• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : ANALISIS PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA DALAM

O. Gemar Membaca

Pendidikan karakter bangsa gemar membaca didefinisikan oleh Kemendiknas dengan kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. Dalam Islam, karena begitu sangat vital-nya tentang peradaban membaca, maka perintah untuk kata membaca dalam al-Qur‟an terdapat dalam 14 ayat (Firdaus dan Syarif, 2008: 36), belum dari berbagai derivasi dari kata membaca itu sendiri. Kata “membaca” sendiri terulang sebanyak 14 kali, yaitu: QS. (2; 44, 113, 121, 129); (3; 78, 113); (10; 94); (16; 98); (17; 45); (20; 114); (29; 48); (35; 29); (75; 18); (87; 6). Kata “dibaca” sebanyak 1 kali, yaitu (2; 102). Kata “dibacakan” ada 7 kali, yaitu: (3; 103); (7;204); (8; 2, 31); (17; 107); (33; 34); (68; 15). Kata “bacalah” ada 5 kali, yaitu: (7; 14); (73; 4, 20); (96; 1, 3). Kata “bacakanlah” ada 3 kali, yaitu: (2; 252); (7; 175); (10; 71). Dan kata “bacaan” sebanyak 4 kali, yaitu: (13; 31); (56; 77); (73; 6); (75; 18).

Perintah membaca dalam al-Qur‟an sangat jelas ditegaskan agar manusia dapat mencari ilmu pengetahuan untuk mengembangkan peradaban umat manusia, juga melahirkan semangat semangat baru dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. “ Budaya baca tulis tidak lain sebagai embrio bagi lahirnya peradaban yang lebih besar lagi dalam sejarah kehidupan umat Islam, yaitu lahirnya tradisi

intelektualitas dalam Islam.” (Romdhoni, 2013: 71).

Ayat al-Qur‟an yang secara tegas memerintahkan manusia untuk belajar membaca dan menulis adalah surat al-Alaq: 1-5. Menurut Thanthawi Jauhari dalam buku Al-Qur‟an dan Literasi, karya Ali Romdhon (2013: 72) bahwa ayat ini mendobrak kejumudan masyarakat Arab kala itu ynag hanya mementingkan tradisi pengindraan, hafalan, dan tutur kata. Melalui ayat ini, al-Quran hadir dengan menyodorkan hal lain yang tak kalah penting, yaitu kewajiban membaca dan menulis (Romdhoni, 2013: 72). Perintah membaca dan menulis, pada saat itu merupakan kewajiban yang revolusioner. Pasalnya, masyarakat kala itu jauh dari tradisi tulis-menulis. Mereka dengan tiba-tiba menjalankan revolusi besar, dari tradisi lisan ke tradisi tulis, dari sifat tuisan yang semula pribadi menjadi milik publik, dari kegelapan menuju menjadi terang benderang (Romdhoni, 2013: 73).

Sementara, menurut Quraish Shihab, membaca adalah syarat utama guna membangun peradaban. Semakin luas wilayah pembacaan maka semakin tinggi

pula peradaban. Begitu pula sebaliknya. Selain itu, apabila dilihat dari sejarah terkait dengan tradisi baca tulis, maka umat manusia bisa dikelompokkan ke dalam 2 periode utama, yaitu sebelum penemuan baca-tulis dan sesudahnya, sekitar lima ribu tahun yang lalu. Dengan ditemukannya sistem baca-tulis peradaban manusia tidak harus mengulang dan mengulang dari nol; merambah jalan dan merangkak-rangkak. Tetapi, peradaban yang datang mempelajari peradaban yang lalu melalui jejak tertulis yang dapat dibaca oleh generasi pada saat itu. Satu hal yang harus dicatat, melalui kemanpuan baca-tulis, manusia tidak harus memulai segalanya dari nol, tetapi bisa belajar dari prestasi dan kegagalan orang-orang pendahulunya (Romdhoni, 2013: 74).

Allah berfirman dalam Surat al-Alaq 1-5:



















































“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari „alaq. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya.”

