• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebiasan Makan Ikan Bandeng

Nener ikan bandeng yang ditangkap di sepanjang perairan pantai atau wilayah litoral umumnya memakan organisme bentik, epifite, dan plankton yang didominasi oleh diatomae dan alga biru-hijau, dan kadang-kadang nematoda dan larva krustasea (Garcia 1987). Selanjutnya dikatakan bahwha juvenil ikan bandeng utamanya memakan organisme bentik dan plankton, hal ini termasuk gastropoda, foraminifera, alga hijau filamentus, alga biru hijau, diatom, copepoda, nematoda, dan detritus. Ikan bandeng yang telah berukuran besar (panjang total 116–404 mm) ditemukan memakan larva dan telur copepoda, polychaeta dan ostracoda (Tampi 1958 diacu dalam Santiago 1986). Selanjutnya Schuster (1960 diacu dalam Santiago 1986) menemukan ikan bandeng yang telah berukuran panjang 200300 mm lebih menyukai alga biru-hijau bentik lunak dan diatom di tambak, tetapi jika tidak cukup maka akan memakan alga filamentus hijau yang telah membusuk dan beberapa tanaman air tingkat tinggi lainnya. Studi berikutnya menunjukkan bahwa dari empat kelompok alga utama, diatom bentik dan alga biru-hijau lebih disukai oleh semua kelompok umur ikan bandeng di dalam tambak (Tang & Hwang 1966 diacu dalam Santiago 1986).

Menurut Blaber (1980), juvenile ikan bandeng umumnya mengambil makanan dari substrat dan memakan substrat bersama mikro- dan meio-fauna di dalamnya. Kebiasaan ikan bandeng mencerna makanan asal lapisan atas sedimen dasar, maka ikan bandeng termasuk ke dalam kelompok iliophagous (Ahmad et al. 1993). Kemudian Bagarino (1994) menyimpulkan bahwa ikan bandeng di alam memiliki preferensi makanan yang beragam, pada waktu larva ikan ini tergolong karnivora yang memakan zooplankton, kemudian pada waktu

fry menjadi omnivora yang memakan zooplankton, diatom, dan bentos kecil, dan selanjutnya pada ukuran juvenil termasuk ke dalam golongan herbivora yang memakan alga filamen, alga mat (kumpulan alga biru-hijau, cyanobakteria, yang tumbuh di dasar), detritus, bentos kecil. Setelah dewasa, ikan ini berubah menjadi omnivora lagi karena mengkonsumsi alga mat, alga filamen, zooplankton, dan bentos lunak. Ikan ini juga mampu memanfaatkan pakan buatan. Dalam kegiatan budidaya, ikan bandeng memiliki respon yang cukup baik terhadap makanan buatan, sehingga dapat dibudidayakan secara intensif baik di tambak maupun di keramba jaring apung.

Gelondongan ikan bandeng lebih banyak melakukan aktivitas makan pada siang hari dari pada malam hari. Aktivitas makan pada malam hari berlangsung bila kandungan oksigen terlarut lebih besar dari 3 ppm. Waktu yang dibutuhkan oleh makanan melewati usus halus sekitar 10-15 menit pada stadium gelondongan 20 g dan 27–50 menit pada stadium gelondongan 60 g. Pergerakan makanan dalam usus gelondongan yang dipelihara dalam air laut sekitar 13–19 mm per menit, lebih cepat dari pada yang dipelihara dalam air tawar, 10–11 mm per menit (Ahmad et al. 1993).

Seperti dengan benih, juvenil ikan bandeng juga menunjukkan adanya kecenderungan periode makan yang nyata. Puncak aktivitas makan biasanya terjadi siang hari dan sore hari saat oksigen terlarut, suhu air dan aktivitas enzim pencernaan tinggi (Garcia 1987). Alga banyak dimakan pada siang hari, namun pada malam hari cenderung lebih banyak memakan jenis hewani, yang menunjukkan adanya perubahan diurnal berdasarkan ketersediaan jenis makanan (Garcia 1987).

