DIY Syarat :
D. Diskusi Umum
1. Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan pemaparan hasil penelitian pada bagian sebelumnya, secara keseluruhan dapat ditemukan persamaan dan perbedaan ketiga subjek penelitian yang dapat dilihat pada tabel VI. Persamaan ditemukan dalam hal latar belakang mental, latar belakang sosial keluarga, aktivitas fisik, aktivitas mental, aktivitas sosial, aktivitas ekonomi dan rencana hidup ke depan. Perbedaan ditemukan dalam semua aspek penelitian.
Perbedaan
No Aspek Persamaan
AA D J
1 Latar belakang individu-fisik
• Tidak ada kemiripan latar belakang fisik
• Fisik normal dan sehat
• Sering berpuasa untuk menguji keberadaan Tuhan
• Suka merokok
• Sengaja melakukan manipulasi fisik seperti orang gila agar terhindar dari masalah administrasi
• Ada gangguan fungsi otak dan fungsi bicara (artikulasi tidak jelas, air liur keluar terus). Tubuh tidak sehat (sering batuk-batuk, gigi
tanggal/berlubang)
• Suka merokok, minum minuman beralkohol dan memakai obat secara sembarangan
• Pernah menjadi PSK dan pernah melahirkan (tetapi anaknya meninggal)
• Tidak melakukan manipulasi fisik saat mengemis
• Fisik normal, tetapi kurang sehat (rentan penyakit) seperti hipertensi
• Tidak melakukan manipulasi fisik saat mengemis
2 Latar belakang individu-mental
• Gambaran diri negatif
• Mengaku beragama Islam
• Tetapi kesulitan menjalankan ritual peribadatannya
• Pendidikan formal rendah
• Banyak melakukan aktivitas kognitif (berpikir,
merenung,dll)
• Membaca buku
• Mempelajari paham Syekh Siti Jenar
• Tidak pernah sekolah, tetapi mengaku bisa baa tulis sejak kecil
• Otodidak dan senang
mengamati berbagai fenomena
• Berwawasan luas
• Tidak merasa diri sebagai pengemis, tetapi sebagai pengembara/petualang
• Tidak berminat terhadap hal materi duniawi
• Pindah agama dari Kristen jadi
• Ada keterbatasan menyampaikan ide
• Ada keterbatasan orientasi waktu dan jumlah (tapi bisa menghitung uang)
• Ada potensi keterbatasan mental berdasarkan prilakunya
• Buta huruf. Sekolah sampai kelas 1 SD
• Emosi labil, cenderung agresif
• Mendaftar jadi WBS karena ikut-ikutan pasangan kumpul kebonya
• Kondisi mental normal, tidak ada hambatan mental
• Buta huruf. Sekolah sampai kelas 1 SD
• Emosi labil, cenderung agresif
• Karakternya dibentuk dari kerasnya hidup di jalanan
• Pindah agama dari Kristen jadi Islam
• Mendaftar jadi WBS karena tertarik dengan fasilitas dan jaminan yang akan diberikan
Islam
• Sangat tertutup termasuk kepada PS
• Mendaftar jadi WBS sebagai tempat transit untuk menunggu datangnya pencerahan tentang tujuan pengembaraan
berikutnya 3 Latar belakang
sosial-keluarga
Memiliki hubungan yang tidak baik dengan saudara-saudara kandungnya.