Menurut Quraish, mengapa iqra merupakan perintah pertama yang ditujukan kepada Nabi, padahal beliau seorang ummi (yang tidak pandai membaca dan menulis)? Mengapa demikian? Iqra terambil dari akar kata yang berarti

“menghimpun” sehingga tidak selalu harus diartikan “membaca teks tertulis

dengan aksara tertentu.” Dari menghimpun, lahir aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak. iqra‟ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis. Alhasil, objek perintah iqra‟

mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya. Demikian terpadu pada perintah ini segala macam cara yang dapat ditempuh manusia untuk meningkatkan kemampuannya. Sungguh, perintah membaca merupakan sesuatu yang paling berharga yang pernah dan dapat diberikan kepada umat manusia. “membaca” dalam aneka maknanya adalah syarat pertama dan utama pengembangan ilmu dan teknologi, serta syarat utama membangun peradaban (Shihab, 1997: 5-6).

Pada ayat itu tentunya kata iqra‟ bukannya perintah untuk membaca dari dari satu teks tertulis, karena disamping Nabi Saw tidak dapat membaca, juga karena riwayat-riwayat yang shahih menjelaskan bahwa Jibril tidak membawa suatu naskah tertulis ketika menyampaikan wahyu kepada beliau (Shihab, 1997: 78). Menurut Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip Quraish shihab, memahami perintah membaca bukan sebagai beban tugas yang harus dilaksanakan (amar

taklify) yang membutuhkan objek, tetapi perintah ini menurutnya (amr takwiny)yang mewujudkan kemampuan membaca secara aktual pada diri Nabi Muhammad Saw. Atau, dengan kata lain, iqra‟ (bacalah) adalah semacam firman Allah Kun Fa Yakun (jadilah, maka jadilah ia). Jadi, perintah membaca itu sama dengan perintah “jadilah engkau wahai Muhammad orang yang dapat membaca” dan dengan perintah tersebut mampulah Nabi Saw membaca (Shihab, 1997: 79). Pendapat ini masih banyak mengandung keberatan, antara lain karena pada kenyataanya belaiu setelah turunnya perintah ini pun masih dinamai Al-Quran seorang ummiy (tidak pandai membaca dan menulis.

Beraneka ragam pendapat ahli tafsir tentang objek bacaan yang dimaksud. Ada yang berpendapat wahyu-wahyu al-Qur‟an, sehingga perintah itu dalam arti bacalah wahyu-wahyu al-Quran ketika dia turun nanti. Ada juga yang berpendapat objeknya adalah ismi Rabbika sambil menilai huruf ba yang menyertai kata ismi adalah sisipan sehingga ia berarti bacalah nama Tuhanmu atau berdzikirlah. Tapi jika demikian mengapa Nabi saw. menjawab: “saya tidak dapat membaca”. Seandainya yang dimaksud adalah perintah berdzikir tentu beliau tidak menjawab demikian karena jauh sebelum datang wahyubeliau telah senantiasa melakukannya. Kaidah kebahasaan menyatakan, “Apabila suatu kata kerja yang membutuhkan objek tetapi tidak disebutkan objeknya, maka objek yang dimaksud bersifat umum,

mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut” (Shihab15,

2000: 455).

Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa karena kata iqra‟ digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya, dan arena objeknya bersifat umum, maka objek kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau, baik ia merupakan bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun bukan, baik ia menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Alhasil, perintah

iqra‟ mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat dan diri sendiri, serta

bacaan tertulis, baik suci maupun tidak. Huruf (arab) ba‟ pada kata (arab) bismi ada juga yang memahaminya sebagai berfungsi penyertaan atau muldhasah sehingga

demikian ayat tersebut berarti “bacalah disertai dengan nama Tuhanmu”.

Sementara ulama memahami kalimat bismi Rabbika bukan dalam pengertian harfiahnya. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Arab sejak masa Jahiliyah, mengaitkan suatu pekerjaan dengan nama sesuatu yang mereka agungkan. Itu memberi kesan yang baik atau katakanlah “berkat” terhadap pekerjaan tersebut juga untuk menunjukan bahwa pekerjaan tadi dilakukan semata-mata karena “dia” yang namanya disebutkan itu. Dahulu, misalnya, sebelum turunnya al-Qur‟an,

kaum musyrikin sering berkata “Bismi al-Lata” dengan maksud bahwa apa yang

mereka lakukan tidak lain kecuali demi karena tuhan berhala al-Lata‟ itu, dan bahwa mereka mengharapkan “anugerah atau berkat” dari berhala tersebut (Shihab15, 2000: 456).