Kualitas Air dalam Budidaya Ikan Bandeng

Seperti hewan akuatik lainnya, ikan bandeng akan tumbuh dengan baik jika berada dalam kondisi kualitas air yang optimal. Beberapa parameter fisika kimia air yang mempengaruhi pertumbuhan dan sintasan ikan di kolam pemeliharaan antara lain: suhu air, oksigen terlarut, salinitas, pH, dan bahan-bahan toksik utamanya dari limbah budidaya sendiri (NH3, NH4, NO2, CO2, H2S).

Oksigen terlarut merupakan salah satu parameter kualitas air yang sering menjadi faktor pembatas dalam budidaya ikan. Penurunan oksigen secara mendadak sampai pada batas tertentu (kritis), sering menyebabkan terjadinya kematian massal. Untuk mendapatkan pertumbuhan ikan budidaya yang maksimal, maka kandungan oksigen terlarut harus selalu dipertahankan dalam kondisi yang optimum bagi pertumbuhan ikan. Secara umum, kandungan oksigen terlarut yang rendah (< 3 ppm) akan menyebabkan nafsu makan ikan menurun, dan bila kondisi ini berlanjut untuk waktu yang lama akan menyebabkan ikan berhenti makan dan pertumbuhannya menjadi terhenti (Boyd 1982). Toleransi pada oksigen terlarut juga tergantung pada ukuran ikan. Ikan bandeng ukuran 200300 g mengalami symptoms asphyxiation pada kelarutan oksigen 1,4 ppm, bahkan terjadi kematian sekitar 50% saat kelarutan oksigen 0,10,4 ppm pada suhu 3134 oC (Gerochi et al. 1978 diacu dalam Garcia 1987).

Ikan bandeng bersifat poikilothermal sehingga suhu perairan berpengaruh langsung terhadap segala proses biokimia dan fisiologis dalam tubuhnya. Perubahan suhu perairan diantaranya berpengaruh terhadap nafsu makan ikan, kebutuhan energi untuk pemeliharaan, laju metabolisme, proses enzimatis, diffusi molekul kecil, fungsi membran, dan laju sintesa protein (Foster et al. 1993). Kenaikan suhu air sebesar 10 oC sampai pada batas-batas tertentu akan menyebabkan peningkatan laju metabolisme 2–3 kali, dan kebutuhan oksigen juga akan meningkat (Wedemeyer 1996). Pada suhu perairan yang tinggi, kelarutan oksigen menurun, sementara haemoglobin darah harus dapat mengikat dan mengangkut oksigen yang lebih tinggi bagi kebutuhan proses metabolisme dalam tubuh. Sebaliknya, bila terjadi penurunan suhu perairan, maka akan menyebabkan penurunan laju metabolisme, sehingga akan mempengaruhi laju pertumbuhan. Ikan bandeng dapat hidup pada suhu antara 25 – 30oC (Yap et al. 2007). Pada suhu dibawah 25 oC, pertumbuhan ikan bandeng sangat lambat, karena laju metabolisme dan nafsu makan ikan sangat rendah dan pada suhu 29,5oC mengalami pertumbuhan yang sangat cepat (Villaluz & Unggui 1983). Salinitas merupakan salah satu parameter kualitas air yang tergolong

masking faktor bagi pertumbuhan ikan. Salinitas dapat berpengaruh langsung terhadap aktivitas osmoregulasi, laju metabolisme, dan kelarutan oksigen yang selanjutnya akan mempengaruhi nafsu makan dan pertumbuhan ikan. Ikan yang hidup pada salinitas optimum, tekanan osmotik dalam tubuh dan lingkungannya mencapai atau mendekati kondisi isoosmotik. Pada kondisi ini, aktivitas osmoregulasi ikan mencapai titik minimum, sehingga kebutuhan energi metabolisme untuk proses osmoregulasi mencapai titik minimum (Wedemeyer 1996. Hal ini tentunya akan menambah porsi energi untuk pertumbuhan. Ikan bandeng bersifat euryhalin dengan kisaran toleransi salinitas cukup lebar yaitu 0–157 ppt. Chang (1977 diacu dalam Liao & Chen 1986) melaporkan bahwa salinitas yang layak bagi pertumbuhan ikan bandeng adalah 12–30 ppt. Hal yang relatif sama juga direkomendasikan oleh Ismail et al. (1994), bahwa untuk pembesaran ikan bandeng sebaiknya salinitas perairan berkisar antara 15–30 ppt.

