• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : ANALISIS PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA DALAM

F. Kreatif

I. Rasa Ingin Tahu

I. Rasa Ingin Tahu

Kemendiknas menjelaskan bahwa rasa ingin tahu (kuriositas) merupakan sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, di lihat, dan di dengar. Rasa ingin tahu makhluk lain lebih didasarkan oleh naluri (instinct)/idle curiosity naluri ini didasarkan pada upaya mempertahankan kelestaraian hidup dan sifatnya tetap sepanjang zaman. Manusia juga mempunyai naluri seperti tumbuhan dan hewan tetapi ia mempunyai akal budi yang terus berkembang serta rasa ingin tahu yang tidak terpuaskan. Sesuatu masalah yang telah dapat dipecahkan maka akan timbul masalah lain yang menunggu pemecahannya, manusia setelah tahu apanya maka ingin tahu bagimana dan mengapa (Jasin, 2008: 9-10).

Manusia yang mempunyai rasa ingin tahu terhadap rahasia alam mencoba menjawab dengan menggunakan pengamatan dan penggunaan pengalaman, tetapi sering upaya itu tidak terjawab secara memuaskan. Pada manusia kuno untuk memuaskan mereka menjawab sendiri. Misalnya kenapa ada pelangi mereka membuat jawaban, pelangi adalah selendang bidadari atau kenapa gunung meletus jawabannya karena yang berkuasa marah. Dari hal ini timbulnya pengetahuan tentang bidadari dan sesuatu yang berkuasa. Pengetahuan baru itu muncul dari kombinasi antara pengalaman dan kepercayaan yang disebut mitos. Cerita-cerita mitos disebut legenda. Mitos dapat diterima karena keterbatasan penginderaan, penalaran, dan hasrat ingin tahu yang harus dipenuhi. Sehubungan dengan dengan kemajuan zaman, maka lahirlah ilmu pengetahuan dan metode ilmiah (Jasin, 2008: 10).

Islam sebagai agama yang universal dan sebagai agama yang menitik beratkan pada fitrah manusia menaruh perhatian yang sangat besar terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia. Salah satu yang menjadi perhatian dalam ajaran Islam adalah tentang sains itu sendiri. Islam memandang bahwa dengan sains lah suatu umat bisa mengangkat derajat dan kehormatannya sendiri, dengan sainslah alam semesta ini bisa didayagunakan dengan optimal dan dengan sainslah suatu umat bisa mengenal siapa Tuhannya. Bagi Islam, sikap terhadap sains sudah sangat

jelas. Tak ada yang lebih jelas daripada hadits Nabi yang sangat terkenal. “tuntutlah

ilmu walaupun ke negeri cina” atau hadits yang lain yang maksudnya: “Mencari

ilmu adalah wajib bagi seorang muslim bagi laki laki maupun perempuan.” Bukanlah tanpa alasan Nabi Muhammad memerintahkan ummatnya untuk pergi ke cina, karena pada waktu itu negeri cina sudah mulai maju akan peradaban. Dan ini mengindikasikan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak ingin ummatnya ketinggalan dalam hal sains karena beliau melihat akan pentingnya sains itu sendiri. Dari dua hadits tersebut telah jelas bahwasanya Islam melalui sabda Nabinya telah memerintahkan kepada umat manusia untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya dan mengembangkan ilmu tersebut. Walaupun Al Qur‟an bukanlah sebuah buku ilmu pengetahuan melaikan sebuah pedoman hidup, tetapi hampir sebagian besar ayat

dalam Al Qur‟an mengajak manusia untuk memikirkan akan fenomena alam

(el-Saha, 2004: 25).

Kata ilmu biasa disepadankan dengan kata Arab lainnya, yaitu Ma‟rifah

(pengetahuan), fiqh (pemahaman), hikmah (kebijaksanaan), syu‟ur (perasaan).