Di sisi lain, penamaan dengan nama sesuatu yang dimuliakan sering kali bertujuan agar yang dinamai itu mendapat “bekas” dari sifat atau keadaan si pemilik nama yang diambil itu. Suatu lembaga, atau seorang anak diberi nama tokoh-tokoh tertentu, dengan maksud di samping mengabdikan nama tokoh

tersebut, juga mengundang si anak untuk mencontohkan sifat-sifat terpuji tokoh tersebut. Mengaitkan pekerjaan membaca dengan nama Allah mengantarkan pelakunya untuk tidak melakukannya kecuali karena Allahdan hal itu akan menghasilkan keabadian karena hanya Allah Yang Kekal abadi dan hanya aktivitas yang dilakukannya secara ikhlas yang akan diterima-Nya. Tanpa keikhlasan, semua aktivitas akan berakhir dengan kegagalan dan kepunahan (QS. Al-Furqan: 23) (Shihab15, 2000: 456).

Syeikh „Abdul Halim Mahmud (mantan pemimpin tertinggi Al-Azhar Mesir)

yang menulis dalam bukunya, al-Quran Fi Syahr al-Quran, yang dikutip oleh Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, menyatakan bahwa “Dengan kalimat iqra‟

bismi Rabbika, al-Qur‟an tidak sekedar memerintahkan untuk membaca, tapi

“membaca” adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia, baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Kalimat tersebut dalam pengertian dan

semangatnya ingin menyatakan “Bacalah demi Tuhanmu, bergeraklah demi

Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu.” Demikian juga apabila Anda berhenti bergerak atau berhenti melakukan sesuatu aktivitas, maka hendaklah hal tersebut juga didasarkan pada bismi Rabbik sehingga pada akhirnya ayat tersebut berarti

“Jadikanlah seluruh kehidupanmu, wujudmu, dalam cara dan tujuannya,

kesemuanya demi karena Allah.” (Shihab15, 2000: 456).

Kata Rabb seakar dengan kata tarbiyah/pendidikan. Kata ini memiliki arti yang berbeda-beda namun pada akhirnya arti-arti itu mengacu pada pengembangan, peningkatan, ketinggian, kelebihan serta perbaikan. Kata Rabb maupun tarbiyah berasal dari kata (arab) raba‟-yarba yang dari segi pengertian kebahasaan adalah

kelebihan. Dataran tinggi dinamai rabwah (Arab), sejenis roti yang dicampur air

sehingga membengkak dan membesar disebut al-rabw. Kata Rabb apabila berdiri sendiri maka yang dimaksud adalah “Tuhan” yang tentunya antara lain karena Dialah yang melakukan tarbiyah (pendidikan) yang pada hakikatnya adalah pengembangan, peningkatan, serta perbaikan makhluk ciptaan-Nya. Agaknya penggunaan kata Rabb dalam ayat ini dan ayat-ayat semacamnya dimaksudkan untuk menjadi dasar perintah mengikhlaskan diri kepada-Nya, sambil menunjuk kewajaran-Nya untuk disembah dan ditaati (Shihab15, 2000: 457).

