• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buku sebagai Komoditas Intelektual yang Menguntungkan (Era

A. Sekilas Sejarah Percetakan dan Penerbitan Buku-buku Islam d

2. Buku sebagai Komoditas Intelektual yang Menguntungkan (Era

Memasuki era 1980-an penerbitan buku-buku Islam populer memasuki masa kejayaannya. Dua faktor penting yang mendorong pesatnya penerbitan buku di era ini adalah politik dan sosial. Kedua faktor ini sama-sama meningkatkan produksi buku Islam baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Pemerintahan Orde Baru yang berkuasa sejak akhir 1960-an selalu menaruh kekhawatiran bangkitnya kekuatan-kekuatan masyarakat Islam secara politik. Kekhawatiran ini mendorong rezim untuk membungkam aspirasi dan ekspresi politik umat Islam. Di sisi lain, usaha pembangunan yang dijalankan rezim Orde Baru selama dasawarsa 1970-an, terutama di bidang ekonomi yang morat-marit akibat gonjang-ganjing politik era 1960-an dan di bidang

13

“Baharthah […] menyatakan bahwa cita-citanya sedari muda ialah: menerbitkan buku yang benar-benar bisa dijangkau rakyat, ‘yang tidak lebih mahal dari harga sebuah kerupuk.’” Lihat “Buku Agama Seharga Kerupuk,” dalam Majalah Tempo edisi 08 Oktober 1977, diakses dan diunduh dari Tempo online 29 Maret 2012.

14

Lihat “Perginya seorang penjaga benteng”, Majalah Tempo edisi 13 Maret 1982, dibaca dan diunduh dari Tempo Online. 29 Maret 2012.

pendidikan, telah menciptakan perubahan sosial yang cukup mendasar di tengah masyarakat. Pembangunan di kedua bidang ini kemudian menghasilkan segmen masyarakat Islam yang sudah berhasil “naik kelas,” bukan lagi “santri

ndeso yang kolot.” Umumnya segmen masyarakat ini memperoleh penghasilan utama bukan dari pertanian di desa dan, yang terpenting, sudah melek huruf dan informasi.

Represi rezim Orde Baru atas aspirasi dan ekspresi politik umat Islam di satu sisi dan penggemblengan mereka di bidang ekonomi dan pendidikan di era 1970-an dapat dilihat dari kenyataan bahwa mayoritas buku-buku Islam yang membanjiri pasaran waktu itu, terutama yang dipasok oleh Penerbit al- Maarif, lebih berorientasi pada teks-teks kanonik-normatif. Selain Penerbit al- Maarif, masih banyak penerbit lain yang juga mengikuti jalur yang sama, seperti Penerbit Thoha Putra Semarang, Menara Kudus di Surabaya. Walau pun buku- buku “berat” tentang Islam, bahkan yang membahas isu-isu sensitif secara politik seperti kajian karya M. Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Nurcholis Madjid dan sebagainya, memang diterbitkan oleh penerbit-penerbit seperti Penerbit Bulan Bintang atau Pustaka Panjimas, namun penerbitannya tidak mewabah. Secara sederhana, tanda dari mewabahnya penerbitan buku-buku pemikiran yang “serius” dan “berat” ini adalah banyaknya penerbit yang mengkhususkan diri mengusung tema-tema berat.

Wabah itulah yang kemudian merebak di tahun 1980-an, dan tanda awalnya adalah dengan didirikannya Penerbit Mizan pada tahun 1983 di Bandung oleh tiga orang mantan dewan redaksi jurnal Pustaka Salman ITB15 –

15

Jurnal Pustaka Salman ITB adalah unit kegiatan para aktivis Masjid Salman ITB. Selain penerbit Mizan yang lahir dari mantan aktivis masjid, terdapat dua penerbit lain yang tak kalah kondangnya sebagai penerbit buku Islam di tahun 1980-an, yaitu penerbit Pustaka dan Pustaka Hidayah. Penerbit Pustaka terkenal dengan terjemahan karya-karya Fazlur Rahman, seorang pemikir Islam kelahiran Pakistan dan jadi guru beberapa tokoh Muslim Indonesia sekarang di Universitas Chicago, di antaranya Nurcholis Madjid, M. Amien Rais, dan M. Syafi’i Ma’arif. Penerbit ini juga menerbitkan edisi terjemahan Orientalism-

