• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fantasi yang Mestinya Dilahirkan Buku Swa-bantu Islami: Strateg

A. Pembaca Judul-judul Buku Swa-bantu Islami: Identifikasi Simbolis

4. Fantasi yang Mestinya Dilahirkan Buku Swa-bantu Islami: Strateg

Fantasi adalah sebuah konsep dalam psikoanalisis Lacanian yang berfungsi untuk melanggengkan subjek agar tetap ada dan tidak musnah dilahap

oleh permintaan Liyan.14 Dengan kata lain, supaya subjek tetap jadi subjek hasrat dia harus punya strategi untuk mengelola objet petit a sebagai objek

penyebab hasratnya. Dia harus mencari ke dalam objet petit a jaminan baru

selain yang ditawarkan oleh Liyan. Strategi itulah yang disebut fantasi, yang akan jadi jalan keluar dari enigma “bukan ini dan bukan pula itu” yang jadi karakter hasrat. Jadi, fantasi bisa lahir jika subjek memiliki objet petit a yang mustahil disimbolisasi, karena dia merupakan remah dari kebutuhan yang tidak bisa terpenuhi oleh tawaran-tawaran permintaan dari Liyan Simbolis. Lacan merumuskan fantasi dengan $ a.

Elemen kunci dalam rumusan fantasi ini adalah pada tanda belah ketupat () yang memisahkan antara $ dan a. Apa yang ingin ditunjukkan Lacan dengan

lambang belah ketupat (rhombus) ini adalah bingkai atau batas pandangan

dalam “memandang” objet petit a. Mirip ibu jari dan telunjuk dua tangan seorang sutradara yang dijadikannya sebagai “frame” kamera untuk mengira-ngira gambar yang akan diambil untuk filmnya. Pengertian ini membuat rumusan fantasi dari Lacan berdekatan dengan pengertian fantasi dalam bahasa sehari- hari, yakni sesuatu yang dibayangkan secara visual melayang di awang-awang. Dan memang demikianlah fantasi yang dimaksud Lacan sebagai cara keluar dari lingkaran setan permintaan Liyan Simbolis. Fantasi adalah sesuatu yang mengatasi tatanan simbolis, mengawang dan melayang-melayang di atas tataran simbolis.

Maka pertanyaannya kemudian adalah apa fantasi yang terkandung di dalam judul-judul buku swa-bantu Islami? Untuk menjawab pertanyaan ini harus dipahami bagaimana logika fantasi sebagaimana yang terdapat dalam rumusan

14

This is what Lacan writes with his formulae of the fantasme, ($ <>a): being “I” vanished as subject— fading ($), what rescues me is to desire (<>) an object (a). Lihat Alfredo Eidelstein, The Graph of Desire: Using the Work of Lacan. London: Karnac Books, Ltd., 2009, hlm. 171.

$a tadi dan hubungannya dengan dialektika hasrat. Ketika seorang subjek mengalami kebutuhannya tak mampu terpuaskan oleh Liyan Simbolis, kekurangan (lack) ini kemudian melahirkan hasrat. Hasrat menuntut untuk selalu dipenuhi dengan sesuatu yang justru mustahil disimbolisasi, dan dengan demikian, tak mampu disediakan oleh Liyan Simbolis (objet petit a). Supaya subjek tidak lumat dengan kebuntuan ini, dia harus berstrategi: berfantasi. Untuk itulah dia membingkai/membayangkan objet petit a itu.

Berdasarkan logika ini jelas kalau fantasi itu tetap berasal tataran simbolis (bahasa) sebab dia adalah strategi untuk menghadapi permintaan Liyan Simbolis di satu sisi dan untuk mencoba memuaskan hasrat di sisi lain.

Sebagaimana disinggung sebelumnya, permintaan Liyan Simbolis dalam judul-judul buku swa-bantu Islami dapat diungkapkan dalam kalimat “Jadilah muslim sejati!”, sementara yang jadi hasrat subjek muslim adalah “kemusliman” yang bukan sebagaimana dituntunkan Liyan Simbolis lewat kata-kata judul buku swa-bantu tersebut. Sebab, setelah menerima permintaan Liyan Simbolis supaya jadi Muslim yang begini atau begitu, hasrat subjek selalu menyatakan “Bukan Islam yang begini dan bukan pula yang begitu” yang kuinginkan.

