• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : ANALISIS PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA DALAM

N. Cinta Damai

Pendidikan karakter bangsa Kemendiknas menyatakan bahwa cinta damai terindikasikan dari sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Dalam bahasa Quraish Shihab, cinta kedamaian adalah esensi dari keislaman. Setiap rukun Islam, yang paling penting adalah substansinya, bukan bentuk-bentuknya. Islam adalah penyerahan diri secara totalitas kepada Allah Swt dan dalam implementasinya, seorang muslim hendaknya berkasih sayang terhadap sesama. Seorang muslim hendaknya menjaga lidahnya, menjaga akhlaknya sehingga tidak menyakiti hati orang lain. Ketika kita telah memiliki kelebihan harta yang kita butuhkan untuk makan sehari semalam, hendaknya kita menolong sesama kita yang kurang mampu. Pun saat kita berpuasa, Allah mengajarkan kita untuk turut merasakan atau berempati, karena masih banyak saudara-saudara kita di luar sana yang hidupnya kekurangan dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Ketika berhaji, Allah menyerukan agar kita tidak bertengkar. Kita diperintahkan untuk membangun silahturahiim yang harmonis dengan sesama, tidak saling membenci ataupun saling menghujat. Sehingga, Rukun Islam bukan hanya untuk dihafalkan semata, namun juga untuk untuk dipahami, dihayati dan dilaksanakan setiap substansinya (Shihab, 1994).

Quraish Shihab berpendapat bahwa ciri paling sederhana dari keislaman adalah apabila sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Namun demikian, Islam sebagai agama berbeda dengan kepercayaan lain. Dalam hal ini, Quraish adalah satu dari sederetan ulama Indonesia yang dengan tegas menolak pendapat sebagian kalangan yang mengatakan bahwa semua agama adalah sama, terlebih dengan menjadikan kedamaian dan toleransi beragama sebagai justifikasi untuk mengorbankan keyakinan keberagamaan para penganutnya (Shihab, 2007: 3).

Dia mengakui bahwa perbedaan adalah keniscayaan. Keragaman dan perbedaan tidak dapat dihindari walau dalam saat yang sama manusia dituntut oleh kedudukannya sebagai makhluk sosial untuk menyatu dalam bentuk bantu-membantu dan topang-menopang (Shihab, 2007: 28). Lebih lanjut Quraish Shihab menegaskan beda antara perbedaan dan perselisihan. Yang pertama harus ditoleransi apalagi ia dapat menjadi sumber kekayaan intelektual serta jalan keluar bagi kesulitan yang dihadapi. Keragaman dan perbedaan dapat menjadi rahmat selama dialog dan syarat-syaratnya terpenuhi. Karena itu, perbedaan tidak otomatis menjadi buruk atau bencana, sebagaimana tidak juga ia selalu baik dan bermanfaat. Dan tentu saja, perbedaan bukanlah ancaman sehingga menjadi alasan

untuk menyatukan pemahaman keberagamaan yang memang tidak akan pernah bisa disatukan, terutama karena terkait dengan aspek tauhid, aspek yang menjadi inti dasar keberagamaan (Shihab, 2007: 29).

Menurut Quraish Shihab, keberagamaan adalah fithrah (sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya sebagaimana Surat al-Rum ayat 30. Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Tuhan menciptakan demikian karena agama merupakan kebutuhan hidupnya. Memang manusia dapat menangguhkannya sekian lama – boleh jadi sampai dengan menjelang kematiannya. Tetapi pada akhirnya, sebelum ruh meninggalkan jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu (Shihab, 1997: 376).

Islam terlahir dengan ide dasar perdamaian. Kedamaian yang bukan saja didambakan untuk orang per-orang, tetapi juga untuk semua pihak. Sehingga tidak heran, menurut Quraish Shihab, jika salah satu ciri seorang Muslim, adalah seperti sabda Nabi Muhammad SAW. (Shihab, 1997: 376),

هديو ه اسل ْ م و لْس ْلا ملس ْ م

“Orang Muslim yang selamat ialah apabila orang lain selamat dari gangguan

lidah dan tangannya.” (Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab al-Iman, Bab al-Muslim Man Salima al-Muslimuna min Lisanihi wa Yadihi, No. 9, Maktabah Syamilah).

