• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASYARAKAT ADAT DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

Dalam dokumen HUTAN UNTUK RAKYAT JALAN TERJAL REFORMA (Halaman 173-177)

HIDUP DI INDONESIA

*

* Tulisan ini didedikasikan kepada Bapak Imam Santoso, pejabat di Kementerian Kehutanan yang selama lebih dari 10 tahun terakhir menjadi teman diskusi dalam berbagai persoalan kehutanan, khususnya yang terkait dengan posisi dan peran masyarakat adat.

Kita bukan hanya kaya dengan sumber daya alam, tetapi juga kaya dengan pengetahuan untuk menjaga dan mengelola alam yang kaya itu. Identitas budaya Masyarakat Adat di Nusantara tidak terpisahkan dari alam, tanah, hutan dan laut yang mereka warisi dari leluhurnya. Itulah yang kita kenal dengan wilayah adat, ulayat kata orang Minangkabau, petuanan kata orang Maluku. Di situlah kearifan lokal bangsa ini hidup dan berkembang memandu zaman yang terus berubah atau bahkan sebagian telah punah ditelan modernisasi. Di tengah perubahan zaman yang semakin tidak terkendali dan melahirkan banyak masalah-masalah inilah isu-isu masyarakat adat menyeruak dan menjadi sorotan dalam berbagai perundingan internasional dan nasional. Gerakan yang di tingkat global menggunakan terminologi generik ‘indigenous

peoples’ mengekspresikan dirinya di tingkat nasional dan lokal

dalam beragam terminologi sesuai dengan konteks historis dan politik dari gerakan yang sejenis. Di Indonesia, gerakan ini menemukan jati dirinya dalam terminologi masyarakat adat yang disepakati dalam satu pertemuan nasional para pemimpin gerakan masyarakat adat dan para aktivis gerakan sosial pendukungnya di tahun 1993 di Tana Toraja. Terminologi masyarakat adat ini disepakati sebagai terminologi generik untuk mewadahi beragam gerakan perjuangan hak-hak asal-usul dan hak dasar yang melekat pada sekelompok penduduk yang memiliki sebagian atau seluruh dari unsur penciri di bawah ini:

• Identitas budaya: bahasa, spritualitas, nilai-nilai, sikap dan perilaku yang membedakan kelompok sosial yang satu dengan yang lain.

• Sistem nilai dan pengetahuan: (kearifan) tradisional bukan semata-mata untuk dilestarikan, tetapi juga untuk diperkaya/ dikembangkan sesuai kebutuhan hidup berkelanjutan.

• Wilayah hidup (wilayah adat, wilayah hak ulayat, ancestral

domain): tanah, hutan, laut dan SDA lainnya bukan semata-

mata barang produksi (ekonomi), tetapi juga menyangkut sistem religi dan sosial-budaya.

• Aturan-aturan dan tata kepengurusan hidup bersama sosial (hukum adat dan lembaga adat): untuk mengatur dan mengurus diri sendiri sebagai suatu kelompok sosial, budaya, ekonomi dan politik.

Unsur-unsur inilah yang diterima secara umum sebagai ba- sis identifikasi diri sebagai masyarakat adat di Indonesia.

Dibandingkan negara-negara lain di Asia, Indonesia termasuk salah satu negara dengan populasi masyarakat adat yang besar. AMAN memperkirakan bahwa sekitar 50 sampai 70 juta jiwa atau antara 20-30% dari 239 juta jiwa penduduk Indonesia masih hidup dengan sistem adatnya. Dengan kearifan lokal yang kuat masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul masih mampu menjaga kedaulatan- nya atas pangan, membangun kemandirian atas energi dari sumber- sumber yang terbarukan.

Sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memper- kaya keanekaan hayati alami. Adalah suatu realitas bahwa sebagian besar masyarakat adat masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain, sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Mereka umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan sumber daya lokal yang diwariskan dan ditumbuh- kembangkan terus-menerus secara turun temurun. Kearifan tradisional ini misalnya bisa dilihat pada komunitas masyarakat adat yang hidup di ekosistem rawa bagian selatan Pulau Kimaam di Kabupaten Merauke, Papua. Komunitas adat ini berhasil mengembangkan 144 kultivar ubi, atau lebih tinggi dari yang ditemukan pada suku Dani di Palimo, Lembah Baliem yang hanya 74 varietas ubi. Di berbagai komunitas adat di Kepulauan Maluku dan sebagian besar di Papua bagian utara dijumpai sistem-sistem pengaturan alokasi (tata guna) dan pengelolaan terpadu ekosistem daratan dan laut yang khas setempat, lengkap dengan pranata (kelembagaan) adat yang menjamin sistem-sistem lokal ini bekerja secara efektif. Sampai saat ini hanya sebagian sangat kecil saja

yang dikenal dunia ilmu pengetahuan modern tentang sistem- sistem lokal ini. Contoh di antaranya adalah pranata adat sasi yang ditemukan di sebagian besar Maluku yang mengatur keberlanjutan pemanfaatan atas suatu kawasan dan jenis-jenis hayati tertentu.

Contoh lainnya yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat kehutanan adalah perladangan berotasi atau bergilir (sebagai istilah pengganti bagi perladangan berpindah yang banyak ditolak oleh komunitas-komunitas adat) yang dilakukan oleh komunitas- komunitas adat di luar Jawa. Kegiatan perladangan berotasi ini telah menjadi salah satu isu kontroversial yang cukup lama, khususnya sejak diterapkannya sistem konsesi HPH dalam pengusahaan hutan sampai pertengahan tahun 1990-an. Para pemilik HPH yang terganggu keleluasaannya menebang hutan oleh kehadiran para peladang, dengan dukungan dari birokrasi, ilmuwan dan praktisi kehutanan, secara sistematis mencari pembenaran dan mengkampanyekan bahwa perladangan berpindah yang terbelakang merupakan tindakan perambahan hutan yang bisa mengganggu ekosistem dan kelestarian lingkungan sehingga harus dikendalikan dan dilenyapkan melalui berbagai program seperti: pemukiman kembali yang dimotori oleh Departemen Sosial dan kemudian diadopsi oleh Departemen Kehutanan, dan terakhir malah diurus secara khusus oleh Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan.

Penelitian yang pernah dilakukan oleh Yayasan Sejati di 4 propinsi (Kalimantan Timur, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur) menunjukkan bahwa walaupun sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain namun secara umum bisa terlihat beberapa prinsip-prinsip kearifan adat yang masih dihormati dan dipraktik- kan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat, antara lain: 1) masih hidup selaras alam dengan menaati mekanisme ekosistem di mana manusia merupakan bagian dari ekosistem yang harus dijaga keseimbangannya; 2) adanya hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (comunal tenure/”property” rights) atas suatu kawasan hutan adat masih bersifat eksklusif sehingga mengikat

semua warga untuk menjaga dan mengamankannya dari kerusakan; 3) adanya sistem pengetahuan dan struktur kelembagaan (pemerintahan) adat yang memberikan kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan secara bersama masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumber daya hutan; 4) ada sistem pembagian kerja dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumber daya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar; 5) ada mekanisme pemerataan distribusi hasil “panen” sumber daya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah masyarakat (Nababan, 1995).

Problematika Masyarakat Adat di Tengah Pembangunan

Dalam dokumen HUTAN UNTUK RAKYAT JALAN TERJAL REFORMA (Halaman 173-177)