• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah-masalah Tenurial Baru Kehutanan

Dalam dokumen HUTAN UNTUK RAKYAT JALAN TERJAL REFORMA (Halaman 38-41)

Selain masalah-masalah tenurial kehutanan yang mewaris dari sejarah kolonial, kini masalah kehutanan ditantang dengan konteks baru yang mendesak untuk diselesaikan. Dalam hal ini mulai dari tuntutan Hak Masyarakat Adat yang semakin sadar atas hak-hak dasar mereka akibat didorong oleh proses demokratisasi yang juga semakin terbuka, kebijakan-kebijakan ekonomi ekstraktif nasional dan masuknya internasionalisasi kawasan kehutanan dalam program dan kebijakan global: Climate Changes, ragam program REDD, peningkatan isu konservasi, krisis ekologis, utamanya food, energy,

and water sustainability hingga program restorasi ekosistem.

Sungguh melegakan jika akhir-akhir ini kita juga menyaksikan semakin menggumpalnya kesadaran untuk mengakui eksistensi masyarakat lokal/adat yang hidup dan menetap di kawasan hutan, antara lain berkat perjuangan gigih kelompok Civil Society

Organizations (CSO), baik yang konsisten menuntut pengakuan

atas eksistensi masyarakat adat maupun yang kukuh mengedepan- kan perjuangan Reforma Agraria. Hal yang tak boleh dilupakan juga adalah puncak dari perjuangan paling aktual yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 35/RUU-X/2012 yang memberi pengakuan hak Masyarakat Adat (MHA) di kawasan hutan. Putusan MK 35 adalah tonggak politik agraria paling penting di Indonesia pasca Reformasi. Melalui putusan MK 35 ini, ditunjukkan bahwa UU 41/1999 yang menjadi dasar legitimasi Kemenhut memiliki cacat konstitusional yang perlu diralat di beberapa pasalnya. Salah satunya dikeluarkannya status Hutan Adat dari kategori Hutan Negara. Singkatnya, semangat tenurial reform dari Putusan MK 35 adalah langkah penting dalam kepentingan Reforma Agraria Kehutanan yang lebih besar. Implikasinya tentu cukup luas, bukan hanya pada titik pengakuan eksistensi MHA yang selama ini terabaikan, tetapi juga hak kelolanya di kawasan hutan. Dengan

demikian, Kemenhut sekali lagi dituntut untuk mengeluarkan wilayah hutan adat yang selama ini diklaim oleh negara. Disadari ini bukanlah persolan sederhana dan mudah, sebab menyangkut kepentingan ekonomi-politik yang selama ini sudah berada di zona nyaman dan dinikmati sebagai bagian dari domain keuntungan negara. Dalam kerangka Reforma Agraria Kehutanan, putusan MK 35 menjadi tonggak penting sekaligus ujian, sampai di mana kita mampu membuka dan menjawab tuntutan pengakuan hak HMA di kawasan hutan khususnya dan masyarakat lokal pada umumnya. Persoalan lain pelestari dan warisan silang sengkarut peng- urusan tata kelola kehutanan adalah ‘internasionalisasi wilayah kehutanan’. Sejak diskursus pemanasan global dan perubahan iklim mengemuka secara internasional,muncul turunan beragam agenda global yang langsung maupun tidak terdorong dari isu tersebut. Ancaman krisis pangan, energi dan air menjadi tema yang mengglobal dalam satu dekade terakhir. Lebih lanjut kekhawatiran global tersebut ikut memicu lahirnya kebijakan mitigasi dan adaptasi atas pubahan iklim. Beragam inisiatif yang didorong

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) melahirkan

beragam konsensus internasional, termasuk Protokol Kyoto (1997) hingga Protokol Doha (2012)6 dan didukung ratusan negara

di dunia. Dari sejarah diskursus perubahan iklim ini tampak bahwa

6 Secara hukum Protokol Kyoto mewajibkan Negara Annex I menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 5,2% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode tahun 2008-2012. Namun pada intinya Protokol Kyoto berusaha meringankan beban Negara maju melalui tiga cara yaitu; mekanisme pembangunan bersih (CDM), pelaksanaan bersama (joint implementation), dan perdagangan karbon. Cara- cara tersebut dianggap ‘menguntungkan’ negara berkembang (non Annex), karena melalui CDM, Negara Annex I membantu beberapa proyek pembangunan di Negara berkembang. Namun kenyataannya dalam mekanisme CDM justru negara maju Annex I lebih diuntungkan, karena menurunkan emisi GRK lebih murah daripada melakukan mitigasi di dalam negerinya sendiri. Karenanya, Annex I menyebut dua mekanisme CDM sebagai mekanisme fleksibilitas (flexibility mecha- nism). Dalam pelaksanaan CDM, komoditi yang diperjualbelikan adalah reduksi emisi GRK tersertifikasi, yang dikenal dengan CER (certified emission reduction). Sebagai ilustrasi emisi dapat dibeli melalui CDM dengan harga 3-20 dolar AS per ton karbon. Ini jauh lebih hemat karena biaya penurunan emisi di dalam negeri