Perdamaian merupakan salah satu ciri utama agama Islam. Ia lahir dari pandangan ajarannya tentang Allah, Tuhan Yang Mahakuasa, alam, dan manusia. Allah, Tuhan Yang Maha Esa, adalah Maha Esa, Dia yang menciptakan segala sesuatu berdasarkan kehendak-Nya semata. Semua ciptaan-Nya adalah baik dan serasi, sehingga tidak mungkin kebaikan dan keserasian itu mengantar kepada kekacauan dan pertentangan. Dari sini bermula kedamaian antara seluruh ciptaan-Nya (Shihab, 1997: 378).

Benar bahwa Islam memerintahkan untuk mempersiapkan kekuatan guna menghadapi musuh. Namun persiapan itu tidak lain kecuali, menurut istilah

Al-Qur‟an, adalah untuk menakut-nakuti mereka (yang bermaksud melahirkan

kekacauan dan disintegrasi), sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Anfal ayat 60. Peperangan, kalau terjadi, tidak dibenarkan kecuali untuk menyingkirkan penganiayaan, itu pun dalam batas-batas tertentu. Anak-anak, orang tua, kaum lemah, bahkan pepohonan harus dilindungi, dan atas dasar ini, datang petunjuk Tuhan dalam firman-Nya Surat al-Anfal ayat 61 (Shihab, 1997: 379),

“Kalau mereka cenderung kepada perdamaian, maka sambutlah kecenderungan itu, dan berserah dirilah kepada Allah.” (QS. Al-Anfal: 61).

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi‟in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka; tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak

(pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 62).

Quraish Shihab menolak pandangan sekelompok orang yang menyatakan bahwa semua agama itu sama. Dia mengatakan, “Ada sementara orang yang perhatiannya tertuju kepada penciptaan toleransi antar umat beragama yang berpendapat bahwa ayat ini dapat menjadi pijakan untuk menyatakan bahwa penganut agama-agama yang disebut oleh ayat ini, selama beriman kepada Tuhan dan Hari Kemudian, maka mereka semua akan memperoleh keselamatan dan tidak

akan diliputi oleh rasa takut di akhirat kelak, tidak pula akan bersedih.” (Shihab1,

2000: 216).

Pendapat semacam ini menurutnya nyaris menjadikan semua agama sama, padahal agama-agama itu pada hakikatnya berbeda-beda dalam akidah serta ibadah yang diajarkannya. Dia katakan, “Bagaimana mungkin Yahudi dan Nasrani dipersamakan, padahal keduanya saling mempersalahkan. Bagaimana mungkin yang ini dan itu dinyatakan tidak akan diliputi rasa takut atau sedih, sedang yang ini menurut itu, dan atas nama Tuhan yang disembah, adalah penghuni surga dan yang itu penghuni neraka? Yang ini tidak sedih dan takut, dan yang itu, bukan saja

takut tetapi disiksa dengan aneka siksa.” (Shihab1, 2000: 216).

Di dalam menafsirkan ayat ini, dia belum secara tegas menegaskan agar pilihan manusia jatuh kepada Islam, selain agar setiap pemeluk agama menyerahkan keputusannya kepada waktu Kemudian, “Bahwa surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah memang harus diakui. Tetapi hak tersebut tidak menjadikan semua penganut agama sama dihadapan-Nya. Bahwa hidup rukun dan damai antar pemeluk agama adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan tuntunan agama, tetapi cara untuk mencapai hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran agama. Caranya adalah hidup damai dan menyerahkan kepadaNya semata untuk memutuskan di hari Kemudian kelak, agama siapa yang direstui-Nya dan agama siapa pula yang keliru, kemudian menyerahkan pula kepada-Nya penentuan akhir, siapa yang dianugerahi kedamaian dan surga dan siapa pula yang akan takut dan bersedih.” (Shihab1, 2000: 216).