• Mengaku bahwa kedua orang tua telah meninggal. Ayah ABRI
• Dibesarkan di dalam nilai-nilai Kristen
• Pola asuh otoriter dan ada kekerasan fisik
• Banyak konflik dengan orang tua. Dicap bandel karena tidak mau sekolah
• Saudara-saudaranya hidup berkecukupan
• Sangat tertutup soal latar belakang keluarga
• Ayah sakit ayan dan pernah dirawat di RSJ. Pernah jadi tukang becak. Ibu meninggal karena diabetes. Gambaran ibu positif. Merasa kehilangan saat ibu meninggal
• Tidak ada konflik dengan orang tua
• Dibesarkan dalam lingkungan masyarakat agraris
• Peran orang tua tidak cukup adekuat
• Dirawat oleh nenek dan tantenya
• Kedua orang tua masih hidup. Ayah bekerja sebagai mandor tebu dan dukun. Sekarang hipertensi dan stroke sampai lumpuh
• Ayah berpoligami. Ibu J adalah istri ketiga. Seorang ibu rumah tangga
• Dibesarkan dalam nilai-nilai supranatural
• Pernah merantau ke Kalimantan, Papua
• Telah menikah-cerai 4 kali. Punya 3 anak yang lalu dititipkan pada orang tua
• Menutupi pekerjaannya sebagai pengemis di depan keluarga
• Pola asuh otoriter dan ada kekerasan fisik
• Orang tua cukup perhatian 4 Latar belakang
sosial-lembaga
Tidak ada kemiripan latar belakang sosial-lembaga. AA dan J punya pengalaman
• Pernah ikut pondok pesantren dalam rangka pencarian teologis
• Belum pernah ikut serta dalam sebuah lembaga
• Menjadi WBS PSBK adalah pengalaman pertama
• Pernah ikut transmigrasi ke Papua oleh Pemda Malang
5 Latar belakang sosial-komunitas
Tidak ada kemiripan latar belakang sosial-komunitas. D
• Tidak ada bukti bahwa AA pernah terlibat dengan
• Memiliki komunitas informal
• Aktivitas komunitas ikut
• Memiliki komunitas informal
dan J memiliki komunitas informal sesama gepeng. AA tidak dapat terungkap
komunitas tertentu membentuk prilaku non normatif (kumpul kebo)
• D memiliki pengalaman dan interaksi dengan jaringan PSK di tugu. D juga menjadi salah satu PSK
membentuk prilaku non normatif (kumpul kebo)
6 Latar belakang
sosial-masyarakat
Tidak ada kemiripan latar belakang sosial-masyarakat. D dan J dipengaruhi oleh kehidupan jalanan. AA menarik diri dari pergaulan sosial
• Sebagian hidup diisi dengan mengembara dan menyepi
• Tidak pernah ada masalah administratif karena dianggap orang gila
• Keseharian hidup diisi dengan menjadi gelandangan berpindah-pindah di tempat-tempat umum dan memulung. D lalu beralih menjadi pengemis dan PSK
• Kehidupan diwarnai kekerasan jalanan (sebagai pelaku atau korban)
• Telah merantau sejak muda. Telah menikah dan cerai 4 kali. Sekarang kumpul kebo.
• Terbentuk oleh kerasnya kehidupan jalanan
7 Motif yang mendasari
Tidak ada kemiripan motif yang mendasari. D dan J mengemis karena tuntutan ekonomi jangka pendek. AA untuk alasan pribadinya
• Menghindari urusan administratif
• Mengemis hanya supaya bisa merokok
• Menggelandang sebagai bentuk melepaskan diri dari kelekatan terhadap materi duniawi
• Pemenuhan kebutuhan ekonomi jangka pendek (membeli makan-minum, membayar hutang,dll)
• Mengemis sebagai peruntungan nasib untuk memenuhi kebutuhan ekonomi karena tidak memiliki keterampilan
8 Aktivitas fisik • Ikut senam aerobik
• PSBK menyediakan fasilitas fisik yang memadai
• Tidak antusias dalam mengikuti senam dan perhatiannya mudah teralih. Tidak memakai seragam senam dan jarang mengikuti gerakan instrukur
• AA merasa tidak nyaman terus menerus dijamin PSBK. Fasilitas dianggap membuat diri terlena.
