• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

D. Correctional Psychology

Dalam pelaksanaan hukum, ilmu psikologi bermanfaat bagi petugas hukum yang menghadapi pasal-pasal hukum pidana yang akan diterapkan kepada pelanggar hukum. Permasalahan yang muncul dalam hal ini adalah sejauh mana petugas-petugas Lembaga Pemasyarakatan memiliki pengertian dan pemahaman mengenai aspek-aspek psikologi narapidana (Ngani & Meliala, 1985). Dalam hal ini, Correctional Psychology merupakan area ilmu psikologi yang digunakan dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan.

Kajian utama dalam psikologi koreksional menurut Hawk (dalam Decaire, tanpa tahun) adalah membantu rehabilitasi dan reintegrasi narapidana. Dalam hal ini, psikolog koreksional memiliki berbagai macam tanggung jawab. Fokus utama psikolog koreksional adalah mengaplikasikan layanan psikologis mereka secara langsung kepada narapidana, evaluasi populasi penjara, pengelolaan narapidana, dan memberikan evaluasi dan rekomendasi.

Selain itu, psikolog koreksional juga meningkatkan keamanan staf dan narapidana dengan mengembangkan lingkungan kelembagaan yang sehat.

Untuk menganalisa evaluasi program koreksional yang berkaitan dengan prisoner reentry, hal pertama yang diperlukan adalah memberikan definisi mengenai prisoner reentry. Prisoner reentry menurut Petersilia (dalam Petersilia, 2004) didesfinisikan secara sederhana sebagai sebuah program yang melibatkan segala aktivitas dan pemrograman yang dilaksanakan untuk mempersiapkan narapidana untuk kembali ke masyarakat dengan aman dan untuk hidup sebagai warga negara yang terikat dan patuh secara hukum. Hal ini berkaitan dengan proses bagaimana narapidana menghabiskan waktu mereka selama dalam penjara, proses pembebasan mereka, dan bagaimana mereka diawasi setelah dibebaskan. Seiter dan Kadela (2003) mendefinisikan reentry program sebagai program yang secara spesifik berfokus pada transisi dari penjara ke masyarakat atau memulai suatu pemulihan dalam kondisi penjara dan hubungan-hubungannya dengan program komunitas atau masyarakat untuk menyediakan pemulihan yang berkesinambungan. Bartol (2004) juga menyatakan bahwa dalam koreksional asesmen diperlukan berdasarkan pada beberapa poin minimal menurut riwayat narapidana, yaitu saat masuk ketika sesorang memasuki sistem koreksional, ketika dibuat keputusan mengenai pelepasan narapidana untuk kembali ke masyarakat, dan pada saat krisis psikologis setelah bebas.

Meta analisis yang dilakukan oleh Andrews at al.’s(1998) menujukkan bahwa terdapat prinsip-prinsip yang apabila diikuti ketika intervensi yang tepat

diberikan dapat mengurangi tingkat residivis (dalam Petersilia, 2004). Prinsip-prinsip tersebut adalah :

a. Perlakuan sebaiknya berupa tingkah laku alamiah, intervensi sebaiknya mencakup cognitif behavioral dan tekhnik pembelajaran sosial berupa

modeling, role playing, reinforcement, penyediaan sumber, saran-saran verbal, dan restrukturisasi kognitif.

b. Reinforcementdalam program harus berdampak positif, bukan negatif. c. Pemberian program harus intensif, berlangsung selama 3 sampai 12 bulan

(tergantung kebutuhan) dan menggunakan 40 sampai 70% waktu yang dimiliki narapidana selama program-program berlangsung.

d. Intervensi perlakuan harus digunakan terutama pada napi yang memiliki risiko lebih tinggi, dengan sasaran kebutuhancriminogenicmereka (atribut pelaku yang merupakan faktor dinamis seperti penggunaan zat (alkohol dan obat-obatan), pelecehan, sikap anti sosial, hubungan keluarga, perkawinan dan faktor lainnya yang secara langsung terkait dengan perilaku kriminal). Intervensi perlakuan dengan sasaran kebutuhan

criminogenic dilakukan untuk mengurangi risiko pengulangan tindak pidana. Napi dengan risiko lebih rendah tidak memerlukan intervensi karena faktor dinamis yang mereka miliki tidak begitu mempengaruhi perilaku kriminal mereka untuk menjadi lebih kriminil.

