• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Umum Tentang Perkembangan Rehabilitasi Narapidana

2. Pemasyarakatan dan Rehabilitasi Narapidana

Konsepsi Pemasyarakatan diterjemahkan oleh Achmad dan Romli (1979) bukan hanya sebagai rumusan terhadap tujuan dari pidana penjara, tetapi sebagai suatu sistem pembinaan yang berorientasi luas dengan pendekatan yang berpusat kepada potensi-potensi yang ada baik dari individu yang bersangkutan maupun ditengah masyarakat sebagai satu keseluruhan. Dengan demikian sistem pemasyarakatan menjadi berbeda dengan sistem berdasarkan rehabilitasi yang mengarahkan treatmen-focus-nya hampir secara eksklusif kepada individu yang bersangkutan. Akan tetapi pada

perkembangan selanjutnya sistem rehabilitasi ini melebarkan treatmen-focus-nya kepada masyarakat yang juga disebut sebagai “community based treatment” sehingga memiliki banyak persamaan dengan sistem pemasyarakatan.

Konsep pemasyarakatan secara teori berarti kembali ke masyarakat sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna (Romli, 1982). Romli (1982) juga menjelaskan bahwa sepuluh prinsip pemasyarakatan secara jelas menunjukkan bahwa pemasyarakatan secara tegas menolak prinsip retributif atau pembalasan bagi nararipada melainkan penerimaan tujuan penghukuman yang bersifat rehabilitatif.

Pelaksanaan sistem pemasyarakatan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga sebagai salah satu unit pelaksana di lingkungan Departemen Kehakiman yang bertugas melaksanakan pemasyarakatan dan bimbingan kemasyarakatan serta pengentasan anak (Achmad dan Romli, 1979) yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh :

1. Direktorat Pemasyarakatan, yang bertugas melaksanakan pembinaan di dalam lembaga.

2. Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA), yang melaksanakan pembinaan baik di dalam maupun di luar lembaga.

Ketiga unit pelaksana tersebut berada pada tingkat pusat, sedangkan pada tingkat wilayah, pelaksanaan sistem pemasyarakatan dilakukan oleh :

1. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga 2. Kantor Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga

3. Kantor Lembaga-lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi pelaksana di lapangan.

Setelah dikeluarkan Keputusan Presiden No. 47 tahun 1979, Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga berubah nama menjadi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Kemudian pada perkembangan selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01.PR.07.03 tanggal 12 Februari 1997 yang disusul oleh Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan No. E.PR.07.03.17 tanggal 7 Maret 1997 BISPA berubah nama menjadi BAPAS.

Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga pada masa itu dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan yang berdasarkan pada sepuluh prinsip pemasyarakatan masih harus memperhatikan unsur-unsur sebagai berikut (dalam Achmad dan Romli, 1979) :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada pasal-pasal 13, 14, 14a s/d f, 15,16, 17, 19, 23, 24, 25, dan 29.

2. Reglemen Penjara (Gestichen reglement) Stbl. 1917 No. 708 jo. Stbl. 1948 No.77

Hal ini dikarenakan belum adanya Undang-Undang khusus mengenai Pemasyarakatan. Dalam pelaksanaannya di lembaga pemasyarakatan, Departemen Bina Tuna Warga telah melakukan penyesuaian-penyesuaian yang dianggap perlu untuk melaksanakan pembinaan narapidana. Penyesuaian-penyesuaian tersebut diketahui dengan adanya surat Surat-surat. Edaran dari Mahkamah Agung dan Surat-surat Keputusan Menteri Kehakiman. Hasil penelitian observasi-evaluasi sistem pemasyarakatan yang dilakukan Universitas Padjadjaran tahun 1974-1975 (dalam Acmad dan Romli, 1979) menunjukkan bahwa telah dikeluarkan Surat Edaran kurang lebih tiga ratus buah. Selanjutnya, Achmad dan Romli (1979) menjelaskan bahwa Surat Edaran No. KP.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1965

tentang “Pemasyarakatan sebagai Proses” mengemukakan bahwa

pembinaan narapidana dewasa dilakukan melalui empat tahap sebagai suatu kesatuan proses yang bersifat terpadu, yang meliputi :

1. Tahap Pertama

Setiap Narapidana yang masuk Lapas diteliti untuk mengetahui segala sesuatu tentang diri narapidana seperti sebab-sebab melakukan pelanggaran hukum dan segala keterangan yang dapat diperoleh dari berbagai pihak mulai dari keluarga, bekas majikan atau atasan, teman sekeja, korban, serta dari petugas instansi lain yang telah menangani perkaranya.