pH air sangat berperan dalam proses-proses metabolisme ikan. Pada kondisi pH yang ekstrim, akan menyebabkan terjadinya kerusakan pada insang ikan, terganggunya proses transfer gas, pertukaran ion, dan keseimbangan asam-basah dalam tubuh ikan (Wood 1989 diacu dalam Perry & Laurent 1993).

pH air juga akan mempengaruhi tingkat toksisitas beberapa senyawa beracun seperti ammonia dan nitrit (Boyd 1990). Oleh karena itu, pH perairan harus diusahakan selalu berada dalam kondisi yang normal bagi pertumbuhan ikan budidaya. Menurut Ahmad et al. (1993), pH air yang dapat memberikan pertumbuhan normal pada ikan bandeng adalah 6,5–8,5.

Secara alami, pH perairan dipengaruhi oleh konsentrasi CO2 dan senyawa lain yang bersifat asam. Fitoplankton dan tanaman air lainnya akan mengambil CO2 dari air selama proses fotosintesis sehingga mengakibatkan pH air meningkat pada siang hari dan menurun pada malam hari. Fluktuasi pH pada air sangat dipengaruhi oleh kandungan alkalinitas dan kesadahan total perairan (Boyd 1990). Tingkat alkalinitas dan kesadahan total perairan yang diperlukan untuk kegiatan budidaya ikan umumnya berkisar antara 20–300 ppm. Air laut normal pH-nya berkisar 8,0 dan relatif konstan, hal ini disebabkan karena air laut mengandung asam-asam lemah seperti asam karbonat dan asam borat yang memiliki daya penyangga (buffer capacity) yang sangat besar bila dibandingkan dengan air suling. Kapasitas penyangga air laut ini penting sekali artinya karena dengan demikian lingkungan hidup akuatik bahari dipertahankan pada kekonstanan pH tersebut. Jadi proses-proses respirasi maupun dekomposisi yang menghasilkan CO2 sedikit sekali pengaruhnya terhadap pH air laut

Nitrogen dalam perairan terdiri dari bermacam-macam senyawa, namun yang sering didapatkan bersifat racun terhadap ikan dan organisme lainnya hanya 2 yaitu ammonia (NH3-N) dan nitrit (NO2-N). Senyawa ini umumnya berasal dari sisa makanan, organisme mati, dan sisa hasil metabolisme hewan- hewan akuatik (Boyd 1990). Pengaruh utama ke-2 senyawa ini adalah dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada organ-organ tubuh yang ada kaitannya dengan transpor oksigen (insang, se-sel eritrosit, dan jaringan penghasil eritrosit). Peningkatan konsentrasi amonia dalam darah dan jaringan akan mengganggu proses kerja enzim dan proses metabolisme pada otak dan syaraf (Colt dan Amstrong 1981 diacu dalam Chen & Chin 1988). Pembentukan senyawa amonia dalam air sangat dipengaruhi oleh laju metabolisme ikan yang bersifat amonialitik dan urealitik serta kondisi pH, suhu air dan salinitas. Apabila pH dan suhu air naik atau salinitas turun, maka konsentrasi amonia akan meningkat (Boyd 1990). Konsentrasi amonia yang aman dan tidak beracun bagi ikan bandeng adalah kurang dari 0,02 ppm (Ahmad et al. 1993).

Pengaruh utama dari senyawa nitrit adalah perubahan di dalam transpor oksigen dan oksidasi senyawa dalam jaringan. Nitrit dapat mengoksidasi ion ferro dalam haemoglobin menjadi ion ferri yang mengubah haemoglobin menjadi methemoglobin (Wedemeyer 1996). Kemampuan methemoglobin untuk mengikat dan mentranspor oksigen dari lingkungan perairan ke seluruh bagian jaringan / sel sangat rendah, sehingga akan menyebabkan terjadinya hypoxia (kekurangan oksigen) dan cyanosis (lebam, biru pada kulit karena darah balik tertahan) (Colt 1983).

Daya racun nitrit lebih tinggi pada air tawar dari pada di air laut, karena keberadaan ion klorida dan kalsium di air laut dapat mengurangi toksisitas nitrit terhadap ikan (Wedemeyer 1996). Toksisitas nitrit mencapai 55 kali lebih besar terhadap juvenil ikan bandeng yang dipelihara di air tawar dari pada yang dipelihara di air yang bersalinitas 16 ppt (Almendras 1987 diacu dalam Boyd 1990). Kadar nitrit yang aman bagi pertumbuhan ikan bandeng adalah kurang dari 0,30 ppm (Ahmad et al. 1993).

