• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SEJARAH

2.2 Geografi Dan Kependudukan

2.2.1 Geografi

Menurut data yang bersumber pada Profil Desa Benjina Tahun 2013, Desa Benjina terletak pada gugusan Pulau-Pulau Aru Tengah tepatnya di atas tanah Pulau Kobror. Secara geografis Desa Benjina dibatasi oleh :

 Sebelah Utara : Desa Selilau

 Sebelah Selatan : Desa Irloy

 Sebelah Timur : Hutan Pulau Kobror

 Sebelah Barat : Selat Barakay

Luas wilayah desa Benjina adalah 245.241 Ha. Secara geografis Desa Benjina berada di dataran rendah dengan ketinggian 7 meter di atas permukaan laut (dpl). Suhu yang terendah di Benjina sekitar 27 derajat celcius, dan suhu tertinggi bisa mencapai 35 derajat celcius. Karakteristik tanah di Benjina adalah tanah humus, semakin dalam akan ditemukan tanah yang semakin hitam, dengan kadar liat lebih dari 35 %. Musim hujan di Benjina biasanya dimulai dari bulan oktober sampai dengan januari, sedangkan musim kemarau biasanya dimulai pada bulan februari sampai dengan September. Namun iklim tersebut sudah tidak bisa dijadikan acuan karena musim yang lebih sering berubah4.

Benjina adalah desa yang terkepung air. Untuk itu moda transportasi yang dipakai masyarakat adalah ketinting dan speedboat. Ketinting yang dipakai untuk mobilitas warga dari atau menuju Benjina disebut dengan ketinting ojek. Pada tahun 2013 tercatat ada 8 buah ketinting ojek di Benjina5. Rute yang dilayani ketinting tersebut adalah Benjina-Dobo dan sebaliknya. Waktu yang ditempuh untuk melakukan perjalanan tersebut ± 3 jam jika menggunakan ketinting. Biaya yang dibutuhkan untuk membayar ketinting sebesar 30 ribu

4

Berdasakan data dari Profil Desa Benjina Tahun 2013

rupiah. Waktu yang lebih cepat bisa dicapai jika menggunakan moda transportasi speedboat. Waktunya yang dibutuhkan hanya sekitar 1,5 jam saja. Karena lebih cepat dan lebih private, biaya untuk menyewa speedboat pun relatif mahal yaitu sekitar 1 juta sampai dengan 3 juta rupiah.

Benjina merupakan desa induk di Kecamatan Aru Tengah. Letaknya relatif mudah untuk dijangkau jika dibandingkan dengan desa lain di kecamatan yang sama. Walaupun demikian, mobilitas dari atau menuju Benjina sangat tergantung pada kondisi angin. Jika musim angin timur datang, hampir tidak ada halangan berarti dalam melakukan perjalanan laut. Namun ketika musim angin barat, mobilitas penduduk dari atau menuju Benjina akan terhambat, karenaombak besar dan tinggi disertai angin kencang menjadi penghalang utama. Lautan menjadi tidak aman untuk dilalui oleh kapal, ketinting, atau speedboat. Bukan hanya mobilitas itu, sektor perniagaan menjadi macet, dan yang terparah adalah pelayanan kesehatan yang dilakukan puskesmas keliling Benjina pun menjadi terhambat.

Ketika musim angin barat, puskesmas keliling akan kesulitan untuk mengunjungi desa-desa yang jangkauannya hanya bisa dilalui dengan moda transportasi laut. Mau tidak mau, desa-desa tersebut akan ‘terlantar’ tanpa pelayanan untuk beberapa lama. Padahal puskesmas keliling telah ditunggu oleh balita-balita yang membutuhkan pelayanan posyandu, dan masyarakat yang memerlukan perawatan serta obat-obatan. Kondisi geografis dan kondisi alamyang demikian menjadi tantangan dan hambatan tersendiri dalam hal pelayanan kesehatan.

Selain masalah tersebut di atas, pengadaan air bersih di Desa Benjina juga menjadi masalah yang pelik. Air bersih menjadi barang mahal dan sulit didapatkan. Pada saat DGS masih beroperasi di Benjina, perusahaan tersebut membangun saluran air yang bersumber pada bendungan buatan. Distribusi air tersebut dahulu diatur oleh

beberapa orang yang dipekerjakan DGS untuk membuka, menutup, dan mengontrol distribusi air yang akan dialirkan kepada masyarakat sesuai jadwal yang telah ditentukan. Setelah DGS dinyatakan pailit dan tutup pada sekitar tahun 2001 datanglah PT. PUSAKA BENJINA RESOURCES atau PBR yang akhirnya masuk dan menggantikan DGS pada tahun 2007.

