• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : ANALISIS PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA DALAM

D. Disiplin

Di antara ajaran mulia yang sangat ditekankan dalam Islam adalah disiplin. Disiplin merupakan salah satu pintu meraih kesuksesan.Sering kita jumpai orang berilmu tinggi tetapi tidak mampu berbuat banyak dengan ilmunya, karena kurang disiplin. Sebaliknya, banyak orang yang tingkat ilmunya biasa-biasa saja tetapi justru mencapai kesuksesan luar biasa, karena sangat disiplin dalam hidupnya. Disiplin adalah kunci sukses, sebab dalam disiplin akan tumbuhsifat yang teguh dalam memegang prinsip, tekun dalam usaha maupun belajar, pantang mundur dalam kebenaran, dan rela berkorban untuk kepentingan agama dan jauh darisifat putus asa. Perlu kita sadari bahwa betapa pentingnya disiplindan betapa besar pengaruh kedisiplinan dalam kehidupan, baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (I. Fauziyah, I. “Rasulullah menyuruh kita bersikap ramah,” Republika Online, 8 Oktober 2011, Diakses pada 2 April 2015).

Kata disiplin secara etimologis yang dalam bahasa Inggris sepadan dengan kata

discipline, berasal dari akar bahasa Latin yang sama, discipulus dengan kata

disciple dan mempunyai makna yang sama, yaitu mengajari atau mengikuti pemimpin yang dihormati (Allend, 2005: 24).Istilah bahasa Inggris lainnya adalah disciple yang mempunyai makna seorang yang belajar secara suka rela mengikuti seorang pemimpin (Meitasari, 2004: 82).

Sedangkan secara terminologis banyak pakar yang mendefinisikan disiplin sebagai berikut: pertama, Laura M Ramirez (2004: 121), disiplin didefinisikan sebagai praktik melatih orang untuk mematuhi aturan dengan menggunakan hukuman untuk memperbaiki ketidakpatuhan. Kedua, Syaiful Bahri Djamarah (2002: 12) mengemukakan bahwa disiplin adalah suatu tata tertib yang dapat mengatur tatanan kehidupan pribadi dan kelompok. Ketiga, Tarmizi Taher (2004: 118) mengemukakan disiplin adalah suatu sikap manusia yang bersedia mentaati dan mematuhi peraturan dan tata tertib, sekaligus dapat mengendalikan diri dan mengawasi tingkah laku sendiri, serta sadar akan tanggung jawab dan kewajiban.

Keempat, Suharsimi Arikunto (tth: 115) mengemukakan pengertian disiplin

menunjuk kepada kepatuhan seseorang dalam mengikuti peraturan atau tata tertib karena didorong oleh adanya kesadaran yang ada pada kata hatinya. Dari berbagai definisi menurut para pakar, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa disiplin adalah suatu sikap yang menunjukkan kesediaan untuk menepati atau mematuhi, dan mendukung ketentuan, tata tertib, peraturan, nilai, serta kaidah yang berlaku.

Disiplin merupakan ketaatan atau perilaku yang sesuai (behavior in accordance with rules of conduct) (Ginting, 2003: 120). Pengertian disiplin menunjuk kepada kepatuhan seseorang dalam mengikuti peraturan atau tata tertib karena didorong oleh adanya kesadaran yang ada pada kata hatinya (Arikunto, tth: 115). Belajar adalah suatu kegiatan yang kita lakukan untuk memperoleh ilmu pengetahuan (Djamarah, 2000: 10). Jadi disiplin belajar adalah kepatuhan siswa untuk melaksanakan tata tertib belajar dan tata tertib sekolah dalam menjalankan tugasnya sebagai pelajar.