Selain amonia dan nitrit, senyawa nitrat juga merupakan parameter penting dalam budidaya ikan, karena nitrat merupakan bentuk oksidasi terbanyak dari nitrogen di perairan. Alga dan tumbuhan akuatik sangat mudah mengasimilasi nitrat dalam proses fotosintesanya (Boyd 1990).

Budidaya ikan bandeng secara intensif membutuhkan input pakan buatan dari luar untuk memenuhi kebutuhan biomassa ikan yang dipelihara. Hal ini menimbukan problem yang sering dihadapi oleh pembudidaya yaitu terjadinya penumpukan limbah berupa bahan organik (sisa pakan dan feses) dan sisa metabolisme dalam tambak atau kolam yang sangat membahayakan kehidupan ikan budidaya (Yap et al. 2007). Jika tidak ditangani dengan baik, maka akan meningkatkan kandungan senyawa beracun seperti CH4, H2S, NH3-N, dan NO2- N, utamanya terjadi pada kondisi oksigen terlarut rendah (anaerob). Oleh karena itu, perlu pengelolaan pakan, limbah dan kualitas air yang baik agar kegiatan budidaya ikan dapat berlangsung secara kontinyu.

Kebutuhan Nutrisi Ikan Bandeng

Pakan merupakan komponen utama yang dibutuhkan oleh ikan untuk menjaga kelangsungan hidup dan pertumbuhannya. Kelengkapan nutrisi dalam pakan mutlak diperlukan untuk menjaga agar pertumbuhan ikan dapat berlangsung secara normal. Kebutuhan nutrisi yang meliputi protein, lemak,

karbohidrat, vitamin dan mineral untuk pertumbuhan ikan berbeda menurut jenis dan ukurannya (NRC 1993).

Protein dan Asam Amino

Protein merupakan salah satu komponen nutrisi yang sangat penting karena merupakan penyusun tubuh dan umunya ikan menggunakan protein sebagai sumber energi (Halver & Hardy 2002). Oleh karena itu, ikan harus mengkonsumsi protein untuk memenuhi secara kontinyu kebutuhan asam amino khususnya asam amino essensial bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Ikan bandeng menggunakan protein hewani lebih baik dari pada protein nabati dalam pakannya, khususnya tepung ikan serta tepung tulang dan daging (Lim et al. 2002).

Menurut Santiago et al. (1983) kadar protein sebesar 40% mencukupi untuk pertumbuhan benih ikan bandeng (panjang rata-rata 13 mm, bobot 15 mg) yang dipelihara di air tawar. Sementara Pascual (1989 diacu dalam Millamena 2002) melaporkan bahwa kadar protein dalam pakan untuk pertumbuhan optimum juvenil ikan bandeng antara 3040%. Bahkan Sumagaysay & Borlongan (1995) mendapatkan kadar protein pakan sekitar 24% untuk pertumbuhan optimum ikan bandeng di tambak (sumber protein tepung ikan, tepung kedele dan tepung ubi). Perbedaan kebutuhan kadar protein ini disebabkan oleh perbedaan ukuran ikan, sumber protein pakan, dan kondisi media budidaya.

Di Filipina, pemeliharaan ikan bandeng di tambak dengan kepadatan tinggi 25.000 ekor/ha, diberikan pakan buatan yang memiliki kandungan protein sekitar 27% (Yap et al. 2007). Sementara Ismail et al. (1994) mengatakan bahwa dalam pemeliharaan ikan bandeng di tambak, dapat diberi pakan tambahan yang memiliki kandungan protein 23-27%. Umumnya pakan komersil untuk pembesaran ikan bandeng yang beredar di pasaran Indonesia memiliki kadar protein sekitar 26-28% untuk budidaya semi intensif-intensif hingga 16- 18% untuk budidaya tradisional (Abdurrahman, Kepala Seksi Pelayanan Teknis CP, komunikasi pribadi 2008).

