• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Kehidupan Pengemis

1. Latar Belakang

Latar belakang hidup pengemis menunjuk pada gambaran atas kondisi-kondisi yang ada pada diri pengemis baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Secara garis besar, latar belakang hidup pengemis dapat dibagi menjadi dua, yaitu latar belakang hidup pengemis selaku individu dan latar belakang sosial pengemis.

a. Latar Belakang Individu. Hartono dan Aziz (1990) menyatakan bahwa

manusia merupakan makhluk biologis sekaligus merupakan individu yang memiliki kejiwaan dimana potensi-potensi yang ada di dalamnya harus dikembangkan. Berdasarkan pemikiran ini, maka latar belakang individu ini dapat dibagi menjadi latar belakang fisik dan mental.

1) Fisik. Latar belakang fisik merupakan penjelasan atas individu sebagai

makhluk biologis. Secara fisik, sebagian pengemis ada yang mengalami kecacatan, seperti buta, sumbing, pincang, lepra, ayan, gatal-gatal pada kulit dan sebagainya; Sebagian lain pengemis memiliki badan yang sehat, fisik yang sempurna (Adiwirahayu, 1996; Anshoriy, 1987, Winarno, 2005). Terlepas dari sehat atau tidaknya pengemis, sebagian besar dari mereka cenderung tidak merawat kesehatan dengan baik (Indrawati, 2004). Pengemis sering menampilkan diri sedemikian rupa agar orang menaruh belas kasihan padanya. Berbagai cara dilakukan seperti berpakaian compang-camping, membuat badan tampak dekil (kumal), rambut gembel, berbau busuk atau apek karena disengaja tidak mandi dan sebagainya (Adiwirahayu, 1996). Penelitian yang dilakukan oleh Anshoriy (1987) berhasil mengungkap teknik manipulasi keadaan fisik yang dilakukan

pengemis pada Dusun Karang Rejek, Desa Karang Tengah, Imogiri, Bantul supaya memancing belas kasihan orang lain. Pengemis memoleskan tape yang sudah dibusukkan pada kaki bayi yang digendongnya supaya menimbulkan kesan bahwa bayi tersebut terkena penyakit kulit yang sangat parah. Olesan tape busuk akan memancing lalat untuk berkerumun. Teknik lain adalah dengan memolesi mata dengan jenis daun tertentu sehingga membuatnya seperti buta. Cara lain yang agak konvensional adalah dengan menekuk kaki sedemikian rupa supaya terlihat pincang (Anshoriy, 1987).

2) Mental. Aspek mental merupakan kondisi psikis yang ada dalam diri

pengemis.

Kecerdasan pengemis cenderung kurang (Indrawati, 2004). Perkembangan kognitif pengemis semakin terhambat dengan faktor pendidikan yang rendah. Pengemis tidak memiliki keterampilan dan wawasan yang luas (Adiwirahayu, 1996; Cahyono, 2000; Indrawati, 2004). Penelitian Anshoriy (1987) terhadap pengemis Dusun Karang Rejek, Desa Karang Tengah, Imogiri, Bantul menunjukkan 96% penduduk Karang Rejek buta huruf; 36,71% sama sekali tidak menyentuh bangku Sekolah Dasar; sebagian lainnya, rata-rata hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 2 SD. Rendahnya tingkat pendidikan pengemis disebabkan oleh masalah biaya yang tidak mencukupi dan kurangnya kesadaran akan arti penting pendidikan dalam diri pengemis itu sendiri (Anshoriy,1987).

Penelitian Indrawati (2004) terhadap 78 gelandangan dan pengemis di Jawa Tengah menunjukkan bahwa pengemis memiliki kepribadian yang labil. Mereka kurang sabar dan mudah tersinggung. Konsep diri yang berkembang dalam diri

mereka cenderung negatif. Mereka rendah diri, kurang percaya diri, merasa tidak berharga, tidak berguna, tidak dikenal, serta acuh tak acuh. Kartono (1981) menyatakan masyarakat pengemis banyak yang mengidap kekalutan mental

(mental disorder). Pengemis juga kurang mengembangkan motivasi diri

khususnya motivasi dalam bekerja. Pengemis malas bekerja dengan menggunakan tenaga dan pikirannya (Winarno, 2005).

Dalam aspek religiusitas-ketaatan seseorang untuk melaksanakan agama yang merupakan perasaan dan pengakuannya terhadap kekuatan tertinggi secara total-pengemis kurang taat beribadah (Setianingsih, 2003). Pengemis tidak memiliki pandangan hidup yang religius. Pendalaman agama yang kurang ini menyebabkan pengemis kurang memiliki ketahanan terhadap stress (Indrawati, 2004; Setianingsih, 2003).

b. Latar Belakang Sosial. Individu tidak mampu berdiri sendiri, melainkan

hidup dalam suatu hubungan antar manusia. Manusia dalam hidupnya harus selalu mengadakan kontak dengan manusia lain (Hartono dan Aziz, 1990). Demikian halnya pada pengemis, ia tidak mampu berdiri sendiri dan harus selalu mengadakan kontak dengan manusia lain dalam kehidupan sosial. Latar belakang sosial kehidupan pengemis merupakan kehidupan sosial yang terdiri dari keluarga, lembaga, komunitas, dan masyarakat.

1) Keluarga. Keluarga merupakan satuan sosial terkecil yang dimiliki

manusia sebagai makhluk sosial, yang ditandai adanya kerja sama ekonomi (Soelaeman, 1989:55). Fungsi keluarga meliputi pengaturan seksual, reproduksi, sosialisasi, pemeliharaan, penempatan anak dalam masyarakat, pemuas kebutuhan

seseorang, dan kontrol sosial (Goode, 1983 dalam Soelaeman, 1989:56). Penelitian Indrawati (2004) terhadap 78 gelandangan dan pengemis di Jawa Tengah mengungkap bahwa secara fungsi pengaturan seks dan reproduksi, pengemis ada yang berasal dari pasangan resmi, namun ada juga yang terbentuk secara tidak resmi (kumpul kebo). Perilaku berganti-ganti pasangan dan seks bebas adalah hal yang biasa di temui dalam latar belakang keluarga pengemis. Fungsi sosialisasi, penempatan dalam masyarakat dan kontrol sosial dari keluarga pengemis menunjukkan adanya penurunan nilai perilaku berganti-ganti pasangan serta kurang pentingnya pendidikan. Pengemis yang memiliki orang tua pengemis, nilai-nilai untuk berperilaku mengemis diturunkan secara langsung maupun tidak langsung. Tingkat ekonomi keluarga pengemis relatif rendah. Mereka umumnya berasal dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah (”Standar Pelayanan Minimal”, 2005). Tingkat sosial ekonomi yang rendah ini sering menjadi penghambat fungsi pemeliharaan dan tercapainya kepuasan pengemis akan kebutuhannya.

Pengemis sering memiliki konflik dalam keluarga seperti broken home, kekerasan yang meliputi pertengkaran, perkelahian, penganiayaan hingga pengalaman trauma di masa lalu (Aminatun dan Sujanti, 2005; Cahyono, 2000)

2) Lembaga. Lembaga diartikan sebagai norma-norma yang berintegrasi

pada fungsi masyarakat. Sebuah lembaga mengandung aspek kultural dan struktural. Aspek kultural berupa norma-norma dan nilai-nilai. Aspek struktural berupa berbagai peranan sosial (Soelaeman, 1989). Belum ada data yang mengungkap latar belakang kelembagaan pengemis.

3) Komunitas. Komunitas merupakan satuan kebersamaan hidup sejumlah orang banyak yang memiliki ciri-ciri (Soelaeman,1989:67) :

a) teritorialitas yang terbatas

b) keorganisasian tata kehidupan bersama

c) berlakunya nilai-nilai dan orientasi nilai yang kolektif.

Pengemis memiliki komunitas di jalanan dengan pola hidup yang bebas dan sesukanya, seperti tidur di sembarang tempat. Hal ini menyebabkan komunitas pengemis terpisah dari kehidupan masyarakat pada umumnya (Cahyono, 2000).

4) Masyarakat. Masyarakat merupakan satuan lingkungan sosial yang

bersifat makro. Aspek teritorial kurang ditekankan, namun aspek keteraturan sosial dan wawasan hidup kolektif memperoleh bobot yang lebih besar (Soelaeman,1989:67). Dalam kehidupan bermasyarakat, pengemis sering dinilai berperilaku non-normatif (Indrawati, 2004). Pengemis merupakan bagian dalam masyarakat yang dipandang sebagai sampah masyarakat, pihak yang mengotori atau merusak pemandangan dan tidak produktif.

Berdasarkan pemaparan di atas, latar belakang pengemis dapat dipandang sebagai satu kesatuan utuh antara latar belakang individu dan latar belakang sosialnya. Perpaduan kedua hal ini membentuk identitas yang unik sekaligus kompleks dalam diri seorang pengemis. Pengemis membentuk identitas yang unik karena keberadaannya bukan hanya identitas pribadi, tetapi juga menjadi sebuah identitas sosial. Identitas pengemis juga menjadi kompleks karena pertemuan antara latar belakang kehidupan dengan kenyataan sosial sering menghasilkan fenomena-fenomena tertentu.

Dokumen terkait