• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Kajian Teori

3. Citra Wanita

dan ciri khas wanita (Sugihastuti, 2000: 7).

4. Tokoh ialah rekaan individu yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman 1990: 16).

5. Penokohan adalah penyajian watak, penciptaan citra, atau pelukisan gambaran tentang seseorang yang ditampilkan sebagai tokoh cerita (Sudjiman dalam Sugihastuti dan Suharto, 2010: 50).

6. Latar disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995: 216).

7. Novel merupakan cerita rekaan yang menyajikan tentang aspek kehidupan manusia yang lebih mendalam yang senantiasa berubah-ubah dan merupakan kesatuan dinamis yang bermakna (Santosa dan Sri Wahyuningtyas, 2010: 47).

8. Pembelajaran Sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi 4 manfaat, yaitu: membantu ketrampilan berbahasa,

meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak (Rahmanto, 1988: 16).

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut.

1. Bagi Peneliti Sastra

Memberikan sumbangan dalam bidang sastra agar dapat memperkaya pengetahuan tentang analisis citra wanita novel Keberangkatan karya Nh. Dini.

2. Bagi Guru Bahasa Indonesia

Memberikan suatu referensi karya sastra yang dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran sastra di SMA.

F. Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri dari lima bab, yaitu pada bab I Pendahuluan, bab II Landasan Teori, bab III Metodologi Penelitian, bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Tokoh, Penokohan dan Latar, bab V Analisis Citra Wanita Tokoh Elisa dan Relevansinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA, kemudian bab VI Penutup. Bab I berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan istilah, manfaat penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi tinjauan pustaka dan kajian teori. Bab III berisi jenis penelitian, metode penelitian, data dan sumber data penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. Bab IV berisi deskripsi data, analisis tokoh,

penokohan, dan latar. Bab V berisi analisis citra wanita, relevansi citra wanita dalam pembelajaran sastra di SMA. Bab VI berisi kesimpulan, implikasi, dan saran.

8 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan pengetahuan peneliti, analisis kritik sastra feminis terhadap novel Keberangkatan karya Nh. Dini belum pernah dilakukan. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Oktavianus Rendi (2011) dan Marietta Sri Hermawatiningsih (2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Oktavianus Rendi (2011), yaitu

Feminisme Tokoh Perempuan dalam Kumpulan Cerpen Mereka Bilang, Saya

Monyet! Karya Djenar Maesa Ayu. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah karakter feminis tokoh perempuan yaitu berani melawan, berani mengutarakan pendapat, berani bertanya, berpendidikan dan mandiri.

Penelitian yang dilakukan oleh Marietta Sri Hermawatiningsih (2010), berjudul Nilai Feminis Tokoh dalam Novel Trilogi Jendela-jendela, Pintu, dan Atap Karya Fira Basuki. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai feminis tokoh dalam novel. Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan dengan metode deskriptif kualitatif karena data-data yang diperoleh berupa kata-kata tertulis dan hasil akhirnya berupa deskripsi nilai feminis dalam novel. Hasil penelitian menemukan bahwa tidak hanya satu tokoh yang memiliki nilai feminis, kemudian nilai feminis tersebut diklarifikasikan menjadi beberapa, yaitu: feminis ketulusan, kesabaran, kelembutan, kesetiaan, kebaikan, cerdas, perkasa, berani, mapan, pekerja keras, dan mandiri.

Dari penelitian terdahulu di atas, terlihat bahwa penelitian citra wanita berusaha mengangkat nilai-nilai feminis pada sosok seorang wanita untuk mempertahankan haknya dalam berbagai masalah yang dihadapi oleh kaum wanita. Peneliti mengharapkan penelitian terdahulu dapat dijadikan bahan referensi dengan penelitian ini, karena penelitian terdahulu sangat erat kaitannya dengan penelitian dengan tinjauan kritik sastra feminis.

B. Kajian Teori

1. Pendekatan Unsur Intrinsik

Dalam meneliti sebuah karya sastra terutama novel pasti tidak terlepas dari struktur karya sastra yang strukturnya dijelaskan oleh unsur intrinsik. Struktur karya sastra menyaran pada pengertian hubungan antar unsur intrinsik yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh (Nurgiyantoro, 2005: 36). Unsur-unsur pembentuk novel tersebut meliputi tema, alur, tokoh, dan latar.

