• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isu perubahan iklim masih menjadi bahan perdebatan banyak pihak karena adanya perbedaan pemahaman tentang hal tersebut. Secara umum iklim diartikan sebagai kondisi rata-rata suhu udara, curah hujan, tekanan udara, arah angin, kelembaban udara serta parameter lainnya dalam jangka waktu yang panjang antara 50-100 tahun. Perubahan iklim ini terjadi akibat adanya proses pemanasan global, yaitu meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat akumulasi panas yang tertahan di atmosfer yang terjadi akibat adanya efek rumah kaca di atmosfer bumi. Efek rumah kaca itu sendiri merupakan suatu fenomena gelombang pendek radiasi matahari menembus atmosfer dan berubah menjadi gelombang panjang ketika mencapai permukaan bumi. Setelah mencapai permukaan bumi, sebagian gelombang tersebut dipantulkan kembali ke atmosfer. Akan tetapi hanya sebagian yang dilepaskan ke angkasa luas karena sebagian akan dipantulkan kembali oleh lapisan gas rumah kaca di atmosfer ke permukaan bumi. Proses ini dapat berlangsung berulang kali,

sementara gelombang yang masuk juga bertambah terus sehingga akan terjadi akumulasi panas di atmosfer. Menurut Protokol Kyoto, gas rumah kaca terdiri dari enam jenis, yaitu karbondioksida (CO2), nitriksida (N2O), methane (CH4), sulfurheksaflourida (SF6), perflurokarbon (PFC) dan hidrofluorokarbon (HFC).

Secara alami, efek rumah kaca telah terjadi sejak terbentuknya atmosfer bumi sehingga menjadikan suhu bumi menjadi hangat dan layak huni. Para ahli mengatakan tanpa adanya atmosfer dan efek rumah kaca, suhu bumi akan 33o C lebih dingin dibandingkan saat ini. Adanya kegiatan manusia (anthropogenic) terutama sejak adanya revolusi industri, telah meningkatkan emisi GRK dengan laju yang sangat tinggi sehingga efek rumah kaca di atmosfer semakin kuat.

Pemanfaatan energi yang berlebihan, terutama energi fosil, merupakan sumber utama emisi GRK. Hutan yang semakin rusak, baik karena kejadian alam maupun pembalakan liar akan menambah jumlah GRK yang diemisikan ke atmosfer dan akan menurunkan fungsi hutan sebagai penghambat perubahan iklim. Demikian pula dengan kegiatan peternakan dan pertanian yang merupakan penyumbang gas metana yang kekuatannya 21 kali lebih besar daripada gas karbondioksida. Data emisi GRK tahun 1990 yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia dalam First National Communication to The UNFCCC pada tahun 1997 memberikan gambaran bahwa kegiatan perubahan lahan dan kehutanan memberikan kontribusi terbesar bagi emisi GRK yaitu sekitar 63%. Adapun sektor energi menempati urutan kedua, yakni kurang lebih 25% dari total emisi.

Akumulasi peningkatan emisi GRK antropogenik secara umum telah meningkatkan konsentrasi GRK seperti terlihat dalam Tabel 3. Uap air merupakan GRK, tetapi tidak diperhitungkan sebagai GRK yang efektif dan tidak dipergunakan dalam prediksi perubahan iklim karena keberadaan atau masa hidup (life time) H2O sangat singkat (9,2 hari). Sementara itu CO2, CH4 dan N2O masa hidupnya di atmosfer berturut-turut adalah 100, 15 dan 115 tahun, sehingga meskipun emisinya dihentikan dengan segera, tetapi dampak dari akumulasi GRK tersebut akan tetap dirasakan sampai puluhan bahkan ratusan tahun. Dari Tabel 3, dapat dilihat pula bahwa meskipun konsentrasi dan laju pertumbuhan CH4 dan N2O relatif rendah, tetapi kemampuan memperkuat radiasi (radiative forcing) gelombang pendek menjadi gelombang panjang yang bersifat lebih panjang dan lebih panas jauh lebih besar dibanding CO2 yang konsentrasi dan pertumbuhannya jauh lebih besar. Kedua GRK tersebut masing-masing

mampu memperkuat radiasi sekitar 20 dan 200 kali kemampuan CO2. Hal ini berarti bahwa kenaikan yang sekecil apapun dari kedua GRK tersebut harus tetap dikendalikan (Murdiarso, 2003).

