• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjuangan Meralat Politik Agraria Kehutanan

Dalam dokumen HUTAN UNTUK RAKYAT JALAN TERJAL REFORMA (Halaman 123-130)

Kita belum sanggup memberi tempat yang memadai pada pesan utama Mr. Muhammad Yamin untuk menjaga “...kesanggupan dan kecakapan bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak atas tanah sudah muncul beribu-ribu tahun yang lalu, dapat diperhatikan pada susunan persekutuan hukum seperti 21.000 desa di Pulau Jawa, 700 Nagari di Minangkabau, susunan Negeri Sembilan di Malaya, begitu pula di Borneo, di tanah Bugis, di Ambon, di Minahasa, dan lain sebagainya.” Pandangan Muhamad Yamin inilah yang ikut menginspirasikan rumusan pasal 18 UUD 1945, sebelum diamandemen (lihat Hedar, 2012).

Wilayah adat itu beragam karakteristiknya di seantero kepu- lauan Indonesia: mulai dari yang menempati wilayah pedesaan, pedalaman, hingga pesisir; baik di dataran rendah maupun dataran tinggi; dalam lanskap hutan belantara hingga padang rumput savana. Keragaman wilayah itu juga memengaruhi cara hidup mereka berproduksi memenuhi kebutuhan makanan, mulai dari berburu dan mengumpul hasil hutan, bertani-berladang, hingga bertani menetap dengan mengerjakan sawah. Perbedaan bentang alam itu membentuk perbedaan cara memenuhi kebutuhan hidup melalui tata produksi-konsumsinya, yang juga terkait secara langsung maupun tidak dengan sistem pengaturan kepenguasaan atas tanah. Masyarakat hukum adat memiliki karakteristik khusus sebagai pemilik wilayah adat. Sering sekali ditampilkan secara romantik wajah masyarakat adat sebagai satuan yang homogen dan direpresentasikan secara idilic dalam suatu gambaran yang indah dan harmonis dengan alam sekitarnya, terpisah dengan dunia pasar global, politik lokal, dan wacana dan praktik pembangunan. Pada kenyataannya tidak demikian.

Selain masyarakat adat hidup di lanskap alam yang berbeda- beda, masyarakat adat juga mempunyai perbedaan kelas di dalamnya (Lihat Sangaji, 2012), dan juga perbedaan status dan posisi berdasar jenis kelamin. Posisi perempuan yang marjinal

dalam masyarakatnya, dan secara khusus visibilitas, representasi dan partisipasinya dalam perjuangan mendorong sejumlah eksponen di dalam AMAN sendiri mengembangkan kelompok- kelompok perempuan adat yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan jender. Mereka percaya perjuangan keadilan sosial masyarakat adat itu harus mempertimbangan perbedaan kelas dan berjenis kelamin. Masyarakat adat bukan hanya satu wajah yang merupakan wajah laki-laki. Mama Aleta Baum dari wilayah Molo, Kabupaten Timur Tengah Selatan, NTT yang baru-baru ini meraih penghargaan Goldman Environmental Prize 2013 telah menunjuk- kan jalan bagaimana perempuan pemimpin adat secara nyata memperjuangan keadilan sosial itu.

Kenyataan pahitlah yang lebih banyak dialami oleh kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat Indonesia, termasuk ketika mereka berada di bawah rezim Orde Baru (1966-1998) hingga masa reformasi (1998-sekarang). Tidaklah sulit untuk mengetahui bahwa sebagian dari perjuangan yang diusung AMAN dan para sekutu pendukungnya, pada mulanya adalah upaya mengeraskan suara rakyat korban perampasan wilayah adat. Mereka menderita akibat dimasukkannya seluruh atau sebagian dari tanah/wilayah adat ke kawasan hutan negara. Dengan mengeluarkan berbagai lisensi untuk ekstraksi dan produksi kayu hingga konservasi sumber daya alam (bentuk yang terbaru adalah restorasi ekosistem), Menteri Kehutanan memberi legalitas pada bekerjanya konsesi (penguasaan wilayah) yang menguasai dan mengelola luasan tanah kehutanan untuk mengusahakan hutan dalam skala raksasa. Perampasan wilayah adat terjadi ketika perusahaan-perusahaan raksasa pemegang konsesi-konsesi atau instansi pemerintah itu membatasi/melarang akses rakyat atas hutan dalam wilayah adatnya hingga mengusir rakyat yang hidup dalam kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat dari (sebagian) wilayah adatnya, baik dengan atau tanpa program permukiman kembali (resettlement). Ketika kelompok-kelompok rakyat yang hidup dalam kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat itu secara sporadik memprotes

keabsahan dari lisensi-lisensi itu dan secara nyata menantang beroperasinya pihak pemegang konsesi-konsesi, mulailah terbentuk konflik agraria. Dalam hal ini, konflik agraria dimengerti sebagai pertentangan klaim terbuka mengenai siapa yang berhak atas satu bidang tanah/wilayah, antara kelompok rakyat dengan badan- badan penguasa tanah luas, termasuk perusahaan-perusahaan yang menguasai konsesi-konsesi kehutanan, dan lainnya; pihak- pihak yang bertentangan tersebut kemudian berupaya dan bertindak secara langsung maupun tidak, menghilangkan klaim pihak lain. Dari perspektif ini, konflik agraria itu berasal dari keputusan pejabat publik yang menggunakan wewenangnya untuk mengeluarkan lisensi bagi perusahaan-perusahaan raksasa atau badan-badan pemerintah dengan memasukkan tanah dan wilayah kepunyaan rakyat di dalamnya. Mekanisme utamanya adalah, apa yang penulis sebut sebagai negara-isasi tanah/wilayah kepunyaan rakyat. Tanah/wilayah kepunyaan rakyat dimasukkan dalam kategori “tanah negara”, “hutan negara” dan sejenisnya. Kemudian atas dasar kewenangan legalnya, pejabat publik mengeluarkan lisensi konsesi kehutanan untuk perusahaan-perusahaan atau badan pemerintah, yang memasukan tanah/wilayah kepunyaan rakyat itu ke dalam wilayah konsesi-konsesi perusahaan- perusahaan atau instansi pemerintah untuk usaha-usaha ekstraksi sumber daya alam dan produksi komoditas global maupun konservasi alam. Konflik agraria yang bersifat struktural ini menjadi kronis dan meluas karena penanganannya sama sekali tidak adekuat (Rachman, 2013b).

Situasi demikianlah yang pada gilirannya menjadi alas dari gerakan sosial yang terkoordinasi secara nasional, yakni AMAN. AMAN adalah salah satu dari organisasi gerakan sosial pedesaaan di Inonesia yang terkemuka dan mengartikulasikan secara jelas tuntutannya dalam moto awalnya: “kalau negara tidak mengakui kami, kami pun tidak mengakui negara”. Sejumlah karya tulis menyajikan dengan baik perjalanan gerakan masyarakat adat di Indonesia ini (e.g. Li, 2000, 2001, Acciaioli, 2002, Moniaga, 2002). Penulis mengamati perjalanan AMAN sejak pendiriannya

setahun setelah tumbangnya rezim otoritarian di bawah kepe- mimpinan Presiden Jenderal Suharto di tahun 1999. Perjuangan yang diusung AMAN adalah perjuangan melawan ketidakadilan sosial yang diisi oleh perlawanan tak henti-hentinya menolak perampasan wilayah adat; karenanya, penulis menyebutnya sebagai “perjuangan tanah-air masyarakat adat” (Rachman, 2012b, 2013a). Satu sumber ketidakadilan sosial itu adalah status masyarakat hukum adat yang tidak diakui sebagai penyandang hak dan subjek hukum pemilik wilayah adatnya. Dibandingkan dengan dua subjek hukum lainnya yakni negara dan pemegang hak atas tanah, masyarakat hukum adat diperlakukan berbeda dan tidak secara jelas diatur oleh UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, baik berkenaan dengan pengakuan atas eksistensinya maupun haknya atas tanah maupun hutan. Menurut MK:

