• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV MENGUAK TABIR MENYONGSONG ASA DI BENJINA

4.4. Standar Ganda Pelacuran

Bisa jadi ada banyak pihak yang menganggap pelacuran dan pelakon-pelakon di dalamnya sebagai suatu hal yang busuk, hina, tidak bermoral, atau memalukan. Seperti yang dikatakan oleh Herodotus, “The most shameful custom”. Karena begitu hinanya maka ada larangan secara lisan di Mesopotamia kuno untuk tidak menikahi pelacur, karena mereka dianggap bersuamikan banyak orang, dan tidur dengan siapa saja. Laki-laki yang melanggar larangan tersebut sampai rela meninggalkan keluarga, rumah, dan ladangnya, disebutkan tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali penyakit serta kehancuran (Roth, 2006: 32-39).

Di sisi yang lain, praktek pelacuran tersebut pada masa yang sama justru tersokong oleh ritus-ritus keagamaan yang menempatkan perempuan melakukan ritual persembahan dengan tubuh dan seksualitas mereka. Ditemukan adanya praktek pemujaan dewa atau dewi di Babilonia kuno, di mana perempuan melakukan hubungan seksual dengan laki-laki asing pengunjung candi demi memuja kesuburan dan kekuasaan seksual para dewi. Di India, Devadasi atau pelacur candi pun melakukan hal serupa (Truong, 1992:20-21).

Setelah era pelacuran untuk tujuan pemujaan (religius worship), pada masa romawi muncul era pelacuran yang benar-benar terlepas dari sakralnya praktek agama. Pada masa itu posisi pekerja seks dianggap legal dan dilindungi oleh hukum yang berlaku (McGinn, 2006). Di Asia Timur muncul Geisha dan Ky Nu, golongan pelacur yang

memiliki kecakapan budaya, musik, puisi, dan tari-tarian, di samping tentu saja adalah kecakapanan dalam hal pelayanan seksual. Di Eropa muncul courtesan, yaitu pelacur dengan strata tertinggi, yang juga memiliki kecakapan yang sama baiknya dengan kelas Geisha atau Ky Nu(Truong, 1992:21).

Nusantara juga memiliki riwayat panjang tentang praktek pelacuran yang merupakan warisan dari kerajaan-kerajaan tempo dulu. Hal tersebut konon dimulai dari adanya pencarian selir yang dilakukan raja. Melalui penelusuran sejarah yang dilakukan Koentjoro (198923), diketahui jika ada 11 kabupaten di Jawa yang terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan. Sampai sekarang ini daerah-daerah tersebut masih terkenal sebagai sumber wanita pelacur untuk daerah kota. Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan di Jawa Barat.Kabupaten Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah.Kabupaten Blitar,

Malang, Banyuwangi dan Lamongan di Jawa Timur.

Nusantara juga mengenal sebutan Nyai, sebagai bentukan Belanda pada zaman kolonial24. Dalam bentuk seni tari tradisional dikenal adanya dongbret, lenong, ronggeng, ledek, yang sering ditampilkan dalam acara pesta hajatan atau selamatan dan pada akhirnya sering diakhiri dengan transaksi seksual25. Pada masa sekarang ini praktek-praktek pelacuran masih dapat dilihat di beberapa daerah di Indonesia. Mudjijono (2005:1) menyebut banyak tempat-tempat pelacuran di berbagai daerah, antara lain Sunan Kuning dan JBL (Gambilangu) di Semarang, Silir di Solo, Blongkeng

23

Dalam http://sejarahblambangan.blogspot.com/2013/03/sekilas-tentang-lokalisasi-banyuwangi.html

24

Onghokham dalam Saptari ( dalam Truong 1992; xxix)

25

atau Tanlikeng di Muntilan, Sembir di Salatiga, Gunung Tugel di Kutoarjo, Slarang di Cilacap, Dolly dan Jarak di Surabaya, Boyongsari di Pekalongan, serta Pasarkembang dan Sanggrahan di Yogyakarta.

