• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cékéran,Pampam,Kondom,dan Ketidakacuhan Emosional

BAB IV MENGUAK TABIR MENYONGSONG ASA DI BENJINA

4.2. Cékéran,Pampam,Kondom,dan Ketidakacuhan Emosional

Cékéran atau pampam dalam waktu singkat (short time) akan dianggap selesai jika pelanggan sudah mengeluarkan sperma dari kemaluannya. Bagi AM hal tersebut seharusnya berlangsung cepat.

“ya paling 10 menit tuh udah selesai kalok kayak gitu. Udah lega lah kalok udah selesai. Apa lagi kalau orangnya kringeté bau. Haduuh.. harus bisa tahan itu. Pokoknya anggap aja nggak nyium bau apa-apa, nggak liat orangnya jeleknya kayak apa. Yang penting dia bayarnya tinggi, itu udah. Kalok kerja kayak gini yang penting jangan main perasaan mbak. Kalok main perasaan nggak akan bisa”

Pernyataan ‘jangan main perasaan’ yang diungkapkan AM memperkuat karakteristik dari praktik pelacuran yang salah satunya memuat tentang ‘ketidakacuhan emosional’ yaitu istilah yang disebutkan oleh Truong (1992). Ketidakacuhan emosional bisa jadi merupakan mekanisme pertahanan diri agar seorang WPS dapat melakukan perannya dengan hanya fokus kepada imbalan materi saja. Dalam hal ini kenikmatan seksual juga tidak menjadi tujuan utama yang ingin dicapai, karena pada tahapan tertentu ‘membuka paha’ untuk pelanggan seperti sebuah rutinis yang sudah menjadi hal wajib untuk dilalui. IE pernah mengeluhkan hal tersebut kepada peneliti.

“kalok sehari ngelayani sampai 8 orang itu udah mati rasanya saya mbak. Pokoknya cuma berharap cepet selesai aja gitu lho. Kalok dapet (pelanggan) yang baik, nggak kasar, nggak mabuk, dan nggak lama mainnya itu enak. Cékéran selesai, udah keluar (spermanya), bayar, ya udah keluar (kamar). Tapi kalok dapet yang mabuk, kasar, mainnya lama, pake ‘kelereng’, atau pake ‘cumi-cumi’, itu udah.. Ya Allaaaah nangis saya mbak. Kadang saya udah teriak-teriak bilang sakit dia malah tambah kayak kuda mainnya. Belum lagi itu ‘barangnya’ segede botol aqua. Ya sakit lah.. kadang sampai pendarahan ini ‘barang’ (vagina) saya”

‘Kelereng’ dan ‘cumi-cumi’ yang dimaksud IE sesungguhnya adalah istilah yang terkait dengan simbol kejantanan laki-laki, yaitu penis. Kelereng menjadi layaknya aksesoris sekaligus pendongkrak rasa percaya diri dan maskulinitas laki-laki. Konon pemasangan kelereng di sekitar area penis bertujuan untuk menambah kenikmatan seksual bagi laki-laki, meskipun hal tersebut masih diragukan kebenarannya. Sedangkan ‘cumi-cumi’ adalah sebutan penis yang termutilasi di bagian ujungnya.

Hampir semua laki-laki yang memiliki penis ‘cumi-cumi’ adalah ABK asing asal Thailand. Karena mereka beragama Budha, maka penis mereka tidak mengalami proses penyunatan, sehingga kulit di bagian ujung penis masih tebal. Kulit di bagian ujung tersebutlah yang kemudian turut dibelah menjadi beberapa bagian. Pada saat penis mengalami ereksi, bagian ujung penis yang telah dibelah menjadi beberapa bagian tersebut mengembang selayaknya tentakel cumi-cumi.

Satu hal yang pasti, kelereng dan ‘cumi-cumi’ bukan hanya menjadi benda yang dipasang atau bentuk mutilasi yang dilakukan tanpa makna, tetapi bisa jadi merupakan bentuk dari dominasi laki-laki terhadap perempuan karena si perempuan justru menjadi pihak yang merasakan rasa sakit secara fisik dan mengalami tekanan secara psikis. NI (32 tahun) seorang mantan WPS yang mengaku sudah insyaf, dan AT (39 tahun) seorang mantan WPS yang kini hidup bersama dengan kekasihnya, pernah merasakan bagaimana sakitnya melayani pelanggan dengan model penis seperti di atas. Menurut mereka, selain dengan model penis seperti di atas, banyak juga laki-laki yang memiliki penis dengan ukuran yang tidak wajar, dan ada juga laki-laki tidak kunjung puas saat melakukan persetubuhan hingga berjam-jam lamanya.