sumber pertama ‘kegalauan global’ sebagian besar merupakan keresahan negara-negara maju (Annex I), yang diintrodusir dengan masif melalui beragam politik konsensus internasional sehingga menjadi agenda seluruh bangsa di muka bumi, termasuk negara-negara berkembang (non Annex). Sebagai kenyataan empirik dampak buruk perubahan iklim tidak terbantahkan dan dirasakan oleh banyak bangsa di dunia. Namun, jika dilihat lebih jauh putusan dalam konsensus-konsensus internasional yang disepakati untuk menghadapi perubahan iklim, sejak Protokol Kyoto (1997) hingga Doha (2012), jelas tak memihak kepentingan kelompok negara berkembang.7 Secara lebih luas, agenda ekologis

tidak bisa dilepaskan dari agenda ekonomi-politik. Mengutip Harvey, dapat dijelaskan bahwa ‘All ecological project (and arguments) are simultaneuosly political-economic projects (and arguments) and vice versa. Ecological arguments are never socially neutral any more than socio-political arguments are

ecologically neutral ‘(Harvey, 1996).8 Dengan pendasaran teoretik

semacam ini maka sulit memisahkan isu perubahan iklim ‘dinetral- kan’ dari agenda ekonomi-politik global negara maju/utara atas negara-negara berkembang/selatan.

Bahkan dalam banyak hal, implikasi konsensus dalam putaran global justru menimbulkan ‘tanggung jawab’ dan beban baru bagi negara-negara berkembang. Sebab serentak sejak isu perubahan iklim diterima dunia, muncul isu turunan tentang REDD (+),

(negara maju) mencapai 125 dolar AS. Oleh Negara maju (AS) hal ini disebut sebagai efektif secara ekonomis. Meski sudah untung secara ekonomis ternyata AS juga tetap tidak mau meratifikasi Protokol Kyoto bersama dengan China, India. Negara maju yang mau meratifikasi Protokol Kyoto adalah Jerman dan Swedia.

7 Lebih jauh lihat, Eko Cahyono, Negara, Perubahan Iklim dan Krisis Sosial-Ekologis:

Sebuah Telaah Awal Perspektif Ekologi Politik, makalah disampaikan dalam sebuah diskusi di Jakarta, tanggal 24 Mei 2013. (belum diterbitkan).

8 ‘Semua proyek ekologi (berikut argumentasinya) pada dasarnya secara simultan juga merupakan proyek ekonomi politik (dan argumentasinya), demikian pula sebaliknya. Argumentasi ekologi tidak pernah lagi bebas dari nilai-nilai sosial, dibanding argumentasi ekonomi politik yang umumnya masih bebas ekologi’ (Harvey, 1993).

perdagangan karbon, restorasi ekosistem, krisis pangan, krisis energi, krisis ekologi, dan merebaknya isu go green, green earth,

green live, dan seterusnya. Setelah itu beriringanlah beragam mega

proyek food estate, mega proyek land grabbing, beragam proyek ekstraktif energi (geotermal, ragam ekstraksi tambang, gas alam, biofuel, mineral, dan seterusnya). Semua mega proyek ekstraktif tersebut mengatasnamakan demi ‘menghadapi dampak dan ancaman Perubahan Iklim’ baik dengan dalih mitigasi maupun adaptasi. Benarkah alur isu global perubahan iklim menjadi ‘gerbang awal’ bagi karpet merah agenda ekonomi-politik-lingkungan yang lebih besar? Benarkah itu sekadar konsekuensi logis yang alamiah dan menjadi keharusan sejarah? Atau bagaimana seyogyanya memaknai isu perubahan iklim dan isu turunannya tersebut? Sebelum ada kejelasan yang mendasari pertanyaan di atas, yang pasti adalah masyarakat lokal dan masyarakat adat di sekitar kawasan hutan tetap menjadi korban dan sebagian besar justru tereksklusi dari ruang hidupnya sendiri. Kawasan hutan dijaga dan dilestarikan demi mematuhi kesepakatan global, namun nasib hak rakyatnya sendiri digadaikan. Singkatnya, semangat reforma tenurial kehutanan yang belum terwujud harus menghadapi tantangan baru dalam agenda internasionalisasi kawasan hutan yang juga tak berpihak pada masyarakat lokal dan adat.

Dalam dokumen HUTAN UNTUK RAKYAT JALAN TERJAL REFORMA (Halaman 38-41)