Rupa-rupa pelacuran atau prostitusi dari berbagai masa dan berbagai budaya menunjukkan jika seks bukan hanya tentang kebutuhan reproduksi dan rekreasi. Pelacuran adalah masalah yang kompleks. Ada banyak latar belakang yang mempengaruhi seperti latar belakang sosial, budaya, ekonomi, agama, kelas, dan gender. Pelacur dan pelacuran masih menjadi pertentangan sampai sekarang ini. Banyak akademisi dengan latar belakang sosiologi, antropologi, kesehatan, piskologi, dan ilmu yang lain mengkaji tentang pelacuran. Feminis, ekonom, dokter, bahkan rohaniawan pun tidak kalah tertarik untuk menuliskan pandangan mereka tentang pelacuran. Banyak teori bermunculan. Tetapi tetap saja ada satu hal yang masih kekal dan mengundang tanya, mengapa semakin banyak kajian tentang pelacuran, semakin sulit rasanya untuk melenyapkannya?

Kemungkinan besar, keseriusan berbagai pihak untuk

menghilangkan atau mungkin mengurangi dampak pelacuran masih terhalang dengan sikap mendua masyarakat terhadap pelacuran itu sendiri. Hal tersebut seperti yang dikatakan St. Augustine dan St. Thomas Aquinas (Patrinder dalam Truong, 1992:22)

“Tapi menyingkirkan pelacuran dari kehidupan manusia akan mengotori semua hal dengan nafsu birahi dan karena itu ‘perempuan sundal’ adalah imoralitas yang dapat dibenarkan secara hukum” (St. Augustine)

“Enyahkan tempat sampah dan Anda akan mengotori istana. Enyahkan pelacur dari muka bumi dan Anda akan memenuhinya dengan sodomi” (St. Thomas Aquinas)

Di Benjina sendiri sejarah pelacuran atau prostitusi dimulai ketika ada industri masuk ke Benjina, diikuti dengan masifnya para pendatang mencari penghidupan, dan terbukanya penguasa tanah

dan penguasa adat kepada para pendatang tersebut. Di luar keterbukaan tersebut tentu saja ada stimulan yang besar dari sektor industri itu sendiri, yaitu bisnis yang menghasilkan banyak uang. Perputaran uang tersebut melibatkan orang-orang yang tidak hanya berkecimpung dalam bisnis prostitusi (dalam hal ini termasuk pelanggan), tetapi juga masyarakat yang secara langsung atau tidak langsung menggantungkan sumber perekonomian mereka dari eksisnya bisnis tersebut.

Akan muncul banyak istilah prostitusi atau pelacuran, dan juga istilah pelacur atau WPS di dalam tulisan ini. Termasuk juga istilah germo dan tentu saja lokalisasi. Penyebutan istilah WPS (Wanita Pekerja Seks) dalam tulisan ini dipilih karena istilah tersebut dianggap paling ‘memanusiakan’ pelacur perempuan, karena apa yang mereka lakukan sebagai mata pencaharian dimasukkan dalam ranah ‘bekerja’ atau melakukan suatu pekerjaan. Selain itu, masyarakat Benjina menyebut WPS dengan sebutan ‘pramuria’. Hal tersebut menjadi rancu karena secara harafiah pramuria berarti pekerja di tempat hiburan malam, dan sesungguhnya pekerjaan tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan transaksi seks. Maka dari itu, istilah WPS dipilih sebagai kata ganti untuk pramuria.

Di Benjina juga tidak dikenal istilah germo atau mucikari, istilah yang jamak dipakai adalah ‘bos’. Panggilan tersebut juga digunakan untuk memanggil bos dalam sektor lain selain sektor bisnis pelacuran, misalnya saja bos rumah makan, atau bos toko kelontong. Untuk menghindari kerancuan maka istilah yang akan digunakan untuk menyebut pihak pemilik rumah karaoke dalam tulisan ini adalah germo.

Lalu bagaimana dengan istilah ‘rumah karaoke’? apakah istilah tersebut terdengar umum di Benjina? Ya, istilah tersebut begitu dikenal luas oleh masyarakat. Konsep rumah karaoke yang dipahami masyarakat adalah rumah hiburan yang menyediakan fasilitas karaoke, menjual minum minuman keras, dan melayani transaksi seks.

