• Tidak ada hasil yang ditemukan

Grafik/Tabel

LAPANGAN PASIR CATANG

1996 26,273.90 10,115.40 48.98 48.98 10,066.42 81.59 61.79 0.54 0.54 61.25 1997 26,273.90 10,115.40 44.00 92.98 10,022.42 81.59 61.79 1.51 2.05 59.74 1998 26,273.90 10,115.40 19.90 112.88 10,002.52 81.59 61.79 1.27 3.32 58.47 1999 26,273.90 10,115.40 3.42 116.30 9,999.10 81.59 61.79 0.64 3.96 57.83 2000 26,273.90 10,115.40 26.60 142.90 9,972.50 81.59 61.79 1.17 5.13 56.66 2001 4,365.50 1,456.40 18.00 160.90 1,295.50

b. Kondisi Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat

Industri migas di Lapangan Tugu Barat Kabupaten Indramayu dikelola oleh PT. PERTAMINA E&P Region Jawa. Industri ini termasuk dalam wilayah Desa Amis, Kecamatan Cikedung, Jawa Barat. Industri dibangun pada tahun 1979 di atas tanah seluas 920,328 ha dengan tipe lapangan termasuk lahan darat. Cadangan minyak dan kondensatnya sekitar 43.423 milyar barrel dan cadangan yang sudah dieksploitansi mencapai 12.485,50 milyar barrel. Selain minyak dan kondensatnya, di Lapangan Tugu Barat juga dihasilkan gas ikutan yang selama ini langsung dibuang ke lingkungan atau langsung dibakar karena dianggap tidak bernilai ekonomis.

Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa cadangan gas ikutan di lapangan Tugu Barat mencapai 35,7 BSCF (proven) ditambah 23,1 BSCF (probable). Cadangan gas ikutan tersebut selama ini belum dimanfaatkan untuk kepentingan komersial. Dalam hal ini gas ikutan langsung dihilangkan dengan cara dibakar. Kondisi ini sudah barang tentu akan sangat mengkhawatirkan mengingat gas ikutan yang dibakar dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, padahal gas ikutan masih dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan yakni dapat diolah menjadi LPG, kondensat, lean gas atau sekedar dimanfaatkan karbon dioksidanya (CO2) guna berbagai keperluan seperti untuk keperluan industri minuman ringan.

Gas ikutan yang tidak dimanfaatkan, namun dihilangkan dengan cara dibakar juga akan menjadi masalah tersendiri. Dalam hal ini gas ikutan yang terbuang ke lingkungan akan mencemari lingkungan karena di dalam gas ikutan yang diperoleh dari industri migas manapun di dalamnya terkandung gas rumah kaca seperti CO2, gas metan, nitogen oksida, dsb. Kondisi ini akan sangat merugikan karena adanya CO2, gas nitrogen merupakan bahan pencemar udara yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran udara dan terjadinya hujan asam. Selain itu CO2, nitrogen dan metan juga merupakan gas rumah kaca yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global. Kondisi yang sama juga akan terjadi manakala gas ikutan tersebut dihilangkan dengan cara dibakar, karena pada pembakaran akan dihasilkan gas rumah kaca yang didominasi oleh karbon dioksida. Hal ini sesuai dengan pendapat Murdiyarso (2003) yang mengatakan bahwa emisi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (N2O) dan uap air (H2O) dapat mengakibatkan terjadinya perubahan fisik atmosfer bumi (suhu, kelembaban,

angin, distribusi curah hujan) dimana dalam jangka waktu yang relatif panjang (50-100 tahun) dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim.

Berdasarkan hasil analisis terhadap gas ikutan yang terdapat di lokasi penelitian memperlihatkan bahwa pada gas ikutan yang dihasilkan di Lapangan Tugu Barat terdapat CO2 yang jumlahnya mencapai 40%. Kondisi ini memperlihatkan bahwa pada gas ikutan terdapat gas rumah kaca dalam jumlah yang cukup tinggi, sehingga jika gas ikutan ini langsung dibuang ke lingkungan akan semakin meningkatkan GRK karena konsentrasi gas CO2, nitrogen dan metan yang semakin meningkat di atmosfir akan semakin memperburuk kondisi lingkungan. Hal ini disebabkan CO2 dan gas-gas rumah kaca (GRK) lainnya akan mengakibatkan sebagian radiasi infra merah ditahan di lapisan atmofer. Pada kondisi alami proses tersebut akan sangat baik karena GRK akan menjaga suhu bumi tetap hangat (efek tumah kaca atau green house effect), sehingga menjadi nyaman bagi kehidupan di bumi. Namun untuk saat ini dengan alam semakin terdegradasi akibat dari banyaknya kehilangan hutan sebagai akibat penebangan yang tidak bertanggung jawab serta tingginya konversi lahan menjadi bangunan, akan mengakibatkan bumi semakin panas. Hal ini sesuai dengan pendapat Folay (1993) yang mengatakan bahwa akumulasi GRK di atmosfer akan mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu atmofer bumi, dan selanjutnya dapat dikatakan bahwa peningkatan suhu global mencapai 0.5 oC.

Walaupun hingga saat ini belum ditemukan literatur yang menyebutkan secara spesifik tentang sumbangan GRK atau besarnya peningkatan GRK akibat pembuangan ataupun pembakaran gas ikutan yang dihasilkan dari industri migas, namun perhitungannya dapat dilakukan dengan menggunakan formula dari Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories (IPCC, 2006) seperti berikut. Dengan mengetahui produksi minyak 500 barrel perhari dan produksi gas ikutan 11 mmscf perhari yang ada di Lapangan Tugu Barat, maka pada produksi minyak di Lapangan Tugu Barat yang koefisien emisi dari pemakaian energi dalam ton/TJ 71,77 dan koefisien gas 56,1 (IPCC, 2006), maka CO2 yang akan dihasilkan dari produksi minyak dan dari gas ikutan adalah sebagai berikut.

1. Minyak = 500 barrel perhari Î berapa TJ (terra Joule) ?

Konstanta = 0.00573534246575343Jadi 500 x 0.00573534246575343 = 2.867671232876715 x koefisien emisi (71,77) = 205,97 ton perhari.

2. Gas ikutan = 11 mmscf/d (perhari) Æ berapa TJ (terra joule) ? Konstanta = 1.03006750720118

Jadi 11 x 1.03006750720118 = 11.33074257921298 x koefisien emisi (56,1) = 635,613 ton perhari

3. Total CO2 di Lapangan Tugu Barat 205,97 + 635,613 = 841,583 ton/hari (40%)

Sedangkan kandungan gas metane (CH4) per hari dan nitogen yang akan dikeluarkan dari gas ikutan yang dihasilkan dari Lapangan Tugu Barat adalah sebagai berikut.

• Jumlah CH4 pada gas ikutan = (50 %) x 2103,9575 = 1051,97 ton perhari • Jumlah N2 pada gas ikutan = (1,94 %) x 2103,9575 = 40,8167 ton perhari

Berdasarkan hitungan tersebut terlihat bahwa Lapangan Tugu Barat akan menyumbang CO2 841,583 ton/hari dan 635,613 ton diantaranya berasal dari gas ikutan, maka jika gas ikutan dari Lapangan Tugu Barat dibuang langsung atau dibakar, setiap harinya akan menyumbangkan CO2 635,613 ton/hari. Sebuah angka yang fantastik untuk mempercepat terjadinya hujan asam (acid rain) dan pemanasan global (global warming).