Ada empat cara agar kita tidak menjadi orang-orang yang melalaikan disiplin terutama waktu, antara lain: (1) beriman, (2) beramal saleh, (3) saling berwasiat dalam kebenaran, (4) saling berwasiat dalam kesabaran (Asrul SU, “Islam dan Disiplin Diri,” http://www.as-shufi.com/2011/03/islam-dan-disiplin-diri.html,diakses tanggal 12 April 2015). Inilah yang dijelaskan dalam ayat terakhir surat Al-Ashr, „‟Illal ladziina amanu wa‟amilushshaalihaati watawaahau bish shabr, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan menasihat-menasihati supaya menaati kebenaran serta menasihat-menasihati supaya tetap dalam kesabaran.‟‟

Inti sari kandungan QS. Al-Ashr adalah Allah memperingatkan manusia yang dilengahkan oleh persaingan tidak sehat sehingga waktunya berlalu tanpa hasil. Dalam surah al-Ashr ini Allah memperingatkan tentang pentingnya waktu dan bagaimana seharusnya diisi. Surah ini dimulai dengan firman Allah; Wa al-Ashr, yakni demi masa/waktu: (1). Sesungguhnya semua manusia yang mukallaf di dalam wadah kerugian dan kebinasaan yang besar dan beragam; (2). Ayat 3 mengecualikan orang-orang yang melakukan empat kegiatan pokok yaitu: beriman dengan keimanan yang benar, lalu membuktikannya dengan beramal amalan-amalan yang saleh, yakni yang bermanfaat, selanjutnya saling berwasiat tentang kebenaran dan saling berwasiat tentang kesabaran /ketabahan (Shihab, 2008: 280).

1. Waktu adalah modal utama manusia, apabila waktu tidak diisi dengan kegiatan positif, maka ia akan berlalu begitu saja, dan ketika itu jangankan keuntungan diperoleh, modal pun telah hilang. “Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan diperleh lebih dari itu di hari esok, tetapi waktu yang berlalu tidak mungkon dapat diharapkan kembali esok.”

2. Waktu bersifat netral, tidak ada waktu sial atau waktu mujur. Yang berpengaruh adalah kebaikan dan keburukan usaha seseorang dan inilah yang berperanan dalam baik atau buruknya kesudahan suatu pekerjaan.

3. Saling berwasiat menyangkut kebenaran mengandung makna saling ajar mengajar. Karena itu, surah ini tidak saja menekankan pentingnya belajar tapi juga mengajar. Ini juga tidak seorangpunyang mengetahui segala sesuatu. Kendati dia kaya dan kuat, sebaliknya yang miskin dan berstatus social rendah, bisa lebih mengetahui seian banyak hal daripada mereka yang kuat dan dinilai pandai.

4. Manusia akan tetap berada dalam wadah kerugian kecuali setelah melaknakan empat hal yang disebut diatas. Seseorang belum terbebaskan dari kerugian bila sekedar beriman, beramal saleh, dan mengetahui hak/kebanran untuk dirinya, tetapi dia berkewajiban juga untuk mengajarkan kepada orang lain.

5. Yang mengerjakan atau mengajak kepada kebenaran berpotensi mengalami gangguan atau kejenuhan, karena itu diperlukan kesabarab dan ketabahan agar aktivitas tidak memudar.

Penjelasan Tafsir al-Mishbah, dalam surat al-Ashr Allah memperingatkan tentang pentingnya waktu dan bagaimana seharusnya ia diisi. Kata al-„ashr

terambil dari kata „ashara, yakni menekan sesuatu sehinggga apa yang terdapat

pada bagian terdalam daripadanya tampak ke permukaan atau keluar (memeras). Angin yang tekanannya sedemikian keras sehingga memporakporandakan segala sesuatu dinamai I‟shar/waktu. Tatkaka perjalanan matahari telah melampaui pertengahan dan telah menuju kepada terbenamnya dinamai ashr. Penamaan ini agaknya disebabkan ketika itu manusia yang sejak pagi telah memeras tenaganya diharapkan telah mendapat hasil dari usha-usahanya. Awan yang mengandung butir-butir air yang kemudian berhimpun sehingga karena beratnya ia kemudian mencurahkan hujan dinamai al-mu‟shirat (Shihab15, 2000: 584).

