• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Powerful Aktor dalam Land Reform

Dalam dokumen HUTAN UNTUK RAKYAT JALAN TERJAL REFORMA (Halaman 73-81)

Land tenure reform atau land reform3merujuk pada sebuah

perubahan yang direncanakan dalam kondisi di mana lahan tersebut dikontrol, dipegang haknya, dimanfaatkan dan diperjual- belikan. Tujuan fundamental dari reforma tenurial adalah untuk meningkatkan hak-hak lahan masyarakat dan untuk memberikan keamanan tenurial. Hal ini menjadi penting untuk menghindari konflik sosial (Adam et al., 1999a, 1999b).

Sesungguhnya, reforma agraria telah dikenalkan bersamaan dengan keberadaan teori ekonomi neoklasik, sebagai bagian integral dari kebijakan pembangunan ekonomi. Dalam pengertian sempit reforma agraria dimaknai sebagai upaya distribusi lahan untuk para petani gurem dan petani kecil lainnya. Reforma agraria dalam pemahaman tradisional adalah permintaan untuk kesetaraan dan keadilan sosial (Zarin dan Bujang, 1994). Distribusi lahan dan reforma tenurial akan memiliki dampak positif pada produksi dan investasi hanya ketika ditemani oleh akses pada input, kredit, penyuluhan dan pasar serta ketika pemerintah mengambil

3 Land reform secara umum diterima sebagai redistribusi hak-hak atas lahan untuk memberikan kemanfaatan bagi para petani yang tidak memiliki lahan (tunakisma), penyakap dan para buruh. Land reform dan agrarian reform (reforma agrarian) seringkali digunakan secara bergantian. Reforma agraria meliputi perbaikan- perbaikan dalam bentuk tenurial lahan dan organisasi pertanian. Resep kebijakan seperti ini mendesak pemerintah tidak hanya melakukan redistribusi. Pemerintah sebaiknya juga mendukung pembangunan pedesaan lainnya seperti perbaikan kredit pertanian, pemasaran dan penguatan koperasi pertanian, pelayanan penyuluhan bagi peningkatan produktivitas penggunaan lahan (Adams, 1995).

kebijakan-kebijakan lain untu menstimulasi investasi (Adam et al., 1999a, 1999b; Zarin dan Bujang, 1994). Terkait dengan ‘access

reform’ bahwa kesuksesannya sangat tergantung pada karak-

teristik sumber daya, karakteristik kelompok, pengaturan dan penguatan kelembagaan dan lingkungan eksternal (Ostrom).

Banyak ahli setuju (lihat Holden et al., 2013), bila land reform

telah memainkan peran sentral dalam ekonomi politik di banyak negara di dunia dan telah menjadi subjek massif ketidaksetujuan antara berbagai kelompok politik dan ideologi yang berbeda. Pada abad 20, telah banyak upaya percobaan ‘social land reform’

terbesar dalam sejarah dilakukan oleh berbagai negara, seperti Uni Soviet awal, Eropa Timur, China, Vietnam, dan Ethiopia, namun kemudian banyak dari reforma ini dicabut lagi. Untuk itu, mengenali aspek-aspek politik dari reforma penguasaan lahan

(land tenure) akan membantu menjelaskan mengapa seringkali

ada gap antara perencanaan dan pelaksanaan (Meinzen-Dick et al., 2008). Holden et al., (2013) melihat bahwa ada beberapa faktor yang telah menciptakan kepentingan baru dalam proses

land reform di dunia, antara lain:

* Milinnium Development Goal (MDGs) telah mempertajam

komunitas internasional untuk memfokuskan pengurangan kemiskinan dan pemerdayaan hukum dari komunitas orang miskin yang dilihat melalui pembentukan komisi untuk pemberdayaan hukum bagi komunitas miskin.

* Pertumbuhan dan konsentrasi penduduk serta degradasi lahan telah menciptakan kelangkaan lahan dan kemunculan pasar lahan di negara-negara berpopulasi padat di Afrika dan hal ini telah menciptakan kepentingan baru dalam reforma agraria untuk merangsang pengelolaan lahan yang berkelanjutanan dan efisien.

* Regulasi yang berlebihan terhadap transaksi-transaksi lahan di beberapa negara di Asia (misalnya India, Nepal dan Filipina) telah menciptakan inefisiensi penggunaan lahan dan ketidakadilan dalam pelaksanaan distribusi lahan.

* Pertumbuhan ekonomi di Asia telah membawa perubahan- perubahan dalam kebiasaan makan yang berdampak pada lebih banyak permintaan akan pangan dan meningkatnya kelangkaan sumber air dan lahan.