Dia menguatkan bahwa kita harus percaya bahwa di hari Kemudian ada yang dinamai penimbangan amal. Bagaimana cara menimbang dan apa alatnya tidaklah harus kita ketahui, tetapi yang jelas dan yang harus dipercaya adalah bahwa ketika itu keadilan Allah Swt. akan sangat nyata lagi sangat sempurna dan tidak seorang pun – walau yang terhukum – mengingkari keadilan itu (Shihab, 2006: 141).

Terdapat ayat yang hampir serupa redaksinya dengan ayat ini, yakni yang terdapat dalam firman Allah Surat al-Maidah ayat 69,

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Kalau di ayat yang awal penyebutan kata an-Nashârâ adalah yang kedua setelah hâdu dan sebelum ash-Shâbi‟în, sedang di sini gilirannya adalah yang ketiga setelah hâdu dan ash-Shâbi‟ûn. Perbedaan yang lain adalah dalam

al-Baqarah ada kalimat “bagi mereka ganjaran mereka di sisi Tuhan mereka”, sedang

dalam al-Ma‟idah kalimat ini tidak disebut. Dari segi redaksional, kelihatannya perurutan penyebutan kelompok-kelompok tersebut pada ayat al-Baqarah lebih sesuai, yakni tidak memisahkan antara orang-orang Yahudi dan Nasrani dengan kata ash-Shabi‟un, lebih sesuai dengan pemisahan yang terjadi pada ayat ini.

Mengutip pakar tafsir al-Zamakhsyari dalam tafsirnya, dia mengemukakan bahwa ayat ini mengandung satu makna yang ingin dikemukakan dan karena itu pula bentuk kata ash-Shabi‟un yang digunakan di sini, bukan al-Shabi‟in semacam QS. al-Baqarah di atas dan yang sepintas harus demikian itu menurut kaidah kebahasaan. Redaksi ini menurutnya bertujuan untuk menggarisbawahi bahwa jangankan orang-orang Yahudi dan Nasrani, para Shabi‟un yang kedurhakaan mereka terhadap Allah jauh lebih besar, diterima taubatnya oleh Allah, apalagi Ahl al-Kitab itu, selama mereka beriman dengan benar dan beramal shaleh.

Ketika menafsirkan firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 62, Quraish Shihab mengemukakan bahwa persyaratan beriman kepada Allah dan hari kemudian seperti bunyi Surat Ali „Imran ayat 69,

“Segolongan dari ahli kitab ingin menyesatkan kamu, padahal mereka

(sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak

menyadarinya.”

Menurut Quraish, bukan berarti hanya kedua rukun itu yang dituntut dari mereka, tetapi keduanya adalah istilah yang biasa digunakan oleh Al-Qur‟an dan Sunnah untuk makna iman yang benar dan mencakup semua rukunnya. Dan akan sangat panjang bila semua objek keimanan disebut satu demi satu. Rasul Saw. dalam percakapan sehari-hari sering hanya menyebut keimanan kepada Allah dan hari kemudian. Misalnya sabda beliau Saw., “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah dia menghormati tamunya,” di kali lain beliau

bersabda, “… mengucapkan kata-kata yang baik atau diam, ….,” (Muslim, Shahih

Muslim Bab al-Iman No. 67, Maktabah Syamilah) dan masih banyak yang serupa. Quraish Shihab cukup serius dalam mengomentari pendapat sementara orang yang perhatiannya tertuju kepada penciptaan toleransi antar umat beragama yang berpendapat bahwa ayat ini dapat menjadi pijakan untuk menyatakan bahwa penganut agama-agama yang disebut oleh ayat ini, selama beriman kepada Tuhan