Ma‟rifah adalah padanan kata yang paling sering digunakan dalam dunia ilmu pengetahuan (Abuddin, 2010: 155). Dalam dunia Islam, ilmu bermula dari keinginan untuk memahami wahyu yang terkandung dalam al-Qur‟an dan bimbingan Nabi Muhammad Saw mengenai wahyu tersebut. Al-„ilm itu sendiri dikenal sebagai sifat utama Allah SWT. Dalam bentuk kata yang berbeda, Allah Swt disebut juga sebagai al-„Ilm dan al-Alim, yang artinya, “Yang Maha

Mengetahui” atau “Yang Maha Tahu.” Ilmu adalah salah satu dari sifat utama

Allah Swt dan merupakan satu-satunya kata yang komprehensif serta bisa digunakan untuk menerangkan pengetahuan Allah SWT (Abuddin, 2010: 156).

Bahwa ajaran Islam dari sejak awal meletakkan semangat keilmuan pada posisi yang amat penting. Kandungan surat al-Mujadalah 58 ayat 11 berbicara tentang etika atau akhlak ketika berada di majlis ilmu. Etika dan akhlak tersebut antara lain ditunjukan untuk mendukung terciptanya ketertiban, kenyamanan dan ketenangan suasana belajar selama dalam majlis , sehingga mendukung terciptanya kegiatan kelancaran kegiatan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini kita dapat mengatakan, bahwa ajaran Islam lah yang amat peduli terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dengan berbagai aspeknya (Abuddin, 2010: 157).

Dalam Surat al-Zumar ayat 9 Allah berfirman:



















































“(Apakah kamu hai orang orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat diwaktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah:” Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang menerima pelajaran. (QS. Al-Zumar: 9).

Secara normatif, data tekstual dalam Alquran menunjukkan adanya interaksi pendidikan yang tidak saja terjadi secara sosiologis di alam dunia, tetapi telah bermula semenjak kehidupan Adam As di Surga. Kehidupan alam syurgawi ini memberikan gambaran awal, betapa interaksi pendidikan terjadi antara Allah Swt, Malaikat, Adam As, iblis. Allah sebagai sumber pengetahuan pendidikan mengajarkan proses transformasi kepada Adam As, dengan melibatkan potensi mahluk malaikat dan iblis (Huda, 2008: 2). Seperti dalam ayat berikut ini QS. 2: 31-32, “Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,

kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman; “Sebutkanlah

kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar.” “Mereka (para Malaikat) menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada pengetahuan bagi kami selain dari apa yang ketahui selain dari pada apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah (dan hanya) Engkau yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (Shihab, 2013: 6).

Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut memberikan indikasi epistimologis bahwa interaksi pendidikan dari Allah kepada Adam dan Malaikat terjadi proses

ta‟lim. Hanya saja, perbedaan potensi dasar antara Adam dan Malaikat menyebabkan tingkat pengetahuan yang diperoleh dari Allah berbeda. Perbedaan ini terlihat pada jangkauan pengetahuan yang diperoleh, dimana pengetahuan Adam lebih kompleks dan universal (al-Asma Kullaha) disebabkan oleh potensi spesifik (fitrah) jasmani dan ruhani yang dimilikinya. Sedangkan pengetahuan Malaikat terbatas (illa ma allamtana). Karena tidak adanya potensi spesifik tersebut, sehingga tidak memungkinkan untuk menerima dan mengembangkan pengetahuan seluas Adam. Khalifah adam di muka bumi mengemban misi sosialisasi peradaban manusiawi melalui interaksi pendidikan. Dalam konteks sosialisasi peradaban, di antara tugas yang dilakukan Adam adalah mendidik anaknya yang bernama Qobil dan Habil (Shihab, 2013: 6).