Haidar Bagir, Zainal Abidin Shahab, Ali Abdullah Assegaf (ketiganya keturunan Arab, dan yang disebut terakhir pernah berpengalaman sebagai staf redaksi Penerbit al-Maarif). Buku pertama penerbit Mizan adalah

Dialog Sunnah-

Syiah: Surat Menyurat antara Syeikh al-Bisyri al-Maliki dan Sayyid

Syarafuddin al-Musawi

karya Sayyid Syarafuddin al-Musawi, yang

merupakan terjemahan dari kitab berbahasa Arab.16 Dalam perkembangannya sampai sekarang, Penerbit Mizan mengembangkan diri menjadi berbagai lini penerbit (imprint) seperti Khazanah (buku referensi serius), Kronika (buku umum), Qanita (buku tentang kewanitaan), Kaifa (buku how to), al-Hikmah (buku esoterik), DAR Mizan (buku remaja dan anak-anak), Teraju, Mizan Learning Centre. Karena penerbit ini dalam perkembangannya juga memiliki perusahaan distribusi buku sendiri, maka ada beberapa penerbit yang memasarkan buku mereka dengan bendera Mizan, seperti buku-buku karya Komunitas Lingkar Pena dan Bentang Budaya Yogyakarta setelah diakuisisi Mizan pada tahun 2006. Tidak hanya itu, perkembangan usahanya juga merambah pada pengembangan software dan konten Islami serta production house yang memproduksi film

Laskar Pelangi, Sang Pemimpi,

dan

Emak

Ingin Naik Haji.

17

Penerbit Mizan layak mendapat catatan sendiri terkait dengan perkembangan pesat dunia perbukuan Islam era 1980-an setidaknya karena tiga hal yang dicermati dan dimanfaatkannya sebagai peluang: perubahan kultural dalam konteks kehidupan sosial-ekonomi masyarakat, pluralisme wacana, dan kreativitas keredaksian.

16

Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia: Studi tentang Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 187.

17 Lihat

Perubahan kultural yang terjadi akibat represi rezim Orde Baru terhadap aspirasi dan ekspresi masyarakat Islam secara politik dan pembangunan di bidang ekonomi dan pendidikan seperti yang telah di singgung di atas menghasilkan segmen masyarakat yang disebut oleh Haidar Bagir –pendiri sekaligus direktur Penerbit Mizan– sebagai “kelas menengah baru Muslim. Anggota-anggotanya memiliki ciri-ciri kelas menengah pada umumnya -- terpelajar, berpendapatan cukup, dan memiliki kesadaran sosial-politik yang tinggi-- hanya saja yang ini diikat oleh kesamaan agama.”18 Salah satu bentuk perubahan kultural yang dialami oleh segmen masyarakat Muslim ini adalah meningkatnya kebutuhan akan pilihan-pilihan wacana yang akan menunjukkan identitas mereka sebagai Muslim namun tetap sesuai dengan ciri-ciri mereka sebagai “kelas menengah” seperti yang dinyatakan Bagir tadi. Jika kebutuhan ini memang akan dipenuhi, maka konsekuensinya adalah terjadinya apa yang disebut Azyumardi Azra dengan “pluralisme wacana.”

Besarnya kebutuhan akan buku-buku Islam di satu pihak dan kenyataan sulitnya memperoleh naskah-naskah asli karangan penulis asli Indonesia mengharuskan dilakukannya penggalian sumber-sumber naskah dari bahasa asing, terutama Arab dan Inggris. Usaha penggalian sumber-sumber naskah bahasa asing ini, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, mengakibatkan makin banyaknya altermatif wacana yang diperkenalkan kepada pembaca untuk memenuhi kebutuhan mereka.19 Sebagai contoh, meski sebuah buku memang berbicara tentang hadits secara umum, namun karena pengarangnya terkenal sebagai ulama dari salah satu aliran Islam yang tidak jamak di Indonesia, buku itu akan mengundang keingintahuan lebih jauh dari

18 Haidar Bagir, “Kebangkitan Industri Kreatif Muslim,” dalam

Gatra, edisi 11 September 2011. 19

pembaca tentang aliran Islam tersebut, dan oleh karena itu menambah permintaan jenis wacana lain.

Di dapur redaksi, kedua hal tadi diramu dan diolah secara kreatif sehingga bisa menghasilkan buku dengan kandungan dan tampilan yang berbeda dari buku-buku Islam terbitan di era sebelumnya. Kreativitas awak redaksi ini tentunya dibarengi dengan penguasaan mereka akan perkembangan teknologi dan informasi paling mutakhir.

Tiga hal di ataslah yang membuat generasi penerbit di era 1980-an, sebagaimana yang dirintis penerbit Mizan, berbeda dan pelan-pelan menggeser dominasi penerbit generasi sebelumnya. Penerbit generasi lama yang tetap ingin bertahan harus belajar pada yang lebih muda, dan oleh karena itu tidak lagi berada di depan. Inilah yang dialami oleh Penerbit al-Maarif, Penerbit Bulan Bintang, Penerbit Pustaka Panjimas, Budaja Djaja, dan sebagainya di paruh terakhir 1980-an sampai seterusnya.

Apa yang dirintis oleh penerbit Mizan kemudian diikuti oleh penerbit- penerbit lain dengan kekhasan (label) masing-masing.20 Untuk menyebut beberapa di antaranya yang besar dan sampai saat ini masih bertahan: (1) Penerbit Pustaka yang didirikan tahun 1985-an di Jakarta. Para pendiri awalnya adalah Ammar Haryono, Tohiruddin Lubis, Noe'man dan Anas Mahyuddin. Buku yang diterbitkan pertama kali adalah buku

Kuliah Tauhid

karya Dr. Immaduddin Abdurrahim. (2) Media Dakwah adalah toko buku sekaligus penerbit yang berada di bawah Dewan Dakwah Islamiyah, ormas dakwah yang didirikan H.M. Natsir. Toko buku Media Dakwah berubah menjadi penerbit tahun 1985 saat dia menerbitkan majalah "Media Dakwah". Penerbit ini memiliki visi "Menggapai berkah mencapai ukhuwah", sedangkan misinya

20 Abdul Munip,

Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia: Studi tentang Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 35.

adalah upaya untuk menerapkan syariat Islam di Indonesia. (3) Penerbit Gema Insani Press (GIP) yang didirikan pada tahun 1986 oleh Aziz Salim Basarahil. Latar belakang pendiriannya adalah pemahaman pendirinya bahwa dakwah juga bisa dilakukan lewat qalam (bahasa Arab untuk "pena") yakni tulisan atau buku. Awalnya penerbit GIP berkonsentrasi pada penerbitan buku tentang ajaran Islam bagi kalangan awam dengan mengambil tema-tema yang ringan dan dengan bahasa yang populer. Namun dalam perkembangannya GIP juga membidik pasar remaja dan anak-anak. Penerbit GIP dapat dikategorikan sebagai penerbit besar mengingat banyaknya jumlah buku yang tercantum dalam katalognya. (4) Penerbit LKiS yang kelahirannya diawali oleh kelompok diskusi aktivis IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang dimotori oleh Imam Azis dan Akhmad Fikri. Diskusi ini diikuti oleh komunitas anak-anak muda NU, santri dari berbagai pesantren dan alumni IAIN Sunan Kalijaga. LKiS didirikan sebagai wadah mereka mereka beraktivitas dalam gerakan pro-demokrasi dan Islam moderat yang berbasis pada sosialisasi gagasan dan wacana melalui penerbitan buku, khususnya kajian keislaman kritis. Visi penerbit ini adalah mewujudkan masyarakat yang mampu secara dewasa berpikir mandiri dan sadar atas pilihan-pilihan yang diambilnya. Untuk mewujudkan visi ini, misi pertama kali yang diemban penerbit ini adalah menerbitkan buku-buku keislaman kritis sebagai tawaran alternatif berbagai wacana keislaman yang berkembang di Indonesia.