BAB I. PENDAHULUAN
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran risiko kejadian Obstructive Sleep Apnea pada pegawai kantor PT. Telkom Witel Medan.
2. Bagi Peneliti
Peneliti mendapat wawasan, baik dalam bentuk pengalaman maupun dari segi ilmu pengetahuan tentang gambaran risiko Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada pegawai kantor PT. Telkom Witel Medan, serta untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran.
3. Bagi Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai rujukan bacaan pada penelitian selanjutnya tentang kejadian Obstructive Sleep Apnea, khususnya di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
4. Bagi Masyarakat
1. Memberikan informasi mengenai faktor risiko, gejala dan pencegahan pada penyakit Obstructive Sleep Apnea
2. Membantu responden untuk mengetahui apakah mereka berisiko tinggi atau rendah mengalami Obstructive Sleep Apnea, sehingga dapat mengantisipasi secara dini dan dapat meningkatkan kinerja mereka.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA
2.1.1 Definisi
Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah keadaan terjadinya obstruksi jalan napas atas secara periodik selama tidur yang menyebabkan napas berhenti secara intermiten, baik komplit (apnea) atau parsial (hipopnea) (Setyaningrum et al., 2017). OSA merupakan tipe gangguan bernapas dalam tidur yang paling sering, terjadi paling tidak 10 detik tiap episode (Gita C, 2018).
Kolaps saluran napas berhubungan dengan penurunan atau berhentinya aliran udara meskipun masih terdapat effort untuk bernapas. Gejala tersering OSA adalah mendengkur, kelelahan atau mengantuk sepanjang hari (Excessive Daytime Sleepiness/EDS) (Susanto et al., 2016).
International Classification of Sleep Disorders (ICSD -3) membagi SDB menjadi 4 kategori utama yaitu Obstructive Sleep Apnea disorders termasuk di dalamnya OSA, Central Sleep Apnea Syndrome (CSA), sleep -related hypoventilation disorders dan sleep–related hypoxemia disorders. Perbedaan antara OSA dan CSA terletak pada patofisiologi yang mendasarinya. Pada OSA, terjadi sumbatan yang disebabkan oleh kelainan anatomi maupun kelainan pada otot-otot yang mengatur terbukanya jalan napas. Sedangkan pada CSA, letak kelainannya adalah pada neuron pusat yang mengatur pernapasan. OSA dapat diklasifikasikan menjadi ringan jika Apnea–Hypopnea Index (AHI) ≥5 dan <15, moderate jika AHI ≥15 dan ≤30 dan severe jika AHI >30 (Setyaningrum et al., 2017).
2.1.2 Epidemiologi
OSA merupakan gangguan pernapasan saat tidur yang berimplikasi pada terganggunya kualitas tidur. Menurut Jhon Park dkk. (2011), kejadian OSA meningkat dengan adanya faktor risiko seperti sakit jantung, kelainan neurologis dan riwayat tindakan operatif. Penyakit ini sering tidak terdiagnosis sehingga memerlukan perhatian khusus untuk melihat adanya tanda dan gejala yang konsisten. OSA juga merupakan tipe gangguan tidur yang paling sering terjadi pada pasien stroke (Susanto et al., 2016).
Dalam populasi yang sebenarnya, prevalensi pasien OSA tidak diketahui, karena banyak yang belum menjalani pemeriksaan polisomnografi dan tetap tidak terdiagnosis (Gita C, 2018).
Menurut Bradley dkk. (2009), di Amerika Serikat, prevalensi OSA (AHI ≥5) pada orang dewasa kulit putih dengan usia 30 –60 tahun sekitar 24% laki-laki dan 9% perempuan, sedangkan AHI ≥15 sekitar 9% laki-laki dan 4% perempuan. Di Eropa, usia 30 -70 tahun dengan AHI ≥5 didapatkan 26% laki-laki dan 28%
perempuan, sedangkan AHI ≥15 sekitar 14% laki-laki dan 7% perempuan. Di Hongkong, prevalensi usia 30 – 60 tahun dengan AHI ≥5 sebesar 9% dan 4%, serta AHI ≥15 sebesar 5% dan 3% (Budiarsa, 2016). Data prevalensi OSA pada populasi di Indonesia sampai saat ini bervariasi. Penelitian Wiadnyana dkk., dengan kuesioner Berlin pada pengemudi taksi X di Jakarta, menemukan bahwa 25% pengemudi mempunyai risiko tinggi OSA (Susanto et al., 2016).