dan hari kemudian, maka mereka semua akan memperoleh keselamatan, tidak akan diliputi oleh rasa takut di akhirat kelak, tidak pula akan bersedih. Menurutnya, pendapat semacam ini nyaris menjadikan semua agama sama, padahal agama-agama itu pada hakikatnya berbeda-beda dalam akidah serta ibadah yang diajarkannya. Bagaimana mungkin Yahudi dan Nasrani dipersamakan padahal keduanya saling mempersalahkan. Dia mengakui bahwa surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah, tetapi hak tersebut tidak menjadikan semua penganut agama sama di hadapan-Nya. Bahwa hidup rukun dan damai antar pemeluk agama adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan tuntunan agama, tetapi cara untuk mencapai hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran agama. Caranya adalah hidup damai dan menyerahkan kepada-Nya semata untuk memutuskan di hari kemudian kelak, agama siapa yang direstui-Nya dan agama siapa pula yang keliru, kemudian menyerahkan pula kepada-Nya penentuan akhir, siapa yang dianugerahi kedamaian dan surga dan siapa pula yang akan takut dan bersedih (Shihab1, 2000: 146).

Ketegasan Quraish Shihab di dalam menjadikan Islam sebagai pilihan hidup yang utama yakni memilih Islam sebagai agama-Nya baru dapat terlihat ketika dia menafsirkan firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 132 (Shihab1, 2000: 146),

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian

pula Ya‟qub. (Ibrahim berkata), “Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah

memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.”

Quraish mengatakan, “Memang banyak agama yang dikenal oleh manusia, tetapi yang ini, yakni yang intinya adalah penyerahan diri secara mutlak kepada-Nya, itulah yang direstui dan dipilih oleh-Nya. Karena itu maka janganlah kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah diri kepada-Nya, yakni memeluk agama Islam. Pesan ini berarti kamu jangan meninggalkan agama itu walau sesaat pun. Sehingga dengan demikian, kapanpun saatnya kematian datang kepada kamu,

kamu semua tetap menganutnya.” (Shihab1, 2000: 331).

Muhammad Quraish Shihab ketika Menafsirkan firman Allah dalam surat Ali „Imrân ayat 19,

“Sesungguhnya agama yang ada di sisi Allah adalah al-Islam.”

Ia menafsirkan dengan menegaskan bahwa ketundukan dan ketaatan kepada-Nya adalah keniscayaan yang tidak terbantah, sehingga jika demikian, hanya keislaman, yakni penyerahan diri secara penuh kepada Allah yang diakui dan diterima di sisi-Nya. Dan Islam dalam arti “penyerahan diri” adalah hakikat yang ditetapkan Allah dan diajarkan oleh para nabi sejak Nabi Adam a.s. hingga Nabi Muhammad SAW (Shihab2, 2000: 38).

Dalam pengamatannya, tidak ditemukan kata Islam dalam Al-Qur‟an kecuali setelah agama ini sempurna dengan kedatangan Nabi Muhammad SAW. Ditinjau dari sudut pandang agama maupun sosiologis, menurutnya, itulah nama ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW., dan secara Aqidah Islamiyah, siapapun yang mendengar ayat itu dituntut untuk menganut ajaran yang dibawa oleh para rasul adalah Islam, sehingga siapapun sejak Adam hingga akhir zaman yang tidak menganut agama sesuai yang diajarkan oleh rasul yang diutus kepada mereka, maka Allah tidak menerimanya (Shihab2, 2000: 38).

Perselisihan di antara pengikut para Nabi yang diutus Allah untuk membawa ajaran Islam, menurutnya, terjadi lebih karena kedengkian yang ada di antara mereka. Bukan kedengkian antara mereka dengan yang lain, tetapi antara mereka satu dengan yang lain. Kedengkian yang merupakan terjemahan dari kata „baghyan‟yang digunakan ayat 19 surat Ali „Imran adalah ucapan atau perbuatan yang dilakukan untuk tujuan mencabul nikmat yang dianugerahkan Allah kepada pihak lain disebabkan rasa iri hati terhadap pemilik nikmat itu (Shihab2, 2000: 39), dan ajaran Nabi Ibrahim a.s. adalah hanif, tidak bengkok, tidak memihak kepada pandangan hidup orang-orang Yahudi, tidak juga mengarah kepada agama Nasrani, demikian tafsirannya (Shihab2, 2000: 111) pada surat Ali „Imran ayat 67 yang berbunyi,

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus.”