Tabel 3. Karakteristik gas rumah kaca utama (Murdiarso, 2003)

Karakteristik CO2 CH4 N2O

Konsentrasi pada pra-industri Konsentrasi pada 1992] Konsentrasi pada 1998 Laju pertumbuhan per tahun Persen pertumbuhan per tahun Masa hidup (tahun)

Kemampuan memperkuat radiasi 290 ppmv 3550 ppmv 360 ppmv 1,5 ppmv 0,4 5-200 1 700 ppbv 1714 ppbv 1745 ppbv 7 ppbv 0,8 12-17 21 275 ppbv 311 ppbv 314 ppbv 0,8 ppbv 0,3 114 206 Keterangan: ppmv = part per million by volume, ppbv = part per billion by volume

Menurut Murdiarso (2003) sumber-sumber GRK baik yang bersifat alami seperti interaksi lautan dan atmosfer, input energi matahari, atau letusan gunung berapi, maupun yang bersifat antropogenik seperti pembakaran bahan bakar fosil dan alih guna lahan, dapat menyebabkan terjadinya peningkatan suhu secara global. Hal tersebut berakibat pada terjadinya perubahan iklim yang memberikan dampak terhadap kehidupan makhluk hidup di bumi. Mengingat perubahan iklim ini bersifat global, maka dampaknya pun bersifat global pula. Tidak ada daerah yang akan luput dari dampak perubahan iklim ini, yang berbeda hanya tingkat adaptasi masing-masing wilayah terhadap perubahan iklim tersebut. Perubahan iklim dapat menyebabkan terjadinya pencairan lapisan es baik di daerah kutub, tapi juga di beberapa puncak gunung yang biasanya terselimut lapisan es. Sejak dekade 1960-an, lapisan es yang menyelimuti bumi diperkirakan telah berkurang sebanyak 10 persen (Pelangi, 2003).

Lapisan es yang mencair akan menimbulkan peningkatan volume air di permukaan bumi secara keseluruhan terutama volume air laut yang pada akhirnya akan menyebabkan peningkatan ketinggian muka air laut. Studi yang dilakukan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa dalam 100 tahun terakhir telah terjadi peningkatan permukaan air laut setinggi 10 cm - 25 cm dan diperkirakan pada tahun 2100 peningkatan muka air laut akan mencapai 15 cm - 95 cm dibandingkan saat ini. Kondisi seperti itu

dapat mengakibatkan banyak pulau-pulau serta wilayah pesisir tenggelam dan mengakibatkan sekitar 46 juta orang yang hidup di pesisir pantai harus mengungsi ke daerah yang lebih tinggi. Perubahan iklim juga berpengaruh terhadap pergeseran musim, yaitu semakin panjangnya musim kemarau serta semakin pendeknya musim hujan, sehingga akan timbul bencana kekeringan yang memberikan dampak terhadap kegagalan panen serta krisisi air bersih. Musim hujan meskipun lebih pendek, tetapi akan mempunyai intensitas yang sangat tinggi, sehingga kondisi ini dapat menyebabkan semakin seringnya terjadi bencana banjir, badai dan tanah longsor. Ketidakpastian musim akan mengganggu para petani dalam menjalankan kegiatannya karena akan menyebabkan musim tanam yang tidak menentu, sehingga dapat menurunkan produksi pangan. Diperkirakan kerugian pada sektor pertanian di Indonesia dapat mencapai US$ 6 miliar per tahun (Pelangi, 2003).

Terjadinya kenaikan permukaan air laut, dapat mengakibatkan pulau-pulau kecil dan daerah landai di Indonesia tenggelam. Diperkirakan sekitar 2000 pulau akan hilang dari wilayah Indonesia (Pelangi, 2003). Akibatnya, masyarakat nelayan yang tinggal di sepanjang pantai akan semakin terdesak. Selain itu kenaikan air laut akan merusak ekosisten hutan bakau (mangrove) serta mengubah sifat biofisik dan biokimia di zona pesisir. Masalah lain yang timbul akibat naiknya muka air laut adalah memburuknya kualitas air tanah di perkotaan akibat adanya intrusi air laut yang dapat merusak infrastruktur kota akibat salinitas air laut. Perubahan iklim ini akan berpengaruh juga terhadap sektor kehutanan, karena tidak semua jenis flora dan fauna mampu beradaptasi sehingga menyebabkan terjadinya perubahan komposisi ekologi hutan. Spesies yang tidak mampu beradaptasi akan punah, sedangkan yang lebih kuat akan berkembang tidak terkendali. Panjangnya musim kemarau dapat pula memacu peningkatan terjadinya kebakaran hutan. Selain itu, dampak perubahan iklim di Indonesia dapat meningkatkan frekuensi penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah. Pada akhirnya dampak negatif dari perubahan iklim ini akan dirasakan dari segala bidang kehidupan. Secara ekonomi pada tahun 2000 kerugian akibat banjir, kebakaran hutan, topan serta musim kemarau di seluruh Wilayah Indonesia berjumlah US$150 miliar dan menelan korban jiwa sebanyak 690 jiwa. Sementara studi yang dilakukan memperkirakan kerugian tahunan di sektor pertanian sebesar Rp 23 miliar, di sektor pariwisata sebesar Rp 4 miliar

dan dana perbaikan infrastruktur pesisir yang di perlukan sekitar Rp 42 miliar (Pelangi, 2003).

CDM atau mekanisme pembangunan bersih merupakan satu-satunya mekanisme dalam Protocol Kyoto yang memungkinkan peran negara berkembang untuk membantu Negara Annex I dalam upaya mitigasi GRK. Tujuan CDM seperti tertera dalam Artikel 12 Protokol Kyoto adalah :

1. membantu negara berkembang yang tidak termasuk dalam Annex I untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan serta menyumbang pencapaian tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu menstabilkan konsentrasi GRK dunia pada tingkat yang tidak akan menggangu system iklim global

2. membantu negara-negara Annex I atau negara maju dalam memenuhi target penurunan jumlah emisi negaranya

CDM memungkinkan negara Annex I untuk menurunkan emisi GRK secara lebih murah dibandingkan dengan mitigasi di dalam negerinya sendiri (domestic action). Dalam pelaksanaannya, komoditi yang diperjualbelikan dalam CDM adalah reduksi emisi GRK tersertifikasi atau yang dikenal dengan CER (certified emission reduction). CER ini diperhitungkan sebagai upaya Negara Annex I dalam memitigasi emisi GRK dan nilai CER ini setara dengan nilai penurunan emisi yang dilakukan secara domestik dan karenanya dapat diperhitungkan dalam pemenuhan target emisi GRK Negara Annex I seperti yang disepakati dalam Annex B Protokol Kyoto (Murdiarso, 2003).

Menurut Murdiarso (2003) pada dasarnya CDM dapat dilakukan dengan tiga cara (dikenal dengan CDM architecture), yaitu :

1. Bilateral CDM, yaitu pelaksanaan CDM antara satu Negara Annex I dan satu negara berkembang. Pada umumnya dilakukan dalam bentuk investasi asing yang besarnya setara dengan potensi reduksi emisi GRK yang dapat dihasilkan oleh kegiatan tersebut. Investasi asing yang dihitung sebagai CDM hanya berdasarkan pada CER yang dapat dihasilkan

2. Multilateral CDM, yaitu dengan mekanisme serupa dengan bilateral CDM, tetapi berlangsung antara beberapa negara Annex I dengan beberapa negara berkembang melalui sebuah lembaga “clearinghouse”.

3. Unilateral CDM, yaitu pelaksanaan kegiatan yang memiliki potensi reduksi emisi GRK yang dibiayai dengan investasi domestik. Pada gilirannya, investor dalam negeri ini akan mendapatkan CER yang dapat dijual kepada negara Annex I

Proyek-proyek CDM harus memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal dalam hal lingkungan, sosal dan ekonomi. Sebagai jaminan adanya dampak positif proyek CDM bagi masyarakat lokal, maka diharuskan adanya partisipasi dari masyarakat di sekitar proyek CDM. Partisipasi masyarakat yang merupakan proses publik yang menjadi salah satu syarat CDM ini harus dilakukan sejak tahap awal perencanaan kegiatan CDM hingga proses monitoringnya. Pemilik proyek diharuskan mengadakan proses publik yang transparan dan obyektif untuk mendapatkan opini-opini dari masyarakat mengenai kegiatan proyek tersebut. Proses publik tidak hanya dilakukan oleh pemilik proyek, tapi juga oleh badan eksekutif CDM (CDM executive board, CDM-EB) yang dilakukan saat proyek didaftarkan dengan mempublikasikan dokumen proyek CDM dan meminta publik untuk memberikan opini atau komentar mengenai kegiatan proyek tersebut dalam jangka waktu 30 hari (Murdiarso, 2003).

Kegiatan CDM dapat dibedakan atas kegiatan yang menurunkan emisi GRK pada sumber dan kegiatan yang menyerap GRK dari atmosfer. Kegiatan yang menurunkan emisi dari sumber biasanya terfokus pada sektor yang memanfaatkan energi, sementara kegiatan untuk menyerap GRK dari atmosfer dikenal juga dengan carbon sequestration seperti kehutanan (Pelangi, 2003).

Sumber utama emisi GRK di sektor energi adalah pembakaran bahan bakar minyak dalam proses produksi dan prosesing sumber energi primer terutama minyak dan gas, pembangkit tenaga, dan proses pembakaran di industri-industri lainnya. Umumnya sektor ini masih banyak menggunakan teknologi yang tidak menghasilkan emisi GRK lebih rendah. Berdasarkan catatan KLH (2000) banyak teknologi rendah emisi GRK yang tersedia di pasaran untuk sector energi, namun demikian, karena berbagai sebab sebagian besar masih sulit diterapkan.

Menurut IGES (2007) pengurangan emisi GRK di sektor energi umumnya didasarkan pada prinsip-prinsip berikut :

• Mengurangi penggunaan bahan bakar berbasis karbon dengan bahan bakar non-karbon atau kandungan karbon rendah,

• Meningkatkan efisiensi pembakaran,

• Meminimalkan kebocoran metandan dekarbonisasi.

Studi nasional di bidang energi (KLH, 2001) telah mengidentifikasi kegiatan potensial untuk mengurangi emisi GRK (Tabel 4). Studi ini mengkaji

potensi berbagai opsi berdasarkan potensi teknis, biaya pengurangan emisi GRK (marginal abatement costs) menggunakan pendekatan top-down (MARKAL-based) dan project-based. Pada pendekatan berikutnya marginal abatement costs dihitung dengan membagi perbedaan biaya antara dua opsi teknologi (base case dan mitigation technology) dengan perbedaan emisi GRK pada opsi teknologi yang sama. Biaya (dalam hal ini biaya per unit energi yang dihasilkan) ditaksir dengan memperhitungkan biaya investasi, biaya bahan bakar, biaya operasi dan pemeliharaan yang diperlukan dalam implementasi teknologi yang bersangkutan (IPCC CHG inventory method, 1996).

Tabel 4. Teknologi rendah emisi pada industri minyak dan gas sektor hulu Industri Kondisi Saat Ini Opsi Teknologi

mitigasi GRK potensial

Potensi Pengurangan

GRK Minyak dan gas

mentah/Hulu

Pembakaran gas bertekanan Rendah dan Sejenisnya

ƒ Penggunaan gas bakaran dari gas alam untuk substitusi dalam memproduksi minyak dan gas.

ƒ Meminimalkan pembakaran gas pada lading minyak didaratan ƒ Sedikit atau tanpa memerlukan biaya (1,5 US$/t/CO2 ƒ Pengurangan CO2 pertahun : 10,5 juta ton ƒ Total Potensi pengurangan GRK 84 juta ton.

Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup 2000,2001

Lebih lanjut, telah diketahui bahwa pengurangan emisi dari pembakaran gas dan produksi batu bara serta penggunaan energi terbarukan merupakan proyek yang potensial untuk CDM di Indonesia. Departemen ESDM telah mengadakan inventarisasi potensi energi terbarukan di Indonesia, demikian juga potensi produksi minyak dan batu bara di seluruh propinsi menunjukkan potensi volume proyek CDM energi di Indonesia. Sebagai contoh, perkiraan saat ini menunjukkan bahwa Indonesia membakar sekitar 4.6 milyar m3 (meter kubik) gas per tahun, yang menghasilkan sekitar 11 juta ton emisi CO2 per tahun. Pemerintah Indonesia yakin bahwa gas bakaran dapat dimasukkan ke dalam pembangkit tenaga listrik skala kecil dalam rangka memenuhi kebutuhan energi yang semakin meningkat, dan pada saat yang sama menghasilkan pengurangan emisi GRK (KLH 2001). Selain itu, potensi energi terbarukan juga sangat besar.

Banyak teknologi rendah emisi di sektor energi telah tersedia di pasar dunia, tetapi banyak pula diantara teknologi tersebut intensif modal dan seringkali

sangat khas untuk kondisi lokal tertentu, sebagai contoh, dengan teknologi penghambat emisi metan misal capturing dan menggunakan atau memompa kembali residu dan purge gases, penggunaan pneumatic devices untuk mengendalikan atau menghilangkan kebocoran, perbaikan dan penggantian pipelines, dan penggunaan shut-off valves otomatis (KLH, 2001). Kendala dari kebijakan juga umum dijumpai, misalnya, kebijakan pemberian subsidi bagi bahan bakar fosil tidak mendorong pengalihan ke sumber energi terbarukan. Namun demikian Pemerintah Indonesia secara perlahan mengurangi subsidi bahan bakar fosil, yang mengakibatkan harga minyak meningkat dari Rp 1.400 per liter pada tahun 2001 menjadi Rp 2.400 per liter pada awal tahun 2005, dan kenaikan yang tajam pada akhir tahun 2005. Hal ini dapat meningkatkan daya saing energi terbarukan.

Kendala kebijakan dan regulasi lain yang membatasi implementasi proyek gas flaring adalah kontrak bagi hasil. Ketentuan yang ada hanya mengatur bagi hasil untuk produksi minyak dan gas tetapi tidak ada kebijakan bagaimana pengaturan atas sertifikat CDM (certified emissions reduction/CERs) karena isu ini masih dalam tahap diskusi di instansi terkait. Kendala lain adalah tingginya investasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah teknis, seperti peningkatan dan pemeliharaan sistim pipeline untuk mengurangi kebocoran. Studi yang dimaksudkan untuk menangani masalah ini sedang berjalan yaitu Indonesia's Carbon Finance Development for Gas Flaring Reduction, yang didanai Bank Dunia (IGES, 2007).