Rumah yang dipakai sesungguhnya adalah rumah biasa yang bentuk serta modelnya pun sama dengan rumah yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat . Hal yang membedakan tentu saja personil serta aktivitas di dalam rumah tersebut.

Entah bagaimana mulanya, masyarakat lebih sering menyebutnya dengan ‘lokasi’, kemungkinan istilah ini adalah akronim dari istilah ‘lokalisasi’ yang ejaannya mungkin lebih sulit diucapkan oleh masyarakat. Tetapi benarkah ada lokalisasi prostitusi di Benjina? Lokalisasi memiliki pengertian; pembatasan pada suatu tempat atau lingkungan26. Jika berkaca pada apa yang terjadi di Benjina, apakah ada batas antara tempat prostitusi dan tempat bukan untuk prostitusi? Jawabannya adalah tidak ada. Rumah-rumah karaoke dan personil-personil di dalamnya berdiri dan tinggal di lingkungan yang juga ditinggali masyarakat umum. Mereka bercampur dan berbaur begitu dekat.

Karena begitu dekatnya, masyarakat dapat melihat aktivitas rumah karaoke baik siang ataupun malam. Karena begitu dekatnya setiap ketinting atau speed boat yang berlabuh akan melewati jejeran rumah-rumah karaoke di pinggir pantai. Karena begitu dekatnya anak-anak yang akan berangkat atau pulang sekolah dapat melewati rumah karaoke sambil secara terang-terangan melihat aktivitas di dalamnya. Karena begitu dekatnya, pada saat-saat tertentu akan dijumpai beberapa PNS yang bersantai ria sambil meminum bir dan merokok ditemani WPS berpakaian terbuka.

Karena begitu dekatnya, suara musik dari rumah karaoke dapat terdengar sampai ke rumah masyarakat. Karena begitu dekatnya para ABK asing hanya butuh waktu 5 menit menyeberang dari perusahaan untuk bersenang-senang. Tidak ada lokalisasi prostitusi di Benjina, yang ada adalah puluhan rumah karaoke yang menawarkan transaksi seks, yang berdiri sangat dekat dengan pemukiman masyarakat. Maka

26

dari itu dalam tulisan ini, rumah karaoke akan dipersempit maknanya sebagai istilah yang merujuk pada rumah prostitusi.

Ada dikotomi antara ‘kerja baik’ dan ‘kerja tidak baik’ yang tertanam dalam benak masyarakat yang terkait dengan bisnis prostitusi di Benjina. Hal tersebut secara tidak langsung mengacu kepada dikotomi antara ‘moral’ dan ‘amoral’. Jika perempuan yang berprofesi sebagai WPS dianggap sebagai representasi perempuan tidak baik-baik, maka representasi perempuan baik-baik dapat dilihat dalam sosok perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumahtangga. Profesi tersebut dipandang mewakili sosok perempuan setia, yang mengabdi kepada suami serta memiliki andil besar kepada perawatan anak-anak mereka.

Tidak jarang, masyarakat juga menyinggung kisah tentang adanya ‘perang dingin’ antara WPS dan ibu rumahtangga. Para ibu rumahtangga berupaya keras untuk menjauhkan suaminya dari pengaruh buruk para WPS, memastikan suami mereka setia terhadap janji pernikahan yang mereka buat dengan memastikan tidak ada hubungan khusus di antara suami mereka dengan WPS manapun di Benjina. Kunjungan ke rumah karaoke memang bukan tolok ukur yang dapat ditetapkan kepada laki-laki yang dianggap telah melakukan transaksi seks dengan WPS. Minum bir atau sekedar mengobrol dengan WPS adalah aktivitas lain yang dapat dilakukan di rumah karaoke selain melakukan transaksi seks.

