• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budiman Sudjatmiko **

Dalam dokumen HUTAN UNTUK RAKYAT JALAN TERJAL REFORMA (Halaman 197-200)

* Disampaikan di acara Diskusi “Mencari Solusi Permasalahan Pertanahan, Memper- cepat Pembangunan Nasional”, 18 Oktober 2011, Universitas Paramadina). **Tim Kerja Pertanahan Komisi II dan Fraksi PDI Perjuangan DPR RI; Pembina

(1874). Maka dibukalah perkebunan-perkebunan swasta untuk memenuhi orientasi ekspor bahan mentah. Pada periode itu pula eksploitasi migas juga dimulai. Semua berlangsung hingga kedatangan ‘saudara dari timur, Jepang 1930-an. Periode Jepang yang singkat ini terasa memeras bagi seluruh negeri, semua untuk penyediaan kebutuhan pangan bagi perang.

Kenapa kita perlu me-review cerita kolonialisme di atas, sesungguhnya dimaksudkan untuk melihat, apakah benar-benar kita telah melangkah pada makna kemerdekaan sesungguhnya sebagaimana Bung Karno menyebutnya dengan ‘jembatan emas’ ataukah mundur ke belakang dalam bentuk-bentuk baru? Kita hanya bisa mengenalinya melalui orientasi ekonomi bangsa ini dan sistem hukum yang menjadi penopangnya.

Kemerdekaan sejatinya dimaksudkan untuk menghentikan sistem ekonomi feodal dan sistem ekonomi kolonial. Kemerdekaan sejatinya adalah berhentinya eksploitasi kembalinya hak-hak rakyat untuk mengelola sumber daya alam/agraria bagi kesejah- teraan seluruh anak bangsa. Selama 15 tahun kemudian disusunlah suatu UU yang dimaksudkan untuk menjalankan amanat pembukaan UUD 1945:

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejah- teraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksana- kan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta

dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat

Indonesia.

UU itu adalah UU Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria disingkat UUPA. Pada pokoknya UUPA dimaksudkan untuk

mengakhiri dua sistem ekonomi yaitu sistem ekonomi feodalistik dan sistem ekonomi kolonial yang merugikan rakyat.

Tak berlangsung lama, setelah berulang kali usaha untuk mengambil alih kembali negeri dalam kekuasaan kolonial gagal melalui agresi Belanda I dan II, akhirnya kekuatan asing berhasil merebutnya kembali, kali ini dengan cara kudeta kekuasaan Soekarno. Kita memasuki fase panjang Orde Baru 1966 hingga 1998. Bentuknya dengan utang melalui LoI (Tokyo 1966), modal langsung, modal tak langsung. Jenis sumber daya yang dikuras adalah migas dan mineral, agraria dalam bentuk perkebunan, pertambangan, dan hutan untuk kepentingan ekspor bahan mentah, serta UU yang memuluskannya adalah UU Penanaman Modal Asing (UU No 1 tahun 1967) dan UU No 11 tahun 1967 Tentang Pertambangan.

Sayangnya perubahan politik 1998 yang dulu kita perjuang- kan gagal meluruskan tujuan-tujuan terbentuknya pemerintah negara Republik Indonesia sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945.Kita lihat bahwa pasca Orde Baru ini tetap menopangkan diri pada utang melalui LoI 1997 yang ditandatangani oleh Soeharto di episode terakhir kekuasaannya, modal langsung, dan modal tidak langusng. Orientasi ekonomi kita masih ekspor bahan mentah, ditambah dengan menguatnya impor bukan hanya produk olahan yang diimpor, bahkan juga impor bahan pangan. Nyaris semua kebutuhan pokok adalah impor, beras, terigu, garam, buah, dan lain-lain. Sebuah ironi negeri agraris. Eksploitasi migas dan mineral melalui UU No. 22 tahun 2001 migas, listrik melalui UU No. 20 tahun 2002, kehutanan (UU No. 41 tahun 1999), UU No. 19 tahun 2004, dan lain-lain.

Hebatnya, pemerintahan SBY justru melahirkan suatu UU baru yang memuluskan ekspansi modal asing yaitu UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang secara prinsipil membuka masuknya modal asing 100% melalui asas perlakuan yang sama

(equal treatment) antara modal asing (orang asing, badan hukum

orangan Indonesia, dan nyaris saja memberikan hak guna usaha (HGU) 95 tahun dengan pemberian HGU 60 tahun sekaligus dan 35 tahun perpanjangan, hak pakai 70 tahun, dan hak guna bangunan (HGB) 60 tahun. Apa maksud pasal ini? Tidakkah itu bahkan melebihi hak erpacht pada Agrarische wet 1870 yang mem- berikan hak selama 75 tahun. Pasal ini pun akhirnya digugurkan dalam judicial review di MK. Namun demikian problemnya belum selesai, sebab asas equal treatment masih berlangsung dengan dikuatkan oleh PP 77 tahun 2007 yang membuka nyaris seluruh sektor kehidupan rakyat untuk modal asing, termasuk pendidikan. Semestinya pendidikan bukanlah sektor usaha, melainkan sebagai sistem ideologi bangsa untuk menanamkan karakter kebangsaan yang kuat (national building). UU ini dilengkapi dengan kebijakan FTZ (free trade zone), di mana pintu pasar-pasar bebas dibuka. Hanya butuh satu pintu untuk masuk menerobos seluruh ke pasar di wilayah Indonesia, dan FTZ telah membukanya. UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan kebijakan FTZ ini melengkapi sejumlah UU lain yang mengeksploitasi sumber daya alam/agraria kita, sekaligus melengkapi orientasi sebagai pasar bagi impor produk-produk olahan dan pangan dari luar negeri.

Apa ini artinya? Artinya selama 1200 tahun nusantara yang berjaya, runtuh oleh 350 tahun kolonialisme bangsa-bangsa Eropa (Belanda, Inggris, Portugis), dan kini 66 tahun kemerdekaan, perjalanan bangsa ini malah mundur dari titik nol, sebab orientasi ekonomi kita tetap tidak berubah secara mendasar, kita masih berorientasi ekspor produk mentah, serta menempatkan diri kita sebagai pasar sangat besar bagi impor produk olahan dan diper- parah dengan impor pangan.

Apa akibatnya? Akibatnya adalah, ketimpangan yang sangat besar dalam penguasaan sumber daya alam dan agraria dan tentu saja kemiskinan yang luar biasa. Data BPN menyatakan bahwa hanya 0,2% dari penduduk negeri ini (>250 juta) menguasai 56% aset nasional, dan konsentrasi aset ini 87%-nya adalah dalam

Dalam dokumen HUTAN UNTUK RAKYAT JALAN TERJAL REFORMA (Halaman 197-200)