• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ikan bandeng merupakan salah satu jenis ikan yang sangat populer dibudidayakan di Indonesia. Hingga saat ini, umumnya ikan bandeng dibudidayakan secara ekstensif di tambak-tambak air payau. Beberapa pembudidaya juga telah mencoba mengembangkan budidaya ikan bandeng dengan sistem intensif di tambak pada kepadatan sekitar 40.000-50.000 ekor/ha. Namun dalam budidaya intensif ini, dihadapkan pada masalah harga pakan yang mahal dan limbah budidaya yang mengancam kelangsungannya. Meskipun pada kegiatan intensif ini dapat diperoleh produktivitas yang tinggi (6200 kg/ha/musim tanam untuk di tambak, dan hingga 67 kg/m3/musim tanam untuk di keramba jaring apung), namun rasio konversi pakan juga cukup tinggi (>2,3) ( Ahmad et al. 2006) serta resiko dampak limbah budidaya, menyebabkan kegiatan budidaya intensif ikan ini belum berkembang dengan baik. Biaya pakan dapat mencapai 70% dari total biaya produksi pada kegiatan budidaya intensif (Harris 2006). Menurut Indradjaja (2009), konsumsi pakan ikan Indonesia pada tahun 2008 sekitar 700.000 ton dan 5% diantaranya adalah pakan ikan bandeng yaitu sekitar 35.000 ton, merupakan suatu angka konsumsi pakan yang cukup besar.

Harga pakan yang tinggi banyak disebabkan dari komponen protein pakan. Umumnya ikan membutuhkan protein pakan yang tinggi untuk tumbuh secara optimum, karena protein pakan selain digunakan sebagai zat penyusun tubuh (pertumbuhan) juga digunakan sebagai sumber energi (Wilson 2002). Berdasarkan hasil penelitian tahap pertama pada pembesaran ikan bandeng ini didapatkan informasi bahwa dari tiga pakan uji (pakan komersil) berbeda kadar protein (17%, 21% dan 26%) yang sering dipakai pembudidaya menunjukkan bahwa pakan dengan kadar protein 26% memberikan laju pertumbuhan, efisiensi protein, dan efisiensi pakan yang lebih tinggi dari pada ke dua pakan uji lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pakan dengan kadar protein 26% ini lebih layak digunakan sebagai pakan dalam budidaya ikan bandeng intesif dibandingkan yang memiliki kadar protein 17 dan 21%. Pakan dengan kadar protein 26% memberi suplai kebutuhan asam amino esensial yang lebih mencukupi bagi pertumbuhan ikan bandeng dibanding dengan pakan yang berprotein rendah tersebut.

Berbeda dengan hewan darat, ikan menggunakan protein secara efektif sebagai sumber energi utama dibandingkan karbohidrat dan lemak (Wilson

2002). Oleh karena itu, ikan banyak mengeluarkan limbah N, utamanya amoniak (NH3) sebagai hasil perombakan protein dan asam amino (deaminasi) untuk keperluan metabolismenya (sumber energi) (Halver dan Hardy 2002). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa meskipun ikan bandeng yang diberi pakan dengan kadar protein rendah (17% dan 21%) dan mampu mencerna baik sumber energi lain dalam pakan (lemak dan karbohidrat), namun juga tetap menggunakan protein sebagai salah satu sumber energinya (dengan proses deaminasi), sehingga mengakibatkan adanya buangan limbah N ke perairan rata-rata sebanyak 13,58 g dan 16,26 g selama pemeliharaan berturut-turut untuk pakan berprotein 17% dan 21%. Bahkan pada ikan yang mengkonsumsi pakan berprotein 26%, meskipun memiliki laju pertumbuhan dan efisiensi protein yang lebih tinggi dibandingkan ikan yang mengkonsumsi pakan berprotein lebih rendah, namun jumlah limbah N-nya yang masuk ke perairan juga lebih tinggi (17,99 g). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ikan diberi energi pakan yang cukup dari karbohidrat dan lemak, namun ikan akan tetap menggunakan protein sebagai salah satu sumber energinya. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar protein pakan ikan bandeng, maka jumlah limbah N yang dikeluarkan juga semakin tinggi, karena tingkat retensi proteinnya relatif sama sekitar 18-21%. Menurut Avnimelech dan Ritvo (2003), jumlah N yang diretensi oleh ikan dari pakan yang diberikan hanya sekitar 20-30% atau rata-rata 25% dan sisanya sekitar 70-80% baik berupa N-organik maupun N-anorganik dibuang ke perairan. Hal ini merupakan penyebab rendahnya efisiensi protein dan tingginya limbah N dari kegiatan budidaya intensif. Limbah NH3 dan turunannya NO2 memiliki sifat yang sangat toksik terhadap kehidupan ikan budidaya (Wedemeyer 1996), sehingga harus diupayakan agar senyawa ini selalu dalam konsentrasi rendah yang tidak membahayakan kehidupan ikan budidaya. Oleh karena itu, perlu dicari upaya yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan protein pakan dan menurunkan beban limbah dari kegiatan budidaya ikan secara intensif, agar didapatkan kegiatan budidaya ikan dengan produktivitas tinggi dan berkesinambungan (Midlen dan Redding 2000).