Quraish Shihab di dalam menjelaskan surat al-Maidah ayat 18,

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, „Kami ini adalah anak-anak

Allah dan kekasih-kekasih-Nya.‟ Katakanlah, „Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?‟ (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya.”

Ia menafsirkan bahwa salah satu kegelapan utama yang menyelubungi jiwa dan pikiran ahl al-Kitâb, lebih-lebih kelompok Nasrani, adalah keyakinan mereka tentang Tuhan. Inilah yang utama dan pertama yang diluruskan oleh Nabi Muhammad SAW. dan Al-Qur‟an (Shihab3, 2000: 52).

Umat Kristiani dewasa ini menganggap bahwa Al-Qur‟an atau Nabi Muhammad SAW. telah keliru dalam memahami keyakinan umat Kristiani tentang Tuhan. Dia mengingatkan bahwa keyakinan Nasrani tentang Tuhan sungguh beraneka ragam. Sehingga kalau apa yang diinformasikan Al-Qur‟an, tidak diakui oleh satu kelompok, maka itu bukan berarti bahwa tidak ada kelompok lain yang berkata demikian. Memang, uraian tentang ketuhanan dan makna-maknanya sedemikian sulit dipahami – bahkan oleh penganut-penganut agama Kristen sendiri – sampai mereka meyakini bahwa ajaran ketuhanan adalah dogma yang tidak dapat terjangkau oleh nalar. Di sisi lain, keyakinan tentang kedudukan al-Masih, baru ditetapkan pada tahun 325M. Sebelum ketetapan itu para uskup dan pemuka agama Kristen berbeda pendapat. Ada yang menyatakan bahwa Isa dan ibunya adalah dua tuhan, ada lagi yang berkeyakinan bahwa hubungan Isa as. dan Allah bagaikan hubungan kobaran api yang berpisah dari kobaran api yang lain, kobaran pertama tidak berkurang dengan adanya kobaran kedua. Ada juga yang berkeyakinan bahwa Isa as. adalah rasul Allah sebagaimana rasul-rasul yang lain. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau anak Tuhan tetapi dalam saat yang sama al-Masih adalah makhluk-Nya dan masih banyak lagi pendapat yang lain. Bahkan paham Trinitas dewasa ini mempunya penafsiran yang berbeda-beda. Sekali lagi, perlu dikemukakan adanya perkembangan pemikiran di kalangan orang-orang Kristen tentang Tuhan dan Keesaan-Nya. Namun secara umum mereka mengenal apa yang mereka istilahkan dengan Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Ruh al-Kudus (Shihab3, 2000: 54).

Dalam kitab Perjanjian Lama dan Baru memang ditemukan istilah anak-anak Tuhan. Dalam Kitab Ulangan 14:1 tercantum ucapan Nabi Musa as. yang ditujukan

kepada umatnya bahwa: “Kamulah anak-anak Tuhan, Allah-mu”; Dalam Injil

(Perjanjian Baru) istilah serupa banyak juga ditemukan. Misalnya dalam Matius 5:5

antara lain ditemukan: “Berbahagialah orang-orang yang membawa damai karena

mereka disebut anak-anak Allah”. Tetapi tentu saja kata “anak” atau “bapak” bukan dalam arti sebenarnya, tetapi makna kiasan yakni yang dicintai dan yang memelihara (Shihab3, 2000: 54).

