• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peluang Pemulihan Peran Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

Dalam dokumen HUTAN UNTUK RAKYAT JALAN TERJAL REFORMA (Halaman 179-185)

di Masa Depan

Masyarakat adat sudah terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan seluruh mahluk. Dengan pranata sosial yang bersahabat dengan alam, masyarakat adat memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan rehabilitasi dan memulihkan kerusakan hutan di areal- areal bekas konsesi HPH dan lahan-lahan hutan kritis (community-

based reforestation and rehabilitation) dengan pohon-pohon

jenis asli komersial. Dengan pengayaan (enrichment) terhadap pranata adat untuk pencapaian tujuan-tujuan ekonomis, komunitas masyarakat adat mampu mengelola usaha ekonomi komersial berbasis sumber daya alam lokal yang ada di wilayah adatnya

(community logging/portable sawmill, community forestry,

credit union, dan sebagainya) untuk mengatur dan mengendalikan

penebangan hutan dan penangkapan ikan yang merusak yang dimodali oleh cukong-cukong kayu dan perusahaan-perusahaan yang memiliki izin yang sah dari Pemerintah, mengurangi “clear

cutting” legal dengan IPK untuk tujuan konversi hutan, dan

berkeadilan seperti IHPHH. Ada dasar argumentasi kuat yang melandasi betapa pentingnya peran masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam di masa depan, yaitu:

· Masyarakat adat memiliki motivasi yang kuat sebagai penerima insentif yang paling bernilai untuk melindungi hutan dibanding- kan pihak-pihak lain karena menyangkut keberlanjutan kehidupan mereka.

· Masyarakat adat memiliki pengetahuan asli bagaimana memelihara dan memanfaatkan sumber daya hutan yang ada di dalam habi- tat mereka.

· Masyarakat adat memiliki hukum adat untuk ditegakkan. · Masyarakat adat memiliki kelembagaan adat yang mengatur

interaksi harmonis antara mereka dengan ekosistem hutannya. · Sebagian dari masyarakat adat sudah memiliki organisasi dan jaringan kerja untuk membangun solidaritas di antara komunitas- komunitas masyarakat adat, dan juga mengorganisasikan dukungan politis dan teknis dari pihak-pihak luar.

· Masyarakat adat dilindungi UUD 1945 dan diatur dalam beberapa instrumen internasional yang mengharuskan negara mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak tradisional (hak-hak asal usul, menurut penjelasan Pasal 18 UUD 1945 yang sudah diamandemen).

Peluang untuk memulihkan peran masyarakat adat dalam pengelolaan lingkungan hidup ini semakin menguat sejak reformasi bergulir dengan munculnya gerakan kembali ke dasar, ’back to

basic, kembali ke “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai landasan kehi-

dupan berbangsa, kembali ke UUD 1945 yang sudah menegaskan hak-hak konstitusional masyarakat adat pada pasal 18B ayat (2):

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang diatur dalam undang-undang” dan juga pada pasal 28I ayat (3) dikatakan, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

Untuk menegaskan arah perubahan ini maka MPR RI pun sudah mengeluarkan TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang mengamanat- kan kepada Presiden dan DPR RI untuk mengkaji ulang seluruh peraturan per-UU-an agar memenuhi prinsip pengakuan, peng- hormatan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. Sayangnya, baik DPR RI mapun Presiden RI belum melakukan amanat ini.

Walaupun reformasi hukum yang komprehensif belum sepenuhnya berjalan sebagaimana diamanatkan UUD 1945 dan TAP MPR di atas, perubahan yang sifatnya parsial dan sektoral terus berjalan dan membuka ruang bagi pemulihan hak dan peran masyarakat adat dalam pengelolaan lingkungan hidup, antara lain yang terpenting adalah pengaturan keberadaan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil melalui UU No. 27 tahun 2007 dan pengakuan hak masyarakat adat dan pentingnya peran kearifan lokal masyarakat adat dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui UU No. 32 tahun 2009. Protokol Nagoya yang menjadi landasan berbagi manfaat dari kearifan tradisional masyarakat adat yang dikelola secara komersial juga telah diratifikasi menjadi UU. Yang terkini adalah Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU No. 41/ 1999 tentang Kehutanan yang antara lain menyatakan bahwa: • Negara telah melakukan pengabaian hak masyarakat adat atas

tanah di kawasan hutan karena lewat UU 41/1999 telah menempatkan hutan adat sebagai hutan negara.

• Hak menguasai Negara (HMN) tidak boleh mengambil-alih hak menguasai yang sudah melekat pada keberadaan masyarakat adat: hutan adat bukan hutan negara tetapi masuk kategori hutan hak. Hutan adat berada dalam wilayah hak ulayat. Kewenangan

pemerintah dibatasi di wilayah adat, hanya untuk menjaga fungsi hutan dan peredaran hasil hutan.