• Ikut senam aerobik. Tidak memakai seragam senam
• D mengalami kesulitan mengikuti gerakan
• Perhatian D mudah teralih
• Mengalami gangguan kesehatan (batuk-batuk)
• Ikut senam aerobik dengan antusias dan serius. Memakai celana senam PSBK dan kaos pribadi
• J mengalami kesulitan mengikuti gerakan yang rumit
• Tidak boleh ikut ketrampilan (memijat) karena hipertensi 9 Aktivitas mental • Ikut bimbingan agama,
kedisplinan, dan etika budi pekerti
• Tidak suka kepada PS dan
• Bimbingan diikuti dengan antusias, tetapi lebih memposisikan diri sebagai pengamat
• Bimbingan dimaknai hanya seperti sekolah dan diikuti agar tidak ditegur
• Bertahan di PSBK karena
• Bimbingan diikuti hanya supaya tidak diusir
• Tidak ada perubahan pola hidup atau keinginan
tidak betah di PSBK • Waktu luang dihabiskan untuk merenung dan mengamati kehidupan WBS sampai lupa makan atau tidur
• Senang berdiskusi dengan 2 orang WBS yang sejalan pemikirannya dengan AA dari malam sampai dini hari.
• Bertahan di PSBK sampai ada pencerahan tentang tujuan pengembaraan selanjutnya.
• Merasa berbeda dari WBS lain, tetapi rendah diri dalam interaksi di PSBK
hidupnya terjamin, tapi masih sering menggelandang dan mengemis
• Menjalani kumpul kebo
• Tidak mau kembali pada keluarga
berpindah pekerjaan selain mengemis
• Pikirannya terbebani oleh kesulitan ekonominya
• Merasa mengemis adalah pekerjaan yang lebih mudah
• Tidak ingin pekerjaannya diketahui oleh saudara atau kenalannya (malu)
10 Aktivitas sosial • Ikut bimbingan pemantapan nasional dan transmigrasi
• Relasi sosial dengan sesama WBS kurang terjalin karena AA merasa berbeda dan dengan demikian mengambil jarak.
• Menaruh prasangka dan sangat tertutup
• Tidak disukai pegawai panti
• Memposisikan diri sebagai penasehat/orang yang lebih tahu kepada orang-orang yang sudah mendapat kepercayaan AA
• Relasi sosial dengan sesama WBS kurang terjalin dengan baik
• Merasa dikucilkan dan sering menangis sedih
• Masih suka menggelandang walau sudah hidup di panti
• Relasi sosial dengan sesama WBS terjalin dengan cukup baik
• Mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri di
masyarakat yang lebih luas
• Tidak memiliki KTP dan kumpul kebo
11 Aktivitas ekonomi
• Ikut bimbingan pertanian, wirausaha
• Ikut bimbingan pilihan (pria) yaitu ketrampilan las
• Aktivitas mengemis tidak tentu. Hanya dilakukan bila butuh uang rokok
• Mengemis disebut mengamen dan memakai alat bantu ‘kicik-kicik’
• Ikut bimbingan pilihan (wanita) yaitu memasak dan ketrampilan
• Mengemis di shopping center Pasar Beringharjo dengan hasil antara Rp. 15.000,- sampai Rp. Rp.30.000,- per hari. Habis untuk konsumsi jangka pendek
• Mengemis disebut mengamen dan tidak ada manipulasi fisik
• Punya prinsip lebih baik
• Ikut bimbingan pilihan (wanita) yaitu memasak dan ketrampilan
• Mengemis di shopping center Pasar Beringharjo (Minggu di pasar pagi UGM dulu) dengan hasil antara Rp. 10.000,- sampai Rp. Rp.30.000,- per hari. Habis untuk konsumsi jangka pendek
mengemis daripada mencuri • Merasa sekarang banyak saingan pengemis dan J tidak melakukan manipulasi fisik 12 Makna
hidup-Arti hidup
Tidak ada kemiripan arti hidup.
Secara horisontal (hubungan dengan sesama manusia) sebagai kesempatan memberikan kontribusi bagi bangsa & negara. Secara vertikal (hubungan dengan Tuhan) sebagai perjalanan & perjuangan menemukan Tuhan. Tuhan dipandang sebagai kebenaran hakiki.
