• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian-penelitian yang telah ada terkait dengan topik yang dibahas di sini dapat dipilah menjadi tiga kategori: penelitian yang mengaitkan dunia perbukuan Islam Indonesia dengan situasi sosial politik Indonesia secara umum, penelitian yang menitikberatkan pada dinamika dunia perbukuan Islam itu sendiri sebagai salah satu bentuk industri media, dan penelitian yang mencoba mengkaji kaitan literatur swa-bantu dengan masyarakat Indonesia.

Meski diakui bahwa kategori yang paling relevan dengan penelitian ini adalah kategori terakhir, namun dua kategori pertama tetap ditelusuri secukupnya karena dua alasan. Pertama, untuk mendapatkan latar belakang yang lebih luas

Indonesia yang tak pelak lagi memang dikepung oleh berbagai media, termasuk media cetak. Kedua, penelitian atau tulisan kategori ketiga jumlahnya tidak banyak dan masih berbentuk artikel-artikel lepas yang dipublikasi di media massa.

Di antara penelitian yang membahas hubungan dunia penerbitan Islam dan situasi sosial politik Indonesia adalah tulisan C. W. Watson berjudul “Islamic Books and Their Publishers: Notes on The Contemporary Indonesian Scene,”22 Robert W. Hefner berjudul Robert Hefner, “Print Islam: Mass Media and Ideological Rivalries among Indonesians Muslims,”23 dan tulisan Dale F. Eickelman dan Jon Anderson dengan judul “Print Islam and the Prospect for Civic Pluralism: New Religious Writings and their Audiences,”1997).24 Watson berusaha menggambarkan ide-ide Islami dan topik-topik bahasan yang beredar di tengah masyarakat Muslim Indonesia kontemporer yang kerap kali luput dari amatan penelitian-penelitian yang cuma fokus pada elit politik kelompok Islam di pusat. Watson juga berusaha melukiskan geliat generasi baru Islam Indonesia dalam memperjuangkan identitasnya di ranah sosial-politik. Adapun Heffner mencoba mengaitkan media cetak Islam dan pertarungan ideologis yang berlangsung di dalam masyarakat Islam Indonesia. Golongan Islam konservatif cenderung mengidentifikasi diri dengan media Islam tertentu sementara golongan yang lebih moderat dengan media Islam lain. Sedangkan Eickelman dan Anderson melihat dunia cetak secara umum di Indonesia tidak bisa dilepaskan oleh paham pluralisme yang dimungkinkan oleh ideologi Pancasila. Buku-buku Islam yang terbit di masa Orde Baru cenderung mengusung gagasan pluralisme yang dalam pengalaman

22

C. W. Watson, “Islamic Books and Their Publishers: Notes on The Contemporary Indonesian Scene,” dalam Journal of Islamic Studies 16:2 (2005) hlm. 177 dan 210;.

23 Robert Hefner, “Print Islam: Mass Media and Ideological Rivalries among Indonesians Muslims,

Indonesia, 87, 1997 24

Eickmann, Dale dan Jon. W. Anderson, “Print Islam and the Prospect for Civic Pluralism: New Religious Writings and their Audiences, Journal of Islamic Studies, 8: 1 (1997)

negara-negara Islam lain, terutama yang di Timur Tengah, agak sulit digulirkan. Hal yang belum didalami lebih jauh oleh ketiga penulis ini, terutama oleh Watson yang melakukan penelitian saat buku-buku Islam populer sudah sangat marak, adalah hubungan konsumsi buku-buku ini dengan ekspresi ideologi serta pola keberagamaan generasi baru Islam Indonesia yang tidak bisa lagi dilihat berdasarkan kategori-kategori tradisional (Muhammadiyah atau NU, menerima asas tunggal Pancasila atau tidak, dan lain sebagainya).