Setelah DGS tidak beroperasi, kontrol dan distribusi air kepada masyarakat konon diserahkan kepada 3 orang. Pada akhirnya fungsi kontrol dan pendistribusian air hanya dipegang oleh 1 orang karena beberapa alasan. Karena hal tersebutlah terjadi kekacauan kontrol dan distribusi air di Benjina. dan terjadi pergeseran fungsi dari pemegang tugas pengontrol air tersebut. Pemegang tugas kontrol dan distributor air adalah laki-laki paruh baya yang diandalkan hampir semua masyarakat Benjina untuk mengurus dan memenuhi kebutuhan mereka akan air. Dengan imbalan sejumlah uang yang diberikan kepada petugas tersebut, biasanya air akan segera dialirkan kepada rumah yang membutuhkan.

Sulitnya mendapatkan air membuat masyarakat di Desa Benjina menganggap air sebagai barang mewah, sehingga masyarakat setempat jarang yang menguras bak penampungan yang mereka miliki. Dari hasil pengamatan, bak penampungan air banyak didapati jentik nyamuk karena jarang sekali dikuras.Bak air yang jarang dikuras

menjadi tempat yang cocok untuk berkembangbiaknya

nyamuk.Walaupun demikian, masyarakat penghuni rumah tampak tidak peduli karena bagi mereka uang terpenting adalah tetap ada air. Hal tersebut begitu ironis karena malaria masih menjadi ancaman terbesar di Benjina.

2.2.2 Kependudukan

Berdasarkan data Profil Desa Benjina Tahun 2013, diketahui jumlah penduduk Desa Benjina yang tercatat pada bulan April 2013 sejumlah 2686 jiwa. Terdiri dari 1403 laki-laki, dan 1283 perempuan,

atau sekitar 663 KK dengan jumlah anggota keluarga 2023 orang. Dari 2686 jiwa tersebut, 1761 (65%) jiwa memeluk agama Protestan, 712 jiwa (26%) memeluk agama Islam, 157 (6%) jiwa memeluk agama Katolik, dan sisanya 56 (3%) jiwa memeluk agama Pantekosta.

Dari seluruh jumlah yang tercatat tersebut, tidak diketahui data mengenai jumlah penduduk berdasar latar belakang etnis. Benjina adalah daerah yang heterogen. Ada banyak suku bangsa yang tinggal dan menetap di Benjina, antara lain Suku bangsa Aru, Kei, Tanimbar, Tepa, Ternate, Ambon, Jawa, Madura, Sunda, Bugis, Makassar, Minahasa, Tionghoa, Batak, dan Sumatera lainnya. Meskipun tidak diketahui berapa prosentase masing-masing suku bangsa tersebut, namun suku bangsa terbanyak yang mendiami Benjina justru suku bangsa Jawa. Salah satu penyebabnya adalah adanya para transmigran nelayan yang didatangkan dari Pulau Jawa pada sekitar tahun 1990.

Nomor Jenis Mata Pencaharian Jumlah

1 Petani Sendiri 733 orang (27%)

2 Nelayan 232 orang

3 Peternak 78 orang

4 Wirausaha 66 orang

5 Tukang kayu 31 orang

6 Tukang batu 18 orang

7 TNI/POLRI 25 orang

8 PNS 84 orang

9 Buruh industri 12 orang

10 Penjahit 15 orang 0

Sebagian besar masyarakat pendatang menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan dan perniagaan. Walaupun tidak ada data pasti mengenai hal tersebut, namun melalui observasi yang dilakukan dapat dilihat jika sebagian besar pelaku perniagaan dan perikanan adalah

suku bangsa pendatang. Berikut ini data tentang mata pencaharian masyarakat Desa Benjina yang diambil dari Data Profil Desa Benjina Tahun 2013.