2.1.3 Anatomi Saluran Pernapasan Atas
Saluran napas bagian atas pada manusia terdiri dari hidung, nasofaring, orofaring, hipofaring, dan laring (Prabha et al., 2016). Saluran ini berfungsi sebagai penyaring, penghangat dan pelembab udara yang masuk, serta melindungi permukaan saluran napas bawah (Nadia, 2013).
Hidung dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu; bagian dalam dan bagian luar.
Bagian luar adalah bagian yang terlihat pada wajah dan diliputi oleh jaringan penunjang berupa tulang keras dan kartilago yang ditutupi oleh otot, kulit dan membran mukosa. Dinding lateral hidung dibentuk oleh konka nasalis inferior, konka nasalis media, dan konka nasalis superior, sedangkan dinding medialnya adalah septum nasi. Bagian dalam hidung merupakan rongga yang luas dan terletak inferior dari tulang nasal dan superior dari mulut. Batas anteriornya adalah hidung bagian luar serta bagian posterior berbatasan dengan faring melalui dua pembukaan disebut choanae (Nadia, 2013). Hidung bukan merupakan lokasi kolaps yang umum pada OSA. Hal ini karena patensitas hidung dipertahankan oleh struktur kolagen di sekitar hidung dan hanya secara minimal dipengaruhi aktivitas otot sehingga resistensi pada nasal tidak secara signifikan dipengaruhi oleh tidur (Prabha et al., 2016).
Gambar 2.1. Anatomi saluran pernapasan atas (Kahathuduwa, 2016).
Faring merupakan saluran dengan panjang sekitar 13 cm yang dimulai dari nares interna hingga kartilago cricoid. Faring terletak posterior dari rongga hidung dan mulut, superior dari laring dan anterior dari vertebra servikalis. Dinding saluran ini ditutupi oleh otot-otot skelet dan membran mukosa. Kontraksi otot-otot ini berfungsi untuk proses menelan. Fungsi dari faring sebagai saluran untuk udara dan makan. Faring dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu; nasofaring, orofaring dan laringofaring (Nadia, 2013). Nasofaring terletak di belakang konka nasal dan merupakan bagian superior dari faring, umumnya tidak berkontribusi terhadap kolapsnya faring (Prabha et al., 2016).
Gambar 2.2. Anatomi otot faring (Netter, 2013).
Orofaring merupakan daerah di belakang cavum oris. Dinding anterior orofaring dibentuk oleh palatum mole dan lidah, sedangkan dinding posteriornya
terdiri dari otot konstriktor faring superior, media, dan inferior. Dinding lateral faring tersusun terutama dari jaringan otot (palatoglossus, palatopharyngeus, styloglosus, stylohyoid, stylopharyngeus, dan hyoglossus). Otot-otot di sekeliling faring dapat secara signifikan mempengaruhi bentuk dan ukurannya sehingga pada OSA, lokasi inilah yang paling sering kolaps (Prabha et al., 2016).
Laringofaring merupakan bagian inferior faring yang meluas dari tulang hioid hingga perbatasan laring dan esofagus. Sama seperti nasofaring, hipofaring bukan merupakan lokasi yang sering terjadi kolaps pada OSA (Prabha et al., 2016).
2.1.4 Faktor Risiko 2.1.4.1 Obesitas
Parameter yang paling sering digunakan untuk menilai adanya obesitas adalah Indeks Massa Tubuh (IMT). Penghitungan IMT adalah berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter. Berdasarkan kriteria Asia-Pasifik, yang termasuk obesitas adalah orang dengan IMT ≥ 25 kg/m2 (Prabha et al., 2016).
Kelebihan berat badan adalah temuan klinis yang umum dan terdapat pada lebih dari 60% pasien yang dirujuk untuk evaluasi tidur diagnostik. Studi epidemiologis dari seluruh dunia secara konsisten mengidentifikasi berat badan sebagai faktor risiko terkuat untuk OSA. Peningkatan berat badan dapat mengubah mekanisme jalan napas atas normal selama tidur melalui beberapa mekanisme berbeda termasuk: (1) peningkatan deposisi lemak parafaryngeal yang menghasilkan jalan napas atas yang lebih kecil, (2) perubahan dalam mekanisme kompensasi saraf yang mempertahankan patensi jalan napas, (3) ketidakstabilan sistem kontrol pernapasan, dan (4) pengurangan kapasitas residual fungsional dengan akibat penurunan pada penstabilan traksi kaudal pada jalan napas atas (Punjabi, 2008).
Peningkatan berat badan sebesar 10% akan meningkatkan AHI sebesar 32%
dan meningkatkan kejadian OSA sebesar 6 kali lipat. Meskipun terdapat hubungan yang erat antara obesitas dan OSA, penting untuk diketahui bahwa tidak semua subjek yang memiliki obesitas mengalami OSA (Setyaningrum et al., 2017).
2.1.4.2 Usia
Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi OSA semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Penelitian yang dilakukan di Pennsylvania, OSA terjadi pada 3,2%, 11,3%, dan 18,1% pria dari kelompok usia 20 – 44 tahun, 45 – 64 tahun, dan 61 – 100 tahun. Sedangkan pada wanita, OSA terjadi pada 0,6%, 2,0%, dan 7,0% dari kelompok usia 20 – 44 tahun, 45 – 64 tahun. , dan 61 – 100 tahun.
Mekanisme yang diusulkan untuk peningkatan prevalensi terkait usia termasuk peningkatan penumpukan lemak di daerah parapharyngeal, pemanjangan palatum lunak, dan perubahan struktur tubuh di sekitar faring (Punjabi, 2008).
2.1.4.3 Jenis Kelamin
Sudah lama diakui bahwa pria memiliki kerentanan lebih besar daripada wanita terhadap perkembangan OSA. Studi berbasis klinik telah menunjukkan bahwa, pada pasien yang dirujuk untuk evaluasi klinis, rasio pria dan wanita dalam kisaran 5 hingga 8 : 1. Penelitian di berbagai bidang masih diperlukan untuk lebih mendefinisikan dasar biologis untuk jenis kelamin laki-laki sebagai faktor risiko OSA (Punjabi, 2008). Dominasi pria diperkirakan berkaitan dengan perbedaan anatomi dan fungsi pada saluran napas atas, obesitas dan distribusi lemak, kontrol ventilasi, dan status hormonal (Prabha et al., 2016).
2.1.4.4 Ukuran Lingkar Leher
Ukuran lingkar leher merupakan prediktor yang kuat dan merupakan salah satu karakteristik pemeriksaan fisik pada pasien dengan OSA. Lingkar leher merupakan ukuran leher yang melewati batas atas membran krikotiroid yang diukur pada posisi berdiri. Penelitian melaporkan bahwa rata-rata ukuran lingkar
leher pada pasien OSA adalah 43,7 cm sedangkan pada pasien non OSA adalah 39,6 cm. Penelitian lain melaporkan bahwa ukuran lingkar leher (>42,5 cm) berhubungan dengan peningkatan AHI (Setyaningrum et al., 2017). Mekanisme yang terlibat yaitu peningkatan deposisi lemak pada leher mengurangi patensi jalan napas (Prabha et al., 2016).
2.1.4.5 Kelainan Struktur Saluran Napas Bagian Atas
Beberapa faktor jaringan lunak dan keras dapat mengubah sifat mekanik jalan napas atas dan meningkatkan kecenderungannya untuk kolaps saat tidur. Keadaan seperti retrognatia, hipertrofi tonsil, lidah ataupun palatum durum yang membesar, tulang hyoid yang posisinya lebih rendah, retroposisi rahang atas dan rahang bawah, dan penurunan ruang jalan napas posterior dapat mempersempit lumen jalan napas atas dan mendorong terjadinya apnea dan hypopnea selama tidur (Punjabi, 2008). Hyoid yang terlalu inferior akan menyebabkan lidah tertarik ke posterior karena hyoid menjadi salah satu insersio dari otot-otot pembentuk lidah (Setyaningrum et al., 2017). Hipertrofi tonsil dapat menyebabkan OSA terutama pada anak dan jarang terjadi pada dewasa (Prabha et al., 2016).
2.1.4.6 Merokok dan Konsumsi Alkohol
Merokok dan konsumsi alkohol telah disarankan sebagai faktor risiko yang mungkin untuk OSA. Investigasi epidemiologis menunjukkan bahwa merokok saat ini dikaitkan dengan prevalensi lebih tinggi untuk mendengkur dan OSA.
Karena mantan perokok tidak memanifestasikan peningkatan risiko OSA, peradangan jalan napas dan kerusakan akibat asap rokok dapat mengubah sifat mekanik dan saraf dari jalan napas atas dan meningkatkan kolapibilitasnya selama tidur (Punjabi, 2008).
Konsumsi alkohol dapat menginduksi aktivitas apnea pada orang normal atau tanpa gejala. Mekanisme dimana alkohol menginduksi atau memperburuk keruntuhan faring tidak diketahui dengan baik. Studi eksperimental pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa alkohol mengurangi keluaran motorik
pernapasan ke saluran napas bagian atas, menghasilkan hipotonia otot orofaringeal. Meskipun demikian, data epidemiologis tentang efek penggunaan alkohol kronis pada risiko OSA tetap berbeda dengan beberapa penelitian yang melaporkan hubungan positif dan yang lain melaporkan tidak ada hubungan (Punjabi, 2008).
2.1.5 Patogenesis
OSA merupakan suatu keadaan yang timbul akibat penyempitan saluran napas bagian atas selama tidur. Lokasi paling sering terjadinya obstruksi pada dewasa yaitu di belakang ovula dan palatum mole, dan diikuti pada orofaring atau gabungan keduanya (Gita C, 2018). Apnea adalah terjadinya henti napas selama 10 detik atau lebih yang terjadi karena kolapsnya saluran napas atas secara total.
Sedangkan hipopnea adalah terjadinya keadaan reduksi aliran udara sebanyak lebih-kurang 30% selama 10 detik yang terjadi karena kolapsnya sebagian saluran napas atas, namun jika terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan apnea (Budiarsa, 2016).
Ada tiga faktor yang berperan pada patogenesis OSA, antara lain :
1. Obstruksi saluran napas daerah faring akibat pendorongan lidah dan palatum ke belakang yang dapat menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring yang menyebabkan terhentinya aliran udara, meskipun pernapasan masih berlangsung pada saat tidur. Hal ini menyebabkan apnea, asfiksia hingga periode arousal (Budiarsa, 2016).
2. Ukuran lumen faring yang dibentuk oleh otot dilator faring (m. pterigoid medial, m. tensorveli palatini, m. genioglosus, m. geniohioid, dan m.
sternohioid) yang berfungsi menjaga keseimbangan tekanan faring pada saat terjadinya tekanan negatif intratorakal akibat kontraksi diafragma. Kelainan fungsi kontrol neuromuskular pada otot dilator faring berperan terhadap kolapsnya saluran napas. Defek kontrol ventilasi di otak menyebabkan kegagalan atau terlambatnya refleks otot dilator faring, saat pasien mengalami periode apnea-hipopnea (Budiarsa, 2016). Lumpuhnya saluran napas atas
terjadi bila tekanan negatif yang dibuat oleh otot-otot pernapasan lebih besar dari kemampuan otot-otot yang berfungsi melebarkan saluran napas atas (Gita C, 2018).
3. Kelainan kraniofasial mulai dari hidung sampai hipofaring yang dapat menyebabkan penyempitan pada saluran napas atas. Kelainan daerah ini dapat menghasilkan tahanan yang tinggi. Tahanan ini juga merupakan predisposisi kolapsnya saluran napas atas. Kolaps nasofaring ditemukan pada 81% dari 64 pasien OSA dan 75% di antaranya memiliki lebih dari satu penyempitan saluran napas atas (Budiarsa, 2016).
Setelah proses apnea terjadi proses arousal, yaitu terbangun secara mendadak dari tidur, sehingga otot-otot ini dapat berfungsi lagi dengan cara berdilatasi dan aliran udara kembali normal. Proses arousal ini yang akan menyebabkan periode tidur mengalami fragmentasi sehingga pasien kadang terbangun secara mendadak.
Akibat obstruksi yang terjadi, maka saturasi O2 dalam tubuh akan mengalami penurunan hingga 3 – 4 % atau lebih. Kebanyakan pasien akan mengalami keadaan apnea ini 20 – 30 kali/jam dan dapat terjadi lebih dari 200 kali per malam. Kondisi ini yang mengakibatkan hipersomnolensi pada pasien-pasien OSA (Nadia, 2013).
2.1.6 Gejala Klinis
2.1.6.1 Kantuk Berlebihan di Siang Hari (Excessive Daytime Sleepiness/EDS) Kantuk berlebihan disiang hari/EDS merupakan gejala paling umum yang terjadi pada pasien OSA. EDS disebabkan oleh kualitas tidur pada malam hari yang menurun karena terjadi tidur yang terputus-putus (fragmentasi tidur), berhubungan dengan respons saraf pusat yang berulang karena adanya gangguan pernapasan saat tidur (Setyaningrum et al., 2017).
Pasien dalam tahap awal OSA mungkin sering dengan mudah mengabaikan kecenderungan untuk tidur, terutama selama kegiatan menetap/monoton seperti membaca, menonton televisi, atau kegiatan berbasis komputer. Pertanyaan harus
diarahkan pada apakah tidur rutin terjadi selama kegiatan monoton atau berulang dan apakah gejala tersebut terjadi di tempat kerja atau saat mengemudi (Patil et al., 2007).
2.1.6.2 Mendengkur
Mendengkur (snoring) juga merupakan gejala umum yang dikeluhkan pada penderita OSA. Suara yang terdengar saat mendengkur timbul akibat turbulensi aliran udara pada saluran napas atas akibat adanya obstruksi. Aliran udara yang masuk akan menggetarkan palatum mole dan jaringan lunak sekitarnya. Keadaan ini dipermudah dengan relaksasi lidah, uvula, dan otot dilator faring (Prabha et al., 2016).
2.1.6.3 Insomnia
Pasien-pasien dengan OSA mungkin mengeluh insomnia karena riwayat terbangun berulang. Insomnia adalah gejala kompleks ditandai dengan kesulitan memulai tidur, terbangun sebentar-sebentar dari tidur, atau bangun pagi lebih awal dengan ketidakmampuan untuk kembali tidur. Pasien dengan gejala insomnia didokumentasikan oleh berkurangnya total waktu tidur, tidur yang terfragmentasi, atau bangun pagi hari sering mengeluh kelelahan. Arousal biasanya terjadi sebanyak 5 – 10 kali per jam dan meningkat seiring bertambahnya usia (Patil et al., 2007).
Pasien dapat mengalami kondisi terbangun mendadak dengan gejala yang menyertai seperti tersedak dan sensasi megap-megap (gasping) yang membantu mendukung diagnosis OSA daripada gangguan tidur lainnya (Patil et al., 2007).
2.1.7 Penegakan Diagnosis 2.1.7.1 Anamnesis
Diagnosis OSA ditegakkan dengan melakukan anamnesis mengenai pola tidur, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang khusus. Gejala utama OSA adalah daytime hypersomnolence. Gejala ini tidak dapat dinilai secara kuantitatif
karena pasien sering sulit membedakan rasa mengantuk dengan kelelahan. Hampir 30% pria dan 40% wanita dewasa dengan nilai AHI >5 x/jam mengeluh tidak segar saat bangun. Dilaporkan 25% pria dan 30% wanita dewasa mengeluh mengalami rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari (Putu & Agus, 2017).
Pemeriksa juga harus menanyakan kepada pasien tentang pengalaman terbangun dari tidur karena tersedak, mendengkur (dapat ditanyakan pada teman tidur) dan bangun dari tidur dengan badan terasa tidak segar. Penting juga untuk menanyakan usia, riwayat penyakit yang berhubungan dengan OSA seperti stroke, hipertensi, dan penyakit jantung (Setyaningrum et al., 2017).