Para ulama sepakat mengartikan kata „ashr pada ayat pertama pada surah ini

dengan waktu, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang waktu yang dimaksud. Ada ayang berpendapat bahwa ia adalah waktu/masa di mana langkah dan gerak tertampung di dalamnya. Ada lagi yang menentukan waktu tertentu, yakni waktu di mana shalat Ashar dapat dilaksanakan. Pendapat lain adalah waktu atau kehadiran Nabi Muhammad Saw, dalam pentas kehidupan ini (Shihab15, 2000: 584).

Pendapat yang paling tepat adalah waktu secara umum. Allah bersumpah dengan waktu, menurut Syeikh Muhammad Abduh, karena telah menadi kebiasaan orang-orang arab pada masa turunnya al-Quran untuk berbincang-bincang dan berkumpul menyangkut berbagai hal dan tidak jarang dalam pembicaraan mereka

itu terlontar kata-kata yang mempersalahkan waktu atau masa “waktu sial” demikian sering kali ucapan yang terdengar bila mereka gagal, atau “waku baik” jika mereka berhasil. Allah bersumpah melalui surah ini demi waktu untuk membantah anggapan mereka. Tidak ada sesuatu yang dinamai waktu sial atau waktu mujur, semua waktu sama. Yang berpengaruh adalah kebaikan dan keburukan usha seseorang dan inilah yang menjadi peranan dalam baik dan buruknya kesudahan suatu pekerjaan.Waktu selalu bersifat netral. Waktu adalah milik Tuhan, di dalamnya Tuhan melaksanakan segala perbuatan-Nya, seperti Mencipta, Memberi Rezeki, Memuliakan dan Menghinakan. Dengan demikian, waktu tidak perlu dikutuk, tidak boleh dinamai juga sial atau mujur. “Janganlah mencela waktu karena Allah adalah pemilik waktu.” (Shihab15, 2000: 585).

Dapat juga dikatakan bahwa pada surah ini Allah bersumpah demi waktu dan dengan menggunakan kata ashr (bukan selainnya) untuk menyatakan bahwa; Demi waktu (masa) di mana mansia mencapai hasil setelah ia memeras tenaganya, sesungguhnya ia merugi, apapun hasil yang dicapainya itu, kecuali ia beriman dan beramal saleh. Kerugian tersebut mungkin tidak akan dirasakan pada waktu dini, tetapi pasti akan disadarinya pada waktu ashar kehidupannya menjelang matahari hayatnya terbenam. Itulah agaknya rahasia mengapa Tuhan memilih kata ashar untuk menunjuk kepada waktu secara umum (Shihab15, 2000: 585).

Kata al-insan/manusia menggambarkan sebagian dari sifat dan ciri manusia, bergerak, bahkan seyogyanya memiliki dinamisme, memiliki sifat lupa yang juga melupakan kesalahan-kesalahan orang lain, serta merasakan bahagia dan senang bila bertemu dengan jenisnya atau selalu berusaha memberikan kesenangan dan kebahagiaan kepada diri sendiri dan makhluk-makhluk lainnya. Kata khusr, mempunyai banyak arti, antara lain rugi, sesat, celaka, lemah tipuan, dan lain sebagainya yang mengarah pada makna yang negatif dan tidak disenangi oleh siapapun. Sedangkan kata la fi, mengandung makna wadah/tempat, dengan kata tersebut, tergambar bahwa seluruh totalitas manusia berada di dalam satu wadah kerugian. Kerugian seakan-akan menjadi satu tempat atau wadah dan manusia berada serta diliputi wadah tersebut. Jika demikian, waktu harus dimanfaatkan. Apabila tidak diisi maka akan merugi, bahkan apabila tetap diisi tetapi dengan hal-hal negatif maka manusiapun diliput kerugian. Di sinilah terlihat kaitan antara ayat pertama dan kedua dan dari sini pula banyak ditulis hadis Nabi saw, yang memperingatkan manusia agar menggunakan waktu dan mengaturnya dengan

sebaik mungkin. “Dua nikmat yang sering dilupakan (disia-siakan) banyak

manusia, kesehatan dan waktu.” (Shihab15, 2000: 586).

“Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal amalan yang shaleh, yakni yang bermanfaat, serta saling berwasiat tentang kebenaran dan saling berwasiat tentang kesabaran dan ketabahan.” Iman adalah pembenaran hati atas apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, iman sangat sulit digambarkan hakikatnya. Ia dirasakan oleh seseorang tetapi sangat sulit baginya untuk melukiskan perasaan itu. Iman itu bagai rasa kagum atau cinta, hanya dirasakan pemiliknya, seorang yang beriman bagaikan seseorang yang yang sedang mendayung perahu ditengah samudra dengan ombak dan gelombang yang dahsyat

lagi bergemuruh.Nun jauh disana tampak pulau yang dituju. Begitu pula dengan iman pada tahap pertama seperti yang dialami oleh nabi Ibrahim as tentang hari kemudian (Shihab15, 2000: 587).

Ulama membagi ajaran kepada dua sisi, yakni pengetahuan dan pengalaman. Akidah yang wajib diimani merupakan sisi pengetahuan, sedangkan syariat merupakan sisi pengalaman. Atas dasar ini, para ulama memahami allazina amanu (orang yang beriman) dalam arti orang yang memiliki pengetahuan menyangkut kebenaran. Puncak kebenaran adalah pengetahuan tentang ajaran-ajaran agama yang bersumber dari Allah swt. Kalau demikian, sifat pertama yang dapat menyelamatkan seorang dari kerugian adalah pengetahuan tentang kebenaran itu (Shihab15, 2000: 588).

Amal saleh adalah segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, kelurga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan. Ia adalah segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, al-Quran dan Sunnah Nabi lainnya. Setiap amal saleh harus memiliki dua sisi. Sisi pertama adalah wujud amal, yang biasanya terlihat di alam nyata. Sisi kedua adalah motif pekerjaan itu. Sisi pertama yang dilihat adalah memberikan penilaian sesuai dengan kenyataan, penilaian diberikan manakala kenyataan yang dilihat itu menghasilkan manfaat atau menolak mudharat. Mengenai sisi kedua, hanya Allah yang dapat menilainya. Rasul saw bersabda “

setiap pekerjaan sesuai dengan niatnya.” Oleh sebab itu, dapat dimengerti mengapa

kalimat amal salih banyak sekali digandengkan dengan iman karena iman inilah yang menentukan arah dan niat seseorang ketika melakukan suatu amal (Shihab15, 2000: 589).

Berwasiat adalah tampil kepada orang lain dengan kata-kata yang halus agar yang bersangkutan bersedia melakukan suatu pekerjaan yang diharapkan daripadanya secara berkesinambungan. Dapat dipahami juga isi wasiat hendaknya dilakukan secara berkesinambungan yang juga menyampaikannya dilakukan secara terus menerus dan tidak bosan-bosannya menyampaikan kandungan wasiat itu kepada yang diwasiati (Shihab15, 2000: 592).

Kata al-haq, berarti sesuatu yang mantap, tidak berubah. Apapun yang terjadi Allah Swt adalah puncak dari segala Haqq karena Dia tidak mengalami perubahan. Sementara ulama memahami kata al-haqq dalam ayat ini adalah Allah, yakni manusia hendaknya saling mengingatkan tentang wujud, kuasa dan ke-Esa-an Allah swt, ada juga yang berpendapat bahwa al-haqq adalah al-Quran, berdasarkan riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw (Shihab15, 2000: 592).