NI merasa yakin jika penis yang berukuran terlampau besar adalah penis yang tidak normal. Dia menggambarkan jika ukuran penis

tersebut bisa melebihi besarnya botol minuman yang berukuran 500 ml.

“itu besarnya ya ampun mbak..mirip kayak botol aqua yang tanggung itu. Gimana saya nggak sakit mbak rasanya. Belum lagi itu kelerengnya itu aduh..sakitnya. Jadi kalau barangnya dia keluar masuk keluar masuk gitu kan otomatis kelerengnya kan nabrak-nabrak ‘barang’(vagina) saya kan mbak. Udah gitu mainnya kasar, duh pengen nangis rasanya mbak. Katanya itu disuntik pakai apa gitu mbak..makanya jadi besar kayak gitu. Kalau nggak ingat nyari uang itu susah, saya nggak bakal mau mbak”

AT pun sering memiliki pengalaman yang sama dengan NI. Dia juga sering mengalami pengalaman melakukan hubungan seks dengan pelanggan yang tidak kunjung mencapai klimaks setelah berjam-jam lamanya bersetubuh.

“saya pernah liat itu orang sebelum cékéran sama saya kok minum pil apa gitu mbak saya nggak tau. Tapi emang banyak katanya yang sebelum cékéran minum pil dulu. Itu udah satu jam lebih nggak bisa berhenti juga sampai sakit sekali rasanya mbak. Saya tendang akhirnya itu si orang Thailand itu. Saya suruh keluar, dia marah-marah kan belum keluar (sperma) katanya. Lha saya yang gak kuat, dia bayarnya dikit.. kan cuma untuk yang sebentar (short time). Dia marah-marah terus ngadu ke bos. Saya juga bilang ke bos kalau saya kesakitan. ‘Barang’ (vagina) saya sampai lecet terus keluar darah kok mbak. Akhirnya si bos nyuruh si Thailand itu keluar. Jalan saya sampe ngangkang mbak. Terus saya ke Dobo berobat, sama dokter dikasih salep. Alhamdulillah sembuh mbak”

Jika berhadapan dengan pelanggan seperti di atas, perempuan seperti NI, AT, dan beberapa WPS lain mengaku kesulitan untuk memastikan pelanggan mereka bersedia memakai kondom. Pasalnya penis yang sudah terlanjur ‘termodifikasi’ tersebut secara fisik sudah

tidak memungkinkan untuk disarungi kondom. Penis yang digambarkan berukuran sama dengan botol 500 ml tidak akan mampu ditampung oleh kondom yang tentu saja tidak berukuran sebesar itu. Selain itu, pemakaian kondom untuk penis ber-kelereng dan ber-cumi-cumi juga akan mubazir karena akan mudah sobek meskipun sudah diberi 2 lapisan kondom.

Walaupun mereka sering mengeluhkan perilaku negatif dari para tenaga kerja asing (terutama orang Thailand), namun tetap saja mereka merasa orang Thailand adalah pelanggan yang paling potensial dan paling dinantikan. Hal tersebut tentu saja terkait dengan banyaknya rupiah yang akan mereka dapatkan. Resiko besar tentu sudah dihadapi para WPS jika berhadapan dengan pelanggan yang memiliki penis termodifikasi. Resikonya bukan hanya rawan tertular IMS, tetapi juga kehamilan yang tidak diinginkan.

AT pernah mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) sewaktu dia masih bekerja di rumah karaoke, karena persoalan penis yang termodifikasi. Saat itu kondom yang dipakai oleh seorang ABK asing asal Thailand tiba-tiba bocor di tengah persetubuhan yang mereka lakukan. AT akhirnya hamil dan memutuskan untuk tetap mempertahankan janin tersebut. Sampai usia kehamilan yang ke delapan bulan, AT tetap melayani pelanggan. Ketika akhirnya dia melahirkan, bayi yang berjenis kelamin laki-laki tersebut dia berikan kepada orang lain yang tinggal di Dobo untuk dirawat.