Dengan perlakuan berbeda tersebut masyarakat hukum adat secara potensial, atau bahkan dalam kasus-kasus tertentu secara faktual, kehilangan haknya atas hutan sebagai sumber daya alam untuk kehidupannya, termasuk hak tradisionalnya, sehingga masyarakat hukum adat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari hutan sebagai sumbernya. Bahkan acapkali hilangnya hak-hak masyarakat hukum adat dimaksud dengan cara sewenang- wenang, sehingga tidak jarang menyebabkan terjadinya konflik yang melibatkan masyarakat dan pemegang hak (Mahkamah Konstitusi 2013:169).

Dipandang dari perspektif sejarah, kesewenang-wenangan atas masyarakat hukum adat telah berlangsung semenjak masa kolonial Hindia Belanda.4 Kriminalisasi terhadap akses rakyat

secara adat atas tanah dan sumber daya hutan bukan hanya

4 Dalam karyanya De Indonesier en zijn ground, Cornelis van Vollenhoven (1919, 1975) secara lantang mengemukakan “seabad ketidakadilan” dan “setengah abad ketidakadilan” yang dialami oleh masyarakat hukum adat “orang-orang Indonesia” akibat politik agraria kolonial yang diskriminatif. Lihat pembahasan mengenai konteks dan arti penting dari karya van Vollenhoven ini pada Termorshuizen-Arts (2010). Untuk debat mengenai andil van Vollenhoven secara keseluruhan lihat Burn (1989), (2004), dan Benda-Beckman dan Benda-Beckman (2011).

merupakan konsekuensi dari pembentukan kawasan hutan negara, melainkan penguasaan negara atas kawasan hutan negara juga dibentuk melalui kriminalisasi demikian itu (political forests). Dengan kata lain, secara aktual, terdapat hubungan yang saling membentuk antara penguasaan klaim kawasan hutan negara dengan kriminalisasi atas akses rakyat terhadap tanah dan hutan yang berada di kawasan hutan negara itu (Peluso and Vandergeest 2001 menyebut konsep hutan yang dikuasai oleh negara itu sebagai political forest. Lihat pula: Peluso, 1992). Diskriminasi ini pada mulanya adalah kebijakan kolonial, yang kemudian dinasio- nalisasikan sedemikian rupa sehingga dimuat dalam perundang- undangan Repubik Indonesia. Undang-Undang No. 5/1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan dan turunannya adalah perundang- undangan yang meneruskan kontrol dan kriminalisasi atas akses masyarakat hukum adat terhadap tanah dan hutan itu. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan Undang-Undang 41/1999 dengan memasukkan hutan adat dalam kategori hutan negara (pasal 5).

Penjelasan pasal 5 menyebutkan:

Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya. Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan di dalam pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pendapat Mahkamah Konstitusi mengenai rumusan Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan itu adalah sebagai berikut:

Dalam penilaian hukum terhadap Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan, Mahkamah berpendapat bahwa hutan hak harus dimaknai bahwa hutan hak terdiri dari hutan adat dan hutan perseorangan/badan hukum. Dengan demikian, hutan adat termasuk dalam kategori hutan hak, bukan hutan negara. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 (Mahkamah Konstitusi, 2012:168).

Sesungguhnya perbuatan memasukkan wilayah adat ke dalam kategori hutan negara itu–apa yang penulis istilahkan sebagai negara-isasi wilayah kepunyaan rakyat dan penulis sampaikan dalam keterangan ahli di dalam sidang Mahkamah Konstitusi atas perkara No 35/PUU-X/2012 itu (Mahkamah Konstitusi, 2013:66- 68)–adalah suatu bentuk khusus dari penyangkalan5 status masya-

rakat hukum adat sebagai penyandang hak dan subjek hukum pemilik wilayah adatnya. Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa penggunaan alasan “sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara” untuk penyangkalan itu sesungguhnya bertentangan dengan konstitusi.