Al-Haqq tentunya tidak secara mudah diketahui atau diperoleh, ia juga beraneka ragam karena itu harus dicari dan dipelajari. Pandangan mata dan fikiran harus diarahkan kepada sumber-sumber agama, sebagaimana harus pula diarahkan kepada objek-objek yang diduga keras dapat menginformasikan haqq (kebenaran), dalam hal ini alam raya beserta makhluk yang menghuninya. Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa kata al-haqq mengandung arti pengetahuan. Yang menurut sementara ulama, mencari kebenaran menghasilkan ilmu dan mencari keindahan

menghasilkan seni, mencari kebaikan akan menghasilkan etika (Shihab15, 2000: 592).

Saling berwasiat menyangkut haqq (kebenaran) yang diperintahkan ini mengandung makna bahwa seseorang berkewajiban untuk mendengarkan kebenaran dari orang lain serta mengajarkannya kepada orang lain. Seseorang belum lagi terbebaskan dari kerugian bila sekedar beriman, beramal saleh dan kebenaran itu untuk dirinya, tetapi ia berkewajiban juga untuk mengajarkannya kepada orang lain. Sekaligus syarat yang dapat membebaskan manusia dari kerugian total adalah saling mewasiati menyangkut kesabaran (Shihab15, 2000: 593).

Sabar adalah menahan kehendak nafsu demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik. Secara umum kesabaran dibagi menjadi dua bagian pokok, yaitu sabar jasmani dan sabar rohani. Yang pertama adalah sabar dalam menerima dan melaksanakan perintah-perintah keagamaan yang melibatkan anggota tubuh, seperti sabar dalam melaksanakan ibadah haji yang mengakibatkan keletihan luar biasa atau sabar dalam peperangan membela kebenaran, termasuk pula dalam bagian ini sabar dalam menerima cobaan-cobaan yang menimpa jasmani, seperti penyakit, penganiayaan dan semacamnya. Sedangkan sabar ruhani menyangkut kemampuan menahan amarah atau menahan nafsu seksual yang bukan pada tempatnya (Shihab15, 2000: 593).

Surah ini secara keseluruhan berpesan agar seseorang tidak hanya mengandalkan imannya saja tetapi juga amal salehnya, bahkan amal salehpun bersama iman belum cukup (Shihab15, 2000: 594). Iman dan amal saleh tanpa ilmu belumlah cukup. Murthada Muthahhari, dalam Tafsir al-Mishbah, memberikan gambaran (Shihab15, 2000: 595):

“Ilmu memberikan kekuatan yang menerangi jalan kita dan iman menumbuhkan harapan dan dorongan bagi jiwa kita. Ilmu menciptakan alat-alat produksi dan akselerasi, sedang iman menetapkan haluan yang dituju serta memelihara kehendak yang suci. Ilmu adalah revolusi eksternal, sedang iman adalah revolusi internal. Ilmu dan iman keduanya merupakan kekuatan, kekuatan ilmu terpisah sedang kekuatan iman menyatu , keduanya adalah keindahan dan hiasan , ilmu adalah keindahan akal, sedang iman keindahan jiwa. Ilmu hiasan pikiran sedang iman adalah hiasan perasaan. Keduanya menghasilkan ketenangan, ketenangan lahir oleh ilmu dan ketenangan batin karena iman. Ilmu memelihara manusia dari penyakit-penyakit jasmani dan malapetaka duniawi, sedang iman memeliharanya dari penyakit-penyakit ruhani dan komplek-komplek kejiwaan serta malapetaka ukhrawi. Ilmu menyesuaikan manusia dengan diri dan lingkungannya, sedang iman menyesuaikannya dengan jati dirinya.”

Demikian surah al-Ashr memberi petunjuk bagi manusia untuk berdisiplin. Iman Syafi‟i berpendapat: “Kalaulah manusia memikirkan kandungan surah ini, sesungguhnya cukuplah ia menjadi petunjuk bagi kehidupannya.” (Shihab15, 2000: 595).