“bayi saya, saya kasih ke orang di Dobo sana. Nggak mungkin saya ngerawat sementara saya kerja di lokasi (rumah karaoke) mbak. Siapa yang mau ngerawat? Terus nanti saya cari uangnya bagaimana? Bapaknya kan nggak mungkin bawa dia ke Thailand to, dia kan sudah punya anak istri juga di Thailand. Saya bawa pulang ke kampung juga nggak mungkin, saya kan pamitnya jadi TKI di Malaysia. Cuma mamak saya yang tau saya kerja kayak gini di sini mbak. Akhirnya saya kasih ke orang. Bayinya putih, matanya sipit kayak orang Thailand mbak”

Ketika peneliti pertama kali datang di Benjina pada bulan Mei 2015, AT baru saja melahirkan bayi yang saat itu belum genap berusia 1 bulan. Bayi berjenis kelamin perempuan tersebut adalah bayi yang berbeda dengan bayi yang dilahirkan sebelumnya. Bayi yang terakhir dilahirkan adalah bayi hasil hubungannya dengan sang kekasih, yang merupakan pelanggan rumah karaoke tempat dia bekerja sebelumnya. Karena AT hamil maka AT ‘dikasih keluar’ oleh kekasih yang disebutnya sebagai suami. Ketika dulu masih berada di rumah karaoke, AT yang menanggung biaya hidup suaminya ketika hasil laut yang didapat tidak maksimal. Sang suami sendiri adalah ABK pencari udang asal Jawa Barat yang sudah 3 tahun tinggal di Benjina. Kini mereka tinggal bersama di sebuah kos, di tengah pemukiman penduduk. Meskipun belum terjadi pernikahan syah baik secara agama maupun hukum, mereka sudah merasa sebagai suami istri dan lingkungan sekitar mereka yang mengetahui hal tersebut pun tidak merasa keberatan dengan status pernikahan mereka.

Peneliti pernah bertanya tentang bagaimana pandangan masyarakat sekitar terhadap AT yang kini berstatus sebagai mantan WPS, dan telah hidup bersama dengan seorang laki-laki tanpa ikatan

pernikahan. AT menjawab jika tidak pernah ada yang

mempermasalahkan status dirinya karena lingkungan yang dia tinggali sekarang ini adalah lingkungan yang juga banyak ditinggali oleh mantan WPS.

“ya bagaimana mereka mau ngomongin saya yang jelek-jelek mbak. Lha wong mereka itu banyak juga kok yang mantan pramuria. Kayak mbak A itu, terus mbak B, C yang dah nikah sekarang itu. Itu kan juga mantan pramuria. Sini banyak mbak”

Ada 2 hal yang dapat dilihat dari keseluruhan cerita NI dan AT di atas. Pertama adalah pemakaian kondom terhalang oleh faktor dari eksternal WPS dan faktor internal WPS itu sendiri. Faktor eksternal datang dari ego dan dominasi laki-laki yang ingin menunjukkan

maskulinitasnya melalui penis yang termodifikasi. Hal tersebut ternyata menjadi penghambat penggunaan kondom. Kedua, jika pelanggan dan WPS menjalin hubungan istimewa -misalnya menjadi sepasang kekasih- maka pemakaian kondom hampir dikatakan tidak dilakukan sama sekali. Mengapa? Karena komitmen untuk menjalin kasih harus diwujudkan dalam bentuk khusus, yaitu membiarkan pasangannya tidak memakai kondom sebagai wujud rasa cinta. Hal tersebut bertujuan untuk menunjukkan bahwa seks yang dilakukan dengan pelanggan berbeda dengan seks yang dilakukan dengan kekasih.

Cerita AT yang merasa masyarakat tidak mempermasalahkan keberadaannya patut dicermati. Apakah benar hal tersebut dikarenakan banyak anggota masyarakat yang merupakan mantan WPS? WPS di Benjina memang bergaul dan membaur dengan masyarakat, bahkan tampak seperti tidak ada jarak. Pun dengan para germo dari para WPS tersebut. Mereka datang ke acara pesta yang diadakan masyarakat, datang saat ibadah di gereja atau di masjid bersama-sama dengan masyarakat, dan aktif di kegiatan lainnya. Beberapa orang germo bahkan bisa dikatakan sebagai tokoh masyarakat dan tokoh agama di Benjina.