Quraish Shihab memaparkan bahwa al-Qur‟an memerintahkan kepada umat Islam untuk belajar, sejak ayat pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, yaitu surat al-Alaq ayat 1-5. Perintah untuk membaca dalam ayat itu disebut dua kali. perintah kepada Rasul dan selanjutnya perintah kepada seluruh umatnya. Membaca adalah sarana untuk belajar dan kunci ilmu pengetahuan, baik secara etimologi berupa membaca huruf-huruf yang tertulis dalam buku-buku, maupun terminologis yakni membaca dalam arti yang lebih luas (Shihab, 2013: 6).

Dalam Tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas dengan menyatakan bahwa Dia mengajar Adam nama-nama benda seluruhnya, yakni memberinya potensi pengetahuan tentang nama-nama atau kata-kata yang digunakan menunjuk benda, atau mengajarkannya mengenal fungsi benda-benda. Ayat ini menginformasikan bahwa manusia dianugerahi Allah Swt potensi untuk mengetahui nama atau fungsi karakteristik benda-benda, misalnya fungsi api, fungsi angin, dan sebagainya. Manusia juga dianugerahi potensi untuk berbahasa. Sistem pengajaran bahasa kepada manusia (anak kecil) bukan dimulai dengan mengajarkan kata kerja, tetapi mengajarkannya terlebih dahulu nama-nama. Ini

Papa, ini Mama, itu mata, itu pena, dan sebagainya. Itulah sebagian makna yang dipahami oleh para ulama dari firman-Nya; „Dia mengajar Adam nama-nama

(benda) seluruhnya‟ (Shihab1, 2000: 176).

Pandangan al-Qur‟an tentang ilmu dan teknologi dapat diketahui prinsip-prinsipnya dari analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan pena, mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-'Alaq/96: 1-5). Kata Iqra' terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak (Shihab1, 2000: 177).

Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena Al-Quran menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra' berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya (Shihab1, 2000: 178). Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini bukan sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak akan diperoleh kecuali mengulang-ulang bacaan atau membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan. Tetapi hal itu untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan bismi Rabbik (demi Allah) akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu juga. Demikian pesan yang dikandung Iqra' wa rabbukal akram (Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah).

Selanjutnya, dari wahyu pertama al-Qur‟an diperoleh isyarat bahwa ada dua cara perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan pena yang telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan mengajar manusia (tanpa pena) yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau atas dasar usaha manusia. Cara kedua dengan mengajar tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Walaupun berbeda, keduanya berasal dari satu sumber, yaitu Allah Swt. Setiap pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum subjek dituntut peranannya untuk memahami objek. Namun pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa objek terkadang memperkenalkan diri kepada subjek tanpa usaha sang subjek. Misalnya komet Halley yang memasuki cakrawala hanya sejenak setiap 76 tahun. Pada kasus ini, walaupun para astronom menyiapkan diri dengan peralatan mutakhirnya untuk mengamati dan mengenalnya, sesungguhnya yang lebih berperan adalah kehadiran komet itu dalam memperkenalkan diri. Wahyu, ilham, intuisi, firasat yang diperoleh manusia yang siap dan suci jiwanya, atau apa yang diduga sebagai "kebetulan" yang dialami oleh ilmuwan yang tekun, semuanya tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat dianalogikan dengan kasus komet di atas. Itulah pengajaran tanpa qalam yang ditegaskan oleh wahyu pertama Al-Quran tersebut (Shihab1, 2000: 178).

Berdasarkan pemaparan di atas, pendidikan karakter bangsa kurioritas memang juga selain merupakan tuntunan pendidikan dari Kemendiknas, juga merupakan tuntunan dari Allah melaui al-Qur‟an. Kemendiknas menjelaskan bahwa rasa ingin tahu (kuriositas) merupakan sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, di lihat, dan di dengar. Dalam al-Qur‟an, semua aktivitas kuriositas (rasa ingin tahu) menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra' berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya. Hal itu untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan bismi Rabbik (demi Allah) akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu juga. Demikian pesan yang dikandung Iqra' wa rabbukal akram (Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah).

Dokumen terkait