Kualitas protein suatu bahan atau pakan sangat ditentukan oleh komposisi asam amino penyusunnya. Secara umum, ada 10 jenis asam amino yang bersifat esensial (tidak dapat disintesis dalam tubuh ikan) sehingga harus disuplai dari pakan yaitu: arginine, histidine, isoleucine, leucine, lysine, methionine, phenylalanine, threonine, tryptophan, dan valine. Sementara asam

amino lainnya bersifat non-esensial (dapat disintesis dalam tubuh ikan) yaitu alanine, aspartic acid, cysteine, glutamic acid, glutamine, glycine, hydroxyproline, proline, serine dan tyrosine (Webster & Lim 2002). Pakan yang memiliki profil asam amino esensial yang sama atau hampir sama dengan kebutuhan ikan budidaya, dianggap memiliki profil asam amino yang seimbang dan berkualitas baik (Kaushik & Seiliez 2010). Selanjutnya dikatakan bahwa jika ada satu atau beberapa asam amino esensial yang defisiensi dalam pakan, maka asam amino tersebut akan menjadi faktor pembatas bagi sintesis protein tubuh ikan, sehingga akan menurunkan efisiensi protein pakan. Kebutuhan asam amino esensial untuk pertumbuhan ikan secara optimum berbeda-beda tergantung jenis, ukuran dan umur ikan, serta kondisi lingkungan budidaya (Wilson 2002). Kebutuhan asam amino esensial (% protein) bagi pertumbuhan juvenil ikan bandeng adalah arginin 5,2; histidin 2,0: isoleusin 4,0; leusin 5,1; lisin 4,0; methionin + sistein 2,5; fenilalanin + tirosin 4,2; threonin 4,5; triptofan 0,6 dan valin 3,6 (Borlongan dan Coloso 1993).

Upaya untuk meningkatkan efisiensi protein pakan antara lain adalah: (i) menggunakan bahan baku pakan yang mengandung komposisi asam amino esensial yang seimbang, (ii) menggunakan campuran bahan yang dapat saling menutupi kekurangan asam amino esensial, atau (iii) mensuplementasi asam amino esensial yang defisien dalam bahan pakan tersebut (Sardar et al. 2009; Hardy 2002). Menurut Lim et al. (2002), ikan bandeng dapat memanfaatkan asam amino crystalline. Suplementasi 2,8% lysine hydrochloride pada pakan berbasis tepung maize-gluten secara nyata meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi pakan benih ikan bandeng (Chiu et al. 1986).

Lemak dan Asam Lemak

Lemak merupakan komponen pakan yang penting, baik sebagai sumber energi maupun untuk keperluan proses metabolisme lainnya. Lemak mengandung asam lemak esensial yang sangat penting bagi pertumbuhan normal dan sintasan ikan (NRC 1993). Pakan yang mengandung lemak akan membantu penyerapan vitamin tertentu (A, D, E dan K) dan beberapa komponen lainnya seperti sterol. Kebutuhan lemak total untuk pertumbuhan juvenil ikan bandeng adalah sebesar 710% (Alava & Cruz diacu dalam Borlongan 1992).

Ikan bandeng yang diberi pakan tanpa lemak atau 7% asam lemak lauric tumbuh lebih lambat dibandingkan yang diberi pakan mengandung 6% asam

lemak lauric + 1% linoleic (18:2n-6) atau 0,5 linoleic dan 0,5 linolenic (18:3n-3). Pakan yang disuplementasi dengan 1% asam lemak 18:3n-3 dapat meningkatkan pertambahan bobot ikan tetapi tidak berbeda nyata dengan yang diberi pakan mengandung 1% asam lemak 18:2n-6 (Bautista & de la Cruz 1988). Selanjutnya Borlongan (1992) melaporkan bahwa juvenil ikan bandeng membutuhkan asam lemak esensial n-3 sebesar 1,0%1,5%. Ikan bandeng yang mengalami defisiensi asam lemak esensial menunjukkan tanda-tanda seperti pertumbuhan yang menurun, sirif erosi, berwarna gelap, mortalitas meningkat, kandungan asam lemak monoenoic meningkat sementara asam lemak polyunsaturated menurun, hati tidak normal, infiltrasi lemak dalam pembuluh darah, serta pembengkakan selluler (Bautista & de la Cruz 1988; Borlongan 1992).