Di desa Benjina sudah tersediasatu Puskesmas yang dapat diakses untuk membantu memenuhi kebutuhan mereka akan fasilitas kesehatan. Walaupun fasilitas layanan kesehatan tersebut belum mampu berfungsi secara maksimal karena masih terkendala sarana, prasarana, serta letak geografis, namun keberadaannya diperlukan. Penyakit yang diderita masyarakat Desa Benjina secara garis besar dirangkum menjadi 10 penyakit teratas, yang berhasil dirangkum pada bulan Maret 2015 oleh Puskesmas Benjina. Berikut data yang diperoleh.

TABEL 2.1.

10 Penyakit Teratas Di Puskesmas Perawatan Benjina Bulan Maret 2015

No Jenis Penyakit Jumlah

1 Penyakit Lain Pada Saluran Pernafasan Atas 147

2 Infeksi Penyakit Usus Yang Lain 109

3 Penyakit Pada Sistim Otot dan Jaringan 100

4 Infeksi Akut Pada Saluran Pernafasan Bag. Atas

93

5 Diare (termasuk tersangka kolera) 35

6 Penyakit Kardiovaskuler 32

7 Kecelakaan dan Rudapaksa 28

8 Karies Gigi 27

9 Anemia 27

10 Penyakit Kulit Karena Jamur 23

2.2.3 Pola Tempat Tinggal

Masyarakat Benjina yang heterogen karena terdiri dari berbagai suku bangsa memiliki karakteristik yang berbeda antara suku bangsa dengan suku bangsa lainnya. Sebagai contoh, masyarakat yang tinggal

di RKI.Rumah yang mereka tinggali yang berada tepat di pinggir atau di atas pantai adalah rumah kayu dengan model panggung.Sanitasi untuk pembuangan tinja berupa jamban cemplung yang langsung dibuang ke bawah, tanpa ada tempat penampungan khusus untuk tinja.Ketika air laut surut, tinja terlihat menumpuk dan tidak terbawa air laut. Hampir semua rumah tinggal dan rumah karaoke memiliki jamban seperti ini.

Bentuk jamban sangat sederhana, hanya berupa lubang berbentuk kotak yang besarnya sekitar 10 cm x 10 cm saja. Jamban ini menyatu dengan rumah. Letaknya biasanya di bagian belakang rumah. Keuntungan dari jamban seperti ini adalah kepraktisan, karena tidak membutuhkan biaya untuk membuat penampungan tinja, dan tentu saja hemat air karena tidak dibutuhkan air berlebih untuk menyiram tinja. Bagi masyarakat RKI yang rumahnya tidak berada di tepi atau di atas pantai, biasanya mereka akan membuat jamban sederhana yang diletakkan di tepi pantai.

Jamban tersebut berupa bilik yang ditutup kain atau rumbia, beralaskan papan dan ditumpu oleh kayu-kayu yang ditancapkan di tanah atau di atas batu. Sama halnya dengan jamban di atas, jamban bilik ini juga mengandalkan air laut untuk menyapu dan membawa tinja ke pantai. Sayangnya jika air laut surut, tinja akan menumpuk dan meninggalkan bau yang mengganggu indra penciuman.

Masyarakat di seklitar Benjina Trans dan Benjina Kampung pun banyak yang memiliki jamban cemplung yang terletak di tepi pantai. Namun tidak sedikit juga yang memiliki jamban leher angsa, walaupun jamban tersebut tidak selalu dapat dibersihkan setelah dipakai, dikarenakan sulitnya mendapatkan air untuk menyiram tinja. Akibatnya peneliti pernah menemukan jamban leher angsa milik beberapa masyarakat yang penuh dengan kotoran manusia, namun tetap digunakan.

2.3 RELIGI

2.3.1 Kosmologi

Benjina dihuni oleh masyarakat yang sebagian besar menganut agama Kristen Protestan. Pada umumnya agama ini dianut oleh suku bangsa Aru sebagai orang asli Benjina, dan suku bangsa lain yang juga berasal dari Maluku. Sebelum agama Kristen masuk, orang asli Benjina masih mengenal adanya budaya menyembah leluhur, yang mereka sebut dengan tete nenek moyang. Secara garis besar untuk suku bangsa yang berasal dari Maluku seperti Aru, Kei, Tanimbar, Tepa, Ternate, memiliki persamaan dalam memandang adanya leluhur, tete nenek moyang atau disebut juga datuk.