Peneliti melihat hampir tidak ada jarak yang lebar di antara WPS, germo, dan masyarakat. Justru ada harmoni yang terlihat. Hal tersebut menarik perhatian peneliti karena harmoni seperti yang terjadi di Benjina mungkin tidak terjadi di semua area pelacuran di Indonesia. IE (45 tahun) bercerita jika dia merasa bisa bekerja dengan nyaman ketika berada di Benjina, “Di Benjina saya merasa aman, banyak teman, orang-orang juga baik-baik. Beda dengan waktu dulu saya di tempat lain”. Sebelumnya IE pernah menjadi WPS di Tual, Sampit, dan negara Malaysia.Pernyataan IE tidak segamblang KH (35 tahun) seorang germo dan mantan WPS cantik yang berasal dari Banyuwangi.

“Saya selalu bilang ke anak-anak (buah) saya, bersyukurlah kalian di Benjina. Kalian harus betah, karena di sini tempatnya bagus. Cari uang gampang, masyarakatnya juga gampang. Beda dengan tempat lain, sedikit-sedikit ada garukan dari satpol PP. Di sini nggak pernah ada garukan apa lagi dikejar-kejar sampai masuk got kayak waktu dulu saya di Batam. Di sini semua aman. Makanya saya kalau ngajak orang dari Banyuwangi saya selalu bilang kalau di Benjina itu enak. Nggak ada tempat kayak Benjina di Indonesia. Kami diperlakukan sama lah pokoknya. Memang ada aturan dari polsek kalau keluar dari lokasi (rumah karaoke) nggak boleh pake baju yang terbuka”

Penjelasan di atas menggambarkan jika Benjina adalah tempat yang nyaman untuk berbisnis prostitusi. Seorang informan laki-laki berinisial NP (40 tahun), yang merupakan warga pendatang berdarah Tepa pernah berkata jika banyak masyarakat, terutama yang berjenis kelamin laki-laki akan merasa bangga jika sudah berteman atau bergaul dengan WPS. “Di Benjina, banyak laki-laki justru akan merasa bangga sekali jika dia sudah kenal dekat dengan pramuria”. Belum terbersit di benak peneliti bagaimana atau apa bentuk ekspresi rasa bangga tersebut. Tetapi mungkin cerita di bawah ini dapat menjadi gambaran.

MB (45 tahun) seorang laki-laki asli Aru dengan bangga menceritakan tentang pengalaman salah satu familinya yang berhasil tidur dengan salah satu WPS, padahal familinya tersebut tergolong laki-laki yang dianggapnya kurang waras. Saat itu dia dan beberapa laki-laki lain yang masih memiliki hubungan kekerabatan bermabuk-mabukan hingga tidak sadarkan diri di rumah karaoke. Dengan bangga juga dia bercerita jika dia telah menghabiskan berkarton-karton botol bir. Ratusan ribu rupiah mereka habiskan untuk membeli bir. Beberapa orang teman MB akhirnya memutuskan untuk tidur dengan WPS, sedangkan dia mengaku hanya memilih tidur sendirian di kamar yang kosong.

MB sendiri sudah berkeluarga dan memiliki 5 anak. Semua pemilik rumah karaoke dan orang-orang yang bekerja di dalam rumah karaoke tersebut hampir dipastikan mengenal MB. Hal tersebut bukan hanya karena MB adalah salah satu tokoh masyarakat, tetapi dia juga mengaku sering berkunjung ke rumah-rumah karaoke tersebut. Karena pergaulannya yang luas dengan orang-orang dari rumah karaoke, dia bisa mengetahui siapa-siapa saja yang tergolong WPS, mantan WPS, dan siapa saja WPS yang melakukan kawin kontrak.

Dengan nada yang bangga dia juga pernah bercerita jika anak perempuan bungsunya yang masih duduk di sekolah dasar berteman baik dengan salah satu WPS cantik. Dia dan istrinya bahkan tidak keberatan jika anak bungsunya tersebut dibawa turut serta WPS tersebut untuk menginap di salah satu losmen di Dobo. Suatu ketika si anak bungsu MB tersebut tampak memakai lotion dan bedak sebelum pergi ke suatu tempat. MB lagi-lagi dengan bangganya berkata “itu dia kecil-kecil sudah pintar dandan, ya itu mbak Z yang kasih ajar itu hehe”

Dokumen terkait