• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan gangguan napas saat tidur yang ditandai dengan episode berulang dari henti napas (apnea) atau kurang napas (hypopnea) minimal 10 detik saat tidur karena obstruksi parsial atau total pada jalan napas bagian atas. Ketika seseorang sedang tidur, otot-otot pernapasan menjadi rileks dan pada kondisi OSA ini terjadi kolaps pada jaringan lunak di belakang tenggorokan, sehingga terjadi obstruksi pada saluran napas atas (Prabha et al., 2016). OSA ditandai dengan rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari, mendengkur yang mengganggu, episode berulang-ulang dari obstruksi jalan napas atas selama tidur dan hipoksemia nokturnal (Sharma et al., 2006).

Penyempitan saluran napas atas secara parsial atau total ini menyebabkan tidak adekuatnya ventilasi alveolar, sehingga memungkinkan terjadi penurunan saturasi oksigen (O₂ ) dan peningkatan tekanan parsial karbondioksida (CO₂ ).

Kondisi tersebut umumnya berakhir dengan terbangunnya penderita OSA dari tidur sebagai upaya untuk bisa bernapas kembali dalam rangka memenuhi kecukupan oksigen. Hal tersebut menyebabkan terjadinya fragmentasi episode tidur dan juga reduksi oksihemoglobin yang berulang. Pola seperti ini dapat terjadi beberapa kali bahkan ratusan kali dalam satu malam, sehingga sering menyebabkan terjadinya peningkatkan rasa kantuk berlebihan di siang hari atau sering dikenal dengan istilah excessive daytime sleepiness pada penderitanya (Awwalia, 2019).

Menurut Swierzewski, S.J. (2000), proses terbangun dari tidur pada penderita OSA biasanya hanya berlangsung beberapa detik, tetapi dapat menganggu irama tidur yang berkesinambungan. Dan juga dapat menghalangi seseorang masuk ke dalam tingkat tidur yang dalam, seperti Rapid Eye Movement (REM) sleep. Tidak

dapatnya seseorang masuk ke tingkat tidur yang dalam dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup seseorang, seperti mengantuk sepanjang hari, penurunan daya ingat, disfungsi ereksi (impotensi), depresi, dan perubahan kepribadian (Natalia C, 2010).

Kelebihan berat badan adalah temuan klinis yang umum dan terdapat pada lebih dari 60% pasien yang dirujuk untuk evaluasi tidur diagnostik. Studi epidemiologis dari seluruh dunia secara konsisten mengidentifikasi berat badan sebagai faktor risiko terkuat untuk OSA (Punjabi, 2008). Pada orang dengan overweight dan obesitas, terjadi deposisi lemak pada jaringan di saluran pernapasan bagian atas. Sehingga, hal tersebut menyebabkan lumen saluran napas atas menjadi lebih kecil dari sebelumnya dan meningkatkan terjadinya kolaps pada saluran napas atas. Apabila hal tersebut terjadi, terutama saat tidur, penderitanya akan mengalami kesulitan bernapas yang bisa juga berujung menjadi kondisi apnea (Awwalia, 2019).

Berdasarkan penelitian dilaporkan 24% pria dan 9% wanita dewasa mempunyai angka kejadian atau apnea-hipopnea index (AHI) lebih dari 5 kali/jam. Dilaporkan bahwa 4% pria, 2% wanita dan 1 – 3% pada anak mempunyai gejala OSA, termasuk adanya gejala daytime hipersomnolence yang diakibatkan oleh kejadian apnea-hipopnea (Arter et al., 2004). Menurut Bradley dkk. (2009), di Amerika Serikat, prevalensi OSA (AHI ≥5) pada orang dewasa kulit putih dengan usia 30 –60 tahun sekitar 24% laki-laki dan 9% perempuan.

Sedangkan menurut Yuri Sakamoto dkk. (2018), prevalensi OSA pada pekerja shift bervariasi yaitu sekitar 14,3% hingga 38,1%. Data prevalensi OSA pada populasi di Indonesia sampai saat ini bervariasi. Belum ada penelitian berskala nasional yang memperhatikan gangguan tidur yang fatal ini. Penelitian Wiadnyana dkk., dengan kuesioner Berlin pada pengemudi taksi X di Jakarta, menemukan bahwa 25% pengemudi mempunyai risiko tinggi OSA (Susanto et al., 2016).

Penyakit OSA sering tidak terdiagnosis sehingga memerlukan perhatian khusus untuk melihat adanya tanda dan gejala yang konsisten (Budiarsa, 2016).

Gejala OSA berupa rasa mengantuk atau rasa lelah, merupakan gejala yang umum dijumpai di dalam populasi. Sayangnya, tenaga kesehatan termasuk dokter sangat jarang sadar akan kondisi pasien yang memiliki risiko OSA ini yang pada akhirnya banyak pasien yang menderita gangguan ini tidak terdiagnosis dan tidak diterapi (Wiadnyana et al., 2010).

