• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. METODE PENELITIAN

3.5. Cara Menganalisis Data

Analisis statistik untuk mengolah data yang diperoleh akan menggunakan program statistik SPSS pada komputer, yang akan dilakukan dengan 2 macam analisis data, yaitu analisis univariat dan bivariat.

1. Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan mengetahui jumlah dan persentase responden yang memiliki risiko tinggi & rendah OSA berdasarkan interpretasi dari kuesioner Berlin.

Analisis univariat juga dilakukan untuk menggambarkan karakteristik demografi sehingga akan tampak distribusi jenis kelamin, umur, IMT dan karakteristik lainnya.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui gejala apa saja yang terdapat pada responden dengan risiko tinggi OSA dan juga hubungan karakteristik demografi dengan risiko mengalami OSA. Uji bivariat yang digunakan adalah uji Chi Square (X2), dilakukan menggunakan SPSS dengan derajat kemaknaan (α) = 0,05 atau interval kepercayaan 95%.

Proses pengolahan data menggunakan program komputer ini terdiri beberapa langkah :

1. Editing : Melakukan pengecekan apakah semua data yang diperoleh sudah lengkap, jelas dan relevan.

2. Coding : Mengonversikan (menerjemahkan) data yang dikumpulkan selama penelitian menjadi simbol yang cocok untuk keperluan analisis.

3. Entry : Memasukkan data ke dalam komputer.

4. Verification : Melakukan pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah dimasukkan kedalam computer.

5. Output komputer : Hasil yang telah dianalisis oleh komputer kemudian dicetak.

disebabkan pertanyaan. positif : Risiko adanya Kategori 1 positif tinggi OSA obstruksi jika terdapat ≥2

jalan napas pertanyaan positif.

atas. Kategori 2 positif jika terdapat ≥2

Kuesioner Berlin 1. Ya = positif 2. Tidak =

Nominal

kur mengeluarka negatif

n bunyi 3. Tidak

napas yang mengetahui =

kuat ketika negatif

b. Henti Frekuensi Kuesioner Berlin 1. Setiap hari Ordinal

napas responden = positif

saat tidur mengalami 2. 3-4

henti napas kali/minggu =

minimal 10 positif

detik saat 3. 1-2

tidur dalam

Kuesioner Berlin 1. Setiap hari

= positif

Kuesioner Berlin 1. Setiap hari

= positif

Kuesioner Berlin 1. Setiap hari

= positif

demografi

Tabel 3.1. Definisi operasional.

berlebihan di siang hari

Karakteristik a. Umur Umur Kuesioner 1. ≤40 tahun Ordinal

merupakan mengenai data 2. >40 tahun usia yang karakteristik

b. Jenis Perbedaan Kuesioner 1. Laki-laki Nominal

kelamin responden mengenai 2. Perempuan

berdasarkan karakteristik

seks demografi

c. Perilaku Kuesioner 1. Ya Nominal

Kebiasaa merokok mengenai 2. Tidak

n responden karakteristik merokok dalam demografi

kehidupan sehari-hari

d. Riwayat Kuesioner 1. Ya Nominal

Riwayat kebiasaan mengenai 2. Tidak

keluarga mendengkur karakteristik

mendeng pada demografi

kur keluarga

e. IMT

responden

Indeks Kuesioner 1. <25 kg/m2 Ordinal sederhana mengenai 2. >25 kg/m2

dari BB karakteristik

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober hingga November 2020 di kantor PT. Telkom Witel Medan yang berlokasi di Jalan Gaharu No. 2g, Perintis, Medan Timur, Kota Medan, Sumatera Utara. Hasil penelitian diperoleh dari 45 responden yang merupakan pegawai kantor tersebut yang telah didapat dengan menggunakan metode simple random sampling. Penelitian ini dilakukan dengan membagikan informed consent, kuesioner karakteristik demografi dan kuesioner Berlin secara online kepada setiap responden.

4.2 HASIL PENELITIAN

4.2.1 Karakteristik Demografi Responden

Tabel 4.1. Hubungan karakteristik demografi dengan risiko OSA.

Karakteristik Risiko Tinggi OSA Risiko Rendah OSA

Total % Nilai

Distribusi karakteristik responden pada penilitian ini dapat dilihat pada tabel 4.1. Dari tabel ini terlihat bahwa jenis kelamin responden didominasi oleh jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 41 orang (91,1%). Pada laki-laki, lebih banyak yang berisiko rendah OSA yaitu sejumlah 29 orang sedangkan pada perempuan lebih banyak yang berisiko tinggi OSA dengan jumlah 3 orang. Berdasarkan umur, didapatkan lebih banyak responden yang berumur >40 tahun yaitu sebanyak 28 orang (62,2%) dan pada kedua golongan umur ini sama-sama memiliki lebih banyak responden yang berisiko rendah OSA. Berdasarkan kebiasaan merokok, lebih banyak responden yang tidak memiliki kebiasaan merokok yaitu sebanyak 31 orang (68,9%) dan pada responden yang memiliki kebiasaan merokok atau tidak sama-sama memiliki lebih banyak responden yang berisiko rendah OSA. Berdasarkan riwayat keluarga mendengkur, lebih banyak responden yang memiliki riwayat mendengkur pada keluarga yaitu sebanyak 25 orang (55,6%) dan lebih banyak yang berisiko tinggi OSA dengan jumlah 14 orang sedangkan yang tidak memiliki riwayat keluarga mendengkur lebih banyak yang berisiko rendah OSA dengan jumlah 19 orang. Berdasarkan IMT, lebih banyak responden yang memiliki IMT >25 kg/m2 yaitu sebanyak 25 orang (55,6%) dan juga lebih banyak yang berisiko tinggi OSA yaitu 15 orang sedangkan pada responden dengan IMT <25 kg/m2 lebih banyak yang berisiko rendah OSA yaitu sebanyak 20 orang.

4.2.2 Gambaran Risiko OSA

Pada penelitian ini didapatkan bahwa terdapat 15 orang (33,3%) pegawai PT.

Telkom Medan memiliki risiko tinggi mengalami OSA sedangkan 30 orang lainnya (66,7%) berisiko rendah mengalami OSA.

Tabel 4.2. Risiko OSA pada pegawai PT. Telkom Witel Medan berdasarkan kuesioner Berlin.

Risiko Jumlah (N) %

Risiko tinggi OSA 15 33,3

Risiko rendah OSA 30 66,7

4.2.3 Gejala Risiko OSA

Berdasarkan gejala mendengkur (tabel 4.3), didapatkan hasil bahwa 15 orang memiliki risiko tinggi OSA dengan 13 orang (86,7%) memiliki gejala mendengkur dan 2 orang (13,3%) tidak mendengkur. Dari hasil analisis statistik, didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara mendengkur dengan risiko tinggi OSA (p = 0,000).

Tabel 4.3. Hubungan mendengkur dengan risiko OSA.

Gejala Risiko Tinggi OSA Risiko Rendah OSA

Total Nilai p

Jumlah % Jumlah %

Mendengkur

Ya 13 86,7 7 23,3 20 0,000

Tidak 2 13,3 23 76,7 25

Berdasarkan gejala henti napas saat tidur (tabel 4.4), didapatkan hasil bahwa 15 orang memiliki risiko tinggi OSA dengan 3 orang (20%) memiliki gejala henti napas saat tidur dan 12 orang (80%) tidak memiliki gejala tersebut. Dari hasil analisis statistik, didapatkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara henti napas saat tidur dengan risiko tinggi OSA (p = 0,101).

Tabel 4.4. Hubungan henti napas saat tidur dengan risiko OSA.

Gejala Risiko Tinggi OSA Risiko Rendah OSA

Total Nilai p

Jumlah % Jumlah %

Henti napas saat tidur

Ya 3 20 1 3,3 4 0,101

Tidak 12 80 29 96,7 41

Berdasarkan gejala kelelahan saat bangun tidur (tabel 4.5), didapatkan hasil bahwa 15 orang memiliki risiko tinggi OSA dengan 4 orang (26,7%) memiliki gejala kelelahan saat bangun tidur dan 11 orang (73,3%) tidak memiliki gejala tersebut. Dari hasil analisis statistik, didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara kelelahan saat bangun tidur dengan risiko tinggi OSA (p = 0,036).

Tabel 4.5. Hubungan kelelahan saat bangun tidur dengan risiko OSA.

Gejala Risiko Tinggi OSA Risiko Rendah OSA

Total Nilai

Jumlah % Jumlah % p

Kelelahan saat bangun tidur

Ya

Berdasarkan gejala kelelahan di siang hari (tabel 4.6), didapatkan hasil bahwa 15 orang memiliki risiko tinggi OSA dengan 4 orang (26,7%) memiliki gejala kelelahan di siang hari dan 11 orang (73,3%) tidak memiliki gejala tersebut. Dari hasil analisis statistik, didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara kelelahan di siang hari dengan risiko tinggi OSA (p = 0,009).

Tabel 4.6. Hubungan kelelahan di siang hari dengan risiko OSA.

Gejala Risiko Tinggi OSA Risiko Rendah OSA

Total Nilai

Jumlah % Jumlah % p

Kelelahan di siang hari

Ya 4 26,7 0 0 4 0,009

Tidak 11 73,3 30 100 41

Berdasarkan gejala tertidur saat berkendara (tabel 4.7), didapatkan hasil bahwa 15 orang memiliki risiko tinggi OSA dengan 3 orang (20%) memiliki gejala tertidur saat berkendara dan 12 orang (80%) tidak memiliki gejala tersebut. Dari hasil analisis statistik, didapatkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara tertidur saat berkendara dengan risiko tinggi OSA (p = 0,101).

Tabel 4.7. Hubungan tertidur saat berkendara dengan risiko OSA.

Gejala Risiko Tinggi OSA Risiko Rendah OSA

Total Nilai

4.3 PEMBAHASAN

4.3.1 Karakteristik Demografi Responden

Dari tabel 4.1 di atas, terlihat bahwa responden yang berisiko tinggi OSA didominasi oleh jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 12 orang (80%) sedangkan yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 3 orang (20%). Pada penelitian oleh Gita dkk. (2018) juga dikatakan bahwa jenis kelamin laki-laki merupakan faktor risiko untuk mengalami OSA karena terkait dengan perbedaan distribusi jaringan adiposa pada pria, yang menunjukkan pola deposisi lemak utama di sekitar leher, batang, dan perut dibandingkan dengan wanita. Namun, analisis statistik pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan risiko mengalami OSA (p = 0,101). Penelitian di berbagai bidang masih diperlukan untuk lebih mendefinisikan dasar biologis untuk jenis kelamin laki-laki sebagai faktor risiko OSA (Punjabi, 2008).

Berdasarkan umur, risiko tinggi OSA didapatkan lebih banyak pada responden yang berumur >40 tahun yaitu sebanyak 9 orang (60%) sedangkan yang berumur

<40 tahun sebanyak 6 orang (40%). Analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat usia dengan risiko OSA (p = 0,828). Hasil ini sama dengan penelitian oleh Susanto dkk. yang tidak mendapatkan hubungan bermakna antara golongan umur dengan meningkatnya risiko mengalami OSA (p = 0,990) yang dapat disebabkan oleh banyaknya faktor lain yang ikut mendasari terjadinya OSA.

Dapat diketahui juga bahwa risiko tinggi OSA lebih banyak terdapat pada responden yang tidak memiliki kebiasaan merokok yaitu 10 orang (66,7%) dan 5 orang (33,3%) memiliki kebiasaan merokok. Analisi statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan risiko mengalami OSA (p = 1,000). Hasil ini tidak berbeda dengan hasil penelitian oleh Ratih dkk. yang menyatakan tidak terdapat hubungan antara merokok dengan risiko OSA (p = 0,210) karena risiko mengalami OSA tidak hanya dipengaruhi oleh kebiasaan merokok.

Risiko tinggi OSA juga terlihat lebih banyak dialami oleh responden yang memiliki riwayat mendengkur pada keluarga yaitu 14 orang (93,3%) dan yang tidak terdapat riwayat mendengkur pada keluarga sebanyak 1 orang (6,7%).

