebut, J mulai mengembara ke Jawa. Secara normatif, AA bergama Islam, namun tidak dapat melakukan ritus peribadatan muslim. AA juga memiliki penghayatan iman individual tersendiri yang dihayatinya lewat pengalaman hidup (berpuasa 40 hari 40 malam, permenungan, dsb).

Beberapa perbedaan antara temuan penelitian dengan PS seputar latar belakang mental AA, seperti buta hurup dan ingin memperbaiki diri dan mencapai cita-cita baru di PSBK, disebabkan oleh sikap tertutup AA kepada PS. AA tidak berbicara secara terbuka dengan PS karena merasa akan dihakimi.

b. Latar belakang sosial

1) Keluarga. AA mengaku kedua orang tuanya telah meninggal. Orang

tua AA bersuku Batak, berasal dari Pekanbaru, Riau. Ayah AA adalah seorang anggota ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan pernah mendapat tugas dinas di Tasikmalaya. AA sebagai anak lahir di Tasikmalaya, tetapi AA tetap tumbuh besar di Sumatra karena masa tugas orang tua di Tasikmalaya sudah berakhir. AA dibesarkan dalam nilai-nilai agama Kristen. Orang tua AA menerapkan pola asuh yang bersifat otoriter dan menggunakan kekerasan fisik.

Hubungan AA dengan kedua orang tuanya terbilang memiliki konflik. Sikap AA sejak kecil yang tidak mau sekolah sudah membuat AA dinilai sebagai seorang anak yang bandel. Orang tua juga tidak menunjukkan penghargaan atas kemampuan AA karena dinilai sebagai ’anak bodoh’ yang tidak sekolah. Kemampuan AA dalam membaca dan menulis tidak dapat dipercaya oleh orang tuanya. Keputusan AA untuk berpindah agama dari Kristen menjadi Islam semakin menyulut konflik dengan orang tua. Kedua orang tua tidak dapat menerima kepindahan agama yang diyakini AA. Hubungan akhirnya semakin merenggang setelah AA memutuskan meninggalkan rumah untuk mengembara demi mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan teologis yang bergulat di dalam pikirannya.

AA adalah anak kedua dari enam bersaudara. AA menyatakan bahwa dirinya sudah tidak lagi berhubungan dengan saudara-saudaranya. AA memisahkan diri dari saudara-saudaranya. AA mengaku saudara-saudaranya hidup berkecukupan secara ekonomi serta dalam beberapa hal memiliki status atau kedudukan baik di masyarakat.

AA menilai bahwa dirinya hidup di dalam keluarga yang berkecukupan secara ekonomi. Tidak ada masalah ekonomi yang dialaminya, bahkan berbagai fasilitas, seperti rumah warisan dan modal untuk bekerja disediakan oleh pihak keluarga kepadanya.

AA menyadari bahwa cara hidup yang ditempuh olehnya jauh berbeda dari jalan hidup keluarganya. Secara sadar AA memisahkan diri dari keluarganya karena AA merasa tidak ingin bergantung (terikat) dan menyusahkan keluarga.

Cara hidup yang berbeda ini membuat AA merasa asing dengan keluarganya sendiri. Bagi AA, hubungannya dengan keluarga hanya sebatas hubungan darah yang bersifat biologis; selebihnya mengenai cara pandang, cara hidup dan hal-hal terkait dengan ideologis sudah tidak memiliki hubungan.

AA sangat tertutup perihal latar belakang keluarganya kepada orang lain karena AA merasa statusnya sebagai gelandangan atau WBS jauh berbeda dari keluarganya. AA tidak ingin melibatkan keluarganya dari hal-hal yang diperbuatnya. AA juga merasa tidak pantas berbicara mengenai keluarganya yang tidak memiliki masalah sosial ekonomi karena saat ini hidupnya menggelandang. Sikap AA ini juga ditunjukkan pada PS AA sehingga dalam beberapa hal AA tidak mau terbuka mengenai keluarganya.

2) Lembaga. Data yang terkumpul belum dapat mendeskripsikan secara

komprehensif mengenai latar belakang kelembagaan dari AA. Hasil wawancara sejauh ini mengungkap AA beberapa kali mendatangi pondok pesantren, seperti pondok pesantren di Banten untuk berguru agama. Kedatangan AA ke pondok pesantren terkait dengan rangkaian pengembaraan AA untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis di dalam dirinya, namun secara mendetail belum terungkap peran dan posisi AA dalam lembaga tersebut.

3) Komunitas. Data yang terkumpul menunjukkan tidak adanya interaksi

AA dalam komunitas, namun hal ini perlu dikaji lebih lanjut untuk memastikan apakah AA tidak memiliki latar belakang sosial secara komunitas.

4) Masyarakat. Sebagian besar kehidupan bermasyarakat AA diisi

gunung, hutan, kuburan serta makam tokoh-tokoh spiritual (seperti : wali songo) hingga tempat-tempat persembahyangan (pura, pondok pesantren). AA berharap dapat menemukan fenomena atau pengalaman spiritual yang tidak dapat ditemukan di tempat lain dengan mendatangi tempat-tempat tersebut. AA berharap dapat menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan teologis di dalam dirinya dengan mengalami hal tersebut. AA hidup menyepi, menyendiri, mengasingkan diri dari kehidupan sosial untuk melakukan tapa (seperti puasa 40 hari 40 malam) dan merenungi diri. AA berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lainnya. AA berteduh atau beristirahat di tempat-tempat seperti pos kamling atau balai desa. Ia tidak mengalami kendala dalam urusan administrasi kependudukan. Aparat berwenang dan masyarakat di sekitarnya tidak menghiraukan AA karena dinilai sebagai orang gila.

AA mengaku melakukan pengembaraan sejak tahun 1985 sesaat setelah pengalaman spiritual yang dialaminya (lebih lanjut mengenai pengalaman spiritual dapat dilihat di latar belakang individu-mental). Tujuan mengembara adalah mendapatkan pengalaman-pengalaman hidup secara langsung tentang nilai keberadaan Tuhan. Pengalaman-pengalaman tersebut membawa AA pada permenungan tentang hal-hal yang bersifat teologis untuk mencapai kebenaran yang bersifat hakiki.

c. Motif yang mendasari

Secara mendasar, AA menjadi gelandangan pengemis yang berpura-pura gila hanya sebagai bentuk tampilan fisik AA. AA tidak ingin berurusan dengan

administrasi kependudukan. Aktivitas mengemis dilakukan hanya sebatas mendapat uang untuk pemenuhan kebutuhan rokok.

Terkait dengan pengembaraan, AA memandang materi sebagai penghambat bertemunya manusia dengan Tuhan karena di dalam materi, kedudukan, pangkat atau status menempel pula ke-aku-an manusia yang besar. Ke-aku-an yang besar ini menghambat bertemunya manusia dengan Tuhan. AA menjalani hidup menggelandang karena AA ingin melepaskan diri dari hal materi duniawi untuk bisa menemukan Tuhan.

d. Aktivitas

1) Fisik. Pemenuhan kebutuhan fisik AA mendapat jaminan sepenuhnya

dari PSBK. AA mendapat jatah makan sehari 3 kali dan secara rutin AA makan dari jatah makan di PSBK setiap hari. AA mendapat fasilitas pemeliharaan kesehatan, seperti puskesmas untuk memeriksakan kondisi kesehatan tubuh, namun AA tidak menggunakan fasilitas tersebut karena tidak ada keluhan sakit fisik yang dideritanya.

Jaminan fasilitas dan pemeliharaan fisik yang tersedia dari PSBK diterima sepenuhnya oleh AA, namun AA merasa tidak nyaman terus-menerus mendapat jaminan pemenuhan kebutuhan fisik dari PSBK. AA berpendapat bahwa jaminan ini justru membuat AA berada pada titik nyaman dan aman karena tidak perlu memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan mendasar sehingga AA tidak mengalami perkembangan diri.

AA mengikuti bimbingan fisik berupa olahraga senam aerobik. AA berpakaian bebas dalam mengikuti bimbingan. AA tidak mengenakan seragam

senam yang telah disediakan PSBK. AA juga nampak tidak antusias dalam mengikuti senam. AA suka mengalihkan perhatiannnya pada hal lain di luar senam, seperti berbincang-bincang sesaat, mengamati WBS lain yang senam, dan tidak mengikuti gerakan senam dari instruktur.

2) Mental. AA mengikuti seluruh bimbingan mental yang diprogramkan

oleh PSBK, seperti bimbingan keagamaan (muslim), kedisplinan, dan etika budi pekerti. AA mengikuti bimbingan dengan antusias. Seringkali AA lebih memposisikan dirinya sebagai pengamat (mengamati tingkah laku WBS, mengamati perilaku dan apa yang disampaikan instruktur, mengamati dinamika bimbingan yang terjadi) dalam bimbingan. Pada bimbingan keagamaan yang diisi dengan ibadah bersama, AA tidak mengikuti sepenuhnya ritus peribadatan. AA tidak melakukan persiapan sholat (wudhu) sebagaimana mestinya umat muslim beribadah.

AA banyak melakukan proses berpikir di luar proses bimbingan. Pergulatan pemikiran dilakukan dalam kaitannya dengan pertanyaan-pertanyaan teologis yang ada di dalam diri AA. AA secara aktif melakukan pengamatan atas fenomena-fenomena yang terjadi di sekitarnya, seperti sikap atau cara hidup WBS hingga pemikiran atas permasalahan yang lebih luas di tingkat negara seperti kemiskinan dan kriminalitas. Fenomena yang diamatinya dibawa pada perenungan, penghayatan dan pergulatan pikiran sedemikian intensnya hingga mengesampingkan hal lain seperti makan atau tidur. Setelah bimbingan berakhir AA senang menyendiri, merenung, membaca, dan bergulat dengan pemikiran. Saat malam hingga dini hari AA bertukar pikiran dengan dua orang WBS yang

sejalan pemikirannya dengan AA. Semua dilakukannya untuk menemukan nilai kebenaran teologis.

AA merasa diri sebagai WBS yang lain dari WBS pada umumnya. AA tidak mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari WBS, sebaliknya ia justru mengambil jarak dengan WBS dan bersikap sebagai pengamat (pihak yang terpisah dengan WBS). Hal ini tak lepas dari gambaran dirinya yang tak pernah merasa menjadi pengemis secara ekonomis dan pengalamannya mengembara.

AA merasa rendah diri dalam berinteraksi di PSBK. AA merasa orang kebanyakan menilainya sebagai gembel, sampah masyarakat dan penilaian hina lainnya. AA berpikir bahwa dirinya tidak pantas menceritakan kemampuan diri yang dimiliki dan kondisi keluarganya. AA memilih bersikap sangat tertutup mengenai latar belakang pribadinya. Hal ini dilakukan karena AA tidak ingin disudutkan dan dipersalahkan. Hal ini semakin menjadi-jadi dengan keyakinan bahwa dirinya dinilai sebagai seseorang yang suka membantah, orang abnormal, stress, aneh, dan pemikirannya tidak dapat diterima oleh PSBK.

AA mengaku tidak betah di PSBK. Peraturan PSBK dan perlakuan pegawai PSBK dianggap mengatur dirinya secara sewenang-wenang. AA mengungkapkan

Dokumen terkait