Pada teknologi bioflok, amonium dan limbah organik nitrogen akan dikonversi menjadi biomassa bakteri dengan cepat, jika terjadi keseimbangan antara karbon organik dan nitrogen antara 10 - 30 (Avnimelech 1999; Montoya & Velasco 2000; McIntosh 2001; Brune et al 2003; De Schryver et al. 2008). Untuk menjaga keseimbangan nitrogen dan karbon dalam media budidaya ikan intensif

agar bakteri heterotrof dapat tumbuh maksimal, perlu ditambahkan C-organik dalam media budidaya dengan pergantian air seminimal mungkin. Berdasarkan hasil penelitian tahap pertama ini, didapatkan informasi bahwa untuk menciptakan rasio C/N dalam media budidaya ikan bandeng pada pemberian pakan berkadar protein 26%, diperlukan tambahan C-organik minimal sekitar 32,8%. Jika menggunakan molase sebagai sumber C-organik, dan molase mengandung C-organik sebanyak 40%, maka diperlukan aplikasi molase sebanyak 82% dari pakan harian.

Dalam budidaya ikan dengan teknologi bioflok ini, limbah TAN yang dikeluarkan oleh ikan budidaya harus secepatnya diassimilasi oleh bakteri heterotrof, agar TAN tersebut tidak terakumulasi hingga konsentrasi yang dapat membahaya kehidupan ikan budidaya. Oleh karena itu, bakteri heterotrof yang baik tersebut harus dipicu pertumbuhannya. Selain rasio C/N yang optimal dan aerasi yang cukup untuk menciptakan kondisi aerobik dan mencegah terjadinya pengendapan, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memicu pertumbuhan bakteri heterotrof yang baik adalah dengan inokulasi bakteri probiotik. Pada penelitian tahap kedua ini, dilakukan inokulasi bakteri heterotrof yang mengandung probiotik Bacillus sp dengan kepadatan inokulasi yang berbeda. Setelah penumbuhan bioflok dalam media budidaya ikan bandeng selama 30 hari, limbah TAN dari ikan bandeng tersebut dapat ditekan meskipun masih ada yang mencapai kadar 1,8 mg/L, namun kondisi tersebut masih cukup aman bagi kehidupan ikan bandeng. Tidak meningkatnya kandungan TAN sampai kadar yang membahayakan ikan budidaya karena diassimilasi oleh bakteri heterotrof dan dikonversi menjadi protein bakteri dalam bioflok.

