• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PELAKSANAAN, HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Hasil Penelitian

2. Kategorisasi Tema Temuan

Setelah melalui tahap pengorganisasian data, pengkodean, dan interpretasi maka didapat kategorisasi dari tema-tema yang muncul. Berikut ini akan dijelaskan secara lebih terperinci mengenai temuan tema-tema yang muncul :

Tema 1 : Pelatihan kerja adalah pemberian modal kerja selepas pidana

Analisa data dari keseluruhan subjek menemukan deskripsi mengenai pelatihan kerja. Menurut pemikiran subjek, pelatihan kerja adalah pemberian keterampilan yang berguna sebagai modal untuk mendapatkan pekerjaan setelah bebas. Hal ini terungkap dalam kutipan wawancara sebagai berikut :

(Subjek 1, YL)

“Menurut saya pembinaan lah, pembinaan dari narapidana yang pengetahuannya masih nol iya kan, diberi pengarahan, diberi kursusan, dan pelatihan kerja seperti, satu salon mobil.” (KWS 1 –

1. No. 263-268). ”…kalau nggak ketangkep lagi mungkin udah kerja, udah ada penerimanya karena dapet sertifikat kan beserta penilaiannya.” (KWS 1 –1. No. 345-350)

(Subjek 2, D)

“…nambah keterampilan dan biar tahu”. (KWS 2 – 1. No. 457-458). “…kalau keluar bisa buat kerja.” (KWS 2 –1. No. 376)

(Subjek 3, HH)

“Ya..kita punya keterampilan...punya pengalaman kerja lah..tadinya aku nggak bisa jahit, bisa jahit...tadinya aku nggak bisa bikin masakan, bisa bikin masakan.” (KWS 3 – 1. No. 195-201). “…siapa tahu nanti buat bekal di luar (KWS 3–1. No. 244-245)

(Subjek 4, MM)

“Pelatihan kerja itu..e..menurut saya itu istilahnya wawasan, ilmu...kita yang tadinya nggak bisa dengan ikut pelatihan e...kursus itu, pelatihan kerja di sini jadi bisa.” (KWS 4 –1. No. 197-202).

Tema 2 : Pelatihan kerja sebagai motivasi bekerja dan berhenti kriminal

Pelatihan kerja yang diberikan kepada narapidana menimbulkan motivasi untuk bekerja dan motivasi untuk berhenti kriminal. Dengan mengikuti pelatihan kerja dan melanjutkan dalam praktek, narapidana menjadi terbiasa untuk bekerja dan lebih memiliki kesadaran hukum sehingga memilih untuk bekerja daripada mengulangi tindak pidana. Hal ini terungkap dalam wawancara dengan subjek sebagai berikut :

(Subjek 1, YL)

“Kamu buka aja ini ya, pikirannya kan timbul dari situ…” (KWS 1 –3. No. 282-284). “Coba kalau kerja nyepet kayak apa hasilnya di luar ya, pikirannya pasti gitu.” (KWS 1 –3. No. 288-290).

(Subjek 2, D)

“…karena efek apapun tapi udah...udah giat kerja, gitu..udah niat...apa...giat kerja…”(KWS 2 –3. No. 118-121).

(Subjek 3, HH)

Apakah pelatihan kerja itu juga menimbulkan dalam diri mas H semangat untuk bekerja, gitu?seperti tadi saya

bilang,’wah aku sudah dihukum, di sini mumpung ada pelatihan kerja aku ikut, besokkeluar aku bisa praktekkan’,

Tema 3 : Pelatihan kerja adalah kesibukan mengisi waktu pidana

Pelatihan kerja selain sebagai pembekalan keterampilan, oleh narapidana juga dianggap sebagai kesibukan untuk mengisi waktu selama menjalani hukuman. Dengan adanya kesibukan selama menjalani hukuman, maka dapat mengurangi beban pikiran sebagai akibat dari penjatuhan hukuman. Berikut ini kutipan wawancara dengan subjek :

(Subjek 1, YL)

“Untuk mengisi waktu mereka kan dikasih kerjaan yang langsung praktek. (KWS 1–1. No. 286-288)

(Subjek 2, D)

“Ini ya..untuk..ya biar dapet kesibukan di LP…”. (KWS 2 –1. No. 374-375)

(Subjek 4, MM)

“…dan tidak jenuh untuk menjalani masa pidana.” (KWS 2 – 1. No. 211-212).“…...saya pribadi saya bisa ngurangi pikiran yang di luar…” (KWS 2 –1. No. 246-248)

Tema 4 : Evaluasi pelatihan kerja : kurangnya motivasi dan partisipasi narapidana