Dalam wahyu-wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw tidak ditemukan kata Allah, tetapi kata yang digunakan menunjuk Tuhan adalah Rabbuka/Tuhanmu wahai Nabi Muhammad- yakni bukan Tuhan yang dipercaya kaum musyrikin. Perhatikan lima ayat pertama surah ini. Demikian wahyu berikutnya, surah al-Muddatstsir, al-Qalam, awal surah al-Muzzammil dan surah Tabbat. Surah-surah sesudahnya sampai dengan surah sabbihisma kesemuanya tanpa menggunakan kata Allah kecuali ayat surah itu turun terpisah dengan ayat-ayat surah lain. Tidak digunakan kata Allah Karen kaum Musyrikin percaya juga kepada Allah, tetapi keyakinan mereka tentang Allah jauh berbeda dengan keyakinan yang dihayati dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Mereka misalnya beranggapan bahwa ada hubungan tertentu antara Allah dengan Jin (QS. Al-Saffat: 158) dan bahwa memiliki anak-anank dan wanita (QS. Al-Isra: 40) dan

bahwa mereka tidak dapat berkomunikasi langsung kepada Nya sehingga para malaikat dan berhala-berhala perlu disembah sebagai perantara antara manusia dengan Allah (QS. al-Zumar: 3). kepercayaan seperti yang dikemukakan ini jelas berbeda dengan ajaran al-Qur‟an atau yang diyakini oleh Nabi Muhammad Saw. Hingga jika seandainya dinyatakan iqra‟bismillah atau “percaya kepada Allah,”

maka kaum musyrikin akan berkata “kami telah melakukannya.” (Shihab15, 2000:

457).

Kata Khalaqa dari segi pengertian kebahasaan memiliki sekian banyak arti, antara lain: menciptakan (dari tiada), menciptakan (tanpa satu contoh terlebih dahulu), mengukur, memperhalus, mengatur, membuat dan sebagainya. Kata ini biasanya memberikan tekanan tentang kehebatan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya. Berbeda dengan kata ja‟ala yang mengandung penekanan terhadap manfaat yang harus atau dapat diperoleh dari sesuatu yang dijadikan itu. Objek

Khalaqo pada ayat ini tidak disebutkan sehingga objeknya pun sebagaimana iqra

bersifat umum, dan dengan demikian Allah adalah Pencipta semua makhluk (Shihab15, 2000: 457).

Ayat ke-2 ini lebih memperkenalkan Tuhan yang disembah oleh Nabi Saw. Dia Tuhan yang menciptakan Adam dan Hawwa dari segumpal darah atau sesuatu yang bergantung di dinding rahim. Dalam memperkenalkan perbuatan-Nya penciptaan merupakan hal pertama yang dipertegas karena merupakan persyaratan bagi terlaksananya perbuatan yang lain (Shihab15, 2000: 458).

Kata insan menggambarkan manusia dengan berbagai keragaman sifatnya. Manusia adalah makhluk pertama yang disebut Allah dalam Al-Quran melalui wahyu pertama, bukan saja karena diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya atau karena segala alam raya ini diciptakkan dan ditundukkan Allah demi kepentingannya, tetapi juga karena Kitab Suci al-Qur‟an ditujukan kepada manusia sebagai pedoman hidup guna menjadi pelita kehidupannya. Ayat kedua surah Iqra‟

menguraikan secara singkat hal tersebut (Shihab15, 2000: 459).

Ayat ketiga memerintahkan membaca dan meningkatkan motivasi yakni dengan nama Allah, kini ayat ini memerintahkan membaca dengan menyampaikan janji Allah atas manfaat membaca. Allah berfirman: “Bacalah berulang-ulang dan Tuhan Pemelihara dan Pendidikmu Maha Pemurah sehingga melimpahkan aneka karunia (Shihab15, 2000: 460). Ayat ketiga mengulang perintah membaca, ulama berbeda pendapat tentang tujuan pengulangan itu. Ada yang menyatakan bahwa perintah pertama ditujukan kepada pribadi Nabi Muhammad Saw, sedang yang kedua kepada umatnya, atau yang pertama untuk membaca dalam shalatnya yang kedua diluar shalat. Pendapat ketiga menyatakan yang pertama perintah belajar, sedang yang kedua adalah perintah mengajar orang lain. Ada lagi yang menyatakan bahwa perintah kedua berfungsi mengukuhkan guna menanamkan rasa “percaya

diri” kepada Nabi Saw. Tentang kemampuan beliau membaca karena tadinya beliau

tidak pernah membaca (Shihab15, 2000: 460).

