• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permintaan agar “Islami” sebagai Langkah Awal untuk “Menjad

A. Pembaca Judul-judul Buku Swa-bantu Islami: Identifikasi Simbolis

3. Permintaan agar “Islami” sebagai Langkah Awal untuk “Menjad

Kebutuhan akan buku-buku swa-bantu Islami begitu tinggi sehingga menggairahkan industri perbukuan Islam di Indonesia. Subjek pembaca merasa membutuhkan karena dia “belajar” dari orang-orang sekelilingnya, dari apa yang diobrolkan orang lain menggunakan bahasa yang dia dan orang lain pakai, apakah itu dalam bentuk obrolan lisan maupun tulisan. Pendek kata kebutuhan itu dipelajari dari permintaan pihak lain (Liyan), kebutuhan itu adalah sesuatu

yang dipelajari, bukan sesuatu yang terberi (given) dalam diri seseorang.

Seseorang tidak sejak dari awal tahu bahwa yang dia butuhkan adalah ini atau itu. Apa yang butuhkan pasti dikenali lewat pemberitahuan orang lain melalui medium bahasa. Orang lainlah yang mengatakan bahwa “inilah yang kamu perlukan untuk memuaskan kebutuhanmu!” Inilah yang disebut demand of Other (permintaan sang Liyan).

Karena apa yang akan memuaskan kebutuhan dikenali lewat permintaan orang lain dan melalui perantaraan bahasa ternyata tidak mampu menghilangkan kebutuhan tersebut, maka selalu ada saja yang kurang: masih ada kebutuhan

yang harus dipuaskan. Sisa kebutuhan inilah yang kemudian menjadi hasrat.9

Hasrat adalah apa yang tetap tak terpuaskan meski sudah ada tawaran pemuas yang datang melalui permintaan dari Liyan. Selalu ada saja yang kurang dan meleset. Di dalam sesuatu yang dianggap akan memenuhi kebutuhan masih terdapat hal yang melebihi sesuatu itu, yang masih harus diincar dengan berbagai macam cara. Sesuatu yang lebih dari sekadar sesuatu itulah yang

9

Need minus demand leaves a remainder. Obviously, we are stating that there is something in the need that cannot pass into the demand; and that remainder is what we call desire. Lihat Alfredo Eidelstein, The

disebut dalam psikoanalisis Lacanian dengan objet petit a sebagai objek penyebab hasrat.

Ketika pendorong di dalam diri subjek adalah hasrat yang menuntut agar terpuaskan, subjek mencari-cari apa yang bisa memuaskan hasratnya. Dia mencari dan terus mencari karena apa yang tersedia hanyalah tawaran-tawaran dari Liyan Simbolis. Jika tawaran yang berbentuk permintaan ini diterima, akan selalu menghasilkan sisa kebutuhan yang kemudian juga menuntut untuk dipuaskan.

Akibatnya, hasrat bersifat metonimik. Sasarannya bisa bertukar-tukar dari objek yang satu ke objek lain yang disangka mengandung apa yang akan memuaskannya. Sifat metonimik ini tidak muncul karena upaya pemuasannya dilakukan dengan cara coba-coba: berdasarkan logika “kalau ini tidak memuaskan, barangkali itu bisa.” Akan tetapi setiap kali bertemu satu objek yang semula disangka akan memuaskan, yang semula dihasrati, saat itu pula seseorang merasa bahwa bukan objek seperti itu yang dia inginkan (this is not it) dan dia pun berusaha mencarinya di tempat lain.

Kegagalan Liyan Simbolis memberikan kepuasan disebabkan oleh

hakikatnya yang juga berkekurangan (lack). Apa pun yang ditawarkan Liyan

Simbolis pada hakikatnya tidak memiliki jaminan yang berada di luar tataran simbolis untuk memastikan tawaran itu manjur. Keadaan berkekurangan (lack) di pihak Liyan melahirkan keadaan berhasrat di pihak subjek, yang tak lain juga merupakan keadaan berkekurangan.

Kondisi ini ditunjukkan oleh ketidakmampuan orang-orang lain –lewat bahasa yang berlaku di tengah mereka– memastikan objek apa yang akan memenuhi hasrat. Masyarakat menjadi dinamis dan terus mengalami perubahan karena selalu bergerak mencari-cari apa yang akan memenuhi hasrat subjek- subjek yang jadi anggotanya. Objek yang dianggap masyarakat sebagai pemuas

kebutuhan diberitahukan kepada seseorang sejak bayi lewat perantaraan bahasa. Namun pada dasarnya objek itu pun akan berganti-ganti mengikuti logika metonimik.

Judul-judul buku swa-bantu Islami adalah salah satu wujud dari hasrat Liyan Simbolis yang melingkupi pembaca Muslim. Liyan Simbolis inilah yang “mengajari” pembaca membutuhkan sesuatu: objek-objek yang tercantum dalam judul-judul tersebut seperti “kaya,” “rezeki,” “bahagia”, “sehat,” “istri/suami yang baik,” “orang tua yang baik” dan lain sebagainya. Objek-objek –baca: penanda- penanda– yang terdapat dalam judul-judul tersebut menjadi bermacam-macam karena logika metonomik hasrat membuat subjek tiada lelah mencoba

menemukan objet petit a sebagai pemuasnya, sementara permintaan Liyan

Simbolis ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan subjek dengan penanda- penanda itu. Penanda-penanda itu selalu melahirkan kondisi berkekurangan (lack) di pihak subjek dan dengan itulah lahir hasratnya. Dengan hasrat ini dia kemudian berusaha mengganti penanda dengan penanda lain yang memiliki relasi metonimik yang “dikira” bisa memuaskannya.

Sifat metonimik hasrat sebagai penyebab beragamnya kata sifat dan kata benda yang dipakai dalam judul-judul buku swa-bantu Islami adalah penjelasan lain yang lebih mendasar dari sudut psikoanalisis ketimbang mengatakan bahwa ramifikasi judul adalah bagian strategi pemasaran yang ditempuh produsen yang ingin memuaskan nafsunya untuk dapat keuntungan. Pertanyaan mengapa sampai lahir judul-judul seperti tertera di dalam tabel di bawah, misalnya, dapat dijawab dengan mengatakan bahwa judul-judul ini mencoba menawarkan objek- objek yang akan memenuhi kebutuhan pembaca. Judul-judul ini –yang masih bisa ditambahi lagi dengan puluhan judul dari tema yang sama– jadi bermacam- macam karena logika metonomik hasrat yang ketika bertemu dengan suatu objek

“bahagia” tidak memuaskan, ditukar dengan “rezeki”, lalu “surga,” lalu “Allah” dan seterusnya.

Tabel II.1: Keanekaragaman Judul Akibat Sifat Metonimik Hasrat

Bismilah Aku Menikah 

Demi Allah Sabaiknya Kita Segera Menikah  Meraih Berkah Dengan Menikah 

Kupinang Engkau Dengan Hamdalah  Kupinang Engkau Dengan Islami  Menikah Itu Indah Dan Berkah 

Menikah Karena Allah: Bagaimana Mendapatkan Keberkahan  Menikah Untuk Bahagia 

Menikahlah, Allah Akan Memberimu Rezeki 

Ternyata Orang Yang Menikah Itu Lebih Mudah Masuk Surga

 

Pihak-pihak yang berkepentingan di kutub produksi buku-buku swa-bantu Islami memanfaatkan sifat metonimik dari hasrat calon pembaca untuk melakukan diferensiasi produk. Ketika suatu penerbit telah menerbitkan sebuah buku dengan judul yang mengandung kata “nabi” untuk melekatkan sifat

keislamian pada tema pendidikan anak, seperti buku

Islamic 

Parenting: 

Pendidikan 

Anak 

Metode 

Nabi

10

, 

dan ternyata meledak di pasaran, maka

penerbit lain akan mencari kata lain yang dapat menggantikan kata “nabi”

tersebut. Maka beredarlah buku semisal

Quantum 

alFatihah: 

Membangun 

Konsep Pendidikan Berbasis Surah AlFatihah. 

Yang dimanfaatkan oleh pihak produsen buku adalah sikap pembaca yang akan membeli buku kedua demi memuaskan hasratnya yang tak terpuaskan oleh buku yang pertama. Apa yang ditawarkan judul

Islamic Parenting: Pendidikan Anak Metode Nabi 

melahirkan

10 Syaikh Jamal Abdurrahman,

Islamic Parenting: Pendidikan Anak Metode Nabi, Solo: Aqwam, 2009.

kekurangan (lack) yang kemudian mendorong pembaca untuk mencari objek lain yang akan memenuhinya. Hal ini kemudian dijawab oleh penerbit lain yang

menawarkan judul

Quantum 

alFatihah: 

Membangun 

Konsep 

Pendidikan 

Berbasis Surah 

AlFatihah.

11

 

Hubungan kedua judul ini terletak pada relasi

metonimik antara kata “Nabi” dan “Al-Fatihah.”

Meskipun penelitian ini tidak fokus pada pembaca, namun sikap pembaca tersebut dapat dibuktikan secara tak langsung. Artinya, berdasarkan permintaan

Liyan Simbolis agar pembaca menjadi Islam (to be a moslem), subjek-subjek

yang memiliki posisi di tatanan simbolik akan terkena permintaan ini. Kebutuhan mereka untuk menjadi Islam diajarkan oleh permintaan Liyan Simbolis. Kebutuhan inilah yang coba dipenuhi oleh produsen buku swa-bantu dengan mengeluarkan buku-buku yang “berjanji” akan memberikan panduan tentang bagaimana jadi muslim sebagaimana diperintahkan Liyan Simbolis tersebut. Apa pun tawaran simbolis yang diberikan Liyan lewat permintaannya tetap menyisakan sesuatu yang kurang dan tak dapat dipenuhi mendorong lahirnya kenyataan dalam dunia perbukaan swa-bantu Islami yang persis sama dengan fenomena yang terjadi dalam hal konsumsi secara umum. Orang terus-menerus mencoba memiliki/membeli apa yang dianggap akan menutupi kekurangan itu.

Permintaan Liyan Simbolis agar menjadi Islam (be Islam!) menciptakan

kekurangan (lack ) pada subjek pembaca. Kekurangan tersebut diekspresikan

dalam bahasa sehari-hari dengan ungkapan Ingin belajar Islam.12

11 Muhammad Anis,

Quantum al-Fatihah: Membangun Konsep Pendidikan Berbasis Surah Al- Fatihah, 2010.

12 Salah seorang responden pembaca buku swa-bantu Islami dalam kesempatan wawancara

pendahuluan untuk penelitian ini ketika ditanya apa manfaat dan pendapatnya ketika membaca buku swa- bantu menjawab sebagai berikut, “kesannya.. bagus memberikan inspiratif dan dorongan spiritual yang tinggi kepada pembacanya.. membuka wawasan keislaman yang bagus bagi peneguhan iman”.

Dalam psikoanalisis Lacanian objet petit a adalah hal yang mustahil disimbolisasi dalam arti dia tidak bisa dimaknai secara simbolis. Ini penting digarisbawahi agar terhindar dari jebakan yang diciptakan oleh penanda “Islami” sebagai penanda tuan–cum–point de capiton–cum–unitary trait.

Fungsi “Islami” sebagai penanda tuan membuatnya rentan untuk

dipandang sebagai objet petit a. Seolah-olah yang dihasrati adalah segala

sesuatu yang Islami, seolah-olah yang dibutuhkan para pembaca adalah suatu kondisi keislaman hakiki yang maknanya jelas dan tegas. Padahal, sekali lagi, objet petit a mustahil disimbolisasi, mustahil diungkapkan lewat rangkaian kata- kata, termasuk lewat kata “Islami” maupun “keislaman.” Artinya dia tidak mungkin disebutkan menggunakan salah satu di antara sekian banyak kata dan simbol yang ada dalam bahasa. Ketika dia sudah terbahasakan, dia menjadi objek yang “this is not it”.

Prinsip bahwa objet petit a resisten terhadap simbolisasi, tak bisa diungkap dalam rangkain kata-kata sekaligus juga membatalkan asumsi bahwa pihak produsen buku swa-bantu Islami tahu apa sesungguhnya yang akan memuaskan hasrat pembaca, tahu apa sebenarnya yang jadi objet petit a. Hanya saja mereka tidak atau belum mau mengeluarkannya dalam bentuk sebuah buku, pendek kata dalam bentuk penanda, demi meraup keuntungan dari hasil penjualan buku-buku –baca: penanda– semu yang membuat konsumen pembaca selalu mengonsumsi buku keluaran terbaru karena keluaran lama tak memenuhi kebutuhannya.

Logika dagang yang dipakai produsen buku bukannya secara sengaja mengibuli calon pembaca/konsumen dengan memproduksi pemuas hasrat yang palsu dengan tujuan agar mereka terus menerus membeli dengan harapan bisa memperoleh pemuas yang asli. Posisi agen-agen produsen buku swa-bantu sama dengan posisi subjek pembaca/konsumen dalam hubungannya dengan permintaan Liyan Simbolis. Mereka juga berhasrat akan sesuatu (objet petit a)

yang akan memuaskan hasratnya. Ini berarti kritik ideologis terhadap produsen buku-buku Islami tidak bisa dilancarkan dengan menyatakan mereka sengaja mengibuli pembaca dengan merekayasa kebutuhan demi keuntungan. Kritik tersebut dapat dimulai dengan berangkat dari kenyataan bahwa pembaca dan

produsen sama-sama berfantasi demi mengelola hasratnya akan objet petit a.

Sebagaimana yang akan dibahas di bawah, fantasi ini adalah sebuah strategi subjek untuk mempertahankan subjektivitasnya. Hanya saja di pihak pembaca dan produsen buku-buku swa-bantu, konsekuensi dari strategi tersebut menjadi berbeda. Di pihak pembaca, fantasi itu melahirkan konsumsi, sementara di pihak produsen melahirkan produksi.

Penanda utama “Islami” rentang dipandang sebagai objet petit a karena dia juga merupakan penanda hampa (empty signifier). 13 “Islami” sebagai sebuah

penanda kosong dari acuan hakiki apa pun, sehingga bisa diisi beragam pengertian sesuai dengan perbedaan latar ruang dan waktu. Yang menentukan maknanya adalah penanda utama apa yang berlaku dalam wacana yang pada tiap-tiap ruang dan waktu.

Dengan demikian, “Islami” sebagai sebuah penanda dapat dilihat dengan dua cara berbeda. Jika dia dilihat dalam konteks dunia perbukuan swa-bantu Islami Indonesia kontemporer, maka fungsinya adalah penanda utama yang menjahitkan makna secara retroaktif (point de capiton)dan memberikan identitas yang relatif utuh (unitary trait) bagi dunia perbukuan tersebut. Kemudian, cara kedua, penanda “Islami” dapat dilihat dari sudut di mana posisinya sama dengan penanda-penanda lain. Di sini maknanya ditentukan oleh penanda utama yang

13

It is not the real object which guarantees as the point of reference the unity and identity of a certain ideological experience - on the contrary, it is the reference to a 'pure' signifier which gives unity and identity to our experience of historical reality itself. […] the unity of a given 'experience of meaning', itself the horizon of an ideological field of meaning, is supported by some 'pure', meaningless 'signifier without

berlaku dalam wacana tempat penanda “Islami” itu dipakai. Misalnya, jika dia muncul dalam wacana yang penanda tuannya adalah “demokrasi,” maka maknanya ditentukan oleh apakah dia diposisikan beriringan atau bertentangan dengan “demokrasi”.

