BAB IV : ANALISIS PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA DALAM
J. Semangat Kebangsaan
Dalam buku Grand Dessain Pendidikan Karakter Bangsa (Kemendiknas, 2010), semangat kebangsaan dimaksudkan dengan cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bangsa ialah suatu kelompok manusia mendiami suatu wilayah, yang berasal dari satu asal-usul keturunan, adat istiadat, bahasa, dan mempunyai perjalanan sejarah dari bangsa itu sendiri (KBBI, 1999: 235). Sedangkan kebangsaan adalah ciri khas yang menandai suatu bangsa, berdeda dengan yang lain. Dalam al-Qur‟an, istilah tersebut sepadan dengan “sya‟ab” atau “syu‟ub” seperti yang tercantum dalam surat al-Hujrat ayat 13 (Lajnah Pentashih al-Qur‟an Kemenag, 2011: 21). Selain itu, semangat kebangsaan dalam membangun persatuan dan kesatuan di dalam al-Qur‟an tercantum dalam (QS. 21; 92) dan (QS. 23; 52). Namun, untuk menggambarkan cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya, surat Ibrahim ayat 35 cukup refresentatif juga untuk menjelaskan hal ini.
“Dan (Ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Tuhan Pemeliharaku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala.
Ayat di atas dalam Tafsir al-Mishbah di tafsiri, “Dan ketika Ibrahim berkata: “Tuhanku, jadikanlah negeri ini (negeri) yang aman dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala. Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak manusia, maka barang siapa mengikutiku, maka sesungguhnya dia termasuk golonganku, dan barang siapa mnedurhakai aku,
maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ayat-ayat yang lalu mengecam kekufuran dan menganjurkan kesyukuran dan tidak memiliki semangat kebangsaan. Tokoh yang tampil secara utuh dan sempurna dalam hal semangat kebangsaan adalah Nabi Ibrahim. Beliau adalah Bapak Para Nabi yang kepibadiannya menandai uraian surah ini, sebagaimana surah ini dinaungi pula oleh uraian tentang nikmat Ilahi dan sikap manusia atas nikmat-nikmat itu, yaitu syukur atau kufur (Shihab6, 2000: 385).
Ayat di atas, berbicara tentang keturunan Nabi Ibrahim, yang lain yaitu putra beliau, Ismail. Kelompok ayat ini dengan menyebut Nabi Ibrahim yang memohon keamanan bagi Kota Makkah, dimana anak dan istrinya bertempat tinggal, serta kesejahteraan penduduknya dan keterhindaran dari penyembahan berhala, meskipun beliau sendiri belum menetap di tanah ini. Menurut Thabathaba‟i, sebagaimana dikutip dalam Tafsir al-Misbah, semangat kebangsaan Ibrahim begitu mulia. Hal tersebut dapat dibaca ketika Ibrahim mendo‟akan kemakmuran dan
kesejahteraan bangsa di mana keturunannya kelak berada. Ia berdo‟a: “Tuhanku,
yang selalu berbuat baik kepadaku, jadikanlah bangsa ini, Mekkah, bangsa yang aman dan jauhkanlah aku secara terus menerus hingga akhir jaman beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Tuhanku sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak manusia, aku sangat menbencinya maka karena itu aku menyatakan kepada siapapun bahwa barang siapa yang mengikutiku membenci berhala-berhala, maka sesungguhnya dia termasuk golonganku. Maka anugerahi pulalah dia kebahagiaan dan kebaikan sebagaimana Engkau anugerahkan kepadaku. Dan barang siapa yang mendurhakai aku sehingga menyembah berhala atau merestuinya maka sesungguhnya mereka wajar Engkau siksa. Karena mereka telah melanggar dan berdosa. Akan tetapi jika Engkau mengampuni dosa mereka, itu pun wajar karena sessungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Shihab6, 2000: 386).
Selain itu, Quraish Shihab juga menjelaskan konsep yang mendasari paham kebangsaan, yaitu paham Kesatuan/Persatuan. Tidak dapat disangkal bahwa al-Qur‟an memerintahkan persatuan dan kesatuan. Sebagaimana secara jelas pula Kitab suci ini menyatakan bahwa "Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu," (QS. Al-Anbiya'/2l: 92, dan Al-Mu'minun/23: 52). Pertanyaan yang dapat saja muncul berkaitan dengan ayat ini adalah: a) Apakah ayat ini dan semacamnya mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam dalam satu wadah kenegaraan?; b) Kalau tidak, apakah dibenarkan adanya persatuan/kesatuan yang diikat oleh unsur-unsur yang disebutkan di atas, yakni persamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarah? (Shihab6, 2000: 387).
Yang harus dipahami pertama kali adalah pengertian dan penggunaan Al-Quran terhadap kata ummat. Kata ini terulang 51 kali dalam Al-Quran, dengan makna yang berbeda-beda. Al-Raghib Al-Isfahani, pakar bahasa yang menyusun kamus Al-Quran Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran, menjelaskan bahwa ummat adalah "kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, baik persamaan agama, waktu, atau tempat, baik pengelompokan itu secara terpaksa maupun atas kehendak sendiri." Memang, tidak hanya manusia yang berkelompok dinamakan umat, bahkan
binatang pun demikian, “Dan tiadalah binatang-binatang melata yang ada yang di bumi, tiada juga burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, kecuali umat-umat seperti kamu ...” (QS. Al-An'am/6: 38). (Shihab6, 2000: 386).