Karbohidrat

Ikan bandeng tidak memiliki kebutuhan spesifik tentang karbohidrat. Namun demikian, karbohidrat selalu dibutuhkan dalam pakan ikan karena merupakan sumber energi yang murah, berfungsi sebagai binder, dan berperan sebagai precursor untuk pembentukan beberapa hasil metabolik sekunder yang esensial untuk pertumbuhan (Lim et al. 2002). Karbohidrat juga dapat membentuk sparing effect dalam pemanfaatan protein untuk pertumbuhan beberapa jenis ikan (Shiau & Peng 1993). Sebagai ikan hervbivora-onmivora, ikan bandeng dapat memanfaatkan karbohidrat dengan lebih baik sebagai sumber energi dibandingkan ikan karnivora lainnya. Pakan-pakan komersil untuk ikan bandeng umumnya mengandung karbohidrat total sekitar 45% atau lebih.

Vitamin dan Mineral

Vitamin dan mineral merupakan komponen nutrisi dalam pakan yang dibutuhkan dalam jumlah kecil. Namun keduanya mempunyai fungsi yang penting pada proses metabolisme dalam tubuh ikan dan sering menjadi faktor pembatas (De Silva & Anderson 1995). Beberapa jenis vitamin menjadi esensial di dalam pakan karena tidak dapat disintesis oleh tubuh ikan. Vitamin C tidak dapat disintesis dalam tubuh beberapa jenis ikan, karena umumnya ikan tidak memiliki enzim L-gulunolakton oksidase yang berperan dalam pengubahan L-gulunolakton menjadi 2-keto-L-gulunolakton sebagai tahapan akhir dalam sintesis vitamin C (Soliman et al. 1986).

Budidaya Ikan Bandeng Intensif

Budidaya ikan bandeng secara intensif dapat dilakukan di tambak dan di keramba jaring apung. Pemeliharaan secara intensif di tambak biasanya ditebar dengan kepadatan awal sekitar 50.000 ekor/ha (Ahmad et al. 2006). Di Philipina, budidaya ikan bandeng intensif di tambak dilakukan dengan kepadatan 20.00030.000 ekor/ha dengan produksi 812 ton/ha/tahun, sedangkan di keramba jaring apung di laut dilakukan dengan kepadatan 40100 ekor/m3 dan produksi 2035 kg/m3 (Yap et al. 2007). Burhanuddin et al. (1994), juga melaporkan bahwa ikan bandeng yang dipelihara dalam keramba jaring apung di muara sungai dapat mencapai kepadatan hingga 500 ekor/m3 dengan bobot akhir rata-rata sekitar 135 g atau produksi sekitar 67,5 kg/m3.

Menurut Ahmad et al. (2006), pada budidaya ikan bandeng intensif yang dilakukan di keramba jaring apung didapatkan rasio konversi pakan sekitar 2,4 dengan tingkat retensi protein sekitar 16,525%. Pada pemeliharaan benih ikan bandeng dalam bak terkontrol dari ukuran 40 mg hingga 175 mg dengan pemberian pakan buatan berprotein 40% selama 1 bulan didapatkan rasio konversi pakan 1,96 dengan retensi protein sekitar 20% (Lim et al. 1979). Sementara Sumagaysay & Borlongan (1995) mendapatkan nilai retensi protein sekitar 25-30% pada ikan bandeng yang dipelihara di tambak dengan pemberian pakan buatan sebanyak 4% perhari dengan kadar protein pakan berturut-turut 31% dan 24%. Adanya retensi protein yang relatif tinggi ini disebabkan karena pada pemeliharaan ikan bandeng tersebut masih dilakukan pemupukan untuk menumbuhkan makanan alami berupa plankton.

Pemanfaatan Bakteri Heterotrof (Bioflok) dalam Akuakultur

Bakteri heterotrof adalah bakteri yang menggunakan bahan organik sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannnya (Waluyo 2007). Bakteri heterotrof ini dapat berupa fotoheterotrof yaitu bakteri heterotrof yang membutuhkan cahaya sebagai sumber energinya dan berupa kemoheterotrof yaitu bakteri heterotrof yang mengoksidasi senyawa organik sebagai sumber energinya. Berdasarkan sifat tersebut dan kelebihan lainnya, maka bakteri ini mulai banyak dikembangkan pemanfaatannya untuk memecahkan beberapa permasalahan dalam bidang akuakultur (Chamberlain et al. 2001; McIntosh 2001; Brune et al. 2003; Burford et al 2003; Avnimelech 2006).