Sujatno (2004) menjelaskan bahwa pembinaan tahap ini disebut sebagai pembinaan tahap awal yang dilakukan di dalam Lapas dengan pengawasan maksimum (maximum security) selama sepertiga masa pidana sejak yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana. Tahapan ini merupakan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perencanaan pelaksanaan program pembinaan dan kemandirian.

2. Tahap Kedua

Setelah pembinaan dilakukan paling lama sepertiga masa pidana dan menurut Dewan Pembina Pemasyarakatan yang kini berubah nama menjadi Tim Pengamat Pemasyarakatan sudah dicapai kemajuan dalam diri narapidana, maka yang bersangkutan memperoleh kebebasan yang lebih banyak dan ditempatkan di Lapas dengan medium security. Kemajuan narapidana yang dimaksud adalah telah menunjukkan keinsyafan, perbaikan, disiplin dan patuh terhadap peraturan lembaga.

3. Tahap Ketiga

Jika proses pembinaan telah berjalan sampai setengah masa pidana dan menurut Tim Pengawas Pemasyarakatan terdapat kemajuan, baik secara fisik, mental maupun keterampilan, maka wadah pembinaannya diperluas dengan asimilasi dengan masyarakat luar. Dalam proses asimilasi ini, narapidana diberikan kesempatan untuk ikut beribadah atau berolah raga dengan

masyarakat luar, mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah umum, atau bekerja di luar tetapi tetap berada dalam pengawasan dan bimbingan petugas Lapas.

4. Tahap Keempat

Tahap ini merupakan tahap terakhir yang dilakukan setelah menjalani proses pembinaan sampai dua per tiga masa pidana atau sekurang-kurangnya sembilan bulan. Pada tahap ini dilakukan perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai berakhirnya masa pidana narapidana. Kepada narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat dan pelaksanaan pembinaan dilakukan di luar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas).

Proses perkembangan sistem pemasyarakatan semakin mantap setelah diundangkannya Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan yang dalam pelaksanaannya diatur oleh PP No. 31 tahun 1999. Berlandaskan pada pasal 4 ayat 1 PP No.31 tahun 1999, pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan narapidana dilakukan oleh petugas pemasyarakatan yang terdiri atas :

1. Pembina Pemasyarakatan

Pembina pemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan yang melaksanakan pengamanan narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Lapas.

2. Pengaman Pemasyarakatan

Pengaman pemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan yang melaksanakan pengamanan narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Lapas

3. Pembimbing Kemasyarakatan

Pembimbing kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan yang melaksanakan pembimbingan klien di Bapas

Penyelenggaraan pembinaan dan pembimbingan narapidana dalam hal ini diatur dalam pasal 9 UU No. 12 tahun 1995 jo. pasal 5 PP No.31 tahun 1999 bahwa menteri dapat mengadakan kerja sama dengan instansi pemerintah terkait, badan-badan kemasyarakatan lainnya, atau perorangan yang kegiatannya sesuai dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan.

Setelah dikeluarkan PP No.31 tahun 1999 tersebut, maka proses pelaksanaan pemasyarakatan menjadi tiga tahapan. Berlandaskan pasal 7 dan 9 PP No.31 tahun 1999, ketiga proses pemasyarakatan tersebut adalah :

1. Pembinaan tahap awal yang dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai sepertiga dari masa pidana.

2. Pembinaan tahap lanjutan yang dibagi ke dalam dua tahap. Tahap lanjutan pertama dilakukan sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan setengah dari masa pidana. Kemudian tahap kedua dilakukan sejak berakhirnya tahap lanjutan pertama sampai dua per tiga masa pidana.

3. Pembinaan tahap akhir dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana narapidana yang bersangkutan.

Adapun rincian dari masing-masing tahapan tersebut terdapat dalam pasal 10 PP No. 31 tahun 1999 sebagai berikut : 1. Pembinaan tahap awal

a. Masa pengamatan, pengenalanm dan penelitian lingkungan paling lama satu bulan.

b. Perencanaan program peminaan kepribadian dan ke.mandirian

c. Pelaksanaan program kepribadian dan kemandirian. d. Penilaian program pembinaan tahap awal.

2. Pembinaan tahap lanjutan

a. Perencanaan program pembinaan lanjutan. b. Pelaksanaan program pembinaan lanjutan.

c. Penilaian program pembinaan lanjutan. d. Perencanaan dan pelaksanaan asimilasi. 3. Pembinaan tahap akhir

a. Perencanaan program integrasi. b. Pelaksanaan program integrasi

c. Pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir.

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.01-PP.02.01 tahun 1990 bab 2 pasal 2 mengatakan bahwa pembinaan narapidana dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman Republik Indonesia selaku instansi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pembinaan narapidana yang berada di Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah Unit Pelaksana Teknis di bidang pemasyarakatan sebagai wadah kegiatan pembinaan terpidana menurut sistem pemasyarakatan (Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.01-PP.02.01 tahun 1990 bab 1 pasal 1 huruf c). Kepala Lapas dalam hal ini berperan untuk menetapkan petugas pemasyarakatan yang bertugas sebagai wali narapidana dan anak didik pemasyarakatan (pasal 4 ayat 2 PP No. 31 tahun 1999) . Oleh karena itu, sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum UU No. 12 tahun 1995, Lembaga Pemasyarakatan berperan

sebagai ujung tombak atas pelaksanaan sistem pemasyarakatan melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi.

Skema 1

Sejarah Perkembangan Rehabilitasi Narapidana di Indonesia

Sebelum penjajahan Belanda Sesudah kedatangan Belanda Setelah kemerdekaan Sistem Kepenjaraan (sampai tahun 1964) (Hukuman sebagai bentuk

balas dendam dan tidak berperikemanusiaan)

Sistem Pemasyarakatan Dr. Sahardjo (1964-1995) (Hukuman sebagai bentuk

rehabilitasi) Sistem Pemasyarakatan Baru (1995-sekarang) UU No. 12 Tahun 1995 (UU tentang Pemasyarakatan) PP No. 31 tahun 1999 (Pelaksanaan UU Pemasyarakatan)

b. Rehabilitasi Narapidana Dalam Proses Pemasyarakatan

Pembaharuan sistem pemasyarakatan oleh Dr. Saharjo telah merumuskan tujuan dari pemidanaan adalah pemasyarakatan (Irwan & Wiwik, 2008). Hal ini berarti bahwa setiap orang yang dijatuhi hukuman pidana penjara akan di masyarakatkan melalui rehabilitasi dan resosialisasi sebelum kembali ke masyarakat. Rehabilitasi dan resosialisasi dalam proses pemasyarakatan tidak dapat di pisahkan satu sama lain karena merupakan suatu proses yang berkesinambungan (Sujatno, 2004). Rehabilitasi narapidana diwujudkan melalui tahapan pembinaan kepribadian dan kemandirian (Sujatno, 2004), sedangkan resosialisasi narapidana diwujudkan dalam bentuk asimilasi dan integrasi (Romli, 1982 ; Poernomo 1986)

Rehabilitasi narapidana diterjemahkan oleh Sujatno (2004) sebagai proses therapeutic, dimana ketika narapidana masuk Lembaga Pemasyarakatan merasa dalam keadaan yang tidak harmonis dengan masyarakat. Oleh karena itu, narapidana menjalani proses penyembuhan yang dapat dilakukan dengan syarat yaitu terciptanya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan antara petugas sebagai pembina, narapidana sebagai warga binaan dan mesyarakat sebagai wadah kehidupan dan penghidupannya. Selanjutnya, Sujatno (2004) menjelaskan untuk tercapainya tujuan tersebut pemasyarakatan menerapkan dua program pembinaan dan pembimbingan yaitu pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian.

Resosialisasi narapidana dalam pengertiannya menurut Romli (1982) merupakan suatu proses interaksi antara narapidana, petugas lembaga pemasyarakatan dan masyarakat, dan dalam proses interaksi tersebut termasuk mengubah sistem nilai-nilai dari narapidana, sehingga narapidana akan dengan baik dan efektif mengadaptasi kembali norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Poernomo (1986) menambahkan bahwa kegiatan asimilasi dan integrasi dalam pelaksanaan resosialisasi mempunyai arti penting bagi narapidana sebagai latihan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat. Kegiatan tersebut memberikan kelonggaran bagi narapidana untuk berinteraksi secara langsung dengan masyarakat karena sebelumnya narapidana menjalani proses tertutup di dalam lingkungan tembok penjara. Dengan demikian narapidana dapat berlatih untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat dan memperoleh perubahan sikap tentang apa sesungguhnya menjalani pidana penjara. Hal ini dikarenakan di dalam lingkungan tembok penjara terdapat berbagai watak dan sifat dalam lingkungan masyarakat mini dibandingkan masyarakat luar yang sesungguhnya. Irwan dan Wiwik (2008) menambahkan tujuan asimilasi yaitu sebagai cara untuk menghilangkan citra buruk penjara pasca hukuman dan memperkenalkan narapidana ke masyarakat dengan harapan memberikan manfaat baik bagi narapidana, masyarakat maupun anggota keluarga.

Dokumen terkait