Walaupun pelanggan utama WPS adalah para ABK asing namun laki-laki Benjina pun banyak yang menjadi pelanggan rumah karaoke. Seperti yang ditegaskan sebelumnya, menjadi pelanggan bukan berarti melakukan transaksi seksual dengan WPS, tetapi bisa juga mengkonsumsi miras. Laki-laki Benjina yang peneliti tekankan di dalam tulisan ini bukan hanya terbatas pada laki-laki dari etnik Aru

yang memiliki hak ulayat di tanah Benjina27 tetapi juga termasuk seluruh laki-laki yang terdaftar menjadi warga desa Benjina entah dari etnik apapun dia.

WPS secara umum biasanya mengalami stigma negatif sebagai wanita penggoda, pengeksploitasi pria dan perebut suami milik orang lain. Di Benjina stigma semacam itu bisa dikatakan terlihat samar. Masyarakat menghardik di belakang punggung tetapi tersenyum sopan saat berada di depan mereka. Masyarakat tampaknya memang terlanjur membuat sebuah standar ganda terhadap perilaku WPS. Stigma negatif di atas kabur oleh peran atau kontribusi WPS di Benjina yang secara tidak langsung berpengaruh besar terhadap perekonomian masyarakat.

Ada juga sebagian kecil masyarakat yang merasa jika rumah-rumah karaoke serta para WPS yang bekerja di dalamnya tetap dibutuhkan. Argumentasi mereka terkait dengan anggapan rumah karaoke akan dapat membantu mengurangi tingkat perkosaan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan. Cerita mengenai perkosaan pun masih kabur. Tidak ada yang mampu menceritakan secara runut dan pasti, siapa yang diperkosa dan siapa yang melakukan tindak perkosaan. Ada beberapa orang yang bercerita jika perempuan yang menjadi korban perkosaan adalah perempuan kampung (lokal), yang diperkosa oleh laki-laki ABK asing.

Isu tentang perkosaan sendiri masih belum diketahui kebenarannya di Benjina. Secara tidak langsung muncul adanya pembenaran jika rumah karaoke atau aktivitas pelacuran dapat mengurangi agresi seksual laki-laki terhadap perempuan. Namun di sisi yang lain, masyarakat juga memberikan pelabelan negatif terhadap pekerjaan sebagai WPS, yaitu pekerjaan yang kotor atau hina. Acapkali pernyataan tersebut bukan keluar dari mulut

27Jika ingin merumuskan siapa orang asli Benjina, maka dalam konteks lokal orang yang dianggap sebagai orang asli Benjina adalah 4 marga yang memiliki hak ulayat.

masyarakat, tetapi menariknya justru dari germo atau WPS itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh AC (40 tahun), salah satu germo yang berdarah Tepa.

“ya mereka-mereka ini (para WPS) kan sebetulnya kerja tidak baik to. Ya saya kadang juga berharap mereka bisa keluar lalu kerja baik-baik. Kan saya kasihan juga mereka perempuan tapi kerja seperti itu to..”

NA (15 tahun) seorang remaja cantik Benjina yang berdarah Jawa pernah juga bercerita tentang isu perkosaan. Dia pernah mendengar jika kebanyakan perempuan yang diperkosa oleh ABK asing adalah perempuan yang sering berdagang dari kapal asing ke kapal asing secara ilegal. Namun dia tidak dapat memberi keterangan lebih dari itu. Walaupun dikatakan sebagai praktek perdagangan ilegal namun perdagangan yang dilakukan perempuan-perempuan lokal ke kapal-kapal asing masih jamak dilakukan sampai peneliti meninggalkan lokasi riset, dan sesungguhnya praktek tersebut lebih tepat jika disebut dengan barter.

Barter atau pertukaran barang memang masih berlaku di Benjina. Hal tersebut terutama dilakukan oleh pedagang-pedagang kecil yang menggantungkan dagangannya kepada hasil barter dengan ABK asing yang tinggal di kapal-kapal mereka. Pihak yang secara aktif mendatangi kapal asing tersebut adalah pedagang-pedagang (yang sebagian besar perempuan) dengan menaiki speed boat sambil membawa bahan makanan, sayur mayur, atau sopi ke atas kapal.