Salah satu problem utama kualitas air dalam budidaya ikan secara intensif adalah akumulasi bahan toksik dari senyawa nitrogen anorganik (NH3 dan NO2) dalam air (Avnimelech 1999). Hewan akuatik seperti ikan dan udang, mengekskresikan amonium yang dapat berakumulasi dalam tambak. Sumber utama dari amoniak tersebut adalah pakan yang berprotein tinggi. Ikan membutuhkan pakan yang mengandung protein tinggi, karena ikan memperoleh energi yang banyak dari oksidasi dan katabolisme protein (De Silva & Anderson 1995). Dalam kolam yang diaerasi, amonium dioksidasi oleh bakteri menjadi nitrit dan nitrat (Avnimelech 1999). Tidak seperti karbon dioksida yang dapat dilepaskan ke udara oleh difusi atau adanya aerasi, hasil metabolisme nitrogen tidak memiliki mekanisme yang efektif untuk melepaskannya ke udara. Sehingga sudah menjadi ciri bahwa dalam sistem akuakultur intensif akan terjadi pengkayaan amonium dan bahan nitrogen anorganik lainnya dalam kolam. Oleh karena itu, senyawa nitrogen ini harus dipindahkan dari sistem akuakultur.

Gambar 1. Proses mikrobial yang terjadi di dalam media budidaya ikan (Montoya & Velasco 2000)

Amonium dapat digunakan sebagai sumber nitrogen bagi fitoplankton, alga, tanaman, dan kelompok bakteri heterotrof (Montoya & Velasco 2000). Juga dapat digunakan sebagai sumber energi oleh sejumlah bakteri chemoautotrof

yang disebut sebagai bakteri nitrifier. Hingga baru-baru ini, fitoplankton dianggap sebagai pengambil utama amonium dalam perairan, namun beberapa bukti terakhir menunjukkan bahwa bakteri heterotrof juga menggunakan amonium secara signifikan dalam sistem akuakultur. Bakteri merupakan scavenger yang efisien terhadap nutrien dan dapat berkompetisi dengan fitoplankton dalam memanfaatkan ion amonium (Montoya & Velasco. 2000). Selanjutnya dikatakan bahwa selain menggunakan total amonium terlarut dalam air untuk pertumbuhannya, bakteri heterotrof juga menggunakan sumber nitrogen lainnya seperti senyawa organik dari feses dan sisa pakan. Umumnya bahan organik tersebut didekomposisi dalam kondisi aerobik. Bakteri heterotrof memiliki kemampuan yang lebih cepat memanfaatkan bahan anorganik dan organik tersebut menjadi protein bakteri daripada oleh fitoplankton dan bakteri nitrifikasi (Montoya & Velasco 2000; Brune et al. 2003). Bakteri heterotrof ini menyebar dalam kolom air dan permukaan sedimen. Bakteri tersebut mendekomposisi substrat organik untuk pertumbuhan dan energi dan menggunakan amonium untuk sintesis protein (Gambar 1).

Berdasarkan hal tersebut, maka salah satu strategi yang saat ini banyak mendapat perhatian dalam pemindahan amonium dari media budidaya adalah melalui assimilasi amonium menjadi protein bakteri dengan penambahan C-organik (karbohidrat) ke dalam sistem untuk menciptkan rasio C/N optimum bagi pertumbuhan bakteri tersebut. Suplai oksigen terlarut yang cukup dan pengaturan rasio C/N yang optimal dapat secara potensial mengeliminasi problem akumulasi nitrogen anorganik. Aspek penting selanjutnya pada proses ini adalah pemanfaatan protein mikroba sebagai sumber protein pakan untuk ikan.

Menurut Avnimelech (1999), pengontrolan akumulasi bahan nitrogen anorganik dalam kolam dapat didasarkan atas metabolisme karbon dan proses mikrobial nitrogen-immobilizing. Bakteri dan mikroorganisme lainnya menggunakan karbohidrat (gula, pati dan sellulosa) sebagai makanannya untuk menghasilkan energi dan tumbuh, yaitu untuk memproduksi protein dan sel baru: