• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cara-cara pengadaan naskah seperti yang dilukiskan di atas ditempuh penerbit untuk memenuhi tuntutan produksi tiap bulan. Jika produksi menurun atau

mengalami stagnasi, maka dapat dipastikan aliran dana pembayaran dari distributor atau toko buku tidak akan mampu menutupi biaya operasional penerbit per bulan.35

Tuntutan produksi yang sangat besar ini memaksa para penerbit untuk memutar otak dalam mengadakan naskah. Mereka tidak bisa mengandalkan naskah-naskah yang ditawarkan oleh para penulis akademisi maupun profesional. Selain naskah dari penulis akademisi memang lebih sedikit dibanding naskah dari penulis profesional, penyebab lain mengapa pasokan naskah dari para akademisi tidak bisa diandalkan adalah karena naskah-naskah akademis yang cenderung “berat” jarang yang mampu mengembalikan modal dengan cepat, apa lagi segera mendatangkan keuntungan. Dengan kata lain, naskah akademis jarang bisa “meledak.” Sementara naskah penulis profesional pun juga tidak bisa terlalu diharapkan, karena naskah yang mereka tawarkan kerap kali kalah cepat dalam mengikuti tema yang sedang tren. Hal ini wajar terjadi, karena jarang penulis profesional yang mengamati tren tema di pasar perbukuan secepat dan sedekat penerbit. Tema yang menurut penulis profesional masih tren ketika dia mulai menulis naskah, ketika selesai dan ditawarkan ke penerbit ternyata sudah ketinggalan. Perlu diingat, ketertinggalan tema ini tidak dalam hitungan tahun, melainkan bulan!

Ada beberapa pertimbangan yang dipakai penerbit –dalam hal ini awak redaksi– untuk menerima atau memesan naskah. Namun pada dasarnya, pertimbangan-pertimbangan itu akhirnya bermuara pada satu prinsip: “pasar adalah tema.”36

35 Pembayaran dari distributor atau toko buku biasanya dengan sistem kredit, sehingga uang yang diterima untuk satu kali pembayaran pasti lebih kecil dari total harga buku yang diserahkan. Penerbit tidak mungkin menunggu sampai pembayaran lunas sebelum menerbitkan buku baru, karena cara ini akan menghilangkan nama penerbit dari konsumen di tengah banyaknya penerbit yang ada.

36 Untuk mendapatkan ilustrasi bagaimana pergerakan tren buku di penghujung 1990-an sampai pertengahan tahun 2000-an dapat dilihat dalam sub-bab “Pasar Adalah Tema” dalam buku Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2007). Di bagian ini diilustrasikan bagaimana pada akhir tahun 1990-an

Pertimbangan biasanya didasarkan pada survei pasar dan angka penjualan. Dengan berkeliling ke toko-toko buku yang jadi acuan –biasanya Gramedia– atau stand-stand pameran, penerbit dapat menyimpulkan tema-tema apa saja yang sedang tren, yang sudah mulai jenuh, atau yang merangkak naik daun. Bahkan ada penerbit yang mampu memperoleh informasi dari toko Gramedia bahwa suatu tema tertentu telah diisi oleh sekian banyak judul. Jika koneksi penerbit dengan pihak Gramedia cukup dekat, maka dia akan diberitahu apakah masih ada peluang buat dia untuk menerbitkan buku dengan tema yang sama atau tidak. 37

Tema yang sedang tren di pasar juga dapat dikenali atau setidaknya diperkirakan penerbit dengan melihat laporan penjualannya tiap bulan. Dari sekian banyak judul buku dari berbagai tema yang telah dilempar ke pasar, penerbit dapat menentukan mana tema yang sedang tren dengan memperhatikan angka penjualan yang paling tinggi atau tema/judul apa yang paling cepat diserap pasar.

Selain itu, seperti yang disinggung sebelumnya, sebuah penerbit bisa juga memperoleh masukan dari toko buku atau distributor yang menyalurkan buku-buku terbitannya. Indra Effendi, salah seorang pimpinan penerbit AK Grup Yogyakarta, menceritakan pengalamannya “berkonsultasi” dengan pihak manajemen Bukukita, sebuah perusahaan distributor buku yang berada di bawah naungan kelompok Agromedia Jakarta. Memperhatikan laporan penjualan buku-buku AK Grup selama tahun 2011 yang tidak sampai 5 % per bulan per judul dari 3000 eksemplar yang diserahkan kepada Bukukita, Indra bertanya dan meminta saran kepada

tema-tema buku kiri dan ilmu sosial kritis mewarnai penerbitan buku Yogyakarta, lalu bergeser ke buku- buku romantis-spiritual dengan terbitnya buku-buku terjemahan puisi Jalaluddin Rumi dan Kahlil Gibran, lalu tema ini digantikan oleh buku bertema seks, seperti Jakarta Undercover dan Sex In the Kost. Setelah jenuh dengan tema seks, tren beralih pada buku-buku chicklit dan teenlit. Lihat Adhe, Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2007), Yogyakarta: KPJ (Komunitas Penerbit Jogja), hlm. 257-262.

37 Ade Makruf mengatakan bahwa pada bulan Maret 2012, menurut keterangan kenalannya di Toko Buku Gramedia Sudirman Yogyakarta, sudah ada 20 judul buku tentang khasiat buah sirsak untuk pengobatan kanker. Tema ini meledak karena majalah Trubus tiga kali berturut-turut mengangkat tema ini. Kenalannya menyarankan agar jangan lagi menerbitkan buku dengan tema tersebut. Ade Makruf kemudian

menyatakan jika untuk satu tema, judul yang sudah beredar baru 5 atau 6, maka peluang untuk satu penerbit masih ada untuk tema yang sama. Tapi jika sudah lebih dari 10, maka peluangnya sudah kecil.

manajemen Bukukita. “Dalam imelnya,” kata Indra Effendi, “pihak Bukukita menyarankan agar AK Grup menerbitkan buku-buku ringan dan populer, seperti buku motivasi atau tuntunan ibadah dengan kemasan modern. Selama ini buku AK grup yang masuk ke Bukikita cenderung berat-berat.” 38

Karena penjualan penerbitnya kian hari kian merosot,39 Indra Effendi tidak hanya mengamini saran dari distributor itu, tapi juga mengirimkan beberapa judul buku beserta sinopsisnya untuk dinilai oleh distributor Bukukita mana yang kira-kira akan laku di pasaran. Perlu diingat bahwa judul-judul itu belum dicetak, melainkan masih dalam bentuk naskah mentah yang belum disetujui dengan penulisnya untuk diterbitkan. Ini berarti hanya judul-judul yang disetujui distributor yang akan diterbitkan, sedangkan judul yang tidak disetujui besar kemungkinan akan dikembalikan kepada penulisnya.

Bisa juga terjadi hal sebaliknya, yakni pihak distributor yang justru meminta satu tema atau judul untuk didistribusikannya. Hal ini juga dialami AK Grup dengan distributor Diandra Yogyakarta. Pihak Diandra meminta agar tema-tema psikologi kenabian tetap diterbitkan dan bukunya didistribusikan oleh Diandra, karena menurut catatan penjualan mereka buku

Psikologi Kenabian (Prophetic

Psychology): Menghidupkan Potensi dan Kepribadian Kenabian dalam Diri

karangan Hamdani Bakran Adz-Dzakiey mencapai rekor penjualan yang sangat baik. Mereka memperkirakan bahwa buku-buku dengan judul lain namun dengan tema yang sama tetap akan laku, apa lagi jika diterbitkan dengan imprin yang sama.

38

Wawancara dengan Indra Effendi, Februari 2012.

39 Indra Effendi menuturkan bahwa bagi AK Grup, penjualan yang sehat untuk satu judul buku yang dicetak 3000 dan diedarkan oleh distributor tunggal adalah 10 % per bulan. Jika penjualannya tidak sampai 5 % per bulan, artinya kurang dari 150 buah buku per judul, maka roda produksi untuk bulan-bulan berikutnya akan tersendat dan mengharuskan adanya suntikan modal baru. Wawancara dengan Indra Effendi, Februari 2012.

Pertimbangan lain yang dipakai penerbit untuk menerima atau memesan naskah adalah spekulasi penerbit dengan cara bereksperimen dengan tema-tema baru. Spekulasi sebuah penerbit dengan tema atau judul tertentu bukannya dilakukan tanpa perhitungan. Eksperimen ini didasarkan pada pengalaman atau rekam jejak penerbit bersangkutan selama ini. Jika sebuah penerbit selama ini cukup berhasil, dan oleh karena itu diakui oleh khalayak umum –baik kompetitor, distributor, toko buku maupun oleh pembaca– sebagai penerbit dengan tema-tema keislaman yang gaul,40 maka dia spekulasi dan eksperimennya tidak akan jauh- jauh dari tema tersebut.

Meski perbedaan spekulasi dan eksperimen tema/judul berdasarkan pengalaman ini beda tipis dengan gambling murni, namun yang pasti, jika satu tema baru hasil spekulasi ini berhasil di pasaran, otomatis penerbit bersangkutan akan menjadi pioner dalam tema tersebut. Penerbit-penerbit lain akan menjadi pengikutnya (follower). Kasus di mana satu penerbit jadi pioner dan beberapa waktu kemudian penerbit lain jadi pengikut sangat banyak. Salah satu yang fenomenal adalah buku

La Tahzan! Jangan Bersedih

yang diterbitkan penerbit Qisthi Jakarta pertama kali tahun 2002. Judul ini dan tema yang menaunginya melahirkan setidaknya 16 judul lain yang memakai kata

La Tahzan

dan mengusung tema jangan bersedih dan putus asa atas cobaan yang mendera di masa lalu. 41

40

Misalnya adalah penerbit Pro-U Media Yogyakarta yang selama ini menerbitkan buku-buku keislaman namun dengan format dan bahasa yang “gaul”, menggunakan bahasa prokem Jakarta seperti kata loe, gue, dan seterusnya.

41 Dari katalog buku-buku yang dipajang di situs resmi penerbit Mizan, terdapat 17 buku yang judulnya secara eksplisit memakai kata La Tahzan. Buku-buku ini adalah terbitan penerbit yang berada di bawah naungan Mizan atau penerbit yang menjadikan Mizan sebagai distributornya, seperti penerbit Lingkar Pena. Buku-buku tersebut adalah: La tahzan for Broken Hearted Muslimah (Asma nadia, dkk); La Tahzan for Teachers (Gita Lovusa, Irmayanti); La Tahzan For Student (Lisman Suryanegara,dkk); La Tahzan for Teachers La Tahzan for Parents (K.H. Dindin Solahudin); Lâ Tahzan Innâllha Ma’anâ: Tenteram Bersama Allah di Setiap Tempat dan Waktu (K.H. Choer Affandi): Lâ Tahzan Innallâha Ma‘anâ (K.H. Choer Affandi); La Tahzan for Mothers (Asma Nadia, dkk); La Tahzan for Single Mothers (Sylvia L'Namira); La Tahzan for Working Mothers (Izzatul Jannah); La Takhaf wa La Tahzan : Jangan Takut dan Jangan Sedih

Satu hal yang menarik dicatat terkait soal penerbit yang jadi pioner dan pengikut suatu tema atau judul ini adalah fakta bahwa sebanyak apa pun penerbit yang jadi pengikut, namun keuntungan paling besar tetap diperoleh oleh penerbit pioner. Penerbit Republika yang berspekulasi dengan menerbitkan novel

Ayat-

ayat Cinta

menjadi pioner dalam tema ini, sehingga berapa pun jumlah penerbit

pengikut yang kemudian mengeroyok tema ini, tetap saja Penerbit Republika bertengger di puncak angka penjualan tertinggi. 42

Selain pertimbangan-pertimbangan di atas, masih ada pertimbangan lain yang dipakai penerbit dalam menerima naskah, yaitu kontroversial atau tidaknya tema sebuah naskah dan sesuai atau tidaknya naskah itu dengan visi dan misi. Masalah kontroversialnya tema dan visi-misi penerbit ini sebenarnya terpulang pada satu hal: positioning penerbit di arena penerbitan buku. Jika sebuah penerbit sudah mengambil posisi murni bisnis, maka tema apa pun akan digarap asal menurut perhitungannya akan diserap pasar. Bahkan ada yang berprinsip, makin kontroversial sebuah tema, makin baik, karena akan diburu pembaca. Sebaliknya, jika tema memang cukup kontroversial namun menurut perkiraan penerbit hanya akan diserap oleh sebagian kecil segmen pembaca, maka tema itu tidak akan diterbitkan. Biasanya tema-tema seperti ini hanya akan diterbitkan oleh penerbit yang “ngotot” dengan satu visi dan misi, atau lebih tepatnya, penerbit yang mencoba berpegang teguh pada posisi yang sedari awal sudah ditentukan. Contoh paling kentara dari tema kontroversial adalah tema-tema jihad, hujatan terhadap Israel atau Amerika, isu negara Islam dan yang senada dengan itu. Jika ada penulis yang menawarkan naskah dengan tema ini kepada penerbit yang posisinya murni bisnis, maka naskahnya kemungkinan besar akan ditolak, sebab penerbit akan berpikir bahwa “walau pun memang ada yang mau membaca tema jihad,

Lathifah); La Tahzan for Teen’s Love (Sabil el-Ma’rufie); La Tahzan for Kids (Abu Razifa); La Tahzan for Teens (Qomarruzzaman Awwab); La Tahzan for Muslimah (Salma Shulha)

namun masih lebih banyak lagi pembaca yang akan membaca tema-tema selain itu. Itulah sebabnya mengapa di paruh kedua dekade 2000-an, tema-tema seperti ini hanya beredar di kalangan penerbit Solo, lazim disebut “Geng Solo.” 43

Prinsip positioning dan pasar adalah tema yang melandasi proses pengadaan naskah yang akan diterbitkan sebuah penerbit seperti yang digambarkan di atas pada dasarnya juga dijadikan pijakan bagi para penulis ketika akan menawarkan naskah mereka. Seorang penulis akademis yang ingin menerbitkan naskahnya akan memperhitungkan penerbit di posisi mana yang cocok dia sodori naskahnya. Dia akan mencari penerbit yang akan memberikan keuntungan kultural baginya dalam bentuk pengakuan bahwa bukunya diterbitkan oleh penerbit yang terkenal banyak menerbitkan buku-buku dengan tema yang juga dimiliki naskahnya. Sedangkan penulis profesional lebih menitikberatkan pertimbangan pada tema yang sedang tren di pasar perbukuan. Dia akan mencari penerbit yang belum banyak menerbitkan tema tersebut atau kalau tidak berhasil mendapatkan peta penerbit, dia akan berspekulasi menyodorkan naskahnya kepada penerbit yang banyak menerbitkan tema tersebut.

Tingginya tuntutan akan pasokan naskah dan banyaknya penerbit yang menggarap tema yang sama, meski dengan judul berbeda-beda, mengakibatkan nama penulis yang tercantum di sampul buku-buku itu menjadi tidak signifikan, menjadi tidak terlalu bernilai, dan oleh karena itu tidak banyak memperoleh keuntungan kultural dalam bentuk pengakuan. Sangat jarang penulis yang berhasil memperoleh pengakuan cukup besar sehingga namanya menjadi semacam ikon untuk satu tema tertentu. Biasanya penulis yang mendapat keuntungan kultural seperti ini adalah penulis yang jadi pioner dalam satu tema seperti Dr. Aid Al-Qarni

43

Istilah ini dikemukakan oleh Ade Makruf dan sudah lazim di kalangan penerbit Jogja. Wawancara dengan Ade Makruf pada 03 April 2012, di Yogyakarta. Kemudian dari itu, sebuah LSM internasional yang mengurusi konflik, yakni International Crisis Group, merasa perlu mengadakan penelitian dan menerbitkan laporan tentang penerbit-penerbit Geng Solo ini. Lihat International Crisis Group, “INDONESIA: JEMAAH ISLAMIYAH’S PUBLISHING INDUSTRY: Asia Report No147 28 February 2008”, Jakarta_Brussel:

dengan

La Tahzan-

nya, Aa’ Gym dengan

Manajemen Qalbu

-nya, M. Fauzil Adhim dengan buku-buku keluarga sakinahnya dan belakangan Ustaz Yusuf Mansur dengan konsep sedekah-nya. Sedangkan para penulis yang posisinya sebagai pengikut, entah itu atas inisiatif sendiri karena mengikuti tren pasar atau karena pesanan, harus rela namanya tidak diacuhkan meski tertera di sampul buku. “Itulah sebabnya mengapa judul-judul buku populer, termasuk swa-bantu Islami ditulis besar-besar dan kontras sementara nama penulisnya kecil dan tidak kentara.”44

Kenyataan bahwa sebagian besar nama penulis buku-buku yang temanya sedang ramai dan digarap oleh banyak penulis dan penerbit berakibat pada gampangnya membikin nama-nama pena,45 bahkan nama yang fiktif belaka, karena naskah yang bersangkutan memang digarap secara keroyokan oleh banyak orang.46

Besar dan cepatnya tuntutan akan pasokan naskah dan relatif tidak signifikannya nama penulis buku yang mengikuti tema yang sedang tren berimplikasi langsung pada cara penulisan naskah itu sendiri.

Implikasi dari tingginya permintaan pasar akan buku-buku populer Islam memaksa penerbit memproduksi buku dalam jumlah yang besar dalam waktu yang singkat. Permintaan ini disiasati dengan cara menganekaragamkan judul-judul buku dengan tema atau pembahasan yang relatif sama.

44

Keterangan Ade Makruf dalam wawancara pada 03 April 2012, di Yogyakarta.

45 Biasanya nama pena ini disesuaikan dengan tema buku. Sebagai contoh jika tema buku adalah

masalah keislaman populer atau “sastra Islami” kerap kali nama pena yang dipakai adalah nama yang ada “bau” Arab-nya, meski terkadang cukup dengan menambahi awal al- atau el-. Tak jarang pula nama pena itu ditulis dengan menambahi gelar Ustaz atau K.H. Walaupun nama pena yang kearab-araban ini dibikin dengan mengandaikan pembaca memang akan memperhatikannya, namun pertimbangan utamanya adalah mengikuti tren nama penulis Ayat-ayat Cinta yang ada awalan el-nya. Nama ini dibuat justru

karena penulis dan penerbit yakin pembaca tidak akan mau susah-susah memastikan siapa sebenarnya penulis. Keterangan ini diperoleh dari wawancara dengan Ade Makruf pada 03 April 2012, di Yogyakarta 46 Biasanya buku-buku yang nama penulisnya fiktif ini adalah kumpulan humor atau kumpulan sms-sms yang beberapa waktu lalu jadi tren di pasar perbukuan Indonesia.

Menurut Bambang Trim47 tidak ada teori baku yang berlaku untuk pembikinan judul sebuah buku, yang ada hanya ada kisi-kisi yang perlu diperhatikan oleh editor sebuah penerbitan ketika telah selesai mereview atau menyunting naskah yang masuk. Di antara kisi-kisi itu adalah: pertama, judul buku hendaknya dibuat dalam format induk judul (judul utama) dan anak judul demi menghasilkan dua tujuan, mengikat perhatian pembaca (induk judul) dan menjelaskan isi (anak judul).

Kedua, judul dapat dibuat dalam tiga atau empat kata kata bergantung pada relevansi terhadap isi naskah dan hendaknya terdiri dari kata-kata yang menarik (eye cacthing) dan efektif. Namun, aturan ini tidak mengikat, karena ada judul buku yang terkesan panjang, seperti

Psikologi Kenabian (Prophetic Psychology):

Menghidupkan Potensi dan Kepribadian Kenabian dalam Diri

yang

disinggung sebelumnya. Dengan kata lain, prinsip ini berkaitan dengan seberapa besar keterwakilan kandungan buku lewat judul. Jika sedikit kata sudah bisa mewakili, maka buku tersebut makin baik, karena gampang diingat. Contoh dari buku dengan judul pendek namun mewakili isinya adalah

Tasawwuf Modern

karangan Buya Hamka.

Ketiga, Judul tidak boleh membohongi pembaca karena dimaksudkan untuk menarik perhatian dan menimbulkan efek ingin tahu. Prinsip ini sebenarnya adalah prinsip normatif dan hanya berlaku relatif di dalam kenyataan. Berdasarkan temuan-temuan yang akan diulas panjang lebar dalam bab berikutnya, kerapkali judul-judul lebih mengutamakan efek ingin tahu. Itulah sebabnya mengapa judul- judul buku populer Islam, terutama yang bergenre swa-bantu, memakai gaya bahasa yang bombastis. Apakah pembaca merasa dibohongi atau tidak ketika

membaca judul buku

Menikahlah! Maka Engkau akan Kaya,

misalnya,

bergantung pada kondisi “kejiwaan” si pembaca itu sendiri. Hal ini akan diulas lebih jauh di bab IV.

Pihak penulis naskah sendiri memiliki posisi yang tidak terlalu kuat dalam penentuan judul, apalagi penulis yang belum berpengalaman atau belum terkenal. Dalam surat perjanjian penerbitan biasanya dicantumkan klausul yang menyatakan bahwa pihak penulis menyerahkan kebijaksanaan pemberian judul atas naskahnya ketika sudah diterbitkan jadi buku. Klausul ini didasarkan pada asumsi bahwa penerbit akan melakukan semacam rapat redaksi untuk menentukan judul buku yang akan diterbitkan. Namun di lapangan yang terjadi adalah sang editor utamalah yang biasanya berwenang memberi judul. Apalagi editor yang sudah berpengalaman dan telah berhasil membuat judul buku yang laris di pasaran. Sesuai dengan kisah yang penulis terima sewaktu bekerja di penerbitan Kreasi Wacana sebagai editor, judul

Makrifat Syeikh Siti Jenar

untuk naskah karangan Abdul Munir Mulkan adalah bikinan Ashad Kusuma Djaya, yang saat naskah itu masuk berada pada posisi sebagai pemilik, editor utama dan marketing dari penerbit Kreasi Wacana yang baru dirintisnya.

Secara umum judul-judul buku populer Islami ditentukan oleh editor penerbit. Ini didasarkan pada pengalaman Bambang Trim sebagai editor utama di Penerbit Tiga Serangkai Solo dan memimpin perusahaan Trikom Media yang bergerak di bidang jasa konsultan penerbitan. Dia dengan tegas menyatakan “politik perjudulan memang kemudian menjadi bagian dari kepiawaian editor untuk merumuskannya.”48