e. Strategi yang paling efektif untuk membedakan level risiko narapidana adalah dengan tidak hanya mengandalkan pada penilaian klinis melainkan pada asesmen menggunakan instrument yang actuarial-based (instrument

statistik kuantitatif dalam memprediksi variabel yang berbeda untuk menilai sebuah risiko), seperti Level of Supervision Inventory (instrument penilaian kuantitatif mengenai risiko / kebutuhan yang digunakan untuk mengidentifikasi risiko pelaku kejahatan yang melakukan perilaku kriminal dan digunakan untuk kebutuhan klinis).

f. Melakukan intervensi dalam masyarakat dibandingkan dengan intervensi yang menggunakan peraturan institusional akan meningkatkan efektifitas perlakuan.

g. Dalam hal kepegawaian, terdapat suatu kebutuhan untuk menyamakan gaya dan model pemberian perlakuan dengan gaya dan model pembelajaran narapidana (daya respon yang spesifik). Dengan bergantung pada karakter spesifik narapidana (seperti tingkat intelegensi dan keingintahuan), yang bersangkutan dapat mewakili gaya belajar yang berbeda dan dapat menjadi lebih siap terhadap beberapa teknik dibandingkan dengan yang lain.

h. Dibutuhkan pencocokan gaya dan cara antara pemberian perlakuan dan gaya pembelajaran napi (responsivitas spesifik). Tergantung pada karakteristik napi (seperti kecerdasan, tingkatkecemasan) dimana mereka mungkin memiliki gaya pembelajaran yang berbeda sehingga mampu merespon secara lebih siap pada teknik yang satu dibanding teknik yang lain.

Meskipun ada hak untuk perlakuan fisik dan gangguan mental, narapidana tidak memiliki hak konstitusional dalam rehabilitasi di bidang

koreksional. Dalam konteks ini, rehabilitasi mengacu pada program yang barangkali harus meningkatkan kemungkinan bahwa narapidana tidak mengulang kesalahan lagi setelah bebas dari penjara. Dalam berbagai kasus, narapidana telah meminta pengadilan untuk memberikan hak-hak konstitusional mereka untuk berpartisipasi dalam program penyalahgunaan obat, program pelatihan kerja, program pendidikan dan program untuk pelaku kekerasan termasuk program-program yang lain (Bartol, 2004). Palmer dan Palmer (dalam Bartol, 2004) mengatakan bahwa sistem pemasyarakatan tidak bisa dioperasikan sedemikian rupa sehingga menghambat kemampuan narapidana untuk mencoba merehabilitasi mereka sendiri atau sederhananya untuk menghindari kemunduran secara fisik, mental atau sosial. Prinsip utamanya adalah narapidana tidak memiliki hak konstitusional untuk berpartisipasi dalam program tertentu dan pejabat Lembaga Pemasyarakatan diberikan keleluasaan untuk menentukan siapa yang akan dilibatkan dan ditugaskan dalam program-program rehabilitasi (Bartol, 2004).

Kehidupan dalam Lembaga Pemasyarakatan yang cenderung melebihi kapasitas (over capacity) berimplikasi pada ketersediaan fasilitas yang menjadi terbatas bahkan dapat dikatakan menjadi kurang memadai, meliputi makanan, kondisi ruangan atau kamar sel, fasilitas kesehatan, penerangan, dan sebagainya. Kondisi seperti ini mendorong munculnya perasaan senasib dan sepenanggungan sehingga lambat laun mulai tertanam identitas kolektif dalam diri narapidana. Lembaga Pemasyarakatan sebagai institusi yang berfungsi sebagai pengasingan atau isolasi sosial tidak lagi dirasakan sebagai

pengasingan yang mengisolasi dari kehidupan sosial. Para narapidana mulai merasakan kelonggaran ketika mereka bersosialisasi dengan sesama narapidana lain. Lembaga Pemasyarakatan tidak melakukan resosialisasi pola kelakuan melainkan telah menanamkan identitas kolektif baru dalam diri para narapidana (Pujileksono, 2010). Resosialisasi sebagaimana yang dimaksud adalah suatu proses interaksi antara narapidana, petugas Lembaga Pemasyarakatan dan masyarakat, dan ke dalam proses interaksi di mana termasuk mengubah system nilai-nilai yang dimiliki narapidana sehingga narapidana akan dapat dengan baik dan efektif mereadaptasikan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat (Romli, 1982).