Status enigmatik objet petit a sebagai objek penyebab hasrat dan

hubungannya dengan bahasa (Liyan Simbolis) membuat pembicaraan tentang kedirian seseorang tidak sejelas dan sepasti yang dikira. Apa yang dia inginkan ternyata diajarkan oleh pihak lain (Liyan Simbolis) lewat bahasa dan apa yang diajarkan itu pun ternyata bukan yang sesungguhnya yang dia inginkan: baik dia maupun orang lain pada dasarnya tidak tahu apa-apa tentang apa yang akan memuaskan hasrat (lack).

Kondisi seseorang yang selalu berusaha memuaskan hasratnya dengan cara menerima “petunjuk” dari orang lain tentang apa yang seyogyanya diinginkan, namun sia-sia karena orang lain pun tidak punya bahasa yang pas seratus persen untuk mengungkapkan apa yang akan memuaskan inilah yang jadi alasan mengapa dalam psikoanalisis Lacanian Lacan subjek selalu disebut subjek terbelah. Ketika subjek berhasrat, ternyata hasratnya itu juga merupakan hasrat orang lain, karena Liyan juga mengalami Lack. Untuk keluar dari keadaan terasing dalam hasrat ini, subjek harus menempuh separasi! Dia harus memisahkan hasrat dirinya dengan hasrat Liyan.

Dalam konteks buku-buku swa-bantu Islami, subjek pembaca Muslim yang berhasrat ingin punya identitas sejati, katakanlah sebagai “Muslim sejati”, “Muslim seutuhnya,” dan sebagainya, mengalami keterasingan dalam bahasa. Dia terasing karena hanya lewat bahasalah –termasuk lewat judul-judul buku swa-bantu Islami– dia memperoleh identitas sebagai Muslim. Hanya saja identitas yang diberikan tatanan simbolis ini tidak memuaskannya. Ketidakpuasan ini berujung pada dipersoalkannya apa penjamin tawaran yang

diberikan Liyan Simbolis. Liyan Simbolis tidak bisa memberikan jaminan, sehingga ternyata LIyan Simbolis juga berkekurangan (lack). Liyan Simbolis juga berhasrat akan sesuatu. Sampai di sini, subjek pembaca mengalami keterasingan kedua, kali ini dalam hasrat. Dia harus memisahkan hasratnya dari hasrat Liyan. Dia harus menceraikan identitas keislaman yang dia inginkan dengan identitas keislaman yang didambakan Liyan Simbolis, sebagaimana yang coba diungkapkan oleh Liyan lewat judul-judul buku swa-bantu Islami.

Tahap pemisahan (separasi) ini penting karena jika subjek tidak berhasil melewatinya, maka dia akan jadi mangsa kepuasan Liyan. Dia jadi bulan-bulanan hasrat Liyan. Artinya, jika subjek pembaca buku-buku swa-bantu Islami tidak melewati tahap separasi, dia akan menjadi mangsa penanda-penanda yang ada dalam buku-buku swa-bantu tanpa mampu mengelola sendiri hasratnya akan identitas sebagai seorang Muslim “sejati.”

Pemisahan tersebut bisa dilakukan hanya dengan mengatakan “Apa yang kumau bukan ini, dan bukan itu!” Ketika Liyan Simbolis menawarkan identitas kemusliman yang begini atau begitu, maka subjek pembaca harus bisa mengatakan “bukan yang begini dan bukan pula yang begitu”. Kondisi buntu ini tentu melahirkan pertanyaannya, “Lantas yang mana?” Jawabannya terdapat dalam fantasi.

4. Fantasi yang Mestinya Dilahirkan Buku Swa-bantu Islami: Strategi