Dari hasil penelitian tahap kedua ini didapatkan hasil bahwa inokulasi bakteri Bacillus sp sebayak 106 cfu/mL pada awal pemeliharaan ternyata relatif dapat mempercepat assimilasi TAN dari ikan bandeng menjadi bioflok (VSS), menekan pertumbuhan total bakteri Vibrio dan cenderung meningkatkan kandungan asam amino esensial bioflok yang terbentuk. Menurut Farzanfar (2006), Bacillus spp dapat mempengaruhi komposisi populasi mikroba dalam media budidaya karena golongan bakteri ini dapat menurunkan jumlah bakteri patogen di sekitar spesies budidaya. Selanjutnya dilaporkan oleh Balcazar & Rojas-Luna (2007) bahwa bakteri strain Bacillus substilis UTM 126 memproduksi zat yang memiliki aktifitas antimikroba terhadap patogen Vibrio sp termasuk V alginolyticus, V. Parahaemolyticus dan V. harveyi. Rendahnya kepadatan total

bakteri Vibrio, khususnya Vibrio yang patogenik sangat menguntungkan bagi ikan budidaya. Kepadatan total bakteri Vibrio pada media budidaya yang diinokulasi

Bacillus sp sebanyak 106 cfu/mL hanya mencapai sekitar 103 cfu/mL lebih rendah dari pada perlakuan lainnya yaitu mencapai 104 cfu/mL. Menurut Defoirdt (2007), tingkat kepadatan bakteri Vibrio yang dapat menimbulkan sifat patogenik dan membahayakan kehidupan udang/ikan budidaya adalah >104 cfu/mL. Adanya peningkatan kandungan asam amino esensial juga turut memperbaiki kualitas bioflok yang terbentuk. Asam amino esensial merupakan komponen pakan yang cukup penting dalam kegiatan budidaya ikan, karena merupakan penentu kualitas protein pakan.

Setelah didapatkan metode penumbuhan bioflok dalam media budidaya ikan bandeng, maka dilakukan penelitian tahap ketiga dengan tujuan untuk meningkatkan pemanfaatan bioflok tersebut sebagai pakan ikan bandeng. Sebelum penelitian tahap ketiga ini, dilakukan uji pendahuluan untuk mengetahui ukuran ikan yang dapat memanfaatkan bioflok tersebut dengan baik. Dari hasil uji pendahuluan ini diketahui bahwa ikan bandeng ukuran benih sekitar 1,5 g lebih mampu memanfaatkan bioflok ini bagi pertumbuhannya dibandingkan ikan bandeng berukuran besar (14 g dan 56 g). Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan pemanfaatan bioflok oleh ikan bandeng berukuran kecil ini antara lain ukuran bioflok yang terbentuk relatif kecil antara 50 – 1000 m, kebiasaan makan benih ikan bandeng cenderung omnivora, dan ikan yang berukuran kecil ini memiliki potensi laju pertumbuhan yang lebih cepat (tinggi) dibandingkan ikan yang berukuran besar.

Berdasarkan hasil uji pendahuluan tersebut, maka dilanjutkan penelitian pemanfaatan bioflok oleh ikan yang berukuran benih (1,6 g) dengan perlakuan pengaturan dosis pakan harian (manajemen pakan). Pengaturan dosis pakan ini berdasarkan beberapa laporan bahwa meskipun bioflok dapat dimanfaatkan oleh beberapa jenis ikan/udang budidaya untuk pertumbuhannya, namum tidak dapat hanya mengandalkan 100% peran bioflok ini sebagai makanan bagi pertumbuhan ikan/udang secara maksimal (Burford et al. 2004; Avnimelech 2007; Ekasari 2008). Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bawa ikan bandeng yang tidak diberi pakan buatan masih mampu tumbuh dengan laju pertumbuhan spesifik 1,82%/hari, tetapi lebih rendah daripada ikan yang diberi pakan 5%/hri+bioflok dan yang diberi pakan pakan buatan 5% tanpa bioflok. Namun demikian, ikan yang hanya diberi pakan 2,5%/hari+bioflok memiliki laju

