• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tidak bisa dipungkiri bahwa aspek sosial dalam pengelolaan lingkungan, khususnya dalam pemanfaatan SDA, kurang mendapat perhatian (KLH, 2002). Kemudahan memperoleh akses dalam pemanfaatan SDA berkorelasi dengan terjadinya penumpukan kekayaan pada sebagian kecil orang dan pemodal asing. Sementara sebagian besar warga masyarakat masih tetap berada pada garis kemiskinan. Krisis ekonomi juga menambah persoalan dalam kaitannya dengan pengelolaan SDA, yaitu adanya kecenderungan berupaya membawa bangsa ini keluar dari krisis ekonomi, dengan menguras SDA. Pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan SDA masih belum memperhatikan secara sungguh-sungguh aspek sosial (KLH, 2000).

Kelompok masyarakat (komunitas) yang selama ini mengembangkan potensi SD sosial yang terbukti efektif bagi pelestarian lingkungan hidup, merupakan mitra pengelolaan lingkungan hidup yang perlu difasilitasi. Banyaknya keluhan dari berbagai pihak tentang keterbatasan pemahaman tentang lingkungan sosial dalam kerangka pengelolaan lingkungan hidup (KLH, 2002).

Perusahaan minyak bumi cenderung membangun infrastruktur dan tinggal di dalam dunianya sendiri yang secara alamiah merupakan lokasi enclave (Lindblad dalam Cleary dan Eaton, 1992). Mereka membangun perumahan pegawai yang dilengkapi dengan fasilitas lengkap di dalam kompleks. Keadaan yang demikian akan menimbulkan gap yang besar antara perusahaan dan masyarakat lokal. Gap ini akan semakin besar jika perusahan tidak berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan pembangunan masyarakat di sekitarnya (Hilarius, 2000). Perusahaan migas memang sudah berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat lokal tetapi hal ini belum seimbang jika dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh selama ini. Masyarakat selalu menuntut agar perusahaan migas mau berpartisipasi lebih besar dalam pembangunan. Masalah lain yang menimbulkan kecemburuan sosial adalah penerimaan tenaga kerja. Menurut pengakuan masyarakat selama ini perusahaan migas tidak mengutamakan orang lokal dalam penerimaan tenaga kerja (Hilarius, 2000).

Ketika eksploitasi minyak dan gas berlangsung, tuntutan masyarakat di daerah sekitar semakin keras untuk menghentikan polusi dan mendapatkan kompensasi yang adil. Tuntutan mereka mencakup kerusakan tanah, kehilangan mata pencaharian dan perlakuan adil di tempat bekerja serta pembagian keuntungan sampai tuntutan agar perusahaan-perusahaan tersebut hengkang dari wilayah mereka (Down To Earth, 2001). Tidak dipungkiri bahwa aspek sosial, ekonomi dan budaya dalam pengelolaan lingkungan, khususnya dalam pemanfaatan sumber daya alam (SDA), kurang mendapat perhatian. Masih begitu banyak persoalan sosial yang dihadapi bangsa. Indonesia akhir-akhir ini, mengalami berbagai konflik, khususnya konflik atau friksi sosial yang berkaitan dengan benturan kepentingan pemanfaatan SDA, kesenjangan ekonomi dan akses pada pemanfaatan SDA (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2000).

Krisis ekonomi juga menambah persoalan dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA), yaitu adanya kecenderungan berupaya membawa bangsa ini keluar dari krisis ekonomi, dengan menguras sumber daya alam secara berlebihan. Dengan demikian, bukan tidak mungkin pengelolaan SDA kembali akan mengabaikan kepentingan sosial (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2000). Sebagian kelompok masyarakat (komunitas) yang selama ini mengembangkan potensi sumber daya sosial yang terbukti efektif bagi pelestarian fungsi lingkungan, adalah mitra pengelolaan lingkungan hidup yang perlu difasilitasi. Pemerintah diharapkan lebih giat mendorong masyarakat agar

semakin memiliki kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dirinya dalam mengelola lingkungan hidup. Sehubungan dengan itu, selain diperlukan profesionalitas dari pihak-pihak terkait yang mengelola lingkungan hidup, juga diperlukan dukungan panduan tentang pengelolaan lingkungan sosial (Budhisantoso, 2002).