Hidup sebagai sebuah perjalanan yang penuh kesusahan dan kejelekan
Hidup sebagai sesuatu hal yang memusingkan dan susah untuk dijalani (dalam konteks ekonomi)
13 Makna hidup-Tujuan hidup
Tidak ada kemiripan tujuan hidup
Tujuan berorientasi kini (jasmani) : menjalani suka duka,
menemukan, mengintegrasikan Tuhan sebagai kebenaran di dalam dirinya & tujuan yang berorientasi ke depan yaitu mempersiapkan menghadapi kematian agar diterima di sisiNya (keselamatan).
Tidak ada gambaran atas tujuan yang ingin dicapai dalam hidup D.
Mencari uang untuk bertahan hidup
14 Makna hidup-Rencana hidup
Ada kemiripan pola rencana hidup AA, D dan J, walaupun isinya berbeda-beda yaitu ketiganya belum memiliki rencana hidup yang jelas atau minimalnya baru sebatas lontaran keinginan belaka.
Belum terencana dengan baik karena AA menyakini bahwa dirinya hanya hamba Tuhan yang jalan hidupnya telah ditetapkan Tuhan sehingga ia tidak banyak memiliki rencana. Ada keinginan untuk mengakhiri pengembaraan pada 2008
Rencana hidup D belum jelas dan terencana dengan baik sehingga baru sebatas keinginan-keinginan. Secara umum dapat dikatakan D belum memiliki rencana hidup yang bersifat jangka panjang. D sebatas memikirkan bagaimana mencari uang untuk hari ini
• Sebatas keinginan-keinginan, seperti mengkontrak rumah.
• Berusaha berjualan, namun tidak disertai dengan kemauan kuat serta merasa terhambat dengan persoalan modal dan keterampilan.
• J justru berusaha untuk memperpanjang masa tinggal di PSBK
• Ada rencana mengemis di tempat ibadah menjelang hari raya.
a) Latar belakang individu
1) Latar belakang fisik
Latar belakang fisik ketiga subjek menunjukkan perbedaan yang sangat tegas. AA memiliki fisik yang sehat, walaupun AA suka merokok. AA suka berpuasa dan dalam mengemis suka melakukan manipulasi fisik. D sakit-sakitan, suka merokok dan tidak melakukan manipulasi fisik. J sakit-sakitan dan tidak melakukan manipulasi fisik, tetapi tidak merokok. Perbedaan fisik ini merupakan hal yang sudah terjadi sebelum ketiga subjek masuk PSBK. Uniknya, PSBK tetap menampung D dan J yang mengalami gangguan kesehatan padahal salah satu syarat menjadi WBS adalah berbadan sehat dan tidak berpenyakit menular. Ketidaksesuaian ini mungkin disebabkan oleh dua hal. Pertama, persyaratan PSBK tersebut belum diturunkan dalam kualifikasi yang lebih rinci atau kedua, gangguan kesehatan kedua subjek masih dapat ditoleransi. Belum ada kriteria yang jelas mengenai kondisi fisik pengemis yang diijinkan menjadi WBS. Hal ini berpengaruh pada begitu bervariasinya keadaan fisik para WBS, bukan hanya pada ketiga subjek.
Secara umum kondisi fisik ketiga subjek dan WBS yang lain sangat bervariasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Adiwirahayu (1996) dan Anshoriy (1987) bahwa sebagian pengemis ada yang mengalami gangguan fisik dan sebagian yang lain memiliki fisik yang sempurna. Rata-rata pengemis sebelum masuk PSBK memang tidak merawat kesehatan dengan baik.