pertumbuhan (1,87%/hari) yang relatif sama dengan ikan uji yang diberi pakan buatan 5% baik dengan bioflok maupun tanpa bioflok. Pemanfaatan pakan yang tercermin pada tingkat efisiensi pakan dan efisiensi protein menunjukkan bahwa semakin meningkat dosis pemberian pakan buatan, efisiensi pakan dan efisiensi protein cenderung menurun. Hal ini menunjukkan bahwa bioflok masih dapat digunakan oleh ikan uji ini untuk pertumbuhannya pada saat diberi dosis pakan buatan yang tidak terlalu tinggi. Ikan yang diberi pakan sekitar 2,5% perhari dalam media bioflok memiliki efisiensi pakan cukup tinggi yaitu 0,84, rasio efisiensi protein sekitar 2,58, dan retensi protein sekitar 51,2% yang lebih tinggi dari pada ikan yang diberi pakan 5% perhari. Ikan yang diberi pakan buatan 5% perhari pada media yang ditumbuhi bioflok memiliki efisiensi pakan dan rasio efisiensi protein yang relatif sama dengan ikan pada media pemeliharaan konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pemberian pakan 5% perhari, pemanfaatan bioflok tidak optimum. Pada pemberian pakan sebanyak 2,5% perhari dengan teknologi bioflok, terjadi peningkatan efisiensi pakan sebanyak 58,5%, efisiensi pemanfaatan protein sebanyak 59,2%, dan retensi protein sebanyak 46,1% terhadap ikan yang dipelihara secara konvensional (tanpa bioflok). Meskipun budidaya ikan bandeng dengan teknologi bioflok ini tidak memberikan laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan budidaya ikan bandeng secara konvensional, namun budidaya ikan bandeng dengan teknologi bioflok ini mampu meningkatkan efisiensi pakan, efisiensi protein, dan retensi protein. Adanya peningkatan efisiensi pakan, efisiensi protein dan retensi protein, tentunya juga menyebabkan penurunan limbah N dari kegiatan budidaya ini.

Selain dengan pemanfaatan bioflok secara in situ oleh ikan budidaya, bioflok ini juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan. Tepung bioflok ini mengandung protein sekitar 30% bobot kering. Pada penelitian ini juga dilakukan ujicoba pemanfaatan tepung bioflok tersebut sebagai bahan pakan ikan bandeng. Namun berdasarkan hasil analisis terhadap asam amino bioflok yang terbentuk dalam media budidaya ikan bandeng tersebut, terdapat beberapa jenis asam amino esensial yang memiliki kandungan agak rendah (defisiensi) dibandingkan profil asam amino tubuh ikan bandeng. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dilakukan suplementasi gabungan asam amino histidine, lysine, dan methionine pada tepung bioflok tersebut untuk dijadikan pakan ikan bandeng. Setelah pemeliharaan selama 60 hari, ternyata suplementasi gabungan

asam amino esensial tersebut dalam tepung bioflok mampu meningkatkan laju pertumbuhan ikan, efisiensi protein dan pakan serta retensi protein dibandingkan ikan yang hanya diberi pakan dari tepung bioflok tersebut. Namun demikian, kinerja pertumbuhan ikan yang diberi pakan tepung bioflok+suplementasi asam amino tersebut masih lebih rendah dari pada kinerja pertumbuhan ikan yang diberi pakan komersil. Penyebab utama rendahnya kinerja pertumbuhan ikan yang diberi pakan tepung bioflok dan tepung bioflok+suplementasi asam amino adalah tingkat kecernaan tepung bioflok yang rendah serta tingkat konsumsi pakan yang mengandung tepung bioflok ini rendah yang diakibatkan oleh faktor

palatability.

Meskipun tingkat palatability tepung bioflok relatif rendah, namun kadar proteinnya yang relatif tinggi, sehingga berpotensi untuk dijadikan sumber protein pakan, khususnya untuk ikan-ikan herbivora dan omnivora. Peningkatan

palatabiity tepung bioflok ini dapat dilakukan dengan mencampur bahan lain yang memiliki tingkat palatability yang lebih tinggi (misanya tepung ikan) atau dengan menambahkan feed additive berupa atraktan. Pada dasarnya, bioflok yang terbentuk dalam budidaya ikan dengan teknologi bioflok yang tidak termakan oleh ikan atau udang dapat dipanen untuk dijadikan bahan baku pakan.