Berdasarkan judul-judul buku swa-bantu Islami yang dikumpulkan untuk kepentingan penelitian ini, ternyata fantasi yang ada di balik judul-judul itu adalah fantasi keberhasilan, kesuksesan, yakni situasi di mana seseorang akhirnya sampai pada hasil dari sebuah proses dan berujar, “Akhirnya aku sampai.” Dalam hubungannya dengan permintaan Liyan, fantasi ini tidak memuat apa dan bagaimana sesungguhnya “Muslim” yang diminta Liyan, bagaimana wujud keberhasilan dan kesuksesan jadi being moslem itu. Yang difantasikan adalah “Pokoknya berhasil”! titik. Ini disebabkan hasrat subjek akan selalu tak terpenuhi dengan makna keberhasilan maupun makna kemusliman yang ditawarkan Liyan.

Akibat dari logika hasrat “yang bukan ini dan bukan itu” tersebut seluruh penanda-penanda yang menunjukkan proses atau panduan tentang bagaimana meraih keberhasilan tersebut menjadi tidak relevan, karena yang jadi tempat berpijak subjek adalah situasi berhasil yang dia fantasikan. Dalam fantasi ini apa

pun cara atau proses yang ditempuh memiliki nilai sama, karena toh tempat

melangkah sebenarnya sudah merupakan tempat yang jadi tujuan itu sendiri. Ini berarti beragam cara atau proses, apakah melalui shalat, sedekah, doa, atau melalui sikap etis seperti ikhlas, sabar, tawadu’, dan lain sebagainya berelasi metonimik satu sama lain dalam judul-judul buku Islami dan fungsinya hanyalah makna yang beredar di rangkaian penanda yang kemudian diikat oleh satu penanda utama sebagai perwakilan campur tangan permintaan Liyan Simbolis.

Mengapa makna-makna yang terkandung dalam segala macam panduan dan cara yang disodorkan Liyan Simbolis untuk mencapai keberhasilan itu bukan objet petit a yang dihasrati? Karena Liyan Simbolis juga mengalami kekurangan

(lack) dalam arti dia tidak memiliki penjamin yang memastikan dia sudah

menemukan atau sampai pada objet petit a-nya. Jika dia tidak mengalami

kekurangan (lack), tentu cara atau panduan yang diberikan adalah yang pasti mengantarkan subjek pembaca ke objek hasratnya. Kalau demikian, maka makna kemusliman sebagaimana yang tertera di judul-judul buku swa-bantu adalah kondisi subjektivitas kemusliman yang sesungguhnya, yang memang dihasrati, dengan kata lain, kondisi kemusliman itu adalah objet petit a.

Fantasi keberhasilan tersebut diwakili oleh sebuah buku yang berusaha mencakup semua hal yang ingin dicapai oleh seorang muslim sejati. Buku

tersebut berjudul Cara Paling Mudah Menggapai Sukses, Bahagia, dan Selamat

Gambar II.2: Wujud Fantasi Keberhasilan dalam Sebuah Buku Swa- bantu Islami

Fantasi adalah penjamin berfungsinya ideologi. Ia adalah gambaran atas segala hal ideal yang membuat subjek dapat bertahan dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari dan menjalani hidup untuk mencapai ideal-ideal tersebut. Di dalam ideologi tersebut terdapat Liyan Simbolis, supaya mereka berusaha mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, jika ideologi runtuh atau ditelanjangi, dengan kata lain, masyarakat dibiarkan tanpa ideologi, maka keberadaan mereka pun akan bubar, sebab subjek-subjek yang membentuk masyarakat kehilangan konsistensi subjektivitasnya. Dia tidak tahu apa yang akan dipilih atau dilakukan, sebab tak ada bayangan atau gambaran yang lahir dari kesenjangan antara permintaan Liyan dan kekurangan yang selalu dia rasakan. Pendek kata, masyarakat mustahil terbentuk jika tak ada fantasi ideologis tempat para subjek mengalami konsistensi subjektivitasnya. Konsekuensinya, masyarakat akan lumpuh dan bubar jika subjek anggotanya tak punya hasrat. Dan hasrat hanya lahir jika dialektika permintaan Liyan Simbolis dan kebutuhan subjek tidak mengalami jalan buntu.