* Meningkatnya permintaan akan lahan untuk produksi pangan dan energi telah mempercepat laju permintaan lahan untuk menjamin keamanan pangan nasional di sejumlah negara yang terus mengalami defisit pangan. Situasi ini telah memicu secara tajam peningkatan permintaan akan lahan di sejumlah negara di mana property rights dan pengaturan-pengaturan kelembagan lain tidak dikembangkan untuk menangani permintaan baru atau melindungi hak-hak atas lahan dari para pengguna lahan tradisional dan fasilitasi investasi yang berkelanjutan.

* Deforestasi adalah salah satu penyebab utama perubahan iklim

dan peningkatan kepedulian internasional dan mendukung untuk menghentikan dan membalikkan deforestasi telah merangsang pemikiran baru tentang bagaimana property rights dan reforma agraria dapat memainkan sebuah peran untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan dan menstimulir penanaman pohon dan degradasi hutan serta menstimulasi penanaman pohon dan pengelolaan hutan yang lebih baik.

Di tingkat empiris, sebagian besar diskursus reforma tenurial saat ini terkait dengan apa yang dikenal sebagai wilayah-wilayah komunal di Afrika dan wilayah-wilayah masyarakat adat dari Amerika Latin, Asia, dan wilayah Pasifik di mana sistem komunal masyarakat adat yang eksis bersandingan dengan kepemilikan swasta atau prívate (Adam et al., 1999a, 1999b). Ada permintaan dari sekelompok luas publik akan pentingnya reforma agraria dalam kontek untuk mewujudkan pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Reforma agraria dipandang secara sosial akan optimal, tetapi pada pelaksanaannya sering kali dihambat oleh kelompok-kelompok yang lebih powerful. Dalam negara yang menganut mekanisme pasar bebas (laissez faire), maka reforma agraria dianggap tidak penting dan tidak diperlukan (Holden et al.,

2013). Tidak mengherankan bila di tahun-tahun terakhir debat reforma tenurial cenderung secara sempit dimaknai sebagai perubahan sistem informal tradisional hak-hak komunal ke dalam sistem formal modern melalui proses hukum dan sertifikat secara individual. Pandangan sempit ini menghambat peluang untuk melakukan reforma dalam rangka memperkuat hak-hak lahan dari penduduk lokal. Perspektif yang sempit ini juga menyulitkan dalam upaya memastikan bahwa lahan-lahan mereka tidak dapat dijual atau digunakan, baik oleh pemerintah, para pengusaha atau pengembang maupun pihak ketiga, tanpa persetujuan mereka (Adam et al., 1999a, 1999b).

Bahkan ada kecenderungan di mana kelompok powerful

melaksanakan reforma untuk kepentingan mereka sendiri yang menurut Wiradi dalam epilog buku (2012) sebagai pseudo

agrarian reform), tetapi secara luas memiliki dampak negatif pada

kelompok yang lain (Holden et al., 2013). Di sisi lain, para pengambil keputusan khususnya dari sektor pemerintah, mungkin kurang insentif untuk melaksanakan program-program atau mungkin malah akan mendapatkan insentif ketika bisa memblokade program tersebut. Namun yang pasti adalah tekanan-tekanan permintaan akan lahan datang dari kelompok kepentingan komersial yang powerful dari luar komunitas dan seringkali dari luar negara. Kombinasi dari perusahaan yang mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pemerintah yang mencari revenue atau pendapatan seringkali telah berakibat hilangnya lahan dan sumber mata pencaharian, khususnya bagi kaum miskin dan yang termarji- nalkan (Meinzen-Dick et al., 2008).

Di era globalisasi dan kompetisi ekonomi dan pertambahan penduduk yang semakin tinggi, maka distribusi sumber daya lahan yang efisien sangat penting bagi pembangunan ekonomi berbasis lahan dan sosial di negara-negara yang sedang berkembang. Namun, alokasi lahan yang tidak merata adalah bukan fenomena baru di negara-negara tersebut, seperti juga di Indonesia. Misalnya pada tahun 1993, lebih dari 40% petani di Jawa Barat memiliki