Bahan makanan dan minuman yang akan mereka jadikan bahan barter mereka beli dari orang kampung, yaitu sebutan untuk warga dari kampung pedalaman di Desa Benjina yang telah datang ke pasar pada pukul 3 atau 4 dini hari. Bahan makanan dan minuman tersebut dibeli dengan harga yang relatif murah, sehingga mereka rela bangun pagi bersaing dengan pedagang lain yang juga hendak

membeli dagangan orang dari kampung. Bahan makanan dan minuman yang telah dibeli tersebut nantinya akan ditukar dengan beberapa kotak ikan beku yang tersimpan di sebuah lemari pendingin raksasa yang tertanam di lambung kapal asing.

Proses barter berlangsung lama karena harus dilalui dengan tawar menawar yang alot juga. Pedagang tidak ingin jerih payahnya yang penuh resiko berakhir sia-sia dengan mendapatkan ikan beku dalam jumlah yang sedikit, sebaliknya para ABK asing pun tidak ingin rugi karena memberikan ikan beku yang terlalu banyak untuk pedagang. Nantinya ikan beku hasil barter tersebut akan dijual di pasar dengan harga Rp. 10.000,- per tumpuk (berisi sekitar 6 ekor ikan ukuran sedang atau 10 ekor ikan ukuran kecil).

Peneliti pernah terlibat dalam perdagangan seperti yang telah diceritakan di atas. Kala itu peneliti bersama dengan 2 orang perempuan Benjina berdarah Tepa berangkat saat pagi buta dengan menaiki speed boat. Mereka berdua kakak beradik yang masih berusia 20 tahunan. Bahan makanan yang kami bawa untuk dibarter adalah 2 kantung plastik ukuran sedang cabai rawit, 1 kotak besar donat, dan 1 kantung jeruk limau. Bahan makanan tersebut (kecuali donat yang dibuat sendiri) dibeli dari pedagang kampung pada saat subuh di hari yang sama dengan harga Rp. 5000,- per kantung. Kami bertiga menuju kapal-kapal pencari ikan berukuran besar milik Thailand.

Kapal-kapal tersebut berjumlah puluhan, berukuran besar, menjulang tinggi, berjejer dengan rapi, dan yang mencolok adalah deretan nomer yang menempel di badan kapal. Nomer tersebut seperti sebuah identitas yang membedakan antara kapal satu dengan kapal lainnya. Peneliti saat itu belum memiliki bayangan sama sekali tentang apa yang akan terjadi jika peneliti berhasil naik ke salah satu kapal tersebut. Ketertarikan peneliti untuk turut serta dalam barter sesungguhnya berawal dari adanya cerita tentang perempuan yang diperkosa ketika melakukan barter dengan orang asing, dan cerita dengan versi lain mengatakan jika ada juga perempuan yang tidak

hanya membarter bahan makanan dan minuman, tetapi juga tubuhnya.

Cerita tersebut terdengar menarik walaupun tidak ada yang dapat menceritakan lebih jauh dari itu. Rasa penasaran peneliti semakin besar ketika 2 orang perempuan yang akan pergi melakukan barter bersama peneliti pernah dengan tegas berkata, “jangan ajak temannya yang laki-laki ya mbak, jangan bawa kamera juga ya”. Tanpa banyak bicara kami bergegas dan menaiki speed boat yang akan mengantar kami ke kapal asing tujuan. Hanya sekitar 5 menit saja waktu yang kami butuhkan untuk menuju kesana, dan kami dikenakan biaya Rp. 10.000,- per orang untuk sekali jalan. Ketika speed boat mendekat kami bertiga menaiki kapal dengan susah payah.

Tidak ada tangga khusus yang digunakan untuk menaiki kapal dari bagian bawah. Kami hanya bertumpu kepada sebuah ban karet raksasa yang digunakan untuk berpijak, dan sebuah tangga kecil dari besi yang tampak begitu rapuh dan berkarat. Sedangkan di bawah kami adalah lautan lepas. Jika kami salah sedikit saja dalam mencari pijakan kaki, maka satu-satunya kemungkinan adalah kami jatuh ke lautan. Entah apa yang membuat pedagang atau pelaku barter seperti mereka mengambil resiko sebesar ini.