Berdasarkan teori pembentukan subjektivitas dalam psikoanalisa Lacanian, fantasi keberhasilan tadi sebenarnya adalah image, citra, atau sosok yang dibayangkan dapat memuaskan hasrat. Fantasi tersebut adalah image yang ada

pada ideal-ego, yakni sosok kedirian yang diperoleh dan diidentifikasi saat bercermin, Image ini dianggap bisa memuaskan hasrat ketika seseorang mengidentifikasi diri dengannya, karena dia merupakan citra/bayangan dicermin yang dianggap merupakan diri. Ketika bercermin, orang mengatakan “itu (bayangannya dicermin) adalah aku. Pengidentikan inilah yang jadi dasar anggapan (misrecognition) bahwa ego-ideal yang diidentifikasi bisa memuaskan hasrat. Dia bersifat imajiner karena berasal dari image (citra) dan merupakan lokus dari objek yang bersifat metonimik.15

Fantasi adalah tahap paling menentukan dalam perjalanan subjek –dalam konteks penelitian ini, perjalanan mencari identitas keislaman. Menentukan karena fantasi bukanlah terminal akhir dari perjalanan tersebut. Dia harus

dilampaui agar subjek bisa mendapatkan being-nya (identitas) yang tidak

bergantung oleh makna-makna yang berasal dari tatanan Simbolis. Fantasi dilampaui agar subjek memiliki rasa ke-aku-an yang cuma dia yang merasakan dan mengalami, bukan sebagaimana yang dirasakan dan dialami orang lain seperti yang mereka ungkapkan lewat bahasa (penanda), termasuk yang terungkap dalam buku-buku swa-bantu Islami.

Fantasi yang lahir dari buku-buku swa-bantu Islami mesti dilampaui supaya

pembaca memperoleh being-nya yang sesungguhnya, dalam arti subjektivitas

yang hanya dia yang “punya,” bukan identitas sebagaimana diamanatkan oleh Liyan Simbolis (bahasa). Maka, untuk sekadar ilustrasi, dengan melampaui fantasi keberhasilan sebagai wirausahawan muslim, seorang pengusaha muslim akhirnya menemukan subjektivitasnya yang tidak identik dengan panduan dan tuntunan bagaimana cara menjadi pengusaha muslim yang disampaikan buku- buku berjudul seperti

Metafisika Bisnis Bersama Allah;

Energi Ketuhanan untuk 

15 Geoff Boucher, “The Law as a Thing: Zizek and the Graph of Desire,” dalam Geoff Boucher,

et.al., Traversing the Fantasy: Critical Responses to Slavoj Zizek, London: Ashagate, 2005. hlm. 29.

berbisnis,

atau

Shalat 

Hajat 

Khusus 

untuk 

Para 

Pebisnis.

Dia tidak lagi bergantung pada makna sebagai pengusaha Islami sebagaimana yang diuraikan oleh Liyan Simbolis.

Salah satu konsekuensi yang akan dialami oleh subjek pembaca jika berhasil melampaui fantasi adalah memiliki pengalaman berbeda tentang “makna” dosa. Dikatakan berbeda –tidak dikatakan baru– karena ketika subjek berhasil melampaui fantasi dia memperoleh subjektivitas (jouissance) yang tidak lagi jadi bulan-bulanan permintaan/perintah Liyan Simbolis. Dalam tataran simbolis tempat buku-buku swa-bantu Islami, setiap hal yang melanggar atau menerobos permintaan tersebut disebut dosa. Sementara untuk mendapatkan subjektivitas, subjek pembaca harus berfantasi dan melampauinya yang berarti “melanggar” permintaan Liyan Simbolis dengan mempertanyakan apa yang sebenarnya dia maui. Dengan mempertanyakan ini, berarti subjek menggugat apa yang selama ini dimaksud dengan penanda “dosa.” Pengalaman akan “makna” dosa itu tidak baru karena tetap berangkat dari apa yang berlaku di tataran simbolis. Kalau pengalaman itu baru, itu berarti tidak berangkat dari tataran simbolis. Kalau demikian halnya, lantas Liyan Simbolis mana yang dipertanyakan subjek sehingga dia dapat berfantasi?

Sebagaimana yang akan dibahas di bawah, kemungkinan pembaca bisa melampaui fantasi ini ditentukan oleh pengetahuan jenis apa yang dia peroleh

dari buku swa-bantu, apakah pengetahuan imajiner (connaissance) atau

pengetahuan simbolis (savoir). Dia bisa berfantasi dan melampauinya jika

pengetahuan yang dia dapat dari buku swa-bantu adalah pengetahuan simbolis (savoir).

Jika dilihat dari kenyataan produksi yang ditemui dalam perbukuan Islam populer Islami dan dari judul-judul buku swa-bantu Islami yang merupakan salah

satu genre utama penggerak industri ini, terdapat indikasi bahwa subjek pembaca secara umum hanya berhenti sampai pada fantasi. Indikasi tersebut dapat dirumuskan seperti berikut: meledaknya produksi buku-buku swa-bantu Islami adalah akibat subjek pembaca terjebak dalam lingkaran metonimik permintaan Liyan Simbolis sehingga tidak mampu mengatasi tatanan simbolis.

Terhalangnya subjek untuk mengatasi fantasi tentang apa yang diinginkannya, kegagalannya meninggalkan bayangan tentang apa dan bagaimana dirinya sebagaimana yang dia inginkan, disebabkan oleh kegagalan

subjek menyadari bahwa Liyan Simbolis juga berkekurangan (lack). Artinya,

subjek pembaca tidak menyadari bahwa di tataran simbolis, Liyan tidak memiliki Liyan-nya sendiri (other of the Other) yang akan menjamin konsistensinya. Di tataran simbolis, Liyan Simbolis tidak memiliki jaminan kebenaran di luar dirinya. Dengan demikian, segala macam kualifikasi keislamian yang dilekatkan kepada berbagai hal-ihwal yang terdapat dalam judul-judul buku swa-bantu Islami tidak bisa dipastikan kebenarannya oleh bahasa yang ada dan tidak ada pula sesuatu di luar bahasa. Kalau pun dalam teologi Islam Allah dapat dijadikan jaminan kebenaran, namun bagaimana jaminan itu disampaikan-Nya kepada manusia pasti melewati perantaraan bahasa, apakah itu dalam bentuk Ayat Quran, Sunnah dan Hadits Nabi, doktrin fiqh dan sebagainya. Walhasil, semua itu tetap saja simbolis.

Kegagalan subjek melampaui fantasi, membuatnya malah kembali ke tatanan simbolis untuk mencari makna. Seandainya yang terjadi adalah kebalikan dari pernyataan ini, yakni subjek pembaca mampu melampaui fantasi, tentulah produksi genre swa-bantu Islami tidak akan sampai meledak sedemikian rupa seperti sekarang ini, di mana genre ini nyaris menjadi wacana homogen dalam literatur keislaman di Indonesia. Ketika sampai pada fantasi, pembaca mencari-cari makna ke dalam tatanan simbolis. Makna disediakan tatanan

simbolis dunia perbukuan dengan menganekaragamkan judul-judulnya secara metonimik. Pembaca tidak berusaha melangkah meninggalkan fantasi untuk

menemukan being-nya, akan tetapi justru kembali ke tatanan simbolik.16

Pertanyaannya adalah mengapa sampai terjadi seperti ini?

5. Judul-judul Buku Swa-bantu Islami sebagai Fetis (Pembaca sebagai Subjek