AA melakukan manipulasi fisik bukan untuk menimbulkan belas kasihan, tetapi sebagai cara untuk menghindari urusan administrasi. Dengan melakukan
manipulasi fisik, AA berharap masyarakat atau petugas ketertiban akan menganggapnya gila dan dengan demikian tidak akan mempedulikan dirinya. D dan J juga justru tidak simpatik terhadap pengemis yang melakukan manipulasi fisik. Fenomena AA, D dan J ini unik karena tidak ditemukan dalam penelitian Anshoriy (1987) tentang manipulasi fisik pengemis Dusun Karang Rejek atau pernyataan Adiwirahayu (1996) bahwa pengemis menampilkan diri sedemikian rupa agar orang menaruh belas kasihan.
2) Latar belakang mental
Dalam hal latar belakang mental, ketiga subjek memiliki gambaran diri yang negatif. Keluarga memiliki peran dalam hal ini. Ketiga subjek sering mendapat kekerasan verbal dari orang tua (AA dan J) atau saudara (D) sehingga lama kelamaan terbentuk konsep diri yang negatif. Penilaian negatif keluarga terhadap perilaku pengemis hingga akhirnya membentuk gambaran diri seseorang menurut Scheff dalam McCaghy, Capron dan Jamieson (2002) terbentuk melalui mekanisme labelling. Mekanisme labelling dari keluarga ini terjadi sebelum ketiga subjek menjadi pengemis, sementara mekanisme labelling dari masyarakat terjadi setelah ketiga subjek menjadi pengemis. Hal ini terjadi karena sedari awal pekerjaan pengemis memang sudah memperoleh label atau citra yang negatif dari masyarakat. Ketiga subjek secara otomatis menerima konsekuensi label yang sudah negatif tersebut. Konsep diri negatif yang sudah diperoleh dari keluarga dikuatkan oleh konsep negatif dari masyarakat. Uniknya AA justru tidak pernah menganggap dirinya sendiri sebagai pengemis, tetapi lebih sebagai pengembara atau petualang.
PSBK ternyata juga memberikan pengaruh terhadap pembentukan konsep diri ketiga subjek. Pembentukan konsep ini berasal dari interaksi subjek dengan PS dan dari interaksi subjek dengan WBS lain. PS pada umumnya menganggap ketiga subjek sebagai orang yang sulit dididik dan sebaliknya ketiga subjek sama-sama tidak menyukai PS. Saat dilakukan konfirmasi data, ada perbedaan data antara PS dengan hasil penelitian karena subjek seringkali berbohong kepada PS. Subjek tidak mempercayai PS dan AA begitu tertutup dengan PS karena tidak mau identitasnya terbongkar. Interaksi subjek dengan WBS lain akan dijelaskan pada bagian aktivitas sosial.
Kesamaan lain dari latar belakang mental adalah bahwa ketiga subjek mengaku beragama Islam, tetapi kesulitan menjalankan ritual peribadatannya. AA menjadi Islam dipicu oleh pengalaman spiritual yang dialaminya. J menjadi Islam semata hanya supaya bisa diterima oleh warga PSBK yang lain. D mengaku Islam, tetapi sebenarnya D tidak pernah benar-benar sadar mengenai pilihan agamanya. Hal ini terjadi karena D memiliki keterbatasan mental sehingga D kesulitan mencerna bukan hanya proses spiritual, namun juga proses fisik dan mental. Keterbatasan D bukan hanya pada masalah kesulitan dalam ritual peribadatan, namun juga pada aspek kehidupan yang lain.
Ketiga WBS berbeda dalam hal tingkat kecerdasan dan wawasan, karakter dan emosi serta alasan menjadi WBS. D dan J buta huruf dan sekolah hanya sampai kelas 1 SD, sementara AA walaupun mengaku tidak sekolah, namun dapat membaca dan memiliki wawasan yang luas. D dan J memiliki emosi yang labil dan cenderung agresif sementara AA sangat tertutup. AA mendaftar jadi WBS
sebagai tempat transit untuk menunggu datangnya pencerahan tentang tujuan pengembaraan berikutnya, sementara D hanya ikut-ikutan pasangan kumpul kebonya. J mendaftar karena tertarik dengan fasilitas dan jaminan yang akan diberikan. Alasan ini tidak berubah signifikan setelah sekian lama menjalani pembinaan di PSBK yang nanti dapat dilihat pada makna hidup (arti, tujuan dan rencana hidup) ketiga subjek yang tidak menunjukkan perubahan yang berarti.