Terdapat satu penelitian yang dapat dikatakan menjembatani kategori pertama dan kedua, yaitu disertasi Dr. Abdul Munip yang kemudian dibukukan menjadi Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia: Studi tentang Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004.25 Dalam penelitiannya, Munip memfokuskan diri pada seluk beluk penerbitan terjemahan buku-buku (kitab) berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia serta latar belakang historis yang memungkinkan proses tersebut. Dalam kesimpulannya Munip menyatakan bahwa meledaknya buku-buku Islam populer di Indonesia, termasuk yang terjemahan dari buku berbahasa Arab, dimungkinkan oleh faktor peningkatan taraf pendidikan masyarakat Muslim Indonesia yang bermula pada era 1980-an serta faktor pengebirian ideologi Islam oleh kekuasaan Orde Baru. Pengebirian ini mendesak umat Muslim untuk mencari kanal-kanal penyaluran aspirasi ideologisnya ke tempat lain selain jalur politik formal, salah satunya adalah pada media buku.26

25 Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia: Studi tentang

Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008

26 “Indikatornya antara lain meningkatnya penerbitan buku-buku agama, ceramah-ceramah, seminar ilmiah, aktivitas keagamaan di kampus-kampus, padatnya jamaah masjid, semaraknya pengajian di kantor-kantor pemerintah maupun swasta, hingga meriahnya fashion show busana Muslimah di hotel- hotel berbintang. [...] Bagian Perpustakaan dan Dokumentasi Majalah Tempo dalam surveynya (1987) menyimpulkan bahwa kecenderungan bacaan 1980-an adalah cermin meningkatnya kajian keagamaan.

Sementara penelitian yang secara khusus mencermati maraknya buku- buku Islam populer di Indonesia dalam konteks geliat industri perbukuan tanah air di antaranya adalah di antaranya adalah dari Haidar Bagir berjudul “Kebangkitan Industri Kreatif Muslim ”27 dan “Jagat Buku Islam dan Kebangkitan Nasional”28 dan Novriantoni berjudul “Membaca Peta Industri Perbukuan Islam,”29 dan Phillip J. Vermonte berjudul “Penerbitan Islam di Indonesia: Menuju Sebuah Print Culture?”.30

Haidar Bagir, yang juga merupakan pendiri dan direktur Penerbit Mizan, secara eksplisit memandang positif perkembangan industri perbukuan Islam Indonesia, terutama dari perspektif ekonomi. Dia menyatakan

“Dilihat dari sudut pandang apa pun, penulis kolom ini berpendapat bahwa ini adalah perkembangan yang positif. Ia mendukung demokratisasi informasi dengan memperkaya tawaran informasi yang dilempar ke pasar bebas informasi. Ia juga dapat memperkuat ketahanan ekonomi bangsa. Ya, kekuatan ekonomi yang dapat dilahirkan oleh industri kreatif Islam ini --kalau tidak sekarang, di masa depan-- dapat terbukti merupakan salah satu pilar penting penyangga ekonomi kita. Hal ini sekaligus menunjukkan keuletan dan etos ekonomi dan bisnis kaum santri di Indonesia.” 31 (Cetak miring dari penulis)

Sedangkan kelompok sosial yang dianggap Bagir berada di balik geliat perbukuan Islam ini adalah “kelompok kelas menengah Muslim” yang berasal dari “kelompok yang dulunya tradisional dan berasal dari kelompok psikososial yang ‘bawah’ di satu sisi, dan kelompok ‘born again Muslim’ di sisi lain.”

dari penulis Muslim Indonesia maupun terjemahan atau saduran dari penulis asing.” Abdul Munip,

Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia: Studi tentang Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008, hlm. 184- 186.

27

Haidar Bagir, “Kebangkitan Industri Kreatif Muslim,” dalam Gatra edisi khusus (7 September 2011)

28 Haidar Bagir, “Jagat Buku Islam dan Kebangkitan Nasional”, diakses dan diunduh dari situs Mizan.com tanggal 16 November 2009, pernah dimuat dalam Tempo, edisi 19-26 Mei 2008

29

Novriantoni, “Membaca Peta Industri Perbukuan Islam”, dalam situs Jaringan Islam Liberal,

edisi 19 Maret 2007, diakses dan diunduh 13 Mei 2009.

30 Phillip J. Vermonte, “Penerbitan Islam di Indonesia: Menuju Sebuah Print Culture?” dalam Rizal Sukma dan Clara Joewono (ed.), Gerakan & Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer, Jakarta: CSIS, 2007

31

Haidar Bagir, “Kebangkitan Industri Kreatif Muslim,” dalam Gatra edisi khusus (7 September 2011), hlm. 127.