Kaitannya dengan pendidikan karakter bangsa, segenap sivitas akademika pendidikan yang bijak akan selalu menampakkan suatu disiplin dalam semua hal

terhadap kegiatan siswanya, baik yang mengenai kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan formal, yaitu disiplin dalam belajar, disiplin dalam mengerjakan tugas yang berkaitan dengan sekolah maupun disiplin yang berkaitan dengan di rumah.

Disiplin sekolah atau lebih khusus disiplin belajar meliputi (Schaefar, 1997: 9): 1. Kedisiplinan belajar siswa terhadap tata tertib sekolah maksudnya bagaimana

siswa mematuhi dan mentaati tata tertib sekolah.

2. Kedisiplinan siswa dalam memperhatikan pelajaran, maksunya siswa dalam proses belajar mengajar apakah selalu memperhatikan pelajaran yang diajarkan atau tidak.

3. Kedisiplinan waktu belajar siswa maksudnya ketaatan dalam menggunakan waktu belajar.

4. Kedisiplinan belajar siswa dalam mengerjakan tugas maksudnya bagaimana sikap dan tanggung jawab siswa dalam melaksanakan tugas.

Langkah-langkah kegiatan guru dan kegiatan siswa dalam proses belajar mengajar harus dilakukan dengan konsekuen dan penuh disiplin serta luwes dalam penyesuaiannya. Usaha guru dalam pembentukan disiplin belajar antara lain (Slameto, 1991: 17):

1. Mengawasi belajar secara ketat.

2. Memantau belajar secara terus menerus.

3. Mengembalikan tugas-tugas belajar tepat pada waktunya. 4. Memberi ganjaran kepada siwa yang berprestasi tinggi. 5. Memberi hukuman kepada siswa yang salah.

6. Menyelenggrakan rapat guru untuk membahas kedisiplinan. 7. Menampilkan keteladanan.

Disiplin merupakan kunci sukses. Sebab dengan disiplin orang menjadi berkeyakinan bahwa disiplin membawa manfaat. Memang seseorang yang baru memulai untuk melaksanakan disiplin akan merasakan bahwa disiplin itu pahit, namun apabila sudah diterapkan akan menjadi manis. Disiplin adalah seperangkat alat dasar yang diperlukan untuk memecahkan masalah hidup (Ginting, 2003: 120). Dalam mencapai suatu tujuan, timbulnya masalah tentunya hal yang biasa. Akan tetapi dengan menghadapi dan memecahkan masalah, hidup menjadi berarti. Kemajuan dapat diperoleh. Orang yang selalu menghindari masalah tidak akan dapat membuat kemajuan. Hal ini berlaku baik masyarakat umum maupun bagi pelajar. Seorang pelajar, biasanya mempunyai masalah dalam belajarnya. Salah satunya adalah belajar Pendidikan Agama Islam. Siswa sekarang enggan untuk belajar PAI karena mereka menganggap pelajaran PAI identik dengan hafalan-hafalan yang membosankan. Itulah kesan yang mengapung kepermukaan selama ini. Padahal belajar merupakan nafas kehidupan bagi pelajar. Siklus waktu siang dan malam harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tidak ada istilah waktu kosong dalam kamus kehidupan para pelajar. Karena belajar merupakan tindakan dan

perilaku siswa yang kompleks, sebagai tindakan belajar hanya dialami siswa sendiri. Karena berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan sangat tergantung pada proses belajar mengajar yang dialami siswa dan pendidik, baik ketika para siswa itu disekolah maupun dilingkungan keluarganya sendiri (Ginting, 2003: 135-138).