Menurut Syaikh Muhammad Abduh yang dikutip oleh Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, mengemukakan sebab lain, menurutnya kemampuan membaca dengan lancar dan baik tidak dapat diperoleh tanpa mengulang-ulang atau melatih

diru secara teratur, hanya saja keharusan latihan demikian itu tidak berlaku atas diri Nabi Saw. Dengan adanya pengulangan perintah membaca ini bahwa Iqra adalah perintah Takwini, yaitu titah penciptaan kemampuan membaca dan menghimpun

secara “aktual bagi diri nabi Muhammad Saw.” Perintah membaca yang kedua ini

dimaksudkan agar beliau lebih banyak membaca, menelaah, memerhatikan alam raya, serta membaca kitab yang tertulis dan tidak tertulisdalam rangka mempersiapkan diri terjun ke masyarakat (Shihab15, 2000: 460).

Kata ( ّ ا) diterjemahkan yang Maha Pemurah. Dalam al-Qur‟an ditemukan kata Karim terulang sebanyak 27 kali. Tidak kurang dari 13 subjek yang disifati kata tersebut, yang tentunya saja berbeda-beda maknanya karena pada akhirnya dapat disimpulkan untuk menggambarkan sifat terpuji yang sesuai dengan objek yang disifati (Shihab15, 2000: 461). Menurut Imam al-Ghazali, dikutip Quraish shihab, Allah menyandang sifat Karim menunjukkan kepada-Nya yang mengandung makna antara lain; Dia yang berjanji, menepati janji-Nya; bila memberi melampaui batas harapan pengharap-Nya tidak peduli berapa dan kepada siapa Dia memberi. Dia yang tidak rela bila ada kebutuhan yang dimohon kepada selain-Nya. Dia yang bila (hati kecil) menegur tanpa lebih. Tidak mengabaikan siapapun yang menuju dan berlindung kepada-Nya dan tidak membutuhkan sarana dan prasarana (Shihab15, 2000: 461).

Dalam ayat ketiga ini, Allah menjajikan bahwa pada saat seseorang membaca dengan ikhlas karena Allah. Allah menganugerahkan kepadanya ilmu pengetahuan, pemahaman-pemahaman, wawasan-wawasan baru walaupun yang dibacanya itu-itu

juga. Apa yang dijanjikannya terbukti secara jelas. Kegiatan “membaca” ayat al

-Qur‟an menimbulkan penafsiran-penafsiran baru atau pengembangan dari pendapat-pendapat yang telah ada. Demikian juga kegiatan “membaca” alam raya ini telah menimbulkan penemuan-penemuan baru yang membuka rahasia alam, walau objek nya itu-itu aja. Ayat al-Qur‟an yang dibaca oleh generasi terdahulu dan alam raya yang mereka huni, adalah sama tidak berbeda, namun pemahaman mereka serta penemuan rahasia terus berkembang (Shihab15, 2000: 463).

Ayat ke-4 dan 5 yang artinya “Yang mengajar dengan pena, mengajar manusia apa yan belum diketahui(nya).” Kata ( ا) terambil dari kata ( ) yang berarti memotong ujung sesuatu. Alat yang digunakan untuk menulis dinamai pula qalam karena pada mulanya alat tersebut tersebut dari suatu bahan yang dipotong dan diperuncing ujungnya. Bisa juga yang dimaksud adalah alat untuk menulis, alat yang digunakan untuk mengumpulkan pengetahuan dalam bentuk tulisan. Dari ayat tersebut dapat dijelaskan dua cara yang ditempuh Allah Swt dalam mengajarkan kepada manusia. Pertama melalui pena (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua adalah melalui pengajaran secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah „Ilm Ladunniy (Shihab15, 2000: 464).

Berdasarkan paparan di atas, maka pendidikan karakter bangsa gemar membaca dalam al-Qur‟an lebih komprehensif dari konsep Kemendiknas. Dalam al-Qur‟an, gemar membaca tidak hanya ditunjukkan dengan kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. iqra‟

dalam al-Qur‟an juga berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis. Alhasil, objek perintah iqra‟ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya. Demikian terpadu pada perintah ini segala macam cara yang dapat ditempuh manusia untuk meningkatkan kemampuannya.

Dokumen terkait