Khusus untuk orang asli Aru, kepercayaan terhadap tete nenek moyang pada masa kini adalah bentuk rasa hormatnya kepada leluhur. Namun posisi leluhur tetap berada di bawah keberadaan agama. Jika dahulu tete nenek moyang adalah segala-galanya, maka kini hal pertama yang dihormati, dicintai, disembah, dan dipercaya adalah Tuhan. Hal kedua baru tete nenek moyang.Pergeseran nilai kepercayaan tersebut dipengaruhi oleh datangnya misionaris Kristen asal Belanda.

Agama Kristen memang berpengaruh besar terhadap pergeseran kepercayaan masyarakat Aru pada masa sekarang ini. Agama Kristen datang pertama kali di tanah Aru pada sekitar tahun 1827, ditandai dengan masuknya Injil di Kongan Negeri Lama pada oleh Penginjil David Marthens yang merupakan penginjil berkebangsaan Belanda. Penginjilan ditandai dengan adanya prosesi pembaptisan masyarakat lokal yang dilakukan oleh David Marthens6.

Kristenisasi yang berlangsung damai dan tanpa adanya paksaan membuat agama Kristen masuk dan diterima oleh masyarakat Kongan yang kelak menjadi cikal bakal Benjina. Sejak saat itu juga banyak

6Berdasarkan catatan Data Sejarah Gereja Benjina yang ditulis oleh Pendeta Nus Oraile

praktek-praktek adat serta kepercayaan lokal yang tidak sesuai dengan agama Kristen beserta peninggalannya dilenyapkan oleh pihak gereja, karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Kristen yang saat itu memang memandang adat sebagai praktek yang menyalahi agama. Berikut penjelasan dari Pendeta Nus Oraile.

“sudah dimusnahkan. Itu berhala yang disembah jadi perlu dimusnahkan. Tapi sebenarnya itu punya nilai-nilai sejarah, tapi itu tidak ada lagi bersamaan dengan penjajahan. Semua sudah hilang. Ada orang-orang tertentu yang secara tertutup dia ada itu sembah-sembah itu yang dianggap punya kekuatan magis”

Agama Kristen menanamkan pemahaman bahwa di atas segala-galanya, Tuhan adalah yang pertama disembah dan dipuja, baru kemudian menghormati leluhur, tete nenek moyang atau datuk. Hal tersebut akan terlihat pada ritual-ritual adat yang kini menyebut Tuhan terlebih dahulu, baru setelah itu menyebut leluhur. Pendeta Nus Oraile kembali memberikan penjelasan.

“Istilah leluhur disini, leluhur itu disebut tete nenek moyang. Umumnya orang Maluku menyebutnya begitu. Jadi sebelum ada agama, tete nenek moyang disembah, kalau sering melakukan penyembahan terhadap leluhur dia akan mendapatkan sesuatu yang baik, usahanya juga baik. Tapi kalau dia tidak taat, melanggar ketentuan-ketentuan, nilai-nilai dia akan mendapatkan kutukan. Jadi kalau ada upacara-upacara adat sering diucapkan pertama Tuhan, kedua datuk. Datuk itu sebutan untuk leluhur”

Istilah datuk setahu peneliti adalah istilah yang lekat dengan rumpun Melayu di Indonesia, misalnya suku bangsa Minang dan beberapa suku bangsa yang berasal dari Sumatera. Datuk dalam bahasa Melayu secara umum dapat berarti kakek, namun dalam bahasa Minang datuk yang dilafalkan datuak adalah gelar adat yang terhormat, sama halnya di Malaysia datuk atau dato juga merupakan

gelar kehormatan dari Sultan, di Moro Filipina Selatan, datuk adalah gelar pimpinan klan atau marga muslim disana. Datuk sendiri berasal dari bahasa sansekerta yang berarti yang mulia atau sama dengan raja7.

Dimungkinkan istilah datuk adalah pengaruh dari budaya suku bangsa lain yang sudah menjalin hubungan dagang dengan Suku Bangsa Aru sejak lama. Sudah banyak yang tahu jika mutiara dari Aru adalah salah satu mutiara terbaik di dunia. Perdagangan mutiara konon sudah terjadi sejak sebelum Belanda masuk. Mutiara diperdagangkan atau ditukarkan dengan minuman keras atau dengan mangkuk-mangkuk keramik dari Cina. Bukan hanya dengan bangsa Cina, hubungan dagang juga terjalin dengan suku bangsa lain di nusantara. Kemungkinan besar sebutan datuk terpengaruh oleh pedagang dari luar Aru tersebut.