Dalam artikelnya ini, Bagir memang sudah menyinggung apa yang jadi topik utama penelitian ini dengan mengatakan bahwa kelompok kelas menengah Muslim ini memiliki “kebutuhan baru untuk menunjukkan identitas keislaman yang lebih kental.”32 Hanya saja apa yang melatari kebutuhan itu serta gambaran yang lebih konkret tentang identitas keislaman yang dimaksud belum sempat dia sampaikan. Hal ini bisa dimaklumi mengingat ruang dan konteks tulisannya sebagai artikel di sebuah majalah umum. Dia hanya menyinggung dalam sebuah kalimat pendek apa bisa dijadikan kata kunci untuk meneruskan pembicaraan tentang identitas keislaman yang dia maksud: “Bahkan bisa dikatakan, ia harus memenuhi berbagai syarat yang dapat menjadikannya sebagai bagian dari gaya hidup Muslim modern.”33

Ada pun tulisan Novriantoni, seorang penulis yang aktif di komunitas Jaringan Islam Liberal Jakarta, dan Phillip J. Vermonte, seorang sosiolog dan peneliti ADB dari Filipna, memakai cara pandang yang lebih dikotomis dan terang- terangan dibanding Haidar Bagir ketika melihat kelompok pembaca yang mengonsumsi buku-buku Islam populer. Mereka membedakan segmen pembaca menjadi golongan elit-terpelajar dan golongan awam, di mana buku-buku swabantu Islami dimasukkan ke dalam kategori buku populer Islam dan diandaikan paling banyak dikonsumsi oleh golongan awam. Secara khusus tulisan Vermonte memang berniat menjawab pertanyaan sosiologis apakah maraknya buku-buku

32 Haidar Bagir, “Kebangkitan Industri Kreatif Muslim,” dalam Gatra edisi khusus (7 September 2011), hlm. 127.

33

Haidar Bagir, “Kebangkitan Industri Kreatif Muslim,” dalam Gatra edisi khusus (7 September 2011), hlm. 127. Di bagian akhir tulisannya yang kedua, Haidar menyatakan demikian: “Inilah suatu perkembangan yang membesarkan hati, kalau saja pemikiran dan praktik Islam yang diwakilinya dapat tetap memelihara sifat modern, rasional, dan terbuka dari agama ini. […] Semangat zaman tampaknya akan berpihak pada kecenderungan seperti ini. Dengan demikian, ada harapan besar bahwa Islam dan buku-buku Islam di negeri ini akan berperan positif dalam menjamin kelanjutan kebangkitan dan tegaknya

nation Indonesia yang multikulturalistik, maju, dan damai, tanpa kehilangan identitas religiusnya.” Lihat Haidar Bagir, “Jagat Buku Islam dan Kebangkitan Nasional”, diakses dan diunduh dari situs Mizan.com

Islam populer itu menandai kemunculan budaya cetak (print culture) di tengah masyarakat Indonesia di mana peran ulama merosot karena umat berusaha mencari pengetahuan keagamaan secara mandiri? Sayangnya pertanyaan ini tidak dijawab Vermonte dengan memuaskan, karena yang justru ditonjolkan dalam tulisannya adalah kategorisasi buku-buku keislaman secara umum dan segmen pembaca masing-masing –hal yang lebih-kurang juga dilakukan Novriantoni. Nampaknya Vermonte mengandaikan adanya hubungan ketergantungan langsung antara ulama dan umat, jika umat tidak lagi sering berinteraksi dengan ulama, dengan sendirinya peran ulama dianggap merosot. Sedangkan Novriantoni menakar terlalu rendah apa yang dia sebut segmen pembaca awam hanya karena mereka tidak membaca buku-buku Islam yang “berat-berat.”

Selanjutnya buku berjudul Declare! Dari Balik Dapur Penerbit-penerbit Jogja

karangan Adhe34 memaparkan informasi dan data-data tentang apa yang terjadi di “dapur” penerbitan buku. Meski penelitian yang melahirkan buku ini menyoroti penerbit-penerbit di Yogyakarta dan tidak membedakan antara penerbit yang cuma

menerbitkan buku bertema Islam dan yang tidak, namun dia dapat memberikan gambaran yang lumayan utuh tentang nasib sebuah buku semenjak masih berupa “gagasan” yang ada di kepala penulis sampai terpampang di ruang pajang atau rak toko buku.

Hal terpenting yang bisa diambil dari penelitian Adhe ini adalah dia menyodorkan sebuah kenyataan tak terbantahkan bahwa apa pun jenis dan bentuknya, apa pun dalih dan motif yang diklaim mendasari produksinya, buku adalah barang dagangan.35 Yang perlu diselidiki lebih jauh lagi adalah apa yang

34

Adhe. Declare! Dari Balik Dapur Penerbit-penerbit Jogja. Yogyakarta: KPJ (Komunitas Penerbit Jogja), 2007.