Hal yang sama juga terjadi pada gas metane (CH4), dalam hal ini jika gas ikutan langsung dibuang ke lingkungan akan dihasilkan 1051,97 ton perhari. Kondisi ini akan sangat mengkhawatirkan, karena menurut Killeen (1996) GRK tidak hanya berhenti pada terjadinya pemanasan global semata, namun juga akan dapat merubah siklus air global, sehingga menyebabkan perubahan pola presipitasi global yang tidak merata. Dalam hal ini pada daerah-daerah tertentu akan mendapat intensitas hujan yang meningkat, sedangkan di daerah lainnya intensitas hujan akan menurun. Kondisi ini selanjutnya akan merubah pola sumber daya air, mempengaruhi ekosistem, bahkan menurut Parmesan (2000) dan Pounds (2000) akan dapat menurunkan keanekaragaman hayati.

Kandungan nitrogen yang terdapat pada gas ikutan dan akan dilepaskan ke atmosfir adalah 40,8167 ton perhari. Kondisi ini sangat membahayakan karena menurut Koestoer (1990) pencemar SOx dan NOx dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan tanaman dalam bentuk partikel (deposisi kering). Selanjutnya dikatakan bahwa nitrogen yang terdapat di udara juga dapat terjadi dalam bentuk hujan asam (deposisi basah). Terjadinya hujan asam dapat

membahayakan terhadap berbagai hal, seperti terhadap tanaman yang terjadi melalui tanah, terutama hujan asam yang berlangsung dalam waktu yang lama, sehingga kapasitas penyangga tanah tidak dapat menahan turunnya pH tanah. Selain itu adanya hujan asam akan mengakibatkan tercucinya kation-kation di dalam tanah yang sebenarnya sangat berguna untuk pertumbuhan, sehingga tanah akan kekurangan hara yang diperlukan oleh tanaman (Kennedy, 1992). Selain itu adanya hujan asam juga akan mengakibatkan cepat rusaknya berbagai bangunan (Saeni, 1989)

Mengingat gas ikutan yang tidak dimanfaatkan akan menimbulkan masalah pada lingkungan yang mengakibatkan pemanasan global, pencemaran lingkungan dan dapat mengakibatkan terjadinya hujan asam, maka perusahaan migas seperti PT SDK harus berupaya untuk melakukan proses produksi bersih (nirlimbah) dengan cara meminimalkan atau bahkan memanfaatkan gas ikutan tersebut untuk bahan baku produksi dan menjadikan hasil produk yang bersifat lebih komersial. Strategi minimisasi limbah melalui produksi bersih ini, pada dasarnya mempunyai arti yang sangat luas karena di dalamnya termasuk upaya pencegahan pencemaran melalui pemilihan bahan baku yang murah dan aman, jenis proses yang ramah lingkungan, analisis daur hidup serta teknologi akrab lingkungan (Surna, 2001). Dalam keadaan ini, strategi yang dilakukan oleh PT SDK adalah minimalisasi limbah melalui pemanfaatan gas ikutan menjadi barang yang bernilai ekonomis. Adanya pemanfaatan gas ikutan untuk dijadikan barang yang bernilai ekonomis ini sudah barang tentu akan sangat menguntungkan, baik ditinjau dari sisi ekonomi maupun ditinjau dari aspek lingkungan. Dalam hal ini perusahaan akan mendapatkan keuntungan tambahan, di lain pihak juga akan meminimalkan terjadinya perubahan iklim global (global climate change) akibat kegiatan pembuangan gas ikutan (venting of associated gas) di perusahaan migas. Selain itu adanya pemanfaatan gas ikutan juga akan meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya dan dapat meminimalisasi kerusakan lingkungan (KLH, 2003). Hal ini sesuai dengan pernyataan Allenby (1999) yang mengatakan bahwa industri yang tidak memperhatikan aspek lingkungan pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan.

Dalam melakukan komersialisasi terhadap suatu bahan, sudah barang tentu tidak hanya sekedar melihat ada atau tidaknya barang yang akan dikomersialkan tersebut. Salah satu hal yang harus diperhatikan adalah potensi

REFRIGERATION & GLYCOL SYSTEM

LEAN GAS LPG KONDENSAT KOMPRESSOR 1 unit @ 1200 hp LPG