lahan kurang dari 0,2 ha dan hanya 0,2% petani yang memiliki lahan lebih dari 5 ha (Loffler, 1996). Namun, pelaksanaan reforma agraria yang terbatas sampai saat ini belum mampu merombak struktur penguasaan lahan yang timpang tersebut. Torhonen (2003) menegaskan bahwa pelaksanaan reforma agraria yang dijalankan secara terbatas akan memperburuk situasi yang mengakibatkan multi-tataran tenurial tanpa kejelasan aturan. Dalam kasus-kasus Amerika Latin klasik, reforma agraria melibat- kan perubahan dalam skala luasan penguasaan lahan melalui pengurangan perusahaan-perusahaan besar dan redistribusi sumber daya lahan untuk penduduk pedesaan dengan harapan memberikan efisiensi dan rasa keadilan (Berry dan Cline, 1979). Di Afrika, land reform sering kali dimaknai sebagai reforma tenurial yang secera khusus menunjuk pada perubahan-perubahan hukum atau evolusioner dalam bentuk land tenure (Maxwell dan Wiebe, 1999).

Tabel 1 memberikan gambaran berbagai tipe reforma agraria yang telah dijalankan oleh berbagai negara. Reforma agraria melalui registrasi hak-hak atas lahan yang telah ada atau berjalan barangkali tidak akan menimbulkan turbulensi politik. Namun, redistribusi dipandang bisa meningkatkan tensi politik dan memerlukan lebih komitmen politik. Sementara restitusi melibat- kan penilaian-penilaian terhadap pengambilalihan yang tidak adil atas lahan dan sering kali terjadi dalam waktu yang stressfull seperti pasca konflik atau transformasi sosial yang lain (Meinzen-Dick et al., 2008).

Tabel 1. Perbandingan tipe-tipe berbeda dari reforma agraria

Konteks Tipe reforma

Registrasi Redistribusi Restitusi Recognisi Memperkuat hak-

hak yang ada atau pengalihan hak

Memperkuat hak- hak yang ada

Transfer dari pemilik lahan luas pada tunakisma

Transfer kembali pada pemegang hak atas tanah sebelumnya

Memperkuat hak- hak yang ada

Tenurial Adat atau penguasaan informal Ketimpangan pengusaan lahan yang tinggi Sejarah pengambilalihan lahan atau konflik

Komunitas masyarakat local (Adat), komunitas lain yang tergantung pada sumber daya hutan Individu/Kolektif Biasanya individu Biasanya individu Biasanya individu

atau erseorangan

Biasanya secara kolektif Jenis perangkat

hak

Kepemilikan Kepemilikan Kepemilikan (Onwership) Pemanfaatan, beberapa dalam hak pengelolaan Potensi peran pemerintah pusat Koordinasi: kecil kemungkinan ada perlawanan dari pemeilik lahan

Koordinasi; Harus ada political will yang kuat untuk melawan para tuan tanah atau elit di tingkat local maupun nasional

Koordinasi: Harus ada keinginan politik yang kuat untuk menyelesaikan tidakadilan masa lalu; membangun system resolusi konflik Koordinasi; Keingingan pemerintah untuk mengakui secara legal hak-hak komunitas- komunitas lokal Potensi peran pemerintah daerah Identifikasi para pemegang hak, melakukan pendataan atau registrasi dan membangun resolusi konflik Identifikasi para penerima (dan penjual jika berbasis pasar) , membangun resolusi konflik Identifikasi hak penuh pemegang hak, dan membangun resolusi konflik Identifikasi pemegang hak, mengelola sumberdaya berbasis berkelanjutan Potensi dampak Kurang kritis Fasilitasi keinginan Memfasilitasi akses Memfasilitasi

Namun kita juga tidak bisa menutup mata bila program- program land reform di Asia, seperti di Jepang dan Taiwan yang pernah dilaksanakan secara efektif telah memberikan sejumlah keuntungan antara lain meningkatkan produksi tanaman, mem- perbaiki nutrisi dan memperbaiki status sosial untuk rumah tangga miskin. Juga sebagai fondasi bagi pertumbuhan ekonomi yang ber- kelanjutan dan inklusif, mengurangi pergolakan sosial dan ketidakstabilan, pengelolaan manajemen lingkungan yang lebih baik, mengurangi arus keluarga petani yang putusa asa ke daerah urban dan memperbaiki akses kredit pada pemilik tanah baru.