Ketika sampai di atas kapal, apa yang peneliti lihat pertama kali adalah puluhan laki-laki bertelanjang dada, bercelana kain khas Thailand, dan sebagian besar dari mereka bertato. Mereka tidak tampak kaget melihat 2 orang perempuan lokal tersebut, namun tampak sekali jika kedatangan peneliti telah menarik perhatian mereka. Tanpa perlu berbasa-basi, beberapa dari mereka mendekati peneliti dan langsung bertanya apakah peneliti bersedia menjadi pacar dari beberapa orang tersebut. Satu hal yang langsung terbersit di benak peneliti adalah pikiran mengapa respon yang ditujukan saat pertama kali melihat perempuan yang menaiki kapal mereka, adalah gesture yang agresif yang terlihat dari tawaran frontal untuk menjadi pacar mereka?

Memang tidak semua laki-laki di kapal tersebut menunjukkan hal demikian, namun sebagian besar dari mereka tampak asyik menonton sembari tertawa. Peneliti tidak berpikir untuk pergi walaupun saat itu satu-satunya hal yang peneliti rasakan adalah perasaan takut yang luar biasa. Perasaan takut tersebut tidak tampak di wajah dan perilaku 2 orang perempuan teman baru peneliti tadi. Mereka justru asyik berdebat, menawarkan cabai rawit dan jeruk limau yang mereka bawa agar dapat ditukar dengan ikan beku sebanyak-banyaknya. Mereka berdua berbicara dengan Bahasa Thailand dengan terbata-bata sambil sesekali memakai isyarat tangan. Mereka berdua terlihat begitu keras kepala dan tampak tidak mau menerima, ketika ikan yang ditawarkan oleh orang-orang asing tersebut mereka anggap terlalu sedikit. Sesekali tampak juga tangan mereka menggandeng laki-laki yang mereka ajak bicara, dan kadang terlihat juga ada sentuhan berupa rangkulan. Pun sebaliknya, laki-laki Thailand tersebut terlihat sering melakukan hal yang sama. Inikah alasan mengapa 2 pedagang perempuan tadi meminta agar tidak ada laki-laki di antara kami? Hal ini mungkin tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang disebut dengan ‘menjual tubuh’, tetapi 2 orang perempuan tersebut menyadari sepenuhnya modal dari sisi feminitas mereka, yang secara kasar dapat dikatakan sebagai nilai tambah dalam sebuah transaksi yang dilakukan dengan laki-laki.

Gambar 4.0.2. Perempuan Pelaku Barter di Kapal Thailand Sumber: Dokumentasi Peneliti

Tidak ada praktek jual tubuh atau transaksi seks di antara peristiwa barter di atas. Beberapa hal yang perlu dicermati adalah; pertama, dalam skala pedagang kecil pun, keberadaan orang-orang asing tersebut amat berpengaruh secara ekonomi. Kedua, tampak terlihat bagaimana sudut pandang 2 pihak yang berbeda, yaitu pihak pedagang (perempuan; sebagai klien) dan pihak pemilik modal/uang (laki-laki; sebagai patron) saling memandang posisi satu sama lain. Pihak patron memandang klien mereka (termasuk memandang peneliti yang saat itu turut serta berperan sebagai klien) sebagai pihak yang membutuhkan modal, sehingga apapun dapat diberikan.

Sebaliknya pihak klien memandang patron sebagai pemilik modal dan berkuasa penuh atas nasib klien, sehingga klien harus mampu menarik hati patron untuk dapat melakukan transaksi dengannya. Hal yang menarik adalah, klien yang berjenis kelamin perempuan mampu memanfaatkan sisi feminitas mereka. Hal yang ketiga adalah hal yang terlihat samar. Patron memandang klien seperti halnya pelanggan rumah karaoke memandang WPS. Hal tersebut terlihat pada saat beberapa orang laki-laki secara frontal mendekati peneliti dan mengutarakan maksudnya. Tanpa perlu diperdebatkan, hal tersebut adalah adaptasi dari perilaku yang jamak terjadi di rumah karaoke/area pelacuran. Dekati siapa yang diinginkan, tawarkan uang, setuju dan berarti klien sudah menjadi milik patron.

Dokumen terkait