Narapidana sebagai peserta pelatihan tidak kooperatif, tidak serius dan kurang motivasi karena mengikuti pelatihan kerja hanya untuk sekedar mengisi waktu dan keluar kamar sel. Perlu adanya seleksi yang lebih ketat agar narapidana yang mengikuti pelatihan kerja benar-benar narapidana yang niat dan bukan sekedar untuk keluar kamar. Peserta yang tidak serius mengganggu pelatihan kerja karena hanya sekedar ikut tanpa terlibat aktif

dan tanpa memberikan umpan balik. Narapidana yang tidak mengikuti pelatihan kerja akan ketinggalan baik di dalam penjara maupun setelah bebas dan yang mengikuti pelatihan kerja memiliki pengetahuan dan ilmu yang lebih banyak sehingga lebih siap menuju bebas. Meskipun demikian, tidak semua narapidana mau dan cenderung malas mengikuti pelatihan kerja karena kejenuhan memikirkan hukuman. Ada narapidana yang mengikuti pelatihan kerja hanya untuk kesibukan menjalani hukuman. Banyak narapidana yang memiliki keterampilan kerja namun cenderung untuk diam. Oleh karena itu, petugas perlu membujuk narapidana berketerampilan untuk berbagi keterampilan dengan memberikan pelatihan kerja untuk narapidana lain. Akan tetapi, tidak adanya informasi pengantar tentang maksud dan tujuan pelatihan kerja menghambat munculnya minat narapidana untuk mengikuti pelatihan kerja. Berikut ini kutipan wawancara dengan subjek :

(Subjek 1, YL)

“…harusnya kan ya..orangnya kan ya..kalau ini kan orangnya yang bener-bener mau, yang mau kerja lah..kan ini..biasanya kan diikuti sama orang yang cuma ingin keluar, gitu lho mas...mau ke luar kamar..akhirnya males..kenapa nggak dipakai sama orang-orang yang mau aja, gitu lho..suka..suka kebalik kan..orang yang bener-bener rajin mau ikut malah nggak kena, tapi yang cuma pengen untuk keluar malah yang suka ikut, gitu lho.” (KWS 1 – 2. No. 936-951).“…yang nggak mengikuti kerja..apa kerja..kerja belajar itu, mungkin akan ketinggalan, sampai di luar pun masih ketinggalan.” (KWS 1 –2. No. 151-156). “…aslinya banyak mas di sini, orang yang pinter..tapi dia kan cuma tutup mulut diam, iya kan...nah pengennya tu kita ketuk mereka orang-orang yang pinter ini untuk mau membimbing kita walaupun temen sama temen, nggak usah dari luar lah kalau bisa, dari sini pun banyak kok mas..apa..orang-orang yang mampu..maksudnya mampu ngasih..ngasih tambah ilmu kita lah, misalnya..pasti banyak..tapi..lha itu, pengennya bapak-bapaknya itu membantu kita untuk caranya ngetuk orangnya biar mau ngajar kita kerja

ini-kerja ini-ini-kerja ini...jadi kan ketemunya kan banyak, mas..mereka kan diem..aslinya banyak orang pinter di sini nggak mau terbuka.” (KWS 1 2. No. 662-686). “Sebetulnya cenderung pada minat setelah mereka lihat..kan sebelumnya kan cuma bayangan, ada formulir ini di isi..apa.kursus meubelair cuma apa ta meubelair itu..apa ta..kan belum tahu..setelah tahu kan banyak yang mau ikut…” (KWS 1 –2. No. 512-519).

(Subjek 2 D)

“…dari pihak kursusnya udah bener bantu..bantu tapi yang…yang dikursusin itu yang nggak pada niat.” (KWS 2 –2. No. 648-652). “Sebenarya ya ngganggu..cuma kadang latihan..ada yang sungguh-sungguh ada yang jalan...keluar dari..nggak ada niatnya..tapi kan seharusnya di situ kan duduk, memperhatikan gimana..lha itu ada yang jalan sana-sini.” (KWS 2 –2. No. 676-683).

(Subjek 3 HH)

“…yang nggak-yang nggak itu, kan biasanya ada yang nggak mau, ada yang mau.” ((KWS 3 –2. No. 741-744). “Udah punya pikiran dihukum aja jenuh kon mikirke ini-mikirke ini kadang sok males gitu.”(KWS 3–2. No. 749-753).

Tema 5 : Evaluasi pelatihan kerja : Yang diberikan bukan yang

dibutuhkan (yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan

narapidana)

Tidak semua narapidana mau dan cenderung malas mengikuti pelatihan kerja karena kejenuhan memikirkan hukuman. Hal ini juga disebabkan oleh tidak adanya informasi pengantar tentang maksud dan tujuan pelatihan kerja sehingga menghambat munculnya minat narapidana untuk mengikuti pelatihan kerja. Meskipun demikian, setelah narapidana mengetahui mengenai pelatihan kerja yang diadakan, mereka akan banyak yang mendaftar untuk mengikuti pelatihan kerja. Masalah yang ada ketika banyak narapidana yang mendatar adalah kuota untuk peserta pelatihan kerja tidak mencukupi. Jumlah narapidana yang ingin ikut pelatihan kerja lebih banyak daripada kuota yang ada sehingga ada narapidana yang mau

ikut pelatihan kerja dengan terpaksa tidak dapat mengikuti karena kuota telah penuh. Akan tetapi banyaknya narapidana yang mengikuti pelatihan kerja bukan berarti mereka memilki motivasi untuk menambah keterampilan. Ada narapidana yang mengikuti pelatihan kerja hanya untuk kesibukan menjalani hukuman. Peserta pelatihan kerja yang demikian menjadi tidak kooperatif, tidak serius dan kurang motivasi karena mengikuti pelatihan kerja hanya untuk sekedar mengisi waktu dan keluar kamar sel. Peserta yang tidak serius mengganggu pelatihan kerja karena hanya sekedar ikut tanpa terlibat aktif dan tanpa memberikan umpan balik. Oleh karena itu, perlu adanya seleksi yang lebih ketat agar narapidana yang mengikuti pelatihan kerja benar-benar narapidana yang niat dan bukan sekedar untuk keluar kamar.

(Subjek 1 YL)

“Sebetulnya cenderung pada minat setelah mereka lihat..kan sebelumnya kan cuma bayangan, ada formulir ini di isi..apa.kursus meubelair cuma apa ta meubelair itu..apa ta..kan belum tahu..setelah tahu kan banyak yang mau ikut tapi kebetulan kan udah habis, tunggu periode selanjutnya.” (KWS 1 – 1. No. 512-521). “…biasanya kan diikuti sama orang yang cuma ingin keluar, gitu lho mas...mau ke luar kamar…” (KWS 1 –2. No. 940-943). “…orang yang bener-bener rajin mau ikut malah nggak kena, tapi yang cuma pengen untuk keluar malah yang suka ikut, gitu lho.” (KWS 1–2. No. 947-951).

(Subjek 2 D)

“Ya...itu karena nggak ada niatnya…cuma mau main-main…biar bisa keluar dari kamar.” (KWS 2 –2. No. 626-629). “...dari pihak kursusnya udah bener bantu..bantu tapi yang...yang dikursusin itu yang nggak pada niat…” (KWS 2 –2. No. 648-652). “Sebenarya ya ngganggu...cuma kadang latihan...ada yang sungguh-sungguh ada yang jalan...keluar dari...nggak ada niatnya...tapi kan seharusnya di situ kan duduk, memperhatikan gimana...lha itu ada yang jalan sana-sini.” (KWS 2 –2. No. 676-683).

(Subjek 3 HH)

“Kalau cuma sepuluh orang dua puluh orang yang punya niat kayak gitu, lainnya nggak...yang nggak-yang nggak itu, kan

biasanya ada yang nggak mau, ada yang mau.” (KWS 3 –2. No. 739-744). “Nggak mau karenanya...ya namanya itu, napi kan kadang sok males gitu lho mas. Udah punya pikiran dihukum aja jenuh kon mikirke ini-mikirke ini kadang sok males gitu,ada...” (KWS 3 2. No. 747-753). “…umpamanya kan di sini banyak juga yang cuma buat kesibukan aja, umpamane masak buat kesibukan masak…” (KWS 3 –2. No. 481-484).

Dalam pelaksanaannya, peralatan yang digunakan dalam pelatihan kerja kurang memadai. Peralatan yang ada dan dapat digunakan untuk pelatihan kerja tidak digunakan secara optimal. Selain itu, instruktur sebagai pengajar yang bertugas memberikan keterampilan meremehkan peserta pelatihan kerja yang berstatus sebagai narapidana. Kompetensi yang dimiliki oleh instruktur terkadang juga kurang bahkan keterampilan yang dimiliki narapidana melebihi keterampilan yang dimiliki oleh instruktur pelatihan kerja. Pemberian pelatihan kerja juga kurang sesuai dengan rentang masa pidana narapidana. Waktu pemberian pelatihan kerja yang mendekati bebas menyebabkan peserta merasa tergesa-gesa, tidak fokus dan kurang memahami isi pelatihan kerja. Lamanya pemberian pelatihan kerja yang terlalu cepat juga menyebabkan peserta pelatihan kerja kurang memiliki keterampilan yang mendalam,karena tidak ada waktu untuk belajar mempraktekkannya sampai benar-benar bisa.

(Subjek 1 YL)

“…karena dari segi fasilitas ya…di sini masih kurang…” (KWS1 –2. No. 134-136). “...sebenarnya di sini banyak, mas mesin-mesin tu, mesin bubut, mesin potong, cuma tidak berfungsi.” (KWS 1 – 2. No. 273-276). “Jadi mungkin pengalaman trainernya justru lebih kurang dari napinya sendiri ?Iya.” (KWS 1 –1. No. 476-480). Apakah itu terlalu lama atau terlalu cepat ? Terlalu cepat kayaknya.” (KWS 1 –1. No. 555-557). “Kan di situ cuma satu bulan, tingkatnya baru tingkat tahu belum tingkat...kualitasnya…masih ini kan…belum bisa sempurna.” (KWS 1–1. No. 555-558)

(Subjek 3 HH)

“…yang mengajar itu kadang sok terlalu meremehkan banget gitu lho mas…sama napi itu nggak...terlaluserius ada juga.” (KWS 3 – 2. No. 1061-1065). “pihak LP sini kadang suruh ngajarin jahit tapi kadang orangnya belum begitu apal jahit, kadang sok ngajarnya itu kan sok...sok males-malesan gitu lho mas...membina napi kadang sok males-malesan, kadang sok nggak serius banget gitu lho, karena nggak tahu juga sih..karