BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Obstructive Sleep Apnea
2.1.8. Penatalaksanaan
2.1.8.1 Tatalaksana Non-Bedah
Terapi non bedah merupakan terapi yang lebih diutamakan dalam penanganan OSA melihat efek samping yang lebih minimal. Menurut penelitian yang meneliti guideline penanganan OSA, didapatkan beberapa rekomendasi dalam manajemen OSA non bedah, yaitu (Budiarsa, 2016) :
1. Rekomendasi 1 : Penurunan berat badan, terutama pada pasien yang mengalami overweight dan obese. (Grade : strong recommendation; low- quality evidence).
Dengan menurunkan berat badan, penderita OSA dengan obesitas dapat meningkatkan volume dan fungsi saluran napas atas. Pasien overweight &
obese harus didukung untuk melakukan penurunan berat badan sehingga dapat menjadikan diameter saluran napas lebih luas dan meningkatkan fungsinya (Nadia, 2013).
2. Rekomendasi 2 : Penggunaan CPAP (Continuous Positive Airway Pressure), terutama untuk terapi awal pada pasien yang ditemukan dengan OSA. (Grade : strong recommendation; moderate-quality evidence).
CPAP terdiri dari masker yang menutupi mulut dan hidung, pipa yang menghubungkan masker dengan mesin, dan mesin yang berfungsi memberikan tekanan positif pada saluran napas. Indikasi penggunaan CPAP adalah semua pasien dengan AHI >15. Apabila AHI berkisar antara 5 – 15, penggunaan CPAP diindikasikan ketika ada gejala-gejala seperti EDS, gangguan kognitif, gangguan mood, atau adanya komplikasi akibat OSA, seperti hipertensi atau penyakit kardiovaskuler (Prabha et al., 2016).
Terapi dengan CPAP sangat efektif dalam menurunkan gejala OSA hingga 90 – 95% dengan penggunaan 4 – 5 jam/malam. Penelitian belum mempelajari durasi reguler penggunaan CPAP untuk menurunkan dan mengeliminasi gejala sisa (sequelae) jangka panjang (Nadia, 2013).
Gambar 2.7. Continuous Positive Airway Pressure/CPAP (Budiarsa, 2016).
Keuntungan terapi ini yaitu hilangnya keadaan hipoksemia nokturnal, penurunan aktivitas simpatis, penurunan signifikan tekanan darah selama tidur, mengurangi kejadian iskemik miokard nokturnal atau angina, perbaikan fungsi sistolik ventrikel kiri, peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri dengan hasil akhir perbaikan status fungsional, serta mengurangi risiko stroke dan kematian. Kelemahan CPAP adalah adanya rasa tidak nyaman pada saat penggunaannya, adanya rasa claustrophobia, sakit kepala, rinitis, iritasi wajah dan hidung serta aerofagia (Budiarsa, 2016).
3. Rekomendasi 3 : Mandibular advancement devices, direkomendasikan pada pasien yang memiliki efek samping terhadap penggunaan CPAP atau menolak menggunakan CPAP (Grade: weak recommendation; low-quality evidence).
Oral appliances (OA) dapat digunakan pada pasien OSA ringan sampai sedang dan pasien OSA berat yang tidak toleran terhadap CPAP atau menolak dilakukan pembedahan. OA yang paling sering digunakan adalah Mandibular Advanced Splints (MAS), yaitu alat yang melekat baik pada arkus dental atas maupun bawah untuk mempertahankan posisi mandibula dan mencegah agar lidah tidak jatuh ke belakang. Sama seperti CPAP, MAS juga berfungsi mencegah kolapsnya saluran napas atas selama tidur sehingga dapat menurunkan episode apnea atau hipopnea pada pasien OSA. Kerugian dari penggunaan alat ini adalah produksi saliva yang berlebihan, mulut kering,
iritasi gusi, atralgia pada sendi temporomandibula, nyeri pada gigi, dan perubahan oklusi gigi (Prabha et al., 2016).
Gambar 2.8. Mandibular Advanced Splints/MAS (Budiarsa, 2016).
Selain itu, terdapat tatalaksana non-bedah lainnya, yaitu terapi posisi dan modifikasi gaya hidup. Posisi tidur telentang atau supine berhubungan dengan peningkatan episode apnea atau hypopnea dan keparahan desaturasi oksigen karena pengaruh gravitasi serta perubahan ukuran dan posisi saluran napas atas pada posisi tersebut (Prabha et al., 2016). Biasanya pasien diberitahukan agar tidur dalam posisi lateral dekubitus untuk mencegah terjadinya obstruksi (Nadia, 2013). Berbagai strategi digunakan untuk mencegah punggung pasien menyentuh alas tidur, contohnya memasang alarm yang berbunyi saat pasien tidur dalam posisi telentang. Selain itu, punggung pasien dapat dipasang bantal atau bola agar merasa tidak nyaman saat tidur dalam posisi telentang. Terapi posisi dikatakan berhasil apabila terdapat penurunan AHI hingga kurang dari 10 pasca terapi (Prabha et al., 2016).
Pada modifikasi gaya hidup, pasien diedukasi agar tidak menggunakan obat- obat sedatif, alkohol, nikotin dan kafein pada sore hari karena zat tersebut akan mempengaruhi tonus otot-otot saluran napas dan mekanisme sentral pernapasan (Nadia, 2013).
2.1.8.2 Tatalaksana Pembedahan
Terapi bedah pada OSA dilakukan apabila tidak terdapat perbaikan dengan terapi non-bedah. Tujuan terapi bedah pada OSA adalah untuk memperbaiki
volume dan bentuk saluran napas atas. Indikasi harus jelas dan dipersiapkan dengan baik. Indikasi pembedahan OSA adalah AHI 20 kali/jam, saturasi O2
<90%, tekanan esofagus di bawah -10 cmH2O, adanya gangguan kardiovaskuler (seperti aritmia dan hipertensi), gejala neuropsikiatri, gagal dengan terapi non- bedah dan adanya kelainan anatomi yang menyebabkan obstruksi jalan napas (Budiarsa, 2016).
- Persiapan pre-operasi : Penatalaksanaan operatif dilakukan tergantung dari letak kelainan individu yang menyebabkan terjadinya OSA dengan tujuan mengoptimalkan efektifitas dari operasi dan meminimalkan morbiditas.
Evaluasi ulang dilakukan 4-6 bulan setelah operasi untuk mengetahui efek dari terapi bedah tersebut pada pasien OSA. Prosedur-prosedur pembedahan akan dilakukan setelah pemeriksaan fisik, endoskopi dengan maneuver Muller, sefalometri dan PSG. Pembedahan ini memiliki dua fase (Nadia, 2013).
- Operasi fase 1: Operasi ini dilakukan pada pasien OSA tipe 1 anatomi saluran napas atas seperti obstruksi orofaringeal dengan Uvulo Palato Pharyngoplasty (UPPP), tipe 2 anatomi saluran napas atas seperti obstruksi orofaringeal dan hipofaringeal dengan UPPP dan genioglossus advancement dengan atau tanpa hyoid myotomy, dan tipe 3 anatomi saluran napas atas seperti obstruksi hipofaringeal dengan genioglossus advancement tanpa operasi palatum.
Semua pasien yang akan menjalani fase 1 pembedahan akan dilakukan anastesi umum dan harus diberitahukan kemungkinan risiko dari anastesi, nyeri postoperasi, infeksi, perdarahan, dan insufisiensi velofaryngeal jangka panjang dan pendek pada pasien UPPP (Nadia, 2013).
- Pembedahan fase 2 (maxillary-mandibulae osteotomy) : Dilakukan pada pasien yang tidak membaik dengan operasi fase 1 setelah di evaluasi 6 bulan kemudian (Nadia, 2013).
- Selain yang telah disebut, terdapat beberapa tindakan bedah dalam penatalaksanaan OSA tergantung pada letak kelainannya seperti : Laser Assisted Uvuloplasty (LAUP), ablasi radiofrekuensi, operasi basis lidah, trakeostomi, implant palatal (Nadia, 2013).