Sebelum menganalisis karya sastra dengan kritik sastra tertentu, hal yang harus dipahami terlebih dahulu adalah unsur pembentuk karya sastra tersebut. Tanpa analisis struktural tersebut, kebulatan makna cerita yang disampaikan tidak dapat ditangkap secara utuh. Pembahasan struktur dalam novel Keberangkatan karya Nh. Dini hanya akan dibatasi pada unsur tokoh, penokohan, latar, karena unsur tesebut merupakan unsur yang terkait dengan citra wanita.

a. Tokoh

Tokoh merupakan salah satu unsur intrinsik yang penting dalam sebuah karya sastra. Tokoh menunjuk pada seseorang sebagai pelaku cerita. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 165) memaparkan tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Panuti Sudjiman (1990: 79) juga menyebutkan bahwa tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda.

Berdasarkan fungsi penampilan tokoh dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Wahyuningtyas dan Wijaya (2011: 3) mengemukakan bahwa tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam prosa yang bersangkutan, sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk mendukung tokoh utama. Berdasarkan pembangun konflik cerita, terdapat tokoh protagonis dan antagonis. Wahyuningtyas dan Wijaya (2011: 3-4) memaparkan tokoh protagonis adalah tokoh yang memegang peranan pimpinan dalam cerita. Tokoh ini ialah tokoh yang menampilkan sesuatu sesuai dengan pandangan

kita, harapan harapan kita, dan merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita. Adapun tokoh antagonis adalah tokoh penentang dari tokoh protagonis sehingga menyebabkan konflik dan ketegangan.

b. Penokohan

Menurut Sudjiman (1992: 23) penokohan merupakan penyajian watak tokoh dan penciptaan cerita tokoh. Waluyo (1994: 164-165) mengemukakan penokohan dan perwatakan mempunyai hubungan yang erat. Penokohan berhubungan dengan cara pengarang memilih dan menentukan tokoh-tokohnya, perwatakan berhubungan dengan karakterisasi/watak dari tokoh-tokoh dalam cerita.

Istilah penokohan lebih luas dari tokoh dan perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2005: 165). Ada beberapa metode penokohan. Pertama menurut Hudson (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2010, 50) yaitu metode analitik atau metode langsung. Pengarang melalui narator memaparkan sifat-sifat, hasrat, pikiran, dan perasaan tokoh. Kedua, menurut Panuti-Sudjiman (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2010: 51) yaitu metode tidak langsung yang disebut juga metode ragaan atau metode dramatik. Watak tokoh dapat disimpulkan pembaca dari pikiran, cakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan

pengarang melalui narator. Ketiga, menurut Kenney (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2010: 51) yaitu metode kontekstual. Dengan metode ini, watak tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang digunakan narator didalam mengacu kepada tokoh cerita. Dari ketiga metode tersebut, dapat digunakan secara bersama-sama dalam membuat sebuah novel.

c. Latar

Latar yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995: 216). Dalam hal ini latar tempat mengarah kepada tempat terjadinya peristiwa atau jalannya cerita, kemudian latar waktu berhubungan dengan kapan terjadinya peristiwa yang terjadi dalam karya fiksi, selanjutnya latar sosial menyaran pada hal-hal kehidupan sosial lingkungan atau masyarakat di suatu tempat yang diceritakan.

Nurgiyantoro (1995: 227-236) menjelaskan unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan

dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya dengan peristiwa sejarah. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkungan yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas.

2. Karakterisasi Tokoh

Karakterisasi atau dalam bahasa inggris characterization, berarti pemeranan, pelukisan watak. Metode karakterisasi dalam telaah karya sastra adalah metode melukiskan watak para tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi (Minderop, 2005: 2). Karakterisasi akan digunakan hanya pada tokoh utama dalam novel Keberangkatan untuk mendukung citra wanita dari tokoh utama yaitu Elisa.

Minderop (2005: 3) berpendapat bahwa metode karakterisasi tidak terbatas pada metode langsung (telling) dan metode tidak langsung (showing)

semata. Metode lain yang dapat digunakan adalah telaah karakterisasi melalui sudut pandang (point of view), melalui telaah arus kesadaran (stream of consciousness), bahkan melalui telaah gaya bahasa (figurative language).

