• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil pengamatan nilai koefisien kecernaan nutrien pakan ikan bandeng yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2 dan Lampiran 6 Pada tabel tersebut terlihat bahwa nilai kecernaan bahan kering, protein, lemak, BETN dan C-organik pakan cukup tinggi untuk semua jenis pakan. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa nilai kecernaan nutrien pakan tersebut tidak berbeda nyata (P>0,05) diantara ketiga jenis pakan uji (Lampiran 7, 8, 9, 10 dan 11). Hal ini menunjukkan bahwa persentase limbah padatan dari total jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ikan bandeng relatif sama untuk semua jenis pakan tersebut. Namun demikian, karena kandungan protein pakan yang berbeda, maka jumlah protein pakan yang dikeluarkan ke lingkungan cenderung meningkat dengan meningkatnya jumlah protein pakan yang dikonsumsi (Tabel 3). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi kandungan protein pakan ikan bandeng ini, maka jumlah limbah nitrogen padatan dalam bentuk feses juga meningkat. Pada pakan yang mengandung protein 17,3%, 21,5% dan 25,9%, maka setiap 100 g pakan yang dikonsumsi oleh ikan bandeng akan menghasilkan limbah padatan protein berturut-turut sekitar 2,0 g, 2,2 g dan 2,6 g atau berurut-turut sekitar 0,32 g; 0,35 g dan 0,42 g N. Sementara jumlah C-organik dalam feses dari setiap 100 g pakan tersebut berturut-turut adalah 9,5 g; 9,2 g dan 8,6 g, sehingga rasio C/N dalam feses ikan bandeng yang diberi pakan tersebut berturut-turut sekitar 29,7; 26,1 dan 20,7. Rasio C/N dalam feses

ikan bandeng tersebut khususnya yang diberi pakan berprotein 26% cukup optimal untuk pertumbuhan bakteri heterotrof, jika terjadi dalam kondisi aerob (Montoya & Velasco 2000; McIntosh 2001; Avnimelech 2009).

Tabel 2. Koefisien kecernaan pakan dengan kadar protein berbeda

Pakan uji

Nutrien (%)

Bahan kering Protein Lemak BETN C-organik

CP.17% 77,22,4a 88,60,7a 94,21,7a 80,52,8a 81,61,9a CP.21% 78,23,2a 89,72,3a 95,80,9a 81,32,6a 81,72,7a CP.26% 77,75,0a 90,01,8a 96,11,0a 80,86,1a 83,13,8a

Nilai dalam kolom yang sama diikuti superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda

nyata (P>0,05).

Tabel 3. Rata-rata jumlah nutrien yang dikeluarkan dalam bentuk feses ikan bandeng untuk setiap 100 g pakan uji (bobot kering)

Pakan uji

Nutrien (g)

Bahan kering Protein Lemak BETN C-organik

CP.17% 22,8±2,4a 2,0±0,1a 0,3±0,1a 12,3±1,8a 9,5±1,0a

CP.21% 21,8±3,3a 2,2±0,5a 0,3±0,1a 10,5±1,5a 9,2±1,4a

CP.26% 22,2±5,1a 2,6±0,5a 0,2±0,1a 10,1±3,2a 8,6±1,9a

Pertumbuhan Ikan dan Pendugaan Limbah N Pakan

Hasil pengamatan tentang kinerja pertumbuhan ikan dan retensi protein pakan disajikan pada Tabel 4 dan Lampiran 12. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa laju pertumbuhan spesifik ikan, efisiensi pakan, dan rasio efisiensi protein berbeda nyata (P<0,05) diantara perlakuan (Lampiran 14, 15, dan 16). Laju pertumbuhan spesifik ikan meningkat seiring dengan meningkatnya kadar protein pakan. Efisiensi pakan juga meningkat dengan meningkatnya kadar protein pakan. Namun efisiensi protein menurun dengan meningkatnya kadar protein pakan. Sementara retensi protein dan kelangsungan hidup ikan relatif sama (P>0,05) diantara semua pakan uji (Lampiran 17 dan 18). Hal ini menujukkan bahwa pada budidaya ikan bandeng dengan mengandalkan 100% pakan buatan, maka menggunakan pakan yang mengandung protein sekitar 26% lebih baik dibandingkan pakan yang mengandung protein 21% dan 17% untuk mendapatkan pertumbuhan dan

efisiensi pakan yang lebih tinggi. Sumagaysay (1991) melaporkan bahwa pada pemeliharaan ikan bandeng di tambak dengan kepadatan 7000 ekor/ha, didapatkan efisiensi pakan sekitar 0,30–0,31 dan efisiensi protein antara 1,131,16 ketika diberi pakan dengan kadar protein 26%. Selanjutnya Sumagaysay & Borlongan (1995) melaporkan bahwa pada pemeliharaan ikan bandeng di tambak dengan kepadatan 7000 ekor/ha, didapatkan efisensi pakan sekitar 0,53 dan 0,83 serta rasio efisiensi protein sekitar 1,70 dan 2,54 ketika diberi pakan berprotein 30% dengan dosis pakan berturut-turut 2% dan 4% biomassa per hari.

Tabel 4. Kinerja pertumbuhan ikan bandeng setelah diberi pakan yang mengandung kadar protein berbeda

Peubah Pakan Uji

CP. 17% CP. 21% CP. 26%

Bobot awal (g) 48,3±0,62 48,2±0,44 48,7±0,69

Bobot akhir (g) 63,3±0,62 65,2±1,22 68,2±0,98

Laju pertumbuhan spesifik ikan

(%/hari) 0,600,02

a

0,690,02b 0,750,03c

Efisiensi pakan 0,250,01a 0,300,01b 0,320,02c

Rasio efisiensi protein 1,450,04a 1,380,05b 1,250,07c Retensi protein (%) 17,753,10a 20,073,01a 20,652,08a Kelangsungan hidup ikan (%) 1000,0a 96,75,8a 1000,0a

Nilai tengah dalam baris yang sama diikuti superscript yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata (P>0,05).

Pakan uji yang digunakan memiliki kandungan energi tercerna yang relatif sama, dan tampaknya ikan bandeng ini mengkonsumsi pakan untuk memenuhi kebutuhan energinya, sehingga jumlah masing-masing ketiga pakan uji yang dikonsumsi oleh ikan bandeng ini relatif sama (Tabel 5) dan (Lampiran 19). Menurut Duraszo et al. (2010), ikan mengkonsumsi pakan untuk memenuhi kebutuhan energi metabolismenya seperti pada ikan seabass. Kandungan energi pakan merupakan faktor utama yang mengontrol tingkat konsumsi pakan ikan (Glencross 2006; Mohanta et al. 2008), bersama dengan faktor ukuran ikan, suhu dan palatabilitas pakan (De Carvalho et al. 2010). Selanjutnya Boujard (2001) menyatakan bahwa ikan dan hewan akuatik lainnya mengkonsumsi pakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Pada penelitian ini, ikan bandeng yang diberi

pakan berprotein 26% mengkonsumsi (Lampiran 20) dan mengabsorpsi lebih banyak protein (kecernaan protein pakan uji relatif sama) dari pada ikan yang mengkonsumsi pakan berprotein 16% dan 21% . Lampiran. Hal ini menyebabkan ketersedian protein untuk pertumbuhan pada ikan tersebut lebih banyak. Pascual (1989 dalam Millamena 2002) melaporkan bahwa kadar protein dalam pakan untuk pertumbuhan optimum juvenil ikan bandeng antara 3040%. Sementara Sumagaysay dan Borlongan (1995) mendapatkan kadar protein pakan sekitar 24% untuk pertumbuhan optimum ikan bandeng di tambak ketika diberi pakan sebanyak 4% per hari. Hal tersebut mengkonfirmasikan bahwa pakan yang memiliki kadar protein 17% dan 21% tidak dapat memenuhi kebutuhan protein, khususnya asam amino essensial, untuk pertumbuhan optimum ikan uji jika dipelihara secara intensif dengan mengandalkan suplai kebutuhan nutrien dari pakan buatan tersebut.

Tabel 5. Total protein pakan yang dikonsumsi dan limbah N yang dikeluarkan ke lingkungan budidaya untuk ketiga jenis pakan uji selama penelitian

Peubah Pakan Uji

CP. 17% CP. 21% CP. 26%

Konsumsi pakan(g) 597±6,3a 590±5,0a 603±8,2a

Konsumsi protein pakan (g) 103,21,1a 127,11,0b 155,72,1c Protein pakan yang terbuang ke

lingkungan (g) 84,94,0

a

101,63,2b 123,53,1c Limbah N pakan yang terbuang ke

lingkungan (g)

13,580,63a 16,260,51b 19,770,50c

Meskipun ikan bandeng yang diberi pakan dengan kadar protein rendah (17% dan 21%) dan mampu mencerna baik sumber energi lain dalam pakan (lemak dan karbohidrat (BETN)), namun juga tetap menggunakan protein sebagai salah satu sumber energinya (dengan proses deaminasi), sehingga mengakibatkan adanya buangan limbah N ke perairan rata-rata sebanyak 13,58 g dan 16,26 g selama pemeliharaan berturut-turut untuk pakan berprotein 17% dan 21% (Tabel 5). Bahkan pada ikan yang mengkonsumsi pakan berprotein 26%, meskipun memiliki laju pertumbuhan dan efisiensi pakan yang lebih tinggi dibandingkan ikan yang mengkonsumsi pakan berprotein lebih rendah, namun jumlah limbah N-nya yang masuk ke perairan juga lebih tinggi (19,77 g). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ikan diberi energi pakan yang

cukup dari karbohidrat dan lemak, namun ikan akan tetap menggunakan protein sebagai salah satu sumber energinya. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar protein pakan ikan bandeng, maka limbah N yang dikeluarkan juga semakin tinggi (Lampiran 21 dan 22). Menurut Brunty (1997), protein pakan merupakan sumber limbah N (ammonia) yang akan masuk ke dalam sistem produksi (media budidaya), dan semakin tinggi kadar protein pakan cenderung semakin tinggi limbah TAN yang dihasilkan. Namun menurut Begum

et al (1994), perbedaan species dan stadia ikan akan menyebabkan perbedaan tingkat pemanfaatan protein pakan, sehingga tingkat produksi limbah TAN juga sangat bervariasi.

Agar limbah TAN ini tidak menjadi beban bagi lingkungan sekitarnya dan tidak mengganggu kehidupan ikan bandeng itu sendiri, maka limbah ini perlu dikelola dengan baik. Bahkan harus diupayakan agar limbah tersebut dapat dikonversi menjadi makanan kembali bagi ikan bandeng. Salah satu solusi yang memungkinkan untuk hal tersebut adalah mengkonversi limbah TAN ikan bandeng tersebut menjadi protein bakteri (bioflok). Bioflok ini telah terbukti dapat dimanfaakan oleh beberapa jenis ikan budidaya seperti ikan nila, udang vannamei, dan udang galah (Avnimelech 1999, 2009; Brune et al. 2003; Crab et al 2009). Mikroorganisme yang dapat mengkonversi TAN dengan cepat menjadi protein dan menjadi inisiator pembentuk bioflok dalam media budidaya adalah bakteri heterotrof. Bakteri ini menyebar dalam kolom air dan permukaan sedimen serta memiliki kemampuan pertumbuhan populasi yang lebih cepat dibandingkan fitoplankton dan bakteri nitrifikasi bila terjadi rasio C/N dalam media budidaya sekitar 1030 (Avnimelech 1999; Montaya & Velasco 2000; Brune et al. 2003). Namun dalam budidaya ikan bandeng intensif ini, protein pakan banyak digunakan oleh ikan sebagai sumber energi, sehingga kandungan limbah N utamanya total ammonia nitrogen (TAN) dalam media budidaya cukup tinggi, terlebih pada budidaya dengan sistim zero water exchange. Oleh karena itu, untuk mempertahankan kondisi rasio C/N dalam media budidaya ikan bandeng cocok untuk perkembangan bakteri heterotrof yang memicu terbentuknya bioflok, maka perlu ditambahkan C-organik. Berdasarkan perhitungan yang dikembangkan oleh De Schryver et al (2008) dengan data pada ikan bandeng untuk penumbuhan bakteri bioflok dalam media budidayanya dengan rasio C/N 10, dapat dijabarkan pada Gambar 2. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka untuk mengasimilasi semua limbah N dari budidaya ikan bandeng intensif di

tambak/kolam atau di bak, maka diperlukan aplikasi C-organik sebanyak 22,7 g; 27,6 dan 32,8 g/100 g pakan/hari berturut-turut untuk pakan yang memiliki kandungan protein 17%; 21% dan 26%.

Gambar 2. Skema perhitungan jumlah penambahan C-organik untuk

mengasimilasi limbah N dalam penumbuhan bioflok pada budidaya ikan bandeng intensif di tambak/kolam.

Jika pemberian pakan 100 g/hari

Kadar protein pakan 21,5%

Jumlah retensi protein pada ikan bandeng 20,07%

Rasio C/N yang dibutuhkan oleh bakteri heterotrof minimal 10 Jika pemberian pakan 100 g/hari Jika pemberian pakan 100 g/hari Kadar protein pakan 25,9% Kadar protein pakan 17,3% Jumlah N pakan yang diberikan pada

ikan 4,14 g N/hari

Jumlah retensi protein pada ikan bandeng 17,75%

Jumlah retensi protein pada ikan bandeng 20,65% Jumlah N yang terbuang ke perairan 3,28 g/hari Jumlah N yang terbuang ke perairan 2,76 g/hari Jumlah N yang terbuang ke perairan 2,27 g/hari Jumlah N pakan yang diberikan pada

ikan 3,44g N/hari Jumlah N pakan

yang diberikan pada ikan 2,77g N/hari

Jika molase mengandung C-organik 40%, dibutuhkan 56,8 g/hari

Jika molase mengandung C-organik 40%, dibutuhkan 69,0 g/hari

Jika molase mengandung C-organik 40%, dibutuhkan 82 g/hari Dibutuhkan C- organik sebanyak 22,7 g / hari Dibutuhkan C- organik sebanyak 27,6 g / hari Dibutuhkan C- organik sebanyak 32,8 g / hari

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa:

- Ketiga jenis pakan bandeng tersebut memiliki tingkat kecernaan nutrien yang relatif sama, sehingga pakan yang mengandung protein lebih tinggi akan menghasilkan limbah padatan (protein) yang lebih tinggi dan sebaliknya. - Ikan yang diberi pakan berkadar protein 26% memiliki laju pertumbuhan dan

efisiensi pakan yang lebih tinggi daripada yang diberi pakan berprotein lebih rendah, sehingga lebih layak digunakan dalam budidaya ikan bandeng intensif.

- Total produksi limbah N pada budidaya ikan bandeng ini meningkat dengan meningkatnya kadar protein pakan.

- Untuk mengkonversi limbah N dari kegiatan budidaya bandeng ini menjadi biomassa bakteri heterotrof (bioflok), diperlukan aplikasi C-organik sebanyak 22,7%; 27,6% dan 32,8% dari jumlah pakan harian berturut-turut untuk pakan yang berprotein 17%; 21% dan 26%.

PENUMBUHAN BIOFLOK DALAM MEDIA BUDIDAYA IKAN