Jumlah Kasus Kecelakaan Kerja PT. Dirgantara Indonesia
HASIL PENELITIAN
B. Cabang Execution LTA
Cabang ini mempertimbangkan hal-hal yang memengaruhi kualitas analisis risiko. Terdapat 5 cabang yang mempengaruhi kualitas analisis risiko, yaitu:
1. Cabang Time LTA
Pertimbangan waktu diperlukan untuk melakukan analisis risiko. Dalam melaksanakan risk assessment harus dilakukan sebelum dan selama proses pekerjaan berjalan. Sebelum bekerja karena untuk melindungi pekerja sebelum dampak buruk terjadi. Selanjutnya selama proses kerja terus dilakukan peninjauan terutama apabila ada perubahan.
Berikut ini perbandingan ketentuan peninjauan risk assessment dalam Peraturan Pemerintah no. 50 tahun 2012 tentang penerapan SMK3 pasal 15 ayat 4 dengan prosedur risk assessment PT. Dirgantara Indonesia Tahun 2009:
Tabel 6.1 Perbandingan Ketentuan Peninjauan Risk Assessment
No. Menurut PP No. 50 Tahun 2012
Prosedur Risk Assessment PT.
Dirgantara Indonesia
1 Terjadi perubahan peraturan perundang-undangan V 2 Adanya tuntutan dari pihak yang terkait dan pasar X 3 Adanya perubahan produk dan kegiatan
perusahaan
V
4 Terjadi perubahan struktur organisasi perusahaan X 5 Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, termasuk epidemiologi
X
6 Adanya hasil kajian kecelakaan di tempat kerja V
7 Adanya pelaporan V
Berdasarkan tabel 6.1, PT. Dirgantara Indonesia dalam menentukan pelaksanaan risk assessment tidak melihat pada tuntutan pihak terkait dan pasar, perubahan struktur organisasi perusahaan, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk epidemiologi. Padahal hal-hal tersebut juga perlu dilihat untuk menentukan waktu pelaksanaan risk assessment. Adanya tuntutan dari pihak yang terkait dan pasar perlu dipertimbangkan demi bersaing dalam pasar global sesuai visi perusahaan, karena saat ini pasar banyak yang meminta perusahaan untuk menjaga keselamatan dan kesehatan pekerja.
Kemudian adanya perubahan struktur organisasi perusahaan perlu dipertimbangkan terkait pembagian tugas dan tanggung jawab personil, sehingga tidak tumpang tindih. Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga perlu dipertimbangkan, misalnya untuk perkembangan IPTEK dapat dimanfaatkan untuk upaya pengendalian yang lebih baik.
Pemantauan dan peninjauan ulang perlu dilakukan untuk memonitor efektifitas. Pemantauan perlu dilakukan untuk mengetahui perubahan-perubahan yang bisa terjadi. Perubahan-perubahan tersebut kemudian perlu ditelaah ulang untuk selanjutnya dilakukan perbaikan (AS/NZS, 2004).
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber, diketahui bahwa waktu pelaksanaan risk assessment tidak sesuai
jadwal berkala karena keterbatasan personil dan waktu. Pelaksanaan diprioritaskan ketika ada perubahan proses, material, mesin, serta perpindahan lokasi. Namun berdasarkan pengamatan, terdapat 3 mesin baru yang datang di Departemen Machining, namun pihak terkait tidak segera melaporkan kepada tim K3LH untuk dilaksanakan analisis risiko.
Hal tersebut membuktikan bahwa peninjauan ulang risk assessment bermasalah. Dampaknya adalah risk assessment tidak mengikuti perkembangan atau perubahan-perubahan yang ada, padahal perkembangan atau perubahan-perubahan yang ada akan sangat mempengaruhi risiko yang ada. Selain itu, risiko dan pengendaliannya perlu dipantau untuk menjamin level dan prioritas risiko tidak mengalami perubahan, oleh karena itu peninjauan ulang perlu dilakukan untuk menjamin bahwa manajemen risiko sesuai dengan tujuan yang diharapkan (AS/NZS, 2004).
Selanjutnya untuk lama pelaksanaan dikatakan cukup, hanya sekitar 4-8 jam. Waktu tersebut dikatakan cukup karena pelaksana sudah memahami tahapan pekerjaan yang biasa dilakukan. Dengan pemahaman baik tentang pekerjaan, maka tidak perlu waktu lama untuk mengidentifikasi serta menganalisis risiko yang ada.
Berdasarkan hasil penelitian, cabang Time bermasalah. Hal tersebut karena pelaksanaan risk assessment tidak sesuai jadwal berkala karena keterbatasan personil dan waktu. Untuk itu, sebaiknya PT. Dirgantara Indonesia melaksanakan risk assessment sesuai jadwal berkala yang telah dibuat, sehingga tidak bergantung pada laporan.
2. Cabang Budget LTA
Pertimbangan anggaran yang memadai diperlukan untuk melakukan analisis risiko. Peranan anggaran pada suatu perusahaan merupakan alat untuk membantu manajemen dalam pelaksanaan, fungsi perencanaan, koordinasi, pengawasan dan juga sebagai pedoman kerja dalam menjalankan perusahaan untuk tujuan yang telah ditetapkan (Supriyono, 1990).
Uang sendiri merupakan alat (tools) yang penting untuk mencapai tujuan karena segala sesuatu harus diperhitungkan secara rasional. Hal ini akan berhubungan dengan berapa uang yang harus disediakan untuk membiayai gaji tenaga kerja, alat-alat yang dibutuhkan dan harus dibeli serta berapa hasil yang akan dicapai dari suatu organisasi (Supriyono, 1990).
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa anggaran dana analisis risiko masuk ke dalam anggaran program K3LH secara umum, baik di Departemen K3LH maupun di Divisi
terkait. Hal tersebut sesuai dengan SK Direksi PT. Dirgantara Indonesia tentang tanggung jawab fungsi K3LH dan unit organisasi dalam melaksanakan SMK3, bahwa unit organisasi yang bertugas menyusun anggaran K3LH bagi unit organisasinya. Selain itu, pada pedoman kepemimpinan manajemen dan partisipasi karyawan dalam menerapkan SMK3LH PT. Dirgantara Indonesia, bahwa kepala divisi yang bertugas menyediakan anggaran.
Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa divisi terkait telah menganggarkan dana untuk upaya keselamatan termasuk risk assessment. Kemudian dana dalam pelaksanaan risk assessment digunakan untuk print form dan perbanyak prosedur. Pada dokumen Rencana Keuangan Anggaran Perusahaan (RKAP) Departemen K3LH PT. Dirgantara Indonesia tahun 2014, membuktikan bahwa terdapat pos anggaran untuk membantu manajemen dalam pelaksanaan risk assessment, yaitu terkait print form masuk ke dalam anggaran biaya cetak dan fotocopy, serta perbanyak prosedur masuk ke dalam anggaran administrasi dan dokumentasi.
Anggaran dikatakan cukup karena dapat mendukung berlangsungnya program. Dengan anggaran yang cukup, maka program dapat dijalankan. Anggaran untuk risk assessment digunakan untuk membiayai gaji tenaga kerja dan menyediakan
alat-alat yang dibutuhkan. Namun, gaji tenaga kerja tidak terlalu dibutuhkan apabila pelaksana dari internal perusahaan. Dengan demikian, anggaran untuk risk assessment tidak memerlukan alokasi yang banyak.
Berdasarkan hasil penelitian, cabang Budget tidak bermasalah. Hal tersebut karena anggaran dana tersedia dalam anggaran program K3LH secara umum, serta dikatakan cukup karena dapat mendukung berlangsungnya program.
3. Cabang Scope LTA
Ruang lingkup dan detail dari analisis risiko harus mencakup semua risiko yang terkait dengan pekerjaan/ proses tersebut. Risk Assessment harus dilakukan di seluruh aktifitas usaha, termasuk aktifitas rutin dan non rutin, baik pekerjaan tersebut dilakukan oleh karyawan langsung maupun kontrak, suplier dan kontraktor, serta aktifitas fasilitas atau personal yang masuk ke dalam tempat kerja (AS/NZS, 2004).
Pada prosedur risk assessment PT. Dirgantara Indonesia, dikatakan bahwa pelaksanaan risk assessment dilakukan di seluruh kegiatan produksi dan pendukungnya. Namun berdasarkan hasil wawancara, lingkup lokasi pelaksanaan hanya berdasarkan permintaan.
Selain itu, pada form hasil risk assessment di Direktorat Produksi PT. Dirgantara Indonesia tidak dituliskan keterangan secara rinci terkait lokasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tidak semua lokasi dilaksanakan risk assessment karena pelaksanaan hanya berdasarkan proses. Padahal proses di unit tertentu bisa jadi memiliki potensi bahaya dan risiko yang berbeda dibandingkan proses di unit lain. Dampaknya adalah tidak terdeteksinya potensi bahaya dan risiko tersebut, sehingga pengendaliannya pun tidak dilakukan.
Selanjutnya risiko adalah kemungkinan suatu kejadian yang akan menimbulkan dampak pada suatu objek (Cross, 1998). Untuk itu, seluruh risiko harus dianalisis. Pada prosedur risk assessment PT. Dirgantara Indonesia dikatakan bahwa tipe risiko yang dianalisis adalah risiko terhadap keselamatan, kesehatan dan lingkungan. Namun, pada form hasil risk assessment PT. Dirgantara Indonesia, risiko yang dianalisis hanya risiko keselamatan dan kesehatan. Dampaknya adalah tidak terdeteksinya risiko lingkungan, sehingga tidak ada upaya mencegah pencemaran lingkungan
Jadi lingkup lokasi pelaksanaan analisis risiko bermasalah. Selain itu, tipe risiko juga belum memadai. Dengan demikian, cabang Scope bermasalah. Untuk itu, sebaiknya Direktorat Produksi PT. Dirgantara Indonesia melaksanakan risk
assessment pada masing-masing unit, dengan mengutamakan lokasi dengan tingkat risiko tertinggi terlebih dahulu, karena dalam melaksanakan risk assessment tidak dapat dipilih secara acak, pekerjaan dengan pengalaman terburuk seharusnya dianalisis terlebih dahulu (Soeripto, 1997). Selain itu, risiko lingkungan yang ada harus dianalisis dengan baik.
4. Cabang Analytical Skill LTA
Pengalaman dan keterampilan pelaksana yang memadai diperlukan untuk menyelesaikan penilaian risiko. Dalam melaksanakan identifikasi, penilaian dan pengendalian risiko harus dilakukan oleh pekerja yang mempunyai kompetensi yang ditetapkan. Orang yang menganalisis risiko harus memiliki pemahaman yang baik tentang pekerjaan dan pengetahuan untuk menemukan bahaya. Dengan melibatkan pekerja akan membantu meminimalkan kelalaian, memastikan kualitas analisis dan memperdalam analisis untuk solusi (AS/NZS, 2004).
Berdasarkan prosedur risk assessment PT. Dirgantara Indonesia, pelaksana risk assessment yaitu fungsi sentral K3LH dan unit organisasi terkait. K3LH dianggap memiliki pemahaman untuk menemukan bahaya, sedangkan unit organisasi terkait dianggap memiliki pemahaman tentang
pekerjaan. Pada pedoman kepemimpinan manajemen dan partisipasi karyawan dalam menerapkan SMK3LH PT. Dirgantara Indonesia, dijelaskan bahwa supervisor bertugas melakukan identifikasi bahaya, upaya pencegahan dan penanggulangan kondisi tempat kerja dan/atau pekerjaan yang membahayakan dan dapat menimbulkan risiko kecelakaan kerja, kebakaran, peledakan, penyakit akibat kerja dan pencemaran lingkungan. Dengan demikian, kualitas analisis risiko dapat dipastikan.
Departemen K3LH merupakan salah satu fungsi yang bertanggung jawab sebagai pelaksana risk assessment, namun untuk personal yang melaksanakan tidak ditentukan. Berdasarkan hasil penelitian, pelaksana tidak ditetapkan dengan surat tugas atau surat ketetapan. Seluruh staf harus siap dan mampu, yang penting sudah membaca dan mempelajari prosedur. Padahal tidak semua staf K3LH berlatar belakang K3 dan/atau memiliki sertifikat pelatihan risk assessment.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah no. 50 tahun 2012 tentang penerapan SMK3 pasal 10 ayat 3, yang menyatakan bahwa pelaksana harus memiliki kompetensi kerja yang dibuktikan dengan sertifikat serta kewenangan di bidang K3, yang dibuktikan dengan surat izin kerja/ operasi dan/atau surat penunjukan dari instansi. Dampaknya adalah
ketidakpahaman pelaksanaan risk assessment mulai dari tahapan pelaksanaan sampai metode yang digunakan.
Jadi berdasarkan analisis, pengalaman dan keterampilan pelaksana belum memadai. Dengan demikian, cabang Analytical Skill bermasalah. Untuk itu, sebaiknya PT. Dirgantara Indonesia menetapkan pelaksana secara struktural dengan deskripsi kerja yang jelas, serta dibekali dengan pelatihan khusus.
5. Cabang Hazard Selection LTA
Cabang ini menganggap bahaya yang tidak dicantumkan dapat memicu masalah. Temuan bahaya sangat penting untuk kecukupan analisis risiko. Terdapat 2 cabang yang mempengaruhi, yaitu:
a. Cabang Hazard Identification LTA
Kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasi bahaya perlu dipertimbangkan. Pada lampiran I tentang pedoman penerapan SMK3 Peraturan Pemerintah no. 50 tahun 2012, menyatakan bahwa identifikasi potensi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko harus dipertimbangkan pada saat merumuskan rencana.
Berdasarkan hasil penelitian, PT. Dirgantara Indonesia memiliki prosedur identifikasi aspek K3LH serta formnya, yang dapat memandu pelaksana dalam mengidentifikasi
bahaya. Sumber bahaya yang menyebabkan kecelakaan atau kejadian yang tidak diinginkan yang mengakibatkan ataupun dapat berdampak cidera pada manusia, kerusakan properti, terhentinya proses produksi, penurunan kesehatan ataupun kerusakan lingkungan (Diberardinis, 1999). Namun dalam form identifikasi aspek K3LH, hanya mengidentifikasi bahaya terhadap manusia, alat, dan lingkungan.
Hal tersebut membuktikan bahwa PT. Dirgantara Indonesia tidak melihat bahaya terhadap terhentinya proses produksi. Bahaya terhadap proses produksi penting untuk diidentifikasi, misalnya berhentinya proses produksi sehingga menimbulkan kerugian perusahaan dalam hal terhambatnya produk yang dihasilkan, kemudian terganggunya proses produksi sehingga produk yang dihasilkan tidak sesuai atau mengalami kecacatan. Dampaknya adalah bahaya terhadap proses produksi tidak teridentifikasi, sehingga tidak ada upaya untuk mencegah timbulnya kerugian tersebut.
Kemudian pada prosedur risk assessment PT. Dirgantara Indonesia, data pendukung pelaksanaan identifikasi yaitu data/ informasi kegiatan kerja atau proses, data hasil inspeksi, peraturan, dan MSDS. Seluruh data tersebut digunakan untuk mendukung identifikasi bahaya,
sehingga dapat meminimalkan kelalaian dan memperkuat hasil identifikasi.
Berdasarkan hasil penelitian, cabang Hazard Identification bermasalah. Hal tersebut karena PT. Dirgantara Indonesia tidak melihat bahaya terhadap terhentinya proses produksi. Untuk itu, sebaiknya PT. Dirgantara Indonesia melakukan revisi form identifikasi aspek K3LH, yaitu dengan menambahkan kolom bahaya terhadap proses produksi.
b. Cabang Hazard Prioritisation LTA
Metode yang digunakan perlu dipertimbangkan dalam memprioritaskan bahaya yang telah diidentifikasi. Berdasarkan prosedur risk assessment, PT. Dirgantara Indonesia dalam melaksanakan risk assessment menggunakan metode analisis kualitatif. Dalam metode analisis kualitatif terdapat 2 unsur yang dijadikan pertimbangan, yaitu konsekuensi (risk severity) dan kemungkinan (risk probability). Kelebihan menggunakan analisis kualitatif adalah mudah dimengerti, tidak menggunakan sumber daya yang mahal, dan dapat digunakan ketika tidak tersedia data yang baik (Cross, 1998). Berdasarkan kelebihan tersebut, maka PT. Dirgantara Indonesia telah sesuai memilih metode ini. Hal ini dikarenakan kondisi PT. Dirgantara Indonesia saat
ini yang minim sumber daya, seperti personil, waktu, dana, dan lain-lain.
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah no. 50 tahun 2012 tentang penerapan SMK3 pasal 13 ayat 1, bahwa prosedur informasi harus memberikan jaminan bahwa informasi K3 dikomunikasikan. Namun dalam pelaksanaan risk assessment terdapat ketidaksesuaian dengan prosedur, yaitu penentuan kategori analisis risiko (konsekuensi dan kemungkinan). Dampaknya adalah ketidaksesuaian penentuan kategori risiko sebagai dasar penentuan pengendalian. Hal ini kemungkinan terjadi karena tidak ada sosialisasi prosedur risk assessment.
Berdasarkan hasil penelitian, cabang Hazard Prioritisation bermasalah. Hal tersebut karena terdapat ketidaksesuaian penentuan kategori analisis risiko (konsekuensi dan kemungkinan) antara prosedur serta form hasil risk assessment. Untuk itu, sebaiknya PT. Dirgantara Indonesia menetapkan pengkategorian yang akan secara konsisten digunakan, kemudian disosialisasikan.
6.4.2 Cabang Recommended Risk Controls LTA A.Cabang Clarity LTA
Rekomendasi pengendalian harus cukup jelas sehingga mudah dipahami oleh penggunanya. Pengendalian adalah proses, peraturan, alat, pelaksanaan atau tindakan yang berfungsi untuk meminimalisasi efek negatif atau meningkatkan peluang positif (AS/NZS, 2004).
Komunikasi adalah salah satu cara untuk membuat orang lain paham. Komunikasi adalah proses pemindahan pengertian dalam bentuk gagasan, informasi dari seseorang ke orang lain, komunikasi sangat penting untuk berjalannya suatu organisasi (Handoko, 2002).
Peraturan Pemerintah no. 50 tahun 2012 tentang penerapan SMK3 pasal 13 ayat 1, menjelaskan bahwa prosedur informasi harus memberikan jaminan bahwa informasi K3 dikomunikasikan. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa rekomendasi pengendalian tercantum dalam form hasil risk assessment yang disebarluaskan ke unit. Hal ini sesuai pada prosedur risk assessment PT. Dirgantara Indonesia, bahwa hasil risk assessment harus disosialisasikan ke manajemen, operator, dan fungsi pendukung.
Penyebarluasan form hasil risk assessment PT. Dirgantara Indonesia dibuktikan dengan tanda bukti penerimaan dokumen
serta penanggung jawab dokumen. Hal tersebut merupakan salah satu upaya mengkomunikasikan rekomendasi pengendalian.
Selain itu, pekerja juga diberi arahan oleh atasan. Hal tersebut adalah upaya untuk membuat pekerja memahami terkait pengendalian yang direkomendasikan. Namun, pekerja masih bingung dengan cara pakai serta perawatan dari pengendalian yang berupa peralatan. Hal ini membuktikan bahwa komunikasi yang diupayakan belum maksimal, padahal komunikasi tentang cara pakai yang benar dan perawatan dari pengendalian yang berupa peralatan sangat penting untuk memudahkan melakukan pengendaliannya. Dampaknya adalah tidak pahamnya pekerja dalam melakukan pengendalian yang direkomendasikan.
Berdasarkan hasil penelitian, cabang Clarity bermasalah. Hal tersebut karena pekerja masih bingung dengan cara pakai serta perawatan dari pengendalian yang ada. Untuk itu, sebaiknya tim K3LH PT. Dirgantara Indonesia memberikan informasi lengkap melalui safety briefing mengenai pengendalian yang direkomendasikan, misalnya untuk pengendalian yang berupa peralatan dengan memberikan informasi cara pakai serta perawatannya.