Jumlah anggota suatu umat tidak dijelaskan oleh Al-Quran. Ada yang berpendapat minimal empat puluh atau seratus orang. Tetapi, sekali lagi Al-Quran pun menggunakan kata umat bahkan untuk seseorang yang memiliki sekian banyak keistimewaan atau jasa, yang biasanya hanya dimiliki oleh banyak orang. Nabi Ibrahim a.s. misalnya disebut sebagai umat oleh Al-Quran surat An-Nahl (16): 20 karena alasan itu. Sesungguhnya Ibrahim adalah umat (tokoh yang dapat dijadikan teladan) lagi patuh kepada Allah, hanif dan tidak pernah termasuk orang yang mempersekutukan (Tuhan), (QS. Al-Nahl/16: 120). Kalau demikian, dapat dikatakan bahwa makna kata umat dalam al-Qur‟an sangat lentur, dan mudah menyesuaikan diri. Tidak ada batas minimal atau maksimal untuk suatu persatuan. Yang membatasi hanyalah bahasa, yang tidak menyebutkan adanya persatuan tunggal. (Shihab6, 2000: 386).
Di sisi lain, dalam al-Qur‟an ternyata ditemukan sembilan kali kata ummat yang digandengkan dengan kata wahidah, sebagai sifat umat. Tidak sekali pun Al-Quran menggunakan istilah Wahdat Al-Ummah atau Tauhid Al-Ummah (Kesatuan/penyatuan umat). Karena itu, sungguh tepat analisis Mahmud Hamdi Zaqzuq, mantan Dekan Fakultas Ushuluddin Al-Azhar Mesir, yang disampaikan pada pertemuan Cendekiawan Muslim di Aljazair 1409 H/1988 M, bahwa al-Qur‟an menekankan sifat umat yang satu, dan bukan pada penyatuan umat, ini juga berarti bahwa yang pokok adalah persatuan, bukan penyatuan (Shihab6, 2000: 386).
Perlu pula digarisbawahi, bahwa makna umat dalam konteks tersebut adalah pemeluk agama Islam. Sehingga ayat tersebut pada hakikatnya menyatakan bahwa agama umat Islam adalah agama satu dalam prinsip-prinsip (ushul)-nya, tiada perbedaan dalam akidahnya, walaupun dapat berbeda-beda dalam rincian (furu') ajarannya. Artinya, Kitab Suci ini mengakui kebhinekaan dalam ketunggalan. Ini juga sejalan dengan kehendak Ilahi, antara lain yang dinyatakan-Nya dalam
al-Qur‟an surat al-Ma‟idah/5: 48, “Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia
menjadikan kamu satu umat (saja).” Tetapi itu tidak dikehendaki-Nya. Sebagaimana terpahami dari perandaian kata lauw, yang oleh para ulama dinamai harf imtina' limtina', atau dengan kata lain, mengandung arti kemustahilan (Shihab6, 2000: 387).
Kalau demikian, tidak dapat dibuktikan bahwa al-Qur‟an menuntut penyatuan umat Islam seluruh dunia pada satu wadah persatuan saja, dan menolak paham kebangsaan. Jamaluddin al-Afghani, yang dikenal sebagai penyeru persatuan Islam (Liga Islam atau Pan-Islamisme), menegaskan bahwa idenya itu bukan menuntut agar umat Islam berada di bawah satu kekuasaan, tetapi hendaknya mereka mengarah kepada satu tujuan, serta saling membantu untuk menjaga keberadaan masing-masing. “Janganlah kamu menjadi seperti mereka yang
berkelompok-kelompok dan berselisih, setelah dating penjelasan kepada mereka ... (QS Ali 'Imran [3]: 105) (Shihab6, 2000: 387).
Kalimat "dan berselisih" digandengkan dengan "berkelompok" untuk mengisyaratkan bahwa yang terlarang adalah pengelompokan yang mengakibatkan perselisihan. Kesatuan umat Islam tidak berarti dileburnya segala perbedaan, atau ditolaknya segala ciri/sifat yang dimiliki oleh perorangan, kelompok, asal keturunan, atau bangsa. Kelenturan kandungan makna ummat seperti yang dikemukakan terdahulu mendukung pandangan ini. Sekaligus membuktikan bahwa dalam banyak hal al-Qur‟an hanya mengamanatkan nilai-nilai umum dan menyerahkan kepada masyarakat manusia untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai umum itu. Ini merupakan salah satu keistimewaan al-Qur‟an dan salah satu faktor kesesuaiannya dengan setiap waktu dan tempat (Shihab6, 2000: 387).
Dengan demikian, terjawablah pertanyaan semangat kebangsaan, yakni Al-Quran tidak mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam ke dalam satu wadah kenegaraan. Sistem kekhalifahan, yang dikenal sampai masa kekhalifahan Utsmaniyah, hanya merupakan salah satu bentuk yang dapat dibenarkan, tetapi bukan satu-satunya bentuk baku yang ditetapkan. Oleh sebab itu, jika perkembangan pemikiran manusia atau kebutuhan masyarakat menuntut bentuk lain, hal itu dibenarkan pula oleh Islam, selama nilai-nilai yang diamanatkan maupun unsur-unsur perekatnya tidak bertentangan dengan Islam (Shihab6, 2000: 388).
Berdasarkan uraian di atas, maka semangat kebangsaan dengan cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya selaras antara tuntutan al-Qur‟an dan Kemendiknas. Semangat kebangsaan yang terlarang menurut al-Qur‟an adalah pengelompokan yang mengakibatkan perselisihan. Kesatuan umat Islam tidak berarti dileburnya segala perbedaan, atau ditolaknya segala ciri/sifat yang dimiliki oleh perorangan, kelompok, asal keturunan, atau bangsa sekalipun. Kelenturan kandungan makna semangat kebangsaan al-Qur‟an hanya mengamanatkan nilai -nilai umum dan menyerahkan kepada masyarakat manusia untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai umum itu. Ini merupakan salah satu keistimewaan al-Qur‟an dan salah satu faktor kesesuaiannya dengan setiap waktu dan tempat.