Analisis statistik menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat keluarga mendengkur dengan risiko OSA (p = 0,000). Pada penelitian sebelumnya oleh Susanto dkk. juga menunjukkan hasil yang sama bahwa riwayat mendengkur dalam keluarga berhubungan dengan risiko OSA (p = 0,013). Riwayat keluarga mendengkur dapat menjadi gambaran kemungkinan adanya faktor genetik dalam kasus mendengkur dan munculnya OSA. Pada penelitian Mathur dkk. (1995) menyatakan adanya kecenderungan familial pada sindrom sleep apnea-hypopnea seperti saluran napas atas yang lebih sempit, maxilla dan mandibular yang tertarik ke belakang, palatum mole yang lebih panjang serta uvula yang lebih besar pada suatu keluarga yang memiliki riwayat mendengkur.

Berdasarkan IMT, risiko tinggi OSA hanya dialami oleh responden yang memiliki IMT >25 kg/m2 yaitu sebanyak 15 orang (100%). Analisis statistik juga menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara IMT dengan risiko tinggi OSA (p = 0,000). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryawan dkk. yang menyatakan adanya hubungan antara IMT dengan risiko OSA (p = 0,000). Pada orang dengan overweight dan obesitas, terjadi deposisi lemak pada jaringan di saluran pernapasan bagian atas. Sehingga, hal tersebut menyebabkan lumen saluran napas atas menjadi lebih kecil dari sebelumnya dan meningkatkan terjadinya kolaps pada saluran napas atas. Apabila hal tersebut terjadi, terutama saat tidur, penderitanya akan mengalami kesulitan bernapas yang bisa juga berujung menjadi kondisi apnea (Awwalia, 2019).

4.3.2 Gambaran Risiko OSA

Hasil perhitungan menggunakan kuesioner Berlin (tabel 4.2) menunjukkan sebanyak 15 dari 45 responden (33,3%) mempunyai risiko tinggi OSA sedangkan yang mempunyai risiko rendah OSA berjumlah 30 responden (66,7%). Hasil ini menunjukkan bahwa sebanyak 33,3% pegawai kantor PT. Telkom Witel Medan

mempunyai kemungkinan mengalami OSA. Persentase ini lebih tinggi, namun mendapatkan hasil yang sama dengan penelitian sebelumnya yaitu responden yang berisiko tinggi OSA lebih sedikit, contohnya pada penelitian risiko OSA yang dilakukan oleh Susanto dkk. pada populasi polisi lalu lintas yaitu 17,2%.

Hal ini dapat terjadi karena faktor risiko IMT >25 kg/m2 dimiliki paling banyak pada penelitian ini. Penelitian pada populasi pekerja kantor ini mendapatkan 55,6% memiliki IMT >25 kg/m2, sedangkan pada penelitian Susanto dkk.

mendapatkan 29% yang dapat dikaitkan dengan jenis aktivitas polisi lalu lintas yang lebih sering bekerja diluar ruangan dibandingkan dengan pekerja kantor.

Pada orang dengan obesitas atau overweight, terjadi deposisi lemak pada jaringan di saluran napas atas sehingga lumennya menjadi lebih kecil dan meningkatkan terjadinya kolaps pada saluran napas atas.

4.3.3 Gejala Risiko OSA

Pada tabel 4.3. diatas tentang hubungan mendengkur dengan risiko OSA dapat dilihat bahwa responden yang memiliki risiko tinggi OSA dengan gejala mendengkur terdapat 13 orang (86,7%) dan tanpa gejala mendengkur terdapat 2 orang (13,3%). Analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara mendengkur dengan risiko tinggi OSA (p = 0,000). Hasil ini sesuai dengan penelitian risiko OSA yang dilakukan oleh Susanto dkk. yang menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara yang mendengkur dengan risiko tinggi OSA (p = 0,0001). Menurut Prabha dkk. (2016), mendengkur (snoring) merupakan gejala umum yang dikeluhkan pada penderita OSA. Suara yang terdengar saat mendengkur timbul akibat turbulensi aliran udara pada saluran napas atas akibat adanya obstruksi.

Pada tabel 4.4. diatas tentang hubungan henti napas saat tidur dengan risiko OSA ditunjukkan bahwa terdapat 3 orang (20%) dengan risiko tinggi OSA pernah mengalami henti napas saat tidur sedangkan yang tidak pernah mengalami gejala tersebut sebanyak 12 orang (80%). Analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara henti napas saat tidur dengan risiko

tinggi OSA (p = 0,101). Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian mengenai OSA oleh Susanto dkk. yang menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara risiko tinggi OSA dengan gejala henti napas saat tidur (p = 0,030). Obstruksi saluran napas daerah faring akibat pendorongan lidah dan palatum ke belakang dapat menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring yang menyebabkan terhentinya aliran udara, meskipun pernapasan masih dapat berlangsung pada saat tidur (Budiarsa, 2016). Perbedaan hasil penelitian tersebut dapat disebabkan adanya penyebab lain seseorang mengalami henti napas saat tidur seperti pembengkakan pada saluran napas atau penyakit keganasan yang menyebabkan aliran udara pernapasan tidak lancar, atau henti napas tanpa disertai gejala umum OSA lainnya.

Berdasarkan gejala kelelahan saat bangun tidur (tabel 4.5), responden yang memiliki risiko tinggi OSA didominasi oleh mereka yang tidak mengeluhkan kelelahan saat bangun tidur yaitu sebanyak 11 orang (73,3%), sedangkan yang mengeluhkan gejala tersebut terdapat 4 orang (26,7%). Analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara kelelahan saat bangun tidur dengan risiko tinggi OSA (p = 0,036). Hasil ini sejalan dengan penelitian oleh Ratih dkk. yang mendapatkan 94,1% responden yang memiliki risiko tinggi OSA juga mengalami kelelahan saat bangun tidur. Namun, penelitian oleh Susanto dkk. mendapatkan tidak terdapat hubungan bermakna pada kategori ini (p

= 0,35), hal ini dikarenakan lebih banyak respondennya yang mengalami gejala lelah saat bangun tidur tetapi tidak berisiko mengalami OSA.

Terlihat pada tabel 4.6. diatas, berdasarkan gejala kelelahan di siang hari, terdapat 4 orang (26,7%) yang memiliki risiko tinggi OSA dan mengeluhkan kelelahan di siang hari, sedangkan 11 orang (73,3%) lainnya tidak mengeluhkan gejala tersebut. Analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kelelahan di siang hari dengan risiko tinggi OSA (p = 0,009).

Hasil ini tidak sama dengan penelitian pada populasi polisi lalu lintas oleh Susanto dkk. yang mendapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara

kelelahan di siang hari dengan risiko mengalami OSA (p = 0,62). Perbedaan ini terjadi karena lebih banyak polisi yang berisiko rendah OSA tetapi tetap merasa kelelahan di siang hari dikarenakan polisi tersebut bekerja diluar ruangan yang membutuhkan lebih banyak tenaga daripada pegawai kantor. Namun, pada penelitian lainnya mengenai OSA pada pasien PPOK oleh Ratih dkk. (2016) ditunjukkan bahwa terdapat 94,1% pasien memiliki gejala kelelahan di siang hari.

Hal ini dapat terjadi karena kelelahan dipengaruhi oleh kualitas tidur yang menurun oleh karena kurangnya kecukupan tidur seseorang (Prakoso et al., 2018).

Telah diketahui juga bahwa mudah lelah di siang hari merupakan salah satu gejala umum OSA.

Berdasarkan gejala tertidur saat berkendara (tabel 4.7), responden dengan risiko tinggi OSA dan pernah tertidur saat berkendara ada sebanyak 3 orang (20%), sedangkan 12 orang (80%) lainnya tidak pernah mengalami gejala tersebut. Analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tertidur saat berkendara dengan risiko tinggi OSA (p = 0,101).

Hasil ini sejalan dengan penelitian oleh Susanto dkk. yang menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara risiko mengalami OSA dengan gejala tertidur saat berkendara (p = 0,320). Kantuk berlebihan di siang hari/EDS merupakan gejala umum yang terjadi pada pasien OSA. EDS disebabkan oleh kualitas tidur pada malam hari yang menurun karena terjadi tidur yang terputus-putus (fragmentasi tidur). Gejala yang lebih parah akibat EDS dapat menyebabkan pasien tertidur saat melakukan aktivitas seperti menonton televisi, makan, atau saat berkendara (Setyaningrum et al., 2017).

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

1. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa pegawai kantor PT. Telkom Witel Medan yang memiliki risiko tinggi mengalami OSA sebanyak 33,3% dan yang memiliki risiko rendah OSA sebanyak 66,7%.

2. Mendengkur (p = 0,000), merasa lelah saat bangun tidur (p = 0,036) dan mudah lelah di siang hari (p = 0,009) terbukti sebagai gejala risiko OSA yang bermakna pada pegawai kantor PT. Telkom Witel Medan.

3. Karakteristik demografi yang bermakna pada pegawai kantor PT. Telkom Witel Medan yang berisiko OSA yaitu riwayat mendengkur pada keluarga (p = 0,000) dan IMT (p = 0,000).

5.2 SARAN

1. Diperlukan pengaturan berat badan dan meningkatkan aktivitas fisik untuk menurunkan risiko seseorang mengalami Obstructive Sleep Apnea.

2. Penelitian selanjutnya diharapkan mendapatkan jumlah sampel yang lebih besar untuk meneliti risiko OSA pada suatu populasi agar didapatkan sebaran data yang lebih luas pada variabel gejala dan karakteristik demografi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Arter, J. L., Chi, D. S., Girish, M., Fitzgerald, S. M., Guha, B. &

Krishnaswamy, G. 2004, Obstructive Sleep Apnea, Inflammation, and Cardiopulmonary Disease, Frontiers in Bioscience, vol. 9(9), pp. 2892-2900.

2. Astutha, A. R. & Sesarini, P. M. 2017, ‘Efektivitas Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) pada Obstructive Sleep Apnea (OSA)’, Publikasi Ilmiah Program Studi THT-KL FK Udayana, vol. 1.

3. Awwalia, F. S. 2019, ‘Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Risiko Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Sopir Taksi di Kota Padang, Doctoral dissertation, Universitas Andalas.

4. Budiarsa, I. G. N. 2016, ‘Obstructive Sleep Apnea pada Lansia’, Neurology in Elderly, pp. 40.

5. Cahaya, G. 2018, ‘Hubungan Obesitas dengan Risiko Obstructive Sleep Apnea pada Pegawai Negeri Sipil Laki-Laki di Lingkungan Universitas Lampung Tahun 2017’, Digital Repository UNILA.

6. George, C. F. 2007, ‘Sleep Apnea, Alertness, and Motor Vehicle Crashes’, Am J Respir Crit Care Med, vol. 176(10), pp. 954.

7. Herawati, S. J. 2015, Diagnosis Obstrutive Sleep Apnea Syndrome, Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, Surabaya, pp. 136-149.

8. Kahathuduwa, C. 2016, ‘Non Respiratory Functions of the Respiratory

System’, Owlcation, accessed 12 June 2020, Available at:

https://owlcation.com/stem/Non-respiratory-Functions-of-the-Respiratory- System

9. Kline, L. R., Collop, N. & Eichler, A. F. 2017, ‘Clinical Presentation and Diagnosis of Obstructive Sleep Apnea in Adults’, In: Chervin RD, Hoppin AG, eds. UpToDate. Nederland: Wolters Kluwer NV, Epub.

10. Latief, A. W. L. 2017, ‘Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Kerja Pegawai PT PLN (Persero) Wilayah Sulawesi Selatan, Tenggara dan Barat’, Digilib Unhas.

11. Lim, J. U., Lee, J. H., Kim, J. S., Hwang, Y. I., Kim, T. H., Lim, S. Y. &

Rhee, C. K. (eds) 2017, ‘Comparison of World Health Organization and Asia- Pacific Body Mass Index Classifications in COPD Patients’, International Journal of Chronic Obstructive Pulmonary Disease, vol. 12, pp. 2465.

12. Luman, A. 2016, ‘Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada DM Tipe 2’, Cermin Dunia Kedokteran, vol. 43(2), pp. 96-100.

13. Mathur, R. and Douglas, N.J. 1995, ‘Family Studies in Patients with The Sleep Apnea-Hypopnea Syndrome’, Annals of Internal Medicine, 122(3), pp.174-178.

14. Maulidza, C. P. 2013, ‘Hubungan Obesitas terhadap Risiko Obstructive Sleep Apnea (OSA) di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh’, Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

15. Monica, F., Suryawati, H., & Pudjonarko, D. 2016, ‘Hubungan Obstructive Sleep Apnea dengan Derajat Berat Klinis pada Pasien Stroke Iskemik Akut’, Neurona (Majalah Kedokteran Neuro Sains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia), vol 34(1).

16. Mukhlis, M. & Bakhtiar, A. 2019, ‘Obstructive Sleep Apneu (OSA), Obesitas Hypoventilation Syndrome (OHS) dan Gagal Napas’, Jurnal Respirasi, vol.

1(3), pp. 94-102.

17. Natalia, C. 2010, ‘Analisis Prevalensi dan Faktor Risiko Terjadinya Obstructive Sleep Apnea dengan Kuesioner Berlin pada Sekelompok Karyawan di Jakarta’, Doctoral dissertation, Universitas Kristen Maranatha.

18. Netter, F. H. 2013, ‘Atlas of Human Anatomy: Lateral View of Pharyngeal Muscle’, Netterimages, accessed 12 June 2020, Available at: mg/kgBB’, Doctoral dissertation, Universitas Sumatera Utara.

20. Patil, S. P., Schneider, H., Schwartz, A. R. & Smith, P. L. 2007, ‘Adult Obstructive Sleep Apnea : Pathophysiology and Diagnosis’, Chest, vol.

132(1), pp. 325-337.

21. Prakoso, D. I., Setyaningsih, Y. & Kurniawan, B. 2018, ‘Hubungan Karakteristik Individu, Beban Kerja, dan Kualitas Tidur dengan Kelelahan Kerja pada Tenaga Kependidikan di Institusi Kependidikan X’, Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), vol. 6(2), pp. 88-93.

22. Punjabi, N. M. 2008, ‘The Epidemiology of Adult Obstructive Sleep Apnea’, Proceedings of The American Thoracic Society, vol. 5, no. 2, pp. 136-143.

23. Rasjid, M. & Yogiarto, M. 2015, ‘Obstructive Sleep Apnea (OSA)’, Jurnal Ilmiah Kedokteran, vol. 2, no. 3.

24. Rosdiana, R. 2019, ‘Hubungan Stres Kerja, Jam Kerja, dan Kelelahan Kerja dengan Tingkat Konsentrasi pada Pekerja Pengguna Komputer di PT.

Telekomunikasi Witel Medan’, Jurnal Kesehatan Global, vol. 2, no. 3, pp.

131-141.

25. Sakamoto, Y. S., Porto-Sousa, F., & Salles, C. 2018, ‘Prevalence of obstructive sleep apnea in shift workers: a systematic review’, Ciencia &

saude coletiva, 23(10), 3381–3392. https://doi.org/10.1590/1413- 812320182310.21362018.

26. Sasongko, P., Yunika, K. & Andhitara, Y. 2016, ‘Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSA) pada Pasien Stroke Iskemik’, Diponegoro Medical Journal (Jurnal Kedokteran Diponegoro), vol. 5(4), pp. 1461-1471.

27. Senaratna, C. V., Perret, J. L., Matheson, M. C., Lodge, C. J., Lowe, A. J., Cassim, R., Russell, M. A., Burgess, J. A., Hamilton, G. S., & Dharmage, S.

C. 2017, ‘Validity of The Berlin Questionnaire in Detecting Obstructive Sleep Apnea: A Systematic Review and Meta-analysis’, Sleep medicine reviews, 36, 116–124. https://doi.org/10.1016/j.smrv.2017.04.001

28. Setyaningrum, S. D., Yunika, K. & Andhitara, Y. 2017, ‘Hubungan Antara Fungsi Kognitif dengan Riwayat Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) pada Pasien Pasca Stroke Iskemik di RSUP dr. Kariadi’, Doctoral dissertation, Faculty of Medicine.

29. Sharma, S. K., Vasudev, C., Sinha, S., Banga, A., Pandey, R. M. & Handa, K.

K. 2006, ‘Validation of The Modified Berlin Questionnaire to Identify Patients at Risk for The Obstructive Sleep Apnoea Syndrome’, Indian J Med Res, vol. 124(3), pp. 281-90.

30. Siyoto, S. & Sodik, M. A. 2015, Dasar Metodologi Penelitian, Literasi Media Publishing, Yogyakarta.

31. Sumantri, H. 2015, Metodologi Penelitian Kesehatan, Prenada Media, Jakarta.

31. Sumantri, H. 2015, Metodologi Penelitian Kesehatan, Prenada Media, Jakarta.

Dokumen terkait