Atas dasar penyangkalan itu, adalah pemerintah pusat, yakni Menteri Kehutanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), atau pejabat pemerintah daerah (Bupati dan Gubernur), memper- gunakan kewenangan pemberian izin/hak/lisensi pemanfaatan sumber daya alam untuk instansi pemerintah atau perusahaan- perusahaan raksasa untuk usaha kehutanan/perkebunan/per- tambangan. Berkenaan dengan penyangkalan itu, Mahkamah Konstitusi menghubungkannya dengan posisi masyarakat hukum adat yang lemah.

Berlakunya norma yang tidak menjamin kepastian hukum dan menimbulkan ketidakadilan terhadap masyarakat hukum adat dalam kaitannya dengan hutan sebagai sumber-sumber kehidupan mereka, karena subjek hukum yang lain dalam Undang-Undang a quo mem- peroleh kejelasan mengenai hak-haknya atas hutan. Masyarakat hukum adat berada dalam posisi yang lemah karena tidak diakuinya hak-hak mereka secara jelas dan tegas ketika berhadapan dengan negara dengan hak menguasai yang sangat kuat. Seharusnya penguasaan negara atas hutan dipergunakan untuk mengalokasikan sumber daya alam secara adil demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Mahkamah Konstitusi, 2013:170).

Mahkamah Konstitusi meralat penggunaan/penyalahgunaan konsep “hak menguasai negara” yang sangat kuat demikian itu.6

Dalam suatu kesempatan lain, Ahmad Sodiki, salah satu dari hakim Mahkamah Konstitusi yang menjadi tulang punggung dari putusan- putusan progresif atas perkara-perkara judicial review undang- undang agraria/sumber daya alam di Mahkamah Konstitusi, mengemukakan pandangannya bahwa:

“ … jika dikaitkan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi tugas negara bagaimana pengusahaan sumber daya alam yakni bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (secara adil dan merata). Hal itu tidak dapat dicapai dengan menegakkan hukum semata karena ternyata hukum yang berkenaan dengan sumber daya alam mengandung cacat yang, jika ditegakkan, justru akan menimbulkan ketidakadilan sosial. Penegakan hukum sumber daya alam yang tidak adil akan mengancam eksistensi masyarakat hukum adat yang sangat rentan penggusuran oleh mereka yang mengatasnamakan atau izin dari negara” (Ahmad Sodiki, 2012).

Jadi, menurut Mahkamah Konstitusi, dalam putusannya atas perkara 35/PUU-X/2012 itu (Mahkamah Konstitusi, 2013:170), tidak boleh terjadi lagi penggunaan alasan HMN yang sangat kuat itu yang berakibat penyangkalan status masyarakat hukum adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai penyandang hak (rights bearer/rights holder) dan subjek hukum pemilik atas wilayah adatnya.

Analisis atas putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang berkenaan dengan judicial review atas berbagai undang-undang pertanahan dan sumber daya alam, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan norma yang dimaksud dengan “konsep menguasai” sebagaimana dimaksudkan oleh pasal 33 ayat 3 UUD 1945 (2008,

6 Perihal perubahan penggunaan konsep Hak Menguasai dari Negara (HMN) ini dari waktu ke waktu. lihat Fauzi dan Bachriadi (1998). Uraian bagaimana penggunaan konsep HMN yang sangat kuat ini yang berakibat penciptaan dan pemeliharaan konflik-konflik agraria struktural, lihat Fauzi (2002).

2011, 2012). MK menetapkan lima bentuk tindakan penguasaan negara, yaitu pembuatan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan

(bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan

(beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad), dengan

empat tolok-ukur pencapaian tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yakni (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, (ii) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, (iii) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta (iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam (lihat Tabel 2).

Bagaimana Mewujudkan Pengakuan Itu, atau Menyangkal-

Dalam dokumen HUTAN UNTUK RAKYAT JALAN TERJAL REFORMA (Halaman 123-130)