Putusan MK 35 ini masih penuh tantangan dalam pelaksana- annya, khususnya dengan dipertahankannya Pasal 67 ayat (3) UU 41/1999 oleh Mahkamah Konstitusi. Untuk melaksanakan putusan ini secara efektif maka diperlukan upaya advokasi lebih lanjut untuk mendesak Pemerintah mengeluarkan kebijakan transisional dalam bentuk: Inpres untuk menggerakkan Kemenhut, BPN, Kemendagri, BIG dan instansi pemerintah pusat lainnya dan Pemda untuk melakukan identifikasi dan inventarisasi keberadaan Masyarakat adat, pemetaan wilayah adat, deliniasi dan demarkasi hutan adat dengan hutan negara, dan Peraturan Pemerintah tentang pengukuhan keberadaan masyarakat adat.

Peluang ini akan terus membesar dengan agenda reformasi yang masih terus bergulir, antara lain: pembahasan 3 RUU yang terkait dengan hak-hak masyarakat adat di DPR, yaitu RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA) dan RUU Desa berbasis Otonomi Asli, RUU Pertanahan yang akan membangun sistem administrasi tanah adat. Dari 3 RUU ini maka yang paling mendasar yang sudah diamanatkan dalam UUD 1945, yaitu RUU PPHMA sebagai UU yang bersifat lex specialis sebagai hukum administrasi bagi hak-hak konstitusional masyarakat adat. RUU inisiatif DPR RI yang segera dibahas dengan pemerintah paling sedikit telah memuat hal-hal sebagai berikut:

• Definisi/kriteria-kriteria utamanya: wilayah adat! • Adminsitrasi keberadaan masyarakat adat.

• Mekanisme pengakuan hukum atas keberadaan masyarakat adat. • Sistem perlindungan hukum terhadap masyarakat adat dan hak-

hak kolektifnya.

• Partisipasi masyarakat adat dalam politik dan dalam pembangunan yang terkait dengan wilayah adat mereka.

• Pemberdayaan masyarakat adat untuk mampu mengelola hak- haknya sesuai dengan tujuan hidup bersama sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Tentu kita tidak perlu menunggu semua peraturan perunda- ngan selesai dibuat untuk mulai bekerja. Sepuluh tahun terakhir ini masyarakat adat sudah dan masih akan terus mengambil prakarsa bersama Pemerintah ataupun secara mandiri untuk mempertahankan kebebasan dasar menyelenggarakan kewajiban- kewajiban adatnya, termasuk melindungi lingkungan dan keaneka- ragaman hayati di dalamnya. Untuk itulah AMAN terus melanjutkan dan memperkuat kerjasama dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), kemitraan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, dialog terus-menerus dengan Kementerian Kehutanan untuk melaksanakan rencana aksi yang sudah disepakati dalam Peta Jalan Reformasi Penguasaan Tenurial di Kawasan Hutan, bekerjasa dengan Satgas REDD+ dan lembaga REDD+ yang akan terbentuk dalam waktu dekat untuk melaksanakan secara konsiten Strategi Nasional REDD+ di Indonesia dan melanjutkan kerjasama dengan Unit Kerja Presiden untuk Percepatan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan Badan Informasi Geospasial (BIG) memastikan integrasi peta-peta wilayah adat dalam “Satu Peta Indonsia”.

Bersamaan dengan perayaan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara 17 Maret 2010, AMAN bersama dengan ORNOP pendukung telah meluncurkan inisiatif baru berupa pembentukan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Badan ini dimaksudkan untuk membantu Pemerintah dan pihak-pihak lain menyediakan data/informasi yang akurat terkait dengan keberadaan masyarakat adat, wilayahnya dan sistem kelola sumber daya tradisionalnya. Dengan data ini mudah-mudahan kita bisa mengurangi konflik atas lahan dan sekaligus memberikan kepastian yang besar terhadap berbagai inisiatif masyarakat adat dalam pengelolaan dan pengen-

dalian lingkungan hidup sesuai dengan amanat UU No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Pengendalian Lingkungan Hidup.

Di samping peluang yang tersedia dari kemajuan reformasi hukum dan kerjasama antara masyarakat adat dan Pemerintah seperti yang disebutkan di atas, peluang lainnya yang tidak kalah penting adalah besarnya perhatian masyarakat internasional terhadap peran masyarakat adat dalam menangani persoalan lingkungan global seperti saya sebutkan di awal tulisan ini. Sejak KTT Bumi di Rio De Janeiro tahun 1992, keberadaan masyarakat adat terus menguat dalam agenda perundingan internasional yang terkait dengan isu lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan, termasuk di antaranya dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta pengembangan ekonomi hijau yang saat ini paling aktual diperbincangkan dan dirundingkan. Masyarakat adat telah diposisikan sebagai pemain utama dalam upaya memulihkan bumi dari berbagai penyakit ekologis yang sedang mendera.

Langkah Bersama di Masa Depan

Untuk bisa mengelola peluang yang demikian besar maka Indonesia sebagai salah satu negara ’mega biodiversity’ dan ’mega

cultural diversity’ di dunia perlu mempersiapkan diri dengan

segera dan serentak melakukan identifikasi, inventarisasi dan dokumentasi beragam sistem pengetahuan dan praktik pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang masih ada di dalam beragam kebudayaan yang hidup di Indonesia, khususnya di kalangan masyarakat adat.

END

Dalam dokumen HUTAN UNTUK RAKYAT JALAN TERJAL REFORMA (Halaman 179-185)