2.1.7.2 Pemeriksaan Fisik
Hal-hal yang perlu dinilai pada pemeriksaan fisik adalah : 1. Indeks Massa Tubuh
Indeks Massa Tubuh/IMT didapatkan dengan rumus perhitungan berat badan seseorang dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (kg/m2). IMT dapat diklasifikan menurut kriteria Asia-Pasifik, dikatakan obesitas jika IMT ≥ 25 kg/m2 (Lim et al., 2017).
Gambar 2.3. Klasifikasi IMT.
2. Ukuran Lingkar Leher
Kelompok pasien obesitas dengan lingkar leher lebih dari 40 cm ditemukan 8,45 kali lebih besar menderita OSA dibandingkan pasien dengan lingkar leher kurang dari 40 cm (Gita C, 2018).
3. Pemeriksaan Rongga Hidung
Pemeriksaan rongga hidung meliputi ukuran konka, tanda-tanda polip, massa, rinitis, purulensi dan posisi septum nasal. Nasofaringoskopi dapat digunakan untuk evaluasi konka posterior, orifisium tuba eustachius, katup velofaringeal dan adenoid. Selain itu, penyempitan velofaring dapat di observasi melalui manuver Muller (Nadia, 2013).
4. Pemeriksaan manuver Muller
Manuver Muller adalah pemeriksaan visual terhadap jalan napas atas untuk menilai penyempitan veloorofaring. Manuver Muller dikerjakan pada pasien dalam posisi duduk. Setelah diberikan analgesia topikal pada hidung, nasofaringoskop serat optik dimasukkan melalui kavum nasi menuju ke orofaring setinggi retropalatal dan retroglosal. Kemudian pasien diminta ekspirasi kuat dan dilanjutkan dengan berusaha inspirasi, pada saat ini mulut dan hidung tertutup. Hasil pemeriksaan ini akan memperlihatkan ada tidaknya perubahan diameter jalan napas pada daerah retropalatal dan retroglosal.
Kelemahan dari maneuver ini adalah subjektif dan diperlukan kerjasama dengan pasien dan pasien harus kooperatif (Herawati, 2015).
5. Pemeriksaan Rongga Mulut
Pada rongga mulut dilakukan observasi ukuran dan posisi lidah, panjang palatum dan uvula, ukuran tonsil, klasifikasi Mallampati, dan orofaring (Nadia, 2013).
Klasifikasi Mallampati merupakan tes yang sering dilakukan untuk memeriksa ukuran lidah di dalam rongga mulut. Semakin besar lidah menghalangi pandangan terhadap struktur faring (Malik, 2014). Klasifikasi Mallampati :
- Kelas I : Palatum molle (soft palate), tenggorokan, uvula, dan pilar tonsil dapat terlihat
- Kelas II : Palatum molle, tenggorokan dan uvula dapat terlihat - Kelas III : Palatum molle dan dasar dari uvula dapat terlihat - Kelas IV : Palatum molle tidak dapat terlihat
Gambar 2.4. Klasifikasi Mallampati (Malik, 2014).
Gabungan data yang akurat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dapat mengarahkan kepada indikasi untuk melakukan pemeriksaan baku emas OSA (Rasjid, 2015).
Beberapa kuesioner sederhana dapat digunakan sebagai perangkat diagnostik, misalnya kuesioner Berlin. Kuesioner Berlin adalah instrumen yang sudah tervalidasi untuk menentukan stratifikasi risiko OSA, yang terdiri dari 3 kategori.
Kategori 1 untuk mengevaluasi kebiasaan mendengkur dan apnea, menunjukkan hasil positif jika terdapat 2 atau lebih pertanyaan dengan respon positif. Kategori 2 untuk mengevaluasi rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari & kelelahan, menunjukkan hasil positif jika terdapat 2 atau lebih pertanyaan dengan respon positif. Kategori 3 untuk memeriksa riwayat obesitas dan hipertensi pada pasien, menunjukkan hasil positif jika terdapat 1 jawaban dengan respon positif. Hasil akhirnya adalah jika terdapat 2 atau lebih kategori yang dinyatakan positif, maka mengindikasikan kemungkinan besar atau risiko tinggi OSA (Hoetomo et al., 2009).
2.1.7.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi dapat juga dilakukan untuk identifikasi letak dan keparahan dari obstruksi saluran napas bagian atas atau kolaps pada OSA.
Cephalometric radiograph adalah pemeriksaan radiologi yang sering digunakan untuk evaluasi penderita OSA. Pencitraan ini dapat memberikan informasi mengenai tulang dan jaringan lunak. Pada beberapa penelitian telah membuktikan dengan cephalometry bahwa penderita OSA mengalami inferior displacement
pada tulang hioid, ruang posterior jalan napas yang sempit dan palatum molle yang panjang namun cephalometry tidak dapat membedakan anatara OSA dan non-OSA secara signifikan. Computed Tomograph (CT) memberi detail anatomi tulang dan jaringan lunak yang sangat baik namun sensitifitasnya untuk diagnosis OSA rendah. Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat membedakan antara berbagai jaringan lunak namun MRI ini mahal dan penggunaannya terbatas.
Kedua pencitraan ini walaupun sangat baik untuk mendeteksi kelainan anatomi, tetapi tidak dapat membedakan anatara OSA dan non-OSA (Nadia, 2013).
Polisomnografi (PSG) adalah pemeriksaan baku emas untuk menegakkan diagnosis OSA. PSG merupakan uji diagnostik untuk mengevaluasi gangguan tidur, yang dilakukan pada malam hari di laboratorium tidur, juga digunakan untuk membantu pemilihan terapi dan evaluasi hasil terapi (Rasjid, 2015). Total waktu tidur yang dicatat paling sedikit 4 jam (Budiarsa, 2016).
Ada tiga sinyal utama yang dimonitor yaitu pertama, sinyal untuk mengonfirmasi keadaan stadium tidur seperti elektroensefalogram (EEG) untuk mencatat gelombang listrik saraf pusat, elektrookulogram (EOG) untuk mencatat gerakan mata dan elektromiogram (EMG) untuk mencatat gerakan otot pernapasan. Sinyal kedua adalah sinyal yang berhubungan dengan irama jantung, yaitu elektrokardiogram (ECG) dan sinyal ketiga yang berhubungan dengan respirasi seperti oksimetri untuk mencatat saturasi oksigen (Prabha et al., 2016).
Frekuensi kejadian obstruktif dilaporkan sebagai indeks apnea-hipopnea (AHI), yaitu jumlah rerata kejadian apnea dan hipopnea per jam tidur atau indeks gangguan pernapasan (RDI) (Luman, 2016).
Karakteristik OSA pada saat dilakukan PSG adalah penurunan saturasi oksigen berulang, sumbatan sebagian atau seluruh jalan napas atas yang disertai dengan ≥ 50% penurunan amplitudo pernapasan, peningkatan usaha pernapasan sehingga terjadi perubahan stadium tidur menjadi lebih dangkal dan terjadi desaturasi oksigen (Putu & Agus, 2017).
Gambar 2.5. Polisomnografi (Budiarsa, 2016).
Penegakan diagnosis OSA berdasarkan gejala yang berhubungan, disertai frekuensi kejadian respirasi selama tidur (seperti apnea, hipopnea, dan terbangun akibat usaha respirasi/Respiratory Event Related Arousals/RERAs) yang dapat diukur dengan polisomnografi atau uji tidur di luar sentra (Out of Center Sleep Testing/OCST). Diagnosis OSA dapat dikonfirmasi apabila dijumpai dua kondisi berikut (Luman, 2016) :
1. Dijumpai 5 atau lebih kejadian respirasi obstruktif yang predominan (apnea obstruktif dan campuran, hipopnea, dan RERAs) per jam tidur (untuk polisomnografi) atau waktu pencatatan (untuk OCST) pada pasien dengan satu atau lebih gejala berikut :
- Mengantuk, tidur tidak puas, kelelahan, atau insomnia - Terbangun karena menahan napas, gasping, atau tersedak
- Kebiasaan mendengkur, interupsi pernapasan, atau keduanya yang
- Kebiasaan mendengkur, interupsi pernapasan, atau keduanya yang