Pada penelitian ini hanya akan menggunakan metode langsung (telling) dan metode tidak langsung (showing) untuk menunjukkan karakterisasi citra

wanita tokoh utama, namun metode tidak langsung akan lebih sering digunakan karena dalam novel ini pengarang lebih banyak mengunakan dialog untuk menuntun pembaca dalam memahami karakter dari tokoh dalam novel

Keberangkatan terutama tokoh utama.

Pickering dan Hoeper dalam Minderop (2005: 6) berpendapat bahwa metode telling mengandalkan pemaparan watak tokoh pada eksposisi dan komentar langsung dari pengarang, sedangkan metode showing

memperlihatkan penarang menempatkan diri di luar kisahan dengan memberikan kesempatan kepada para tokoh untuk menampilkan perwatakan mereka melalui dialog dan action. Berikut ini akan dijelaskan tentang jenis-jenis karakterisasi menurut Minderop (2005: 8-38).

a. Metode Langsung (Telling)

Metode langsung mencakup karakterisasi melalui penggunaan nama tokoh, melalui penampilan tokoh, dan melalui tuturan pengarang. 1) Karakterisasi Menggunakan Nama Tokoh

Nama tokoh dalam suatu karya sastra kerap kali digunakan untuk memebrikan ide atau menumbuhkan gagasan, memperjelas serta mempertajam perwatakan tokoh. Para tokoh diberikan nama yang melukiskan kualitas karakteristik yang membedakannya dengan tokoh lain.

2) Karakterisasi Melalui Penampilan Tokoh

Walaupun dalam kehidupan sehari-hari kita kerap kali terkecoh oleh penampilan seseorang, bahkan kita dapat tertipu oleh

penampilannya, demikian pula dalam suatu karya sastra, factor penampilan para tokoh memegang peranan penting sehubungan dengan telaah karakterisasi. Penampilan tokoh dimaksud misalnya, pakaian apa yang dikenakannya atau bagaimana ekspresinya.

3) Karakterisasi Melalui Tuturan Pengarang

Metode ini memberikan tempat yang luas dan bebas kepada pengarang atau narrator dalam menentukan kisahannya. Pengarang berkomentar tentang watak dan kepribadian para tokoh hingga menembus ke dalam pikiran, perasaan dan gejolak batin sang tokoh. Pengarang tidak sekedar menggiring perhatian pembacaa terhadap komentarnya tentang watak tokoh tetapi juga mencoba membentuk persepsi pembaca tentang tokoh yang dikisahkannya.

b. Metode Tidak Langsung (Showing) 1) Karakterisasi Melalui Dialog

Karakterisasi melalui dialog terbagi atas: Apa yang dikatakan Penutur, Jatidiri Penutur, Lokasi dan Situasi Percakapan, Jatidiri Tokoh yang Dituju oleh Penutur, Kualitas Mental Para Tokoh, Nada Suara, Penekanan, Dialek, dan Kosa kata Para Tokoh. Karakterisasi melalui dialog yang akan digunakan untuk mengetahui karakterisasi tokoh utama adalah apa yang dikatakan penutur, jati diri penutur, dan kualitas mental para tokoh.

Dalam karakterisasi apa yang dikatakan penutur, pertama-tama pembaca harus memperhatikan substansi dari suatu dialog. Apakah

dialog tersebut sesuatu yang terlalu penting sehingga dapat mengembangkan peristiwa-peristiwa dalam suatu alur atau sebaliknya. Jati diri penutur di sini adalah ucapan yang disampaikan oleh seorang protagonis (tokoh sentral) yang seyogyanya dianggap lebih penting dari pada apa yang diucapkan oleh tokoh bawahan, walaupun percakapan tokoh bawahan kerap kalo memberikan informasi krusiel yang tersembunyi mengenai watak tokoh lainnya.

2) Karakterisasi Melalui Tindakan Para Tokoh (Tingkah Laku)

Membangun watak dengan landasan tingkah laku penting bagi pembaca untuk mengamati secara rinci berbagai peristiwa dalam alur karena peristiwa-peristiwa tersebut dapat mencerminkan watak para tokoh, kondisi emosi dan psikis – yang tanpa disadari – mengikutinya serta nilai-nilai yang ditampilkan. Berikut adalah tingkah laku yang sering ada dalam karakterisasi melalui tindakan para tokoh: rasa percaya dirinya melemah, rasa tak berdaya terus meningkat, walaupun pandai dan dapat menempatkan diri dalam pergaulan tetap merasa tidak diterima di lingkungannya, selalu merasa dikucilkan oleh lingkungannya dan merasa kesepian dan sendiri, watak riang gembira, namun kadang-kadang berubah sangat nakal.