Alasan ketiga subjek mengikuti rehabilitasi sosial ini ternyata jauh berbeda dengan tujuan didirikannya PSBK yaitu untuk membina dan mengentaskan WBS menuju kehidupan yang lebih baik. Pembinaan di PSBK cenderung bersifat top down dan menganggap bahwa selama para WBS tidak membuat keributan, maka pembinaan dianggap lancar. Pembinaan dianggap baik hanya dalam tataran prosedural, sementara kemajuan WBS secara kualitatif belum terukur dengan jelas.
Pola pembinaan seperti itu justru menyuburkan tumbuhnya konsep diri yang negatif, prilaku acuh tak acuh dan demotivasi diri pada WBS sehingga tidak heran setelah masa pembinaan selesai, banyak WBS yang kembali pada pekerjaan lamanya yaitu menggelandang di jalan. PSBK merasa cukup bila WBS sudah mengikuti bimbingan dan makan 3 kali sehari, tetapi tidak pernah menjalin persahabatan dan komunikasi yang intensif dengan WBS untuk menggali lebih dalam persoalan pokok dalam diri WBS.
Secara umum kondisi mental ketiga subjek sesuai dengan gambaran Indrawati (2004), Adiwirahayu (1996) dan Anshoriy (1987) dan “Standar Pelayanan Minimal” (2005) dimana kondisi mental pengemis digambarkan sebagai buta
huruf, kecerdasan kurang, wawasan tidak luas, emosi cenderung labil, konsep diri negatif dan memiliki kehidupan religius yang minim. Perkecualian tentu diberlakukan terhadap fenomena AA.
b. Latar belakang sosial
1) Keluarga
Penelitian ini juga mengungkapkan adanya kemiripan latar belakang sosial keluarga ketiga subjek dimana ketiga subjek sama-sama memiliki hubungan yang tidak baik dengan saudara-saudara kandungnya. Konflik ini memicu ketiga subjek untuk pergi dari rumah. Konflik AA didahului dengan konflik dengan orang tua yang menerapkan sistem pendidikan otoriter dan menganut nilai-nilai Kristen dengan saat ketat. Puncaknya adalah saat AA berpindah agama menjadi Islam. Konflik AA dengan saudaranya terjadi secara tidak langsung karena AA merasa pola hidup saudara-saudaranya yang telah mapan sangat jauh berbeda dengan pola hidupnya. AA tidak senang latar belakangnya diungkit-ungkit sehingga AA begitu tertutup terhadap PS. AA berasal dari keluarga yang berkecukupan.
D tidak memiliki konflik dengan orang tua, tetapi D terlibat konflik secara langsung dengan saudara-saudaranya yang sering melakukan kekerasan verbal terhadap D karena keterbatasan mental D. D memiliki konsep yang positif tentang ibunya. D dibesarkan dalam nilai-nilai masyarakat agraris. D berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi yang rendah.
J dibesarkan dalam nilai-nilai supranatural. J berkonflik baik dengan orang tuanya maupun dengan saudara-saudaranya. J dibentuk oleh kerasnya kehidupan
jalanan dan J menduplikasi konsep poligami dari ayahnya. J berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi yang sedang.
Secara umum latar belakang sosial keluarga ketiga subjek sesuai dengan pernyataan Cahyono (2000) tentang adanya konflik dalam keluarga. Konflik keluarga membuat subjek tidak merasa nyaman tinggal di rumah. Ketidaknyamanan ini sedemikian rupa membuat subjek memutuskan diri untuk pergi meninggalkan rumah. Subjek lebih memilih menggelandang di jalan daripada bertahan di rumahnya masing-masing. Pernyataan Indrawati (2004) tentang tingkat ekonomi keluarga pengemis yang relatif rendah tidak berlaku bagi AA dan J.