Kembali ke pembahasan sebelumnya yaitu tentang leluhur yang dihormati dan dipuja. Sebelum Kristen masuk berbagai upacara atau

ritual persembahan dilakukan untuk menyembah leluhur.

Penyembahan tersebut bertujuan untuk meminta berkah,

keselamatan, atau sembuh dari suatu sakit atau penyakit yang disebabkan oleh guna-guna. Suku Bangsa Aru atau suku bangsa lain yang juga berasal dari Maluku yang tinggal di Benjina mengenal adanya suanggi. Orang Aru sendiri menganggap suanggi sebagai mahkluk jahat yang gentayangan dan bisa memakan manusia dan membuat sakit.

Sakit karena suanggi bisa disembuhkan melalui serangkaian rirual-ritual adat yang dipimpin oleh tetua adat. Ada juga istilah lain yang digunakan untuk menyebut sakit atau guna-guna yang disebabkan oleh suanggi, yaitu manakang. Tidak diketahui dari bahasa mana

7

istilah tersebut berasal. Secara garis besar manakang adalah istilah untuk menyebut praktek guna-guna, sedangkan media atau pembawa guna-guna tersebut adalah suanggi. Salah seorang informan TA, pernah mengalami sakit yang diakuinya disebabkan oleh suanggi.

Laki-laki yang berusia 80 tahun tersebut yakin jika suanggi dikirim untuk membuatnya sakit. Si pengirim sendiri adalah orang yang merasa iri hati kepadanya karena TA memperoleh posisi sebagai kepala tukang di kampungnya. Sakit yang dia rasakan berupa hosa atau sesak nafas secara tiba-tiba setelah pulang bekerja. Saat itu TA langsung berpikir untuk menyembuhkan dirinya sendiri dengan ritual adat. Dia menyiapkan sirih, pinang, uang gobeng8dan tembakau yang diletakkan di dalam piring untuk sesaji atau syarat dari ritual tersebut. Menariknya meskipun ritual yang dipakai adalah ritual adat, namun dia juga dibantu didoakan oleh seorang pendeta dengan doa Kristen.

Suanggi menjadi momok yang menakutkan dalam kehidupan masyarakat Benjina. Bukan hanya karena dia dianggap mampu membunuh manusia dan membuat sakit, tetapi konon sosoknya tidak mampu dikenali secara kasat mata. Suanggi bisa berwujud manusia, namun kadang juga bisa berwujud anjing, babi, atau kucing. Ada satu cerita dari masa Kristen belum masuk ke Benjina, yang menyebut jika pada masa lampau ada beberapa leluhur atau tete nenek moyang yang memiliki tradisi untuk menyembah berhala dan juga memuja suanggi. Konon keturunan dari salah satu leluhur tersebut masih ada sampai sekarang ini di Benjina dan tetap enggan memeluk Kristen.

Sebenarnya bukan hanya Suku Bangsa Aru saja yang meyakini adanya suanggi. Suku bangsa lain yang ada di Benjina banyak juga yang mempercayai keberadaan suanggi, terutama suku bangsa yang juga berasal dari Maluku, seperti Kei, Tepa, Tanimbar, Ternate dll. Suanggi yang dipercaya bersifat jahat, tidak jarang dipersalahkan sebagai penyebab dari sakit atau penyakit. Maka usaha untuk

8

menjauhkan diri agar tidak terkena suanggi sering dilakukan. Misalnya saja dengan tidak keluar tengah malam, atau melarang anak-anak tidak keluar pada malam jumat.

2.4 Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan

Suku bangsa Aru yang mendiami Benjina hidup berdampingan dengan suku bangsa lain yang datang dan menetap di kepulauan tersebut. Keragaman suku bangsa di Benjina memang menjadi potensi besar yang harus dijaga.Walaupun riset etnografi yang dilakukan di Benjina tidak terbatas pada pembahasan 1 suku bangsa saja, namun penting juga untuk mengetahui budaya suku bangsa asli Benjina yaitu Suku Bangsa Aru. Untuk itu pembahasan pada sub Organisasi Sosial, pada sub bab sistem kekerabatan dan sub bab sistem kemasyarakatan serta politik lokal dikaitkan dengan suku bangsa Aru.

