• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budidaya dan Pengolahan Produk Pohon Saeh (Broussonetiapapyryfera Vent)

PENYUSUNAN/ PENGEMBANGAN TAHAPAN

C. Kegiatan Wisata Keluarga

1) Budidaya dan Pengolahan Produk Pohon Saeh (Broussonetiapapyryfera Vent)

Broussonetia papyrifera (L.) Vent. Atau Pohon Saeh dalam sebutan Tradisi masyarakat Sunda Merupakan tumbuhan berumah dua, tanaman

penghisap, tinggi mencapai 12(-35) m,

mengandung lapisan susu, dengan tunas kecil, axiler. Batang berkenyal-kenyal,kulit kayu luar lembut, kulit kayu dalam mengandung serat yang dapat dijalin dan dapat diekstrak pada lapisan yang luas,; ranting rindang, tebal 1.5-3 mm, subtomentose, hirtellous hingga berambut. Daun berseling,dan tersusun spiral atau berhadapan. -Daun mengubah dan cara spiral mengatur atau subopposite; stipula bebas, semi-amplexicaul, bulat telur, panjang 0.5-1.5 cm, berambut, [yang] sedikit berrusuk, caducous; panjang petiola ( 1-)2-9(-15) cm, subtomentose; helaian daun bulat telur hingga ellips, 5-20 cm x 4-12 cm, rata atau bercuping 5, hampir tidak rata, chartaceous, pangkal bentuk jantung hingga membulat atau agak meruncing, tepi berombak, bergerigi atau bergigi, ujung meruncing atau agak runcing, permukaan atas berambut, permukaan bawah berambut lebih lebat hingga subtomentose pada urat daun. Urat daun lateral 5-9 pasang. Inflorescences jantan soliteer atau biasanya berkelompok pada tunas yang pendek, tandan, pendulous; panjang peduncle 1-2.5 cm, berambut hingga tomentellous; panjang tandan 3-10 cm; perianthium bercuping 4, panjang 1.5-2 mm, berambut; benang sari 4, panjang 3-3.5 mm, panjang anthera sekitar 0.8 mm; bractea 1.5-2.5 mm, berambut. Inflorescences betina capitate, soliter di axil daun atau di bawah daun, panjang pedunkel 0.3-1.5 cm, berambut hingga tomentellous; kepala membulat, diameter 1-1.2 cm; perianthium tubular, panjang sekitar 1 mm, bergigi 4; panjang ovarium sekitar, stigma 1, filiform, panjang 7-10 mm.

LAPORAN AKHIR K

Kaajjiiaann PPeerreennccaannaaaann SSttrraatteeggiiss PPeennggeemmbbaannggaann OODDTTWW ddii KKaammppuunngg PPaassiirr KKuunnccii

Infrutescence sinkarp, agak membulat, diameter 2-2.5 cm, bagian yang berdaging, berisi braktea interfloral, yang biasanya berubah menjadi oranye; buah drupa, dengan pangkal dangkal dan exocarpium putih, endocarpium bulat telur, panjang 2-2.5 mm. Biji kecil, kotiledon datar dan radikel panjang

Manfaat Tumbuhan

Selama berabad - abad, serat kulit kayu bagian dalam digunakan untuk pembuatan kertas dan pabrik tekstil untuk pakaian. Penerapan awalnya dijumpai di Jepang, China, Indo-China, Thailand, Burma (Myanmar), Filipina, Jawa dan Madura, meskipun dengan metode produksi yang berbeda dan kemudian diantara yang lainnya, Indonesia, New Guinea dan Polynesia, dimana pabrik dikenal sbagai pakaian `tapa`. Pabrik tekstil dari tanaman ini digunakan untuk membuat barang-barang seperti sarung, topi, sarung kasur dan tas

Kegunaan Dalam Keadaan Darurat di Hutan (Survival)

Daun dapat digunakan untuk bahan makanan baik dimakan langsung, disayur, ditumis atau dikukus. Pohon ini merupakan tumbuhan tingkat rendah. Ia masih termasuk ke dalam keluarga Moraceae. Diketahui Saeh adalah peninggalan satu-satunya tatar kerajaan sunda yang masih ada. Untuk memperoleh Saeh/kertas daluang (Broussonetiapapyryfera Vent) dibutuhkan bahan baku kulit kayu pohon saeh. Pohon ini merupakan tumbuhan tingkat rendah. Ia masih termasuk ke dalam keluarga Moraceae. Pohon yang tak punya bunga dan buah ini tumbuh di Baemah (Sumatera), pedalaman Sulawesi hingga Pulau Seram, Garut (Jawa Barat), Purwokerto (Jawa Tengah), Ponorogo (Jawa Timur), Pamekasan dan Sumenep (Pulau Madura). Orang Sunda menyebutnya saeh. Orang Madura menyebutnya dhalubang atau dhulubang, sedang orang Sumba menyebutnya kembala. Dahulu, tumbuhan ini ditanam di sekitar masjid agar para santri mudah mengambil dan membuat kertas sendiri untuk keperluan belajarnya.

