• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRAK

USMAN. Analisis Tingkat Kecernaan dan Limbah Nitrogen (N) Pakan yang Berbeda Kadar Protein pada Budidaya Ikan Bandeng. Dibimbing oleh ENANG HARRIS, DEDI JUSADI, EDDY SUPRIYONO, dan MUNTI YUHANA

Protein pakan sangat penting bagi pertumbuhan ikan, namun ikan juga banyak menggunakan protein sebagai sumber energi, sehingga cenderung banyak membuang limbah N ke lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kecernaan dan beban limbah nitrogen (N) beberapa pakan komersil yang mengandung kadar protein berbeda dalam pembesaran ikan bandeng. Informasi ini selanjutnya akan dijadikan acuan memanfaatkan limbah N tersebut untuk penumbuhan bioflok. Pakan uji yang digunakan adalah pakan komersial yang memiliki kadar protein berbeda yaitu 17%, 21% dan 26%. Pakan tersebut digiling ulang, lalu ditambahkan kromium oksida (Cr2O3) sebagai indikator kecernaan. Untuk menentukan total limbah N yang dibuang ke lingkungan, maka dilakukan pemeliharaan ikan bandeng selama 45 hari dan menghitung retensi N. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecernaan ketiga pakan tersebut tidak berbeda nyata (P>0,05%) yaitu antara 77,2-78,2% untuk bahan kering, 88,6-90,0% untuk protein, 94,2–96,1% untuk lemak, dan 80,8–81,3% untuk bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN). Ikan yang diberi pakan berprotein 26% memiliki laju pertumbuhan dan efisiensi pakan yang lebih tinggi (P<0,05) daripada ikan yang diberi pakan berprotein lebih rendah. Namun total limbah N per 100 g pakan yang masuk ke perairan meningkat secara nyata (P<0,05) dengan meningkatnya kadar protein pakan yaitu 2,27g N untuk pakan berprotein 17%, 2,76g N untuk pakan berprotein 21%, dan 3,28g N untuk pakan berprotein 26%. Untuk mengkonversi limbah N dari budidaya bandeng ini menjadi bakteri heterotrof (bioflok), diperlukan aplikasi C-organik sebanyak 22,7g, 27,6 dan 33g, /100 g pakan berturut-turut untuk pakan yang berprotein 17%, 21% dan 26%.

Kata kunci: Kecernaan pakan, limbah nitrogen, kadar protein, C organik, pertumbuhan, dan ikan bandeng

ABSTRACT

USMAN. Analysis of Apparent Digestibility Coeffcient and Nitrogen Waste of Diet Containing Different Protein Levels for Milkfish Grow-out. Supevised by ENANG HARRIS, DEDI JUSADI, EDDY SUPRIYONO, and MUNTI YUHANA

Feed protein very important for fish growth, however fish use many the feed protein as energy until tend nitrogen (N) wasted to environment. This experiment was conducted to analysis the feed digestibility and nitrogen (N) waste of milkfish grow-out and assessment of organic-C additional to promote heterotrophic bacteria (bioflocs). Three commercial diets were used containing different protein levels i.e. (A) 17%, (B) 21%, and (C) 26%. Chromic oxide was used as the digestibility marker. To assess the total of nitrogen waste, the milkfish with initial weight of 48g/fish were reared for 45 days and the protein retention was calculated. The results showed that the apparent digestibility of the all three tested diets was not significantly different (P>0.05) i.e. 77.278.2% for dry matter, 88.690% for protein, 94.2–96.1% for lipid, and 80.581.3% for nitrogen free extract (NFE). Fish fed the diet with 26% protein content had highest (P<0,05) specific growth rate and feed efficiency compared to the other diets with low protein content. However, the total nitrogen waste per 100 g of feed released to the waters tended to increase with the increase of protein content of the feed, i.e. 2,27g N for 17% of diet protein content; 2,76g N for 21% of diet protein content, and 3,28g N for 26% of diet protein content. Conversion of the total N waste of milkfish grow-out to promote biofloc needed additional of organic-C of 22,7g; 27,6g; 33g, per 100 g of feed which have 17%, 21% and 26% proteins content respectively.

Keywords: Feed digestibility, nitrogen waste, protein levels, organic-C, growth, and milkfish

Pendahuluan

Umumnya ikan membutuhkan protein pakan yang tinggi untuk tumbuh secara optimum, karena protein pakan selain digunakan sebagai zat penyusun tubuh (pertumbuhan) juga digunakan sebagai sumber energi. Berbeda dengan hewan darat, ikan menggunakan protein secara efektif sebagai sumber energi utama dibandingkan karbohidrat dan lemak (Wilson 2002). Oleh karena itu, ikan banyak mengeluarkan limbah N, utamanya total ammonia-nitrogen (TAN) sebagai hasil perombakan protein dan asam amino (deaminasi) untuk keperluan sumber energi (Halver & Hardy 2002). Selain itu, limbah N ini juga berasal dari sisa pakan yang tidak termakan dan feses. Menurut Avnimelech & Ritvo (2003), jumlah N yang diretensi oleh ikan dari pakan yang diberikan hanya sekitar 2030% atau rata-rata 25% dan sisanya sekitar 70-80% baik berupa N-organik maupun N-anorganik dibuang ke perairan. Hal ini merupakan penyebab rendahnya efisiensi protein dan tingginya limbah N dari kegiatan budidaya

intensif. Limbah TAN dan turunannya NO2 memiliki sifat toksik terhadap kehidupan ikan budidaya (Wedemeyer 1996), sehingga harus diupayakan agar senyawa ini selalu dalam konsentrasi rendah yang tidak membahayakan kehidupan ikan budidaya. Oleh karena itu, perlu dicari upaya yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan protein pakan dan menurunkan beban limbah dari kegiatan budidaya ikan secara intensif, agar didapatkan kegiatan budidaya ikan dengan produktivitas tinggi dan berkesinambungan (Midlen & Redding 2000).

Bakteri heterotrof ternyata dapat mengassimilasi dengan cepat total amoniak (TAN) dalam perairan dan dikonversi menjadi protein bakteri jika terdapat keseimbangan C/N yang optimal untuk pertumbuhannya yaitu antara 10-30 (Avnimelech 1999; Montoya & Velasco 2000; McIntosh 2001; Brune et al

2003; De Schryver et al. 2008). Pada budidaya ikan intensif dengan pemberian pakan buatan yang mengandung protein tinggi menyebabkan rasio C/N dalam media budidaya rendah (<10), sehingga untuk menumbuhkan bakteri heterotrof diperlukan penambahan C-organik secara berkala. Jika bakteri heterotrof ini berkembang hingga kepadatan tertentu (>107 cfu/ml), maka akan membentuk bioflok. Bioflok ini merupakan campuran heterogen dari mikroba (bakteri, plankton, fungi, protozoa, ciliata, nematoda), partikel, koloid, polimer organik, kation yang saling berintegrasi cukup baik dalam air untuk tetap bertahan dari agitasi (goncangan) air yang moderat (Jorand et al. 1995). Flok mikroba ini mengandung nutrisi seperti protein (1940,6%), lemak (0,4611,6%), dan abu (738,5%) yang cukup bagus bagi ikan / udang budidaya (Tacon 2000; Ekasari 2008). Oleh karena itu, keuntungan budidaya ikan dengan teknologi bioflok ini adalah dapat memperbaiki kualitas air, meningkatkan efisiensi protein pakan dan mengurangi limbah budidaya.

Namun tidak semua ikan dapat memanfaatkan bioflok ini sebagai makanannya disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kemampuan ikan memanen bioflok, ukuran bioflok, kepadatan bioflok, dan preferensi makanan suatu jenis ikan (Avnimelech 2007). Menurut Bagarinao (1994), ikan bandeng di alam memiliki preferensi makanan yang beragam, yaitu memakan zooplankton, diatom, bentos kecil, alage filamen, algae mat, dan detritus. Struktur tapis insang ikan bandeng yang panjang-panjang dan rapat memiliki fungsi sebagai penyaring mikroorganisme air (seperti plankton) dan juga memiliki epibrancheal organ yang berfungsi sebagai alat untuk memadatkan material yang dimakan sebelum

ditelan (Huisman 1987). Oleh karena itu, diduga ikan bandeng mampu memanfaatkan bioflok sebagai makanannya.

Pada budidaya pembesaran ikan bandeng di Indonesia, ada bebera jenis pakan komersil yang beredar di pasaran dengan kadar protein yang beragam mulai dari 16% hingga 27% sesuai dengan peruntukan tingkat teknologi budidaya. Kadar protein pakan yang berbeda akan memberikan respon pertumbuhan ikan, pemanfaatan pakan, dan limbah N yang berbeda. Sebagai langkah awal dalam mengkaji pemanfaatan bioflok pada budidaya ikan bandeng ini, maka dilakukan penelitian tentang kecernaan nutrient pakan dan pendugaan limbah N pada budidaya ikan bandeng untuk dijadikan acuan dalam penumbuhan bioflok.

Bahan dan Metode