3. Citra Wanita

Citra merupakan sebuah gambaran pengalaman indra yang diungkapkan lewat kata-kata, gambaran berbagai pengalaman sensoris yang dibangkitkan oleh kata-kata (Abrams dalam Sofia, 2009: 24). Citra wanita

merupakan semua wujud gambaran mental spiritual dan tingkah laku keseharian wanita (Indonesia), yang menunjukan “wajah” dan ciri khas wanita (Sugihastuti, 2000: 7).

Citra wanita dapat digambarkan sebagai mahluk individu dan mahluk sosial, hal ini didukung oleh pendapat Sugihastuti (2000: 46) bahwa wanita dicitrakan sebagai mahluk individu, yang beraspek fisis dan psikis, dan sebagai mahluk sosial, yang beraspek keluarga dan masyarakat. Citra wanita dapat diuraikan menjadi dua bagian yaitu citra diri wanita dan citra sosial wanita yang akan diambil dari pendapat Sugihastuti yang diuraikan sebagai berikut.

a. Citra Diri Wanita

Citra diri wanita merupakan sosok individu yang mempunyai pendirian dan pilihan sendiri. Wanita juga mempunyai kemampuan untuk berkembang membangun dirinya. Berdasarkan pada pola pilihannya sendiri, wanita bertanggung jawab atas potensi diri sendiri sebagai mahluk individu (Sugihastuti, 2000: 113).

Pada dasarnya citra diri wanita terbangun atas citra fisis dan citra psikis wanita. Dari aspek fisis, citra diri wanita itu khas dilihat melalui pengalaman-pengalaman tertentu yang hanya dialaminya, yang tidak dialami oleh pria, misalnya pengalaman sobeknya selaput dara, melahirkan dan menyusui anaknya (Sugihastuti, 2000:112). Sugihastuti (2000: 94) berpendapat bahwa citra fisis wanita antara lain diwujudkan ke dalam fisik wanita dewasa. Aspek fisis wanita dewasa ini terkongkretkan dari ciri-ciri

fisik wanita dewasa, misalnya saja pecahnya selaput dara, melahirkan dan menyusui anak, serta kegiatan-kegiatan sehari-hari, antara lain kegiatan domestik kerumahtanggaan.

Wanita sebagai mahluk individu, selain terbentuk oleh aspek fisis juga terbentuk oleh aspek psikis. Ditinjau dari aspek psikisnya, wanita juga mahluk psikologis, mahluk yang berpikir, berperasaan, dan beraspirasi (Sugihastuti, 2000: 95). Dalam aspek psikis, kejiwaan wanita dewasa ditandai antara lain oleh sikap pertanggungjawaban atas nasib sendiri, dan atas pembentukan sendiri (Kartono dalam Sugihastuti, 2000:100).

Aspek psikis wanita dapat tercitrakan dari gambaran pribadi. Gambaran pribadi wanita dewasa itu secara karakteristik dan normatif sudah terbentuk dan relatif stabil sifatnya (Kartono dalam Sugihastuti, 2000: 101). Dengan kestabilan ini dimungkinkan baginya untuk memilih relasi sosial yang sifatnya juga stabil, misalnya perkawinan, pilihan sikap, pilihan pekerjaan, dan sebagainya (Sugihastuti, 2000: 102). Wanita secara psikis bersifat lebih praktis, lebih langsung, dan meminati segi-segi kehidupan yang kongkret dan sifatnya segera. Citra psikis wanita tidak saja langsung berkaitan dengan citra fisis, namun juga dengan caranya berpakaian. Pakaian dapat mencitrakan kepribadian seseorang karena pakaian memberi kepuasaan emosional (Sugihastuti, 2000: 109).

Sugihastuti (2000: 152) berpendapat bahwa dalam batas-batas aspek fisis dan psikis bagaimanapun juga wanita adalah mahluk

psikologis, yang berpikir, berperasaan, dan beraspirasi. Aspek psikis wanita tidak dapat dipisahkan dengan aspek fisisnya. Aspek fisis dan aspek psikis inilah yang membentuk citra diri wanita sebagai mahluk individu yang mempunyai konsep diri. Wanita mempunyai kesadaran dalam dirinya sendiri, yang lain dengan pria. Kesadaran dan persepsi diri terhadap karakteristik fisik dan psikis ini mempengaruhi penilaian dan pengalaman hidupnya.

b. Citra Sosial Wanita

Pada dasarnya citra sosial wanita merupakan citra wanita yang erat hubungannya dengan norma dan sistem nilai yang berlaku dalam satu kelompok masyarakat, tempat wanita menjadi anggota dan berhasrat mengadakan hubungan antarmanusia. Kelompok masyarakat itu adalah kelompok keluarga dan kelompok masyarakat luas. Dalam aspek keluarga misalnya, wanita berperan sebagai istri, sebagai ibu, dan sebagai anggota keluarga, masing-masing peran mendatangkan konsekuensi sikap sosial, yang satu dengan yang lainnya bergayutan (Sugihastuti, 2000: 143).

Citra sosial wanita juga merupakan masalah pengalaman diri, seperti dicitrakan dalam diri wanita dan citra sosialnya. Pengalaman-pengalaman inilah yang menentukan interaksi sosial wanita dalam masyarakat, atas pengalaman diri itulah maka wanita bersikap, termasuk ke dalam sikapnya terhadap laki-laki. Dalam hubungan orang-seorang dengan laki-laki, wanita kadang-kadang merasa ada pertarungan jenis

diantaranya. Dalam posisi demikian, wanita ingin menyuarakan pendapatnya, memanifestokan pendapatnya (Sugihastuti, 2000: 144).

Citra sosial wanita dapat diklarifikasikan ke dalam citra wanita dalam keluarga dan citra wanita dalam masyarakat. Citra sosial wanita dalam keluarga tercitrakan dari aspek fisis dan psikisnya, salah satu peran yang menonjol daripadanya adalah peran wanita dalam keluarga (Sugihastuti, 2000: 122). Citra wanita dalam aspek keluarga digambarkan sebagai seorang istri, seorang ibu, dan anggota keluarga semuanya memberikan suatu konsekuensi yang saling berhubungan. Sebagai istri misalnya, wanita mencintai suaminya, sebagai ibu memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya, dan sebagai anggota keluarga menyayangi seluruh anggota keluarga.

Manusia sebagai mahluk sosial dalam kehidupannya membutuhkan manusia lain, sama halnya wanita juga membutuhkan hubungan sosial dengan manusia lain. Sikap sosial adalah konsistensi individu dalam memberikan respons terhadap objek-objek sosial, termasuk terhadap pria sebagai pasangan jenis (Sugihastuti, 2000: 132). Banyak gagasan tradisional dan stereotip tentang wanita dan peranan mereka dicitrakan oleh data, martabat wanita dicitrakan rendah. Ada anggapan bahwa wanita itu kurang memiliki kemampuan, bodoh, dan acuh tak acuh terhadap lingkungan mereka (Sugihastuti, 2000: 133).

Stereotip-stereotip tradisional masih menandai citra sosial wanita yang antara lain ditunjukkan oleh superioritas pria. Stereotip tradisional

antara lain mengatakan bahwa wanita sudah sewajarnya hidup terbatas dalam lingkungan rumah tangga. Dalam citra masyarakat wanita melihat dan merasakan bahwa ada superioritas pria, ada kekuasaan laki-laki atas wanita. Dalam posisi demikian ini, wanita sadar atau tidak sadar menerima dan menyetujuinya sebagai sesuatu yang semestinya terjadi (Sugihastuti, 2000: 135-136).

Citra wanita dalam sikap sosialnya terbentuk karena pengalaman pribadi dan budaya. Wanita menolak terhadap stereotip-stereotip tradisional yang menyudutkannya ketempat yang tidak bahagia. Pengalaman pribadi wanita mempengaruhi penghayatannya dan tanggapannya terhadap ransangan sosial, termasuk terhadap lawan jenisnya. Tanggapan itu menjadi salah satu terbentuknya sikap wanita dalam aspek sosial (Sugihastuti, 2000: 142).

Dokumen terkait