Menurut DR K. Heyne (Peneliti Belanda) dalam buku Tumbuhan Berguna Indonesia, pohon saeh diduga berasal dari negeri Cina. Namun bila mencermati daerah persebarannya, terbukti tanaman ini asli indonesia (tropis). Apalagi mempertimbangkan aspek pemanfaatannya yang

LAPORAN AKHIR K

Kaajjiiaann PPeerreennccaannaaaann SSttrraatteeggiiss PPeennggeemmbbaannggaann OODDTTWW ddii KKaammppuunngg PPaassiirr KKuunnccii

telah dikenal oleh masyarakat tradisional di nusantara sebagai bahan baku kertas jaman kerajaan nusantara. Ada beberapa spesies tanaman yg berbeda yang tersebar terutama yang terdapat di garut yang berbeda dengan di ponorogo (jatim) atau daerah lainnya.

Selain itu, tumbuhan yang berkembang biak dengan akar rimpang atau geragih ini sangat baik sebagai bahan baku pembuatan kain tradisional. Menurut Heyne, pakaian kulit kayu ini pada masanya sangat digemari masyarakat kita. Baik kaum perempuan maupun kaum adamnya. Terlebih menjadi pakaian tidur, ia memberikan rasa teduh dan nyaman. Saat ini, masih ada beberapa suku di pedalaman Kalimantan (Dayak), Sumatera (Kubu) dan Sulawesi (Banggai) yang masih memproduksi dan memakai pakaian kulit kayu.

Kertas ini terbilang tahan lama, bahkan bisa berumur ratusan tahun. Hal ini terbukti dari fakta kesejarahannya setelah ditemukan beberapa naskah kuno dan perkamen kebudayaan kuno Indonesia di museum-museum di tanah air. Konon, mereka yang menggunakan serat kayu ini menjadi kertas untuk menuliskan tradisi tulis atau mantera-mantera adalah orang-orang suci. Di Bali, kertas Daluang ini hanya boleh digunakan oleh kaum Brahmana, untuk kepentingan upacara ritual masyarakat Hindu sejak abad 3 SM hingga sekarang.

Sejarah kertas ini sudah lama ditemukan oleh arkeologi dan ahli sejarah sastra kuno. Awal kertas Daluang ini dikenal berfungsi sebagai alat Bantu kehidupan sehari-hari, pakaian misalnya. Pada abad ke 3 SM ditemukan sebuah “paneupuk” dari batu (penumbuk kulit kayu) di Desa Cariu, Kabupaten Bogor. Masyarakat jaman itu menamakannya “tapa”, yaitu hasil olahan kulit kayu yang ditumbuk untuk kebutuhan sehari-hari masayarakat di sana. Kemudian, di dalam buku Literatur of Java muncul nama Daluang pada jaman kebudayaan Hindu di Nusantara.

Kertas Daluang ini saat itu digunakan untuk menuliskan cerita wayang beber dalam bentuk gambar-gambar. Dan kertas Daluang ini juga digunakan sebagai pakaian pelengkap para Pandita Hindu.

Pada tahun 1970-an masyarakat Hindu di Bali menggunakan kertas Daluang ini untuk pelaksanaan upacara Ngaben. Daluang di sana menjadi salah satu syarat wajib pelaksanaan upacara Ngaben,

LAPORAN AKHIR K

Kaajjiiaann PPeerreennccaannaaaann SSttrraatteeggiiss PPeennggeemmbbaannggaann OODDTTWW ddii KKaammppuunngg PPaassiirr KKuunnccii

yang disimpan di dalam “Kitir” berbentuk kupu-kupu yang berfungsi simbol magis. Konon, “Kitir” itu adalah medium pengantar arwah ke Nirwana.Selain itu juga terdapat “Kajang” dengan bahan dasarnya Daluang ini. “Kajang” di bagi masyarakat Hindu Bali dipakai sebagai penutup jenazah dalam sebuah upacara.

Daluang bagi masyarakat Pacitan, Jawa Tengah, kertas Daluang dibunakan sebagai kertas penulisan cerita Ramayana. Kata “Dalu” berarti malam dan “Wang” berarti orang. “Dalu” + ”Wang” = orang yang bekerja pada malam hari. Mengapa demikian, karena proses pengerjaan kertas Daluang ini dikerjakan oleh kaum Brahmana pada malam hari untuk menuliskan cerita atau teks penting di jamannya. Pada masa kebudayaan Hindu di daerah Kediri, Daluang digunakan untuk menuliskan cerita Panji untuk pergelaran wayang beber. Kemudian pada jaman Keislaman di Nusantara, fungsi Daluang diganti menjadi medium untuk menuliskan ayat-ayat al-Quran atau karya seni kaligrafi. Hal ini juga terjadi di pondok pesantren Jetis, Jawa Timur, bahwa kertas Daluang digunakan oleh para ulama dan santri untuk menuliskan kitab-kitab.