35 “Penerbitan adalah salah satu jenis pekerjaan ang juga tidak luput dari dipakainya hukum- hukum dagang. Yang agak membedakannya dengan jenis aktivitas bisnis lainnya hanyalah sifat dari produk penerbitan yang sekaligus bermuatan wacana serta pengetahuan sehingga terkesan lebih bernilai

membuat satu spesies dagangan lebih laku dari spesies lain, meski dari jenis yang sama, sehingga pedagang berlomba-lomba memproduksi dan menjual spesies tersebut?

Pertanyaan di atas seakan terjawab oleh tulisan yang tercakup ke dalam kategori penelitian ketiga, yang menyoroti kaitan literatur swa-bantu dengan masyarakat Indonesia. Tulisan tersebut berjudul “Buku Apa Yang Dibaca Bangsa Kita?: Refleksi 1 Abad Kebangkitan Nasional”36 dari Arif Toga yang pernah menjadi pimpinan Toko Buku Diskon Toga Mas Yogyakarta. Berdasarkan analisisnya atas data-data kuantitatif angka penjualan di toko buku yang dia kelola, dia menyimpulkan bahwa 62% eksemplar buku yang diminati/laku hanya berasal dari sebagian kecil (10%) jenis buku yang dipajang di Toga Mas Yogyakarta (80 jenis buku). Jumlah 62% itu disumbang secara berurutan oleh: “golongan buku computer, komik, novel, agama, majalah, motivasi, psikologi, dan keterampilan praktis.”37

Dua hal menarik yang perlu dicatat dari penelitian Arif Toga terkait dengan topik penelitian penulis: pertama, yang laku dari buku-buku golongan agama kategori non-generik (yakni buku-buku yang bukan teks kanonik seperti al-Quran, kitab doa, tuntutan shalat dan ibadah wajib lain) adalah “buku yang judulnya selalu memakai kata ‘menguak’, ‘mukzizat’, ‘keajaiban’, ‘rahasia’, atau ‘misteri’. … Sementara yang laku dari golongan motivasi adalah “buku self improvement atau

how to yang bersaudara erat dengan dunia multilevel marketing [dan] buku tentang meraih kesuksesan dan menjadi kaya raya. Jargon-jargon yang membalutnya

dibanding produk dagang lainnya.” Lihat Adhe. Declare! Dari Balik Dapur Penerbit-penerbit Jogja.

Yogyakarta: KPJ (Komunitas Penerbit Jogja), 2007, hlm. 315-316. 36

Arif Toga Mas, "Buku Apa yang Dibaca Bangsa Kita?", dimuat dalam blog Tangkai Padi, milik Ahmad Fikri AF. diakses dan diunduh 10 05 2010. Tulisan ini pada mulanya adalah pengantar Pameran Buku IKAPI DIY 2008.

adalah terminologi seperti cepat, mudah, memenangkan, menguasai, dan semacamnya.” Kedua, kekhawatiran Arif Toga sebagai pengamat sekaligus pelaku industri perbukuan ketika mencoba mengaitkan budaya konsumsi buku dengan teori budaya massa Dominique Srinati yang dia kutip dalam tulisannya bahwa “budaya massa adalah suatu kebudayaan yang kurang memiliki tantangan dan rangsangan intelektual, lebih cenderung pada pengembaraan fantasi tanpa beban dan pelarian.”38 Dia mengkhawatirkan

“budaya massa berpotensi mengancam peranan buku sebagai salah satu media pencerdasan bangsa. Buku yang dipilih dan dibaca sebagian besar masyarakat (penyeragaman rasa) adalah buku yang kurang memiliki tantangan intelektual. Buku akan dihadirkan (diiming-imingkan, dijejalkan) untuk dikonsumsi seperti komoditi lain di budaya massa.”39 (cetak miring dari penulis)

Secara ringkas, Arif khawatir –setengah memastikan– bahwa pembaca Indonesia mengonsumsi buku yang tidak bermutu karena sudah mengalami penyeragaman pasar. Jika logika di balik kekhawatiran ini diteruskan, salah satu kesimpulan yang akan diperoleh adalah bahwa kebanyakan pembaca buku-buku yang laku itu adalah orang-orang “bodoh,” sebab bacaan mereka tidak memiliki “tantangan intelektual”40 Sayangnya dalam tulisan ini tidak ditemukan penjelasan tentang kebodohan macam apa yang diidab sebagian besar pembaca buku-buku tersebut. Kalau pun berdasarkan kerangka teoretis yang dijadikan Arif Toga sebagai dasar kekhawatirannya kesimpulan tersebut diterima, masih tetap diperlukan penelitian lebih lanjut perihal apa yang membuat buku-buku itu begitu

38 Arif Toga Mas, "Buku Apa yang Dibaca Bangsa Kita?", dimuat dalam blog Tangkai Padi, milik Ahmad Fikri AF. diakses dan diunduh 10 05 2010.