Dengan munculnya identitas kolektif baru dalam diri para narapidana, lembaga pemasyarakatan telah gagal merehabilitasi pola kelakuan narapidana sehingga memunculkan narapidana kambuhan atau semakin banyaknya kualitas dan jaringan kriminalitas mereka (Pujileksono, 2010). Munculnya identitas kolektif baru dalam diri para narapidana dalam proses sosialisasi di dalam tembok penjara ini oleh Romli (1982) disebut dengan prisonisasi.

Romli (1982) mendefinisikan prisonisasi sebagai suatu proses interaksi untuk menjadi lebih kriminil daripada sebelumnya seseorang masuk ke dalam penjara. Implikasi negatif dari prisonisasi berakar pada suatu kenyataan di mana system sosial narapidana sangat mendukung dan melindungi narapidana yang sangat mendalami pola-pola tingkah laku kriminal dan sebaliknya akan sangat tidak mendukung bahkan menindas atau mengancam narapidana yang masih menunjukkan loyalitasnya pada dunia non-kriminal. Apapun yang

menjadi penyebab dari pendalaman sifat-sifat kriminal pada diri seorang narapidana selama di dalam penjara, secara serius akan menghambat usaha resosialisasi narapidana. Persoalan inti dalam proses resosialisasi ini adalah mengubah tingkah laku narapidana agar sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang dianut masyarakat bebas pada umumnya. Akan tetapi, semakin rumitnya masalah prisonisasi, maka akan semakin sulit proses resosialisasi yang sedang dan akan dilaksanakan (Romli, 1982).

Banyak narapidana yang meninggalkan penjara tanpa memiliki tabungan, tidak ada tunjangan langsung bagi mereka dan sedikitnya prospek lapangan pekerjaan (Petersilia, 2001). Permasalahan yang muncul setelah narapidana bebas dan kembali ke masyarakat adalah meskipun masyarakat secara jelas memiliki peranan yang sangat berarti, namun dari pihak masyarakat sendiri cenderung untuk menolak kehadiran narapidana ditengah-tengah mereka. Dengan kata lain, masyarakat sangat kurang menaruh minat terhadap proses kembalinya seorang mantan narapidana di lingkungannya (Romli, 1982). Kebanyakan dari mereka pada akhirnya tinggal bersama keluarga atau teman sampai mereka menemukan pekerjaan, dapat mengumpulkan uang dan menemukan tempat tinggal mereka sendiri. Mencari pekerjaan kerapkali menjadi persoalan serius bagi mantan narapidana yang memiliki sedikit keterampilan kerja dan sedikit pengalaman kerja (Seiter dan Kadela, 2003). Stigmatisasi yang diberlakukan kepada mantan narapidana meningkatkan keengganan para pemilik usaha untuk mempekerjakan mantan narapidana (Petersilia, 2001). Eksperimen yang dilakukan oleh Buikhuisen

dan Dijksterhuis (dalam Petersilia, 2001) menunjukkan bahwa pengusaha kurang merespon secara positif mantan narapidana yang melamar pekerjaan dibandingkan dengan pelamar lain yang tidak mencantumkan keterangan sebagai mantan narapidana. Selain itu, survey yang dilakukan oleh Holzer (dalam Petersilia, 2011) melaporkan bahwa para pengusaha akan lebih mungkin untuk mempekerjakan pelamar yang memiliki sedikit pengalaman daripada mempekerjakan mantan narapidana. Usia mereka ketika dibebaskan, sedikitnya lapangan pekerjaan dan latar belakang kriminal mereka menyebabkan masalah bagi mantan narapidana untuk mencari pekerjaan. Hal ini menyebabkan banyak mantan barapidana kembali melakukan tindakan kriminal setelah dibebaskan (Seiter dan Kadela, 2003). Apabila mantan narapidana diberikan kesempatan, maka banyak mantan narapidana memilih untuk berpartisipasi dalam program yang ditujukan untuk transisi yang lebih baik ke dalam masyarakat. Ketika tersedia pekerjaan atau layanan yang diberikan kepada mantan narapidana, mereka mau dan memilih untuk berpartisipasi dalam pekerjaan atau kesempatan pendidikan (Morani et al, 2011).

Dokumen terkait