Kegiatan pertambangan migas selalu terkait dengan komunitas masyarakat sekitarnya (Warnika, 2006). Komunitas masyarakat yang terjangkau kegiatan operasi migas ini selalu diberi penjelasan dan sosialisasi sejak dini mengenai konsekuensi kegiatan hulu migas, dengan harapan dapat membangun rasa saling percaya terhadap masalah-masalah yang dikawatirkan akan timbul.

Keterlibatan masyarakat dalam mendukung kelangsungan kegiatan eksploitasi migas sangat berperan penting bagi kelangsungan dan keberhasilan industri migas yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Hubungan timbal balik tersebut dituangkan dalam bentuk keterbukaan yang nyata antara pihak masyarakat dan perusahaan migas termasuk penyebar-luasan informasi tentang kegiatan program pengelolaan lingkungan dan program pengembangan masyarakat (Warnika, 2006).

Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) oleh korporasi besar, khususnya di sektor industri ekstraktif (minyak, gas, dan pertambangan lainnya), saat ini sedang disorot tajam (Wibowo, 2004). Kasus Buyat yang terjadi tahun 2004 dan Lapindo Brantas yang sekarang menjadi EMP Brantas (2006) adalah contoh terbaru, tentang bagaimana realisasi tanggung jawab sosial itu atas terjadinya pencemaran lingkungan. CSR berkaitan dengan peran aktif masyarakat sipil dalam memaknai dan turut membentuk konsep kemitraan yang merupakan salah satu kondisi yang dibutuhkan dalam mewujudkan CSR.

Dalam artikel How Should Civil Society (and The Government) Respond to Corporate Social Responsibility? Hamann dan Acutt (2003) menelaah motivasi yang mendasari kalangan bisnis menerima konsep CSR. Telaah Hamann dan Acutt (2003) sangat relevan dengan situasi implementasi CSR di Indonesia dewasa ini. Khususnya dalam kondisi keragaman pengertian konsep dan penjabarannya dalam program-program berkenaan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Keragaman pengertian konsep CSR adalah akibat logis dari sifat pelaksanaannya yang berdasarkan prinsip kesukarelaan (Wibowo, 2004). Tidak

ada konsep baku yang dapat dianggap sebagai acuan pokok, baik di tingkat global maupun lokal.

Secara internasional saat ini tercatat sejumlah inisiatif code of conduct implementasi CSR. Inisiatif itu diusulkan, baik oleh organisasi internasional independen (Sullivan Principles, Global Reporting Initiative), organisasi negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), juga organisasi nonpemerintah (Caux Roundtables), dan lain-lain. Di Indonesia, acuannya belum ada. Jika CEO memiliki kesadaran moral bisnis berwajah manusiawi, besar kemungkinan korporasi tersebut menerapkan kebijakan CSR yang layak. Sebaliknya, jika orientasi CEO-nya hanya pada kepentingan kepuasan pemegang saham (produktivitas tinggi, profit besar, nilai saham tinggi) serta pencapaian prestasi pribadi, boleh jadi kebijakan CSR sekadar kosmetik (Wibowo, 2004). Selanjutnya dikatakan bahwa sifat CSR yang sukarela, absennya produk hukum yang menunjang dan lemahnya penegakan hukum telah menjadikan Indonesia sebagai negara ideal bagi korporasi yang memang memperlakukan CSR sebagai kosmetik. Dalam hal ini yang lebih dipentingkan adalah show dari buku laporan tahunan, sehingga Laporan Sosial Tahunannya tampil mengkilap, lengkap dengan tampilan foto aktivitas sosial serta dana program pembangunan komunitas yang telah direalisasi.

Salah satu bentuk kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan adalah kegiatan pengembangan masyarakat (community development). Kontribusi Kontraktor KKS bagi pengembangan masyarakat telah lama dan terus dilakukan. Program pengembangan masyarakat bukan sekadar “pemberian” tetapi merupakan bentuk kepedulian sosial BPMIGAS-KKKS dan keinginan mendukung pemerintah untuk membangun masyarakat yang lebih maju dan sejahtera (Warnika, 2006). Program pengembangan masyarakat (community development, CD) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi Indonesia. Selama kurun waktu dua tahun, 2002 hingga saat ini berbagai program pengembangan masyarakat telah dilaksanakan dengan difokuskan terhadap ekonomi masyarakat, pendidikan & kebudayaan, kesehatan, fasilitas sosial & fasilitas umum dan lingkungan (Sudibyo, 2004).