Riwayat tidur dan pemeriksaan fisik penting dalam identifikasi pasien dan rujukan yang tepat untuk polisomnografi. Polisomnografi (PSG) sebagai baku emas diagnosis OSA memiliki keterbatasan karena dinilai mahal dan cukup menyita waktu, beberapa pakar mengusulkan kuesioner untuk deteksi OSA (Patil et al., 2007). Oleh karena itu, untuk efektifitas dikembangkan metode lain untuk mengukur risiko terjadinya OSA, antara lain kuesioner Berlin. Kuesioner Berlin dapat digunakan untuk melakukan stratifikasi risiko OSA, yang terdiri dari IMT, riwayat hipertensi, beberapa pertanyaan mengenai seberapa sering seseorang tertidur di siang hari, severitas dan frekuensi mendengkur dan seberapa sering seseorang tertidur saat mengendarai mobil (Mukhlis M. dan Bakhtiar A., 2019).

Kelelahan dipengaruhi oleh kualitas tidur yang meliputi kecukupan tidur seseorang. Jika seseorang mengalami kurangnya kecukupan tidur, maka akan mempengaruhi kualitas tidur sehingga pekerjaannya atau aktivitasnya dapat terganggu yang dapat mengakibatkan penurunan kinerja seseorang dalam bekerja dengan timbulnya gejala mata lelah, mengantuk, hingga dapat tertidur (Prakoso et al., 2018). Berdasarkan data dari International Labour Organization (ILO) menyebutkan hampir setiap tahun yaitu 2011-2014 sebanyak dua juta pekerja meninggal dunia karena kecelakaan kerja yang disebabkan oleh faktor kelelahan.

Penelitian tersebut menyatakan dari 58.115 sampel dan 32,8% diantaranya atau sekitar 18.828 sampel menderita kelelahan. Hal ini dikaitkan dengan posisi kerja yang monoton (selalu berada di meja kerja), siklus kerja yang cepat, dan tingginya pemantauan di lingkungan kerja. Pekerjaan dengan sikap dan posisi tertentu

terkadang cenderung membuat keadaan tidak nyaman dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama dengan durasi kerja 8 jam perhari. Hal ini tentu saja akan mengakibatkan pekerja cepat lelah dan kelelahan yang berlanjut (Rosdiana, 2019).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Julianti mengenai hubungan antara faktor individu dengan faktor pekerjaan dengan kelelahan objektif pada tenaga kerja yang terpapar kebisingan di PT. Barata Indonesia tahun 2011 menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara beban kerja dengan kelelahan kerja. Penelitian lain yang dilakukan oleh Cristover (2016) menunjukkan hal yang sama yakni adanya hubungan antara beban kerja dengan kelelahan kerja pada pegawai BPN tingkat II Samarinda (p=0,033) dengan nilai korelasinya 0,361 (Wira, 2017).

Pekerjaan yang dilakukan pegawai setiap harinya juga termasuk dalam golongan aktivitas ringan sampai sedang yang merupakan faktor risiko obesitas.

Adapun, aktivitas fisik yang sedikit dan makanan cepat saji menjadi bagian dari kehidupan pekerja kantor dewasa ini. Hal ini disebabkan oleh beratnya tuntutan pekerjaan sehingga tidak ada kesempatan untuk berolahraga dan merujuk kepada perilaku hidup yang instan, misalnya makanan. Menurut penelitian yang dilakukan di Universitas Lampung tahun 2017, terdapat hubungan antara obesitas dengan risiko Obstructive Sleep Apnea pada pegawai negeri sipil laki-laki di lingkungan universitas tersebut (Gita C, 2018). Sebuah studi prospektif dengan memilih 690 sampel secara acak menunjukkan peningkatan berat badan 10%

dapat meningkatkan risiko OSA sebesar enam kali lipat. Beberapa studi berbasis populasi juga memperkirakan bahwa 1 dari 5 dewasa usia menengah dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) 25-28 kg/m2 menderita OSA, dimana 1 dari 20-nya adalah asimptomatik. Kelainan ini juga terdapat lebih dari 40% pada individu IMT diatas 30 dan umumnya pada IMT 40 (Puan, 2013).

Jika dilihat dari faktor risiko yang ada di lingkungan pekerja kantoran serta jarangnya OSA terdiagnosis, diperkirakan kemungkinan risiko OSA pada pegawai kantor PT. Telkom Witel Medan juga cukup tinggi. Berdasarkan survei awal yang

dilakukan oleh Rosdiana (2019) kepada 10 orang pekerja pengguna komputer di PT. Telekomunikasi Witel Medan dengan wawancara menunjukkan bahwa hanya 2 orang pekerja pengguna komputer yang memiliki konsentrasi yang baik dalam bekerja sehingga tidak mengalami stres kerja, tidak mempermasalahkan jam kerja yang berlebih dan tidak mengalami kelelahan dalam bekerja. Sedangkan 8 orang pekerja pengguna komputer memiliki konsentrasi yang rendah. Alasannya dikarenakan jam kerja yang lebih dari 8 jam, kelelahan kerja yang disebabkan karena sebelum bekerja sudah merasa lelah, sulit tidur, mudah mengantuk, dan adanya gangguan penglihatan saat bekerja.

Berdasarkan penjabaran di atas, peneliti ingin mengetahui lebih lanjut mengenai gambaran risiko terjadinya OSA dengan menggunakan kuesioner pada pekerja kantor yang dalam hal ini merupakan pegawai kantor PT. Telkom Witel Medan.

Dokumen terkait