2) Lembaga
Tidak ada temuan yang mendalam mengenai latar belakang sosial lembaga dari ketiga subjek. AA pernah singgah di pondok pesantren dalam rangka pencarian teologisnya sementara J pernah mengikuti program transmigrasi Pemda Malang ke Papua, walaupun J tidak mengakuinya kepada PS. Minimnya keterlibatan subjek penelitian dengan lembaga dipengaruhi oleh karakteristik pengemis itu sendiri yang suka hidup bebas dan tidak mau terikat oleh oleh aturan atau norma dan kelembagaan (Cahyono, 2000).
3) Komunitas
D dan J terlibat komunitas informal sesama gepeng. D bahkan berinteraksi dengan jaringan PSK Tugu dan pernah menjadi PSK. Aktivitas D dan J pada komunitas informal tersebut ternyata ikut membentuk prilaku non normatif mereka yaitu prilaku kumpul kebo. Komunitas memiliki peran yang kuat dalam
membentuk perilaku non normatif subjek. Kehidupan sosial komunitas AA tidak dapat terungkap, tetapi setidaknya AA membentuk persekawanan sendiri dengan AL dan Y, yaitu orang-orang yang dianggap sepaham dengan dirinya. Selebihnya AA lebih sibuk dengan pergulatan pemikiran dan permenungannya.
PSBK sendiri tidak mengatur mengenai komunitas ini sendiri. PSBK pun tidak melarang prilaku kumpul kebo yang dilakukan D dan J atau WBS yang lain. D dan J justru tinggal dengan pasangan kumpul kebonya di PSBK. Hal ini menunjukkan bahwa PSBK sendiri belum berfungsi sebagai tempat penanaman nilai-nilai normatif kepada subjek maupun WBS. PSBK tidak membawa suasana komunitas yang baru kepada WBS.
4) Masyarakat
D dan J menampilkan prilaku non normatif seperti kumpul kebo. D dan J juga dibentuk dari kerasnya kehidupan di jalanan. AA sendiri tidak atau jarang melakukan interaksi dengan masyarakat karena sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk mengembara dan menyendiri. AA bahkan cenderung menarik diri dari pergaulan sosial yang terbukti dengan tindakan manipulasi fisik supaya dikira gila.
Situasi latar belakang sosial masyarakat ketiga subjek ini sesuai dengan pernyataan Indrawati (2004) bahwa pengemis sering dinilai berprilaku non-normatif.
c. Motif yang mendasari
D dan J adalah pengemis dengan motif ekonomi yaitu pemenuhan kebutuhan ekonomi jangka pendek. Faktor ekonomi, faktor konflik keluarga serta faktor tingkat pendidikan dan keterampilan yang tidak memadai adalah faktor-faktor yang membentuk motif ekonomi D dan J. Pemenuhan kebutuhan ekonomi D hanya bersifat jangka pendek, sedangkan J menganggap mengemis hanya sebagai sebuah peruntungan nasib.
AA memiliki motif mengemis yang berbeda. AA memiliki motif non ekonomi. Secara praktis AA mengemis untuk menghindari urusan administratif, mendapatkan uang supaya bisa merokok dan menjadi manifestasi pelepasan diri dari kelekatan terhadap materi duniawi. Secara khusus dapat dikatakan bahwa AA memiliki motif teologis. AA secara sadar memilih jalan hidup untuk memiskinkan diri. Faktor yang mempengaruhi motif teologis AA adalah faktor keyakinan AA terhadap ajaran tertentu dan faktor interaksi AA dengan komunitas tertentu. Secara pribadi AA percaya dan berusaha menerapkan ajaran Syekh Siti Jenar dalam kehidupannya. Menurut penafsiran AA ajaran tersebut diterapkan dalam tindakan-tindakan yang lebih bersifat spiritual yaitu :