2.4.1 Sistem Kekerabatan

Benjina adalah rumah bagi berbagai macam suku bangsa. Sulit untuk melihat semua gambaran dari sistem kekerabatan dari masing-masing suku. Untuk itu dalam tulisan ini akan dibahas mengenai sistem kekerabatan dari Suku Bangsa Aru sebagai orang asli Benjina. Suku Bangsa Aru atau yang sering disebut masyarakat dengan sebutan Orang Aru menganut sistem kekerabatan patrilineal yaitu garis keturunan ditarik dari pihak laki-laki dan laki-laki lah yang meneruskan marga dari keluarganya. Karena itu pula, hak untuk pewarisan harta pada suku bangsa Aru di Benjina jatuh ke tangan laki-laki, terkecuali jika benar-benar tidak ada anak laki-laki lagi di keluarga tersebut. Jumlah harta yang diwariskan tidak diberikan sama rata kepada semua anak. Anak tertua akan mendapat jumlah yang lebih banyak daripada anak lain yang lebih muda. Selain mendapat jumlah warisan yang lebih besar, anak laki-laki tertua juga berhak mendapatkan pewarisan gelar dari ayahnya, misalnya untuk gelar tetua adat atau tuan tanah.

Jika anak dari tetua adat atau tuan tanah ternyata tidak ada yang berjenis kelamin laki-laki, maka yang berhak mendapatkan pewarisan gelar tersebut adalah adik laki-laki dari tetua adat atau tuan tanah. Hal tersebut dikarenakan anak perempuan tidak berhak memangku gelar tetua adat atau tuan tanah, kecuali jika benar-benar sudah tidak ada laki-laki sama sekali. Dalam budaya suku bangsa Aru di Benjina, perkawinan dengan orang yang berasal dari marga yang sama adalah sesuatu yang dilarang. Maka dari itu dianjurkan untuk melakukan perkawinan dengan marga lain. Perempuan yang menikah dan mengikuti marga dari suami dianggap sudah keluar dari marga ayahnya. Walaupun begitu si perempuan masih diperbolehkan untuk tinggal bersama dengan keluarganya meskipun sudah menikah. Tidak ada larangan atau tabu jika si perempuan dan suami yang sudah dinikahinya masih tinggal satu atap dengan orangtua si perempuan. Hal ini dialami oleh FM (40 tahun), seorang laki-laki Aru yang tinggal bersama dengan menantu laki-lakinya.

Dahulu hal demikian dianggap tidak pantas, tetapi sekarang ini semua sudah dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Sebagaimana dikemukakan FM;“ya kalau dulu tidak boleh, tapi kalau sekarang ya tidak apa-apa. Kan sekarang sekarang sudah mulai fleksibel to”.

Selain pola tempat tinggal yang tidak harus mengikuti suami, ada satu lagi perubahan berarti yang terjadi pada suku bangsa Aru, yaitu tentang pemilihan jodoh yang tidak terikat pada suku yang sama.

Pernikahan atau perjodohan laki-laki dan perempuan Aru pada masa lalu hanya dibatasi dengan sesama orang Aru, tetapi pada masa sekarang ini hal tersebut tidak berlaku lagi. Pernikahan campur atau menikah di luar dengan suku bangsa Aru memang sudah lama terjadi, namun hal tersebut masih dianggap tabu. Hingga DGS datang, pernikahan campur menjadi hal yang biasa dilakukan dan tidak lagi dianggap sebagai hal yang tabu oleh suku bangsa Aru itu sendiri. Pernikahan campur terjadi antara suku bangsa Aru dengan suku bangsa pendatang seperti Tepa, Kei, Tanimbar, Jawa, atau Bugis.

Pembagian peran pada keluarga terlihat pada keseharian orang Aru. Perempuan akan melakukan tugas domestik atau tugas rumahtangga seperti memasak atau mengurus anak. Namun ada juga dari mereka yang melakukan pekerjaan yang menghasilkan uang seperti berdagang. Selama peneliti berada di Benjina, banyak ditemukan kaum perempuan dari Suku Bangsa Aru atau suku yang lainnya yang juga berprofesi sebagai pedagang sekaligus ibu

Dokumen terkait