39

Arif Toga Mas, "Buku Apa yang Dibaca Bangsa Kita?", dimuat dalam blog Tangkai Padi, milik Ahmad Fikri AF. diakses dan diunduh 10 05 2010.

40 Arif Toga menutup tulisannya dengan sebuah pertanyaan retoris: “…jika disandingkan dengan data golongan buku yang paling diminati, lalu budaya konsumsi buku masyarakat yang ikut-ikutan (massif) dan keseragaman rasa, serta ancaman atas peranan buku sebagai media pencerdasan bangsa dari realitas media dan konsumsi yang mengabaikan nilai-nilai intelektualitas, maupun mode of consumption

masyarakat saat ini yang rawan eksploitasi, maka pertanyaannya adalah sudah cerdaskah kita? Atau sudah merdekakah kita?” Lihat Arif Toga Mas, "Buku Apa yang Dibaca Bangsa Kita?", dimuat dalam blog

diminati oleh khalayak pembaca yang “bodoh”? Apakah memang pembaca “bodoh” yang akhirnya terbentuk ketika membaca buku-buku itu?

Tulisan lain yang memiliki pandangan atau kesimpulan lebih kurang sama dengan Arif Toga, namun dengan nada yang lebih cemas lagi adalah tulisan Taufiq Rahman, wartawan The Jakarta Post, berjudul “Kunci Sukses dalam Berkarir.”41 Kecemasan akut Rahman tercermin dalam petikan berikut:

“[…] sudah saatnya kita membicarakan secara jujur dan terbuka bahwa ada yang salah kalau semua orang merasa perlu untuk membaca buku-buku motivasional untuk mencari panduan dan inspirasi dalam hidup, memasang kutipan-kutipan yang di akhiri dengan salam aneh di media sosial dan menyaksikan siaran-siaran televisi yang meneriakkan kata-kata indah tentang bagaimana menjalani hidup

dan sukses mengumpulkan uang adalah kunci menuju kebahagiaan.”42 (cetak

miring dari penulis).

Rahman dengan tegas mengatakan buku swa-bantu itu ibarat kupon lotere, karena “berpretensi untuk menjanjikan perubahan dalam hidup,” dan sekarang “cenderung untuk membungkus dirinya dengan aura spiritualisme, atau paling tidak berpretensi menjadi universal sebagaimana layaknya agama.”43 Dengan mengutip buku Self-Help Inc. karangan Angie McGee yang telah disinggung di muka, Rahman mengamini kesimpulan bahwa di dalam kondisi susah, seperti yang terjadi di era resesi Amerika tahun 1930-an yang jadi latar belakangan sosial-ekonomi meledaknya genre buku ini di Amerika sebagaimana yang diterliti McGee, orang memerlukan spiritual boosterism atau penyemangat spiritual. “Kalau Marx mengatakan agama itu candu bagi orang miskin, maka mantra-mantra self-help,

dengan janji eskapisme dan perbaikan diri, justru mungkin candu palsu dengan kualitas rendah”44

41 Taufiq Rahman, “Kunci Sukses dalam Berkarir,” dimuat 22 Februari 2012 dalam situs The

Jakartabeat.net edis. Diakses dan diunduh 23 Februari 2012. 42

Taufiq Rahman, “Kunci Sukses dalam Berkarir,” dimuat 22 Februari 2012 dalam situs The Jakartabeat.net edis. Diakses dan diunduh 23 Februari 2012.

43 Taufiq Rahman, “Kunci Sukses dalam Berkarir,” dimuat 22 Februari 2012 dalam situs

Apa yang dituju oleh kritikan pedas Taufiq Rahman adalah apa yang dia sebut sebagai “asumsi terbesar dan yang paling salah” dalam literatur swa-bantu, yaitu menganggap manusia hanya sebagai homo economicus. Dengan hanya menyasar individu yang “haus” kesuksesan dan kekayaan, “kandungan literatur swa-bantu kehilangan kemampuan melihat bahwa pengangguran, gaji rendah, kemampuan komunikasi yang terbatas sangat mungkin dihasilkan oleh masalah struktural dan sistemik di luar diri setiap individu.45”

Meski kesimpulan Taufiq Rahman nyaris tak terbantahkan, namun pertanyaan naif yang tersisa adalah terkait dengan agama. Apakah ajaran dan doktrin agama secara umum, dan Islam secara khusus, memang hanya jadi dalih dan kedok untuk memperalat individu agar mau mengkesploitasi dirinya untuk kepentingan keuntungan individu yang lebih punya modal? Apakah tradisi ajaran dan doktrin agama yang telah berusia ribuan tahun tidak punya daya sedikit pun sehingga hanya jadi macan ompong ketika dikendalikan oleh kepentingan ekonomi? Ataukah proses pembajakan agama ini bisa jadi akan melahirkan pemeluk-pemeluk “jenis baru” yang sebelumnya belum pernah ada dalam sejarah?

Penelitian yang akan dilakukan penulis dalam tesis ini akan mencoba menjajaki pertanyaan terakhir di atas. Tulisan Akh. Muzaki, dosen di IAIN Sunan Ampel Surabaya dan peneliti di P3M, berjudul “Popular Islamic book a trendsetter” kiranya dapat dinilai akan mengarahkan ke sana. Dia menyatakan

“Popular Islamic publications have an important role in constructing a certain Islamic intellectual tradition among ordinary Muslim communities. This intellectual tradition of religious beliefs refers not only to the transmitting of the tradition of the sacred text itself, but also to the determining of variants within the interpretation and understanding of the text within communities. Borrowing the terms of Edward Shils, popular Islamic books along with a process of transmission of Islamic teachings, reflect the so-called "recurrent reaffirmation" of

44 Taufiq Rahman, “Kunci Sukses dalam Berkarir,” dimuat 22 Februari 2012 dalam situs

The Jakartabeat.net edis. Diakses dan diunduh 23 Februari 2012.

45

Taufiq Rahman, “Kunci Sukses dalam Berkarir,” dimuat 22 Februari 2012 dalam situs The Jakartabeat.net edis. Diakses dan diunduh 23 Februari 2012. (Cetak miring dari penulis).

certain traditions by means of artifacts and symbols (in writing and publication).”46 (Cetak tak-miring dari penulis).

Dari kutipan di atas terdapat celah yang akan dimasuki penelitian ini. Bukankah proses konstruksi (“constructing”) tradisi dan proses peneguhan ulang yang selalu terjadi (“recurrent reaffirmation”) di sisi lain akan menghasilkan Muslim “baru”? Di satu sisi dia tetap Islam karena terus meneguhkan ulang keMuslimannya, sementara di sisi lain dia menjadi baru karena proses “konstruksi” identitas yang menentukan tafsiran dan pemahamannya atas teks-teks ajaran agama.

Secara umum, jika dilihat dari sudut pandang yang dipakai para peneliti dalam kepustakaan yang telah ditinjau di atas terlihat dua macam pembacaan terhadap fenomena maraknya buku-buku swa-bantu Islami dan kaitannya dengan masyarakat Muslim Indonesia: sudut pandang pengamat dan sudut pandang pemangku kepentingan dunia perbukuan itu sendiri. Pengamat hampir selalu mengaitkan geliat industri perbukuan Islam ini dengan situasi sosial-politik yang menaungi umat Islam Indonesia di paruh terakhir abad ke-20: bahwa selama Orde Baru aspirasi politik mereka tersumbat dan setelah reformasi mendapat momentum untuk bersuara dengan bebas. Mereka juga nyaris satu suara memandang secara elitis buku-buku Islam populer sebagai produk budaya populer yang berkualitas rendah, tidak merangsang dan menantang intelektual pembacanya. Para pengamat ini biasanya berpretensi untuk netral dalam membaca gelagat ini, seakan hanya melukiskan suatu keadaan kelas di mana para murid tiba-tiba heboh dan ribut berceloteh menunggu guru lain pada masa pergantian jam pelajaran.

46 Akh. Muzaki, “Popular Islamic book a trendsetter,” dalam

The Jakarta Post edisi 3 Agustus 2008. Diakses dan diunduh dari situs resmi The Jakarta Post 04 April 2010.