Land reform dapat menjadi salah satu program anti kemiskinan

yang paling ditargetkan dan mengalami kesuksesan. Land reform

dapat memberikan sumber daya financial yang paling bermakna, sumber pangan dan jaring pengaman sosial penting bagi komunitas paling miskin dan tak berlahan (Prosterman dan Mitchell, 2002). Namun demikian, pro-poor land tenure reform memerlukan dialog kebijakan tentang pendekatan-pendekatan apa yang akan digunakan. Pro-poor land tenure reform juga memerlukan kegiatan-kegiatan untuk membangun kapasitas dari otoritas pusat dan lokal untuk melaksanakan reforma agraria dengan mana

resolusi konflik Potensi dampak terhadap demokratisasi Kurang kritis dibandingkan jenis reforma lain; pemberian status diakui dapat mengintegrasikan para pemegang hak dalam kebijakan Fasilitasi keinginan politik untuk meredistribusi lahan; redistribusi sebaiknya memfasilitasi keterlibatan setiap warga negara dalam sistem politik

Memfasilitasi akses yang setara pada pengadilan dan penerimaan oleh elit; restitusi dapat memperluas partisipasi dari kelompok marginal dalam kehidupan politik Memfasilitasi pengakuan hukum terhadap komunitas masyarkat adat dan etnis minoritas; mengakui menuju keterbukaan sosial Perhatian diperlukan untuk outcome bagi kaum miskin Memasukkan hak- hak sekunder penting bagi komunitas miskin dan kelompok termajinalkan termasuk wanita Mendukung (Misalnya, kredit, pemasaran) untuk memungkinkan komunitas miskin mengakses lahan dan menggunakannya secara produktif

Menghindari ekslusi lebih jauh terhadap komunitas yang lebih miskin tanpa hak-hak restitusi, tetapi siapa yang telah berinvestasi di lahan Mengamankan hak-hak wanita dalam system patriarki. Sumber: Meinzen-Dick et al., (2008)

komunitas miskin dapat mengambil manfaatnya. Keberhasilan reforma agraria memerlukan peran substansial dari pemerintah pusat dan keterlibatan komunitas lokal yang terorganisasi. Walaupun melibatkan komunitas dan lembaga lokal, namun pada praktiknya tidak selalu mudah (Meinzen-Dick et al., 2008). Selain itu, reforma agraria yang ditujukan dengan baik, sering kali dipandang secara sosial tidak diinginkan karena lemahnya kompetensi dalam mendesain dan melaksanakan serta adanya elite capture (Holden

et al., 2013).

Pada dasarnya proses perubahan tenurial secara konvensional umumnya dikendalikan oleh dua kekuatan besar. Pertama adalah kekuatan pertumbuhan populasi dan pasar yang secara evolusioner telah mengubah struktur penguasaan lahan melalui proses fragmentasi lahan dari sistem pewarisan dan transaksi ekonomi. Kedua, peran pemerintah yang mana dengan kebijakan dan regulasi terkait dengan tenurial telah mengubah struktur akses dan perubahan dalam pemanfaatan sumber daya seperti terlihat dalam Gambar 2. Namun dalam sistem yang kapitalistis, peran negara tidak begitu signifikan dalam mendorong perubahan struktur penguasaan lahan yang lebih berkeadilan. Justru peran pasar yang lebih dominan dan bahkan sering kali mampu meng- kooptasi dan memengaruhi negara dalam proses distribusi akses dan penguasaan lahan yang berimplikasi tidak saja semakin memperkuat struktur penguasaan lahan yang timpang di lahan- lahan prívate tetapi juga semakin memperkuat posisi para kapitalis dalam mengontrol lahan-lahan negara untuk kepentingan bisnis mereka.

Powerlson (1989) dalam Basya (2012), mengenalkan dan mengelompokkan land reform dalam dua jalan pelaksanaan, yakni pertama, melalui political atau economic leverage; dan kedua, melalui grace or the generosity dari land owner atau central

political authority. Mengharapkan kebaikan dari pemerintah

tentunya sangat sulit atau barangkali lamban karena tergantung sistem politik, idelogi pembangunan yang dianut. Ketika sistem politik tersubordinasi ataupun terkooptasi oleh kekuatan-kekuatan kapitalistis, maka ibarat ‘pungguk merindukan bulan’. Dalam sistuasi krisis lahan, maka diperlukan peran negara yang melampaui peran kekuatan pasar melalui komitmen politik yang kuat dengan mendayagunakan berbagai otoritas kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki untuk mengubah struktur penguasaan lahan. Dalam konteks ini diperlukan pemimpin yang kuat (strong leader) dengan visi kebangsaan yang juga kuat serta pendekatan yang lebih inklusif. Land reform by leverage barangkali adalah jalan yang harus ditempuh ketika negara tidak bisa atau mau mendengar aspirasi dan dinamika sosial yang terus berkembang karena kalau diserahkan pasar maka hukum rimba yang berjalan.

Dalam dokumen HUTAN UNTUK RAKYAT JALAN TERJAL REFORMA (Halaman 73-81)