Lebih lanjut Quraish menjelaskan surat al-Maidah ayat 51,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang

Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagaimana mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

Dia menjelaskan bahwa selama keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani – atau siapapun – seperti dilukiskan oleh ayat-ayat di atas, yakni lebih suka mengikuti hukum Jahiliyah dan mengabaikan hukum Allah, bahwa bermaksud memalingkan kaum muslim dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah, maka jangan mengambil mereka menjadiauliya‟ yakni orang-orang dekat. Sifat mereka sama dalam kekufuran dan dalam kebencian kepada kamu, karena itu wajar jika sebagian mereka adalah auliya‟/penolong sebagian yang lain, dalam menghadapi kamu, karena kepentingan mereka dalam hal ini sama, walau agama dan keyakinan mereka satu sama lain berbeda (Shihab3, 2000: 114).

Lebih spesifik lagi di dalam menafsirkan kata tattakhidzu/kamu mengambil, terambil dari kata akhadza yang pada umumnya diterjemahkan “mengambil”, tetapi dalam penggunaannya kata tersebut dapat mengandung banyak arti sesuai dengan kata/huruf yang disebut sesudahnya. Misalnya jika kata yang disebut sesudahnya – katakanlah – “buku”, maka maknanya mengambil, jika hadiah atau persembahan, maka maknanya menerima, jika keamanannya maka berarti dibinasakan. Kata ittakhadza dipahami dalam arti mengandalkan diri pada sesuatu untuk menghadapi sesuatu yang lain. Nah, jika demikian apakah ayat tersebut melarang seorang muslim mengandalkan non-muslim? Tidak mutlak, karena yang dilarang di sini adalah menjadikan mereka auliya‟ (Shihab3, 2000: 115).

Mengoreksi terjemahan kata auliya‟ sebagaimana yang dipakai oleh Tim Departemen Agama dalan Al-Qur‟an dan Terjemahnya dengan “pemimpin

-pemimpin”, Quraish Shihab menjelaskan bahwa sebenarnya menerjemahkannya

demikian tidak sepenuhnya tepat. Kata auliya‟adalah bentuk jama‟ dari kata wali. Kata ini terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf waw, lam dan ya yang

makna dasarnya adalah “dekat”. Dari sini kemudian berkembang makna-makna

baru, seperti, pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama, dan lain-lain, yang kesemuanya diikat oleh benang merah kedekatan. Itu sebabnya ayah adalah orang paling utama yang menjadi wali anak perempuannya, karena dia adalah yang terdekat kepadanya. Orang yang amat taat dan tekun beribadah dinamai wali karena dia dekat kepada Allah. Seorang yang bersahabat dengan orang lain sehingga mereka selalu bersama dan saling menyampaikan rahasia karena kedekatan mereka, juga dapat dinamai wali. Demikian juga pemimpin, karena dia seharusnya dekat kepada yang dipimpinnya. Demikian dekatnya sehingga dialah yang pertama mendengar panggilan, bahkan keluhan dan bisikan siapa yang dipimpinnya, dan karena kedekatannya itu dia pula yang pertama datang membantunya. Demikian terlihat bahwa semua makna-makna yang dikemukakan di atas dapat dicakup oleh kata auliya‟ (Shihab3, 2000: 115).

Kemudian, setelah menjelaskan detail pendapat Thabathaba‟i, mufassir Syi‟ah kenamaan, dia menjelaskan bahwa pada akhirnya Thabathaba‟i berkesimpulan bahwa kata auliya‟ yang dimaksud oleh ayat ini adalah cinta kasih yang mengantar kepada meleburnya perbedaan-perbedaan dalam satu wadah, menyatunya jiwa yang tadinya berselisih, saling terkaitnya akhlak dan miripnya tingkah laku sehingga Anda akan melihat dua orang yang saling mencintai bagaikan seorang yang

memiliki satu jiwa satu kehendak, dan satu perbuatan, yang satu tidak akan berbeda dengan yang lain dalam perjalanan hidup dan tingkat pergaulan (Shihab3, 2000: 115).

Quraish Shihab melanjutkan bahwa larangan menjadikan non-muslim sebagai auliya‟ yang dikemukakan ayat di atas dikemukakan dengan sekian pengukuhan. Kendati demikian, larangan tersebut tidaklah mutlak, sehingga

Dokumen terkait