Sehingga sikap kedisiplinan belajar dalam mendidik siswa sangat diperlukan agar siswa dengan mudah (Ginting, 2003: 135-138):

1. Meresapkan pengetahuan dan pengertian sosial antara lain mengenai hak milik orang lain.

2. Mengerti dan segera menurut, untuk menjalankan kewajiban dan secara langsung mengerti larangan-larangan.

3. Mengerti tingkah laku yang baik dan buruk.

4. Belajar mengendalikan keinginan dan berbuat sesuatu tanpa merasa terancam oleh hukuman.

5. Mengorbankan kesenangan sendiri tanpa peringatan dari orang lain.

Cara pendisiplinan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (Farhadian, 2005: 31): 1. Disiplin dengan paksaan (disiplin otoriter). Yaitu pendisiplinan yang dilakukan

secara paksa, siswa harus mengikuti aturan yang telah ditentukan. Apabila siswa tidak melakukan perintah itu, ia akan dihukum dengan cara pemberian hukuman fisik, mengurangi pemberian materi, membatasi pemberian penghargaan atau berupa ancaman langsung dan tidak langsung.

Hukuman yang diberikan untuk menyampaikan peringatan kepada siswa terbagi menjadi dua yaitu:

a. Hukuman yang bersifat badani seperti: pemukulan, penamparan, dan segala sesuatu yang berhubungan langsung dengan badan.

b. Hukuman yang bersifat non badani seperti: mengomel, mencerca, dan segala sesuatu yang biasanya lebih bersentuhan dengan rohani mental anak. 2. Disiplin tanpa paksaan (disiplin permisif). Disiplin ini lebih bervariatif dimana

membiarkan anak mencari sendiri batasan. Disiplin tanpa paksaan ini akan menjadikan anak yang patuh walaupun tidak ada pemimpin. Anak menjadi kreatif karena berani bertanya, mempunyai tanggung jawab walaupun tidak ada pemimpin (Sujiono dan Yuliani, 2005: 31).

Disiplin bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir. Teknik dalam berdisiplin itu kadang-kadang sulit untuk diterapkan, tergantung pada kasusnya. Dalam pelaksanaan disiplin ini dapat diukur apakah siswa sangat disiplin atau lemah. Sikap seseorang sangat menentukan keberhasilannya dalam disiplin. Sikap disiplin akan terwujud apabila ditanamkan disiplin secara serentak di semua lingkungan kehidupan masyarakat termasuk dalam lingkungan pendidikan (Ginting, 2003: 123).

Faktor-faktor yang mempengaruhi terciptanya kedisiplinan belajar adalah Dalyono, 1997: 235):

1. Faktor internal. Faktor internal adalah faktor yang datang dari siswa sendiri, faktor ini meliputi:

a. Minat. Apabila siswa memiliki daya tarik dalam belajar, maka ia akan senang dalam belajar. Sebaliknya apabila ia tidak ada daya tarik dalam belajar, maka ia akan menjadi segan dalam belajar. Setiap siswa sebenarnya dapat mengatur waktu untuk disiplin dalam belajar, akan tetapi persoalannya terletak pada kemauan mereka sendiri.

b. Emosi. Emosi sangat menentukan kedisiplinan belajar. Karena kadang-kadang ada siswa yang tidak begitu stabil emosinya, sehingga dapat mengganggu belajarnya. Dalam keadaan emosi yang tidak stabil, tentu belajarnya mengalami hambatan. Siswa semacam ini membutuhkan situasi yang cukup tenang dan penuh perhatian agar belajarnya lancar.

c. Semangat. Semangat dapat memupuk hasrat yang tinggi dalam melakukan suatu perbuatan. Bagi pelajar, semangat untuk disiplin dalam belajar perlu ditumbuhkan, dipupuk, dan dipertahankan. Karena apabila seseorang telah mempunyai semangat yang tinggi dalam belajar, maka otomatis ia akan dapat mengusir atau menghilangkan rintangan-rintangan seperti malas, santai, lesu, bosan, dan sebagainya.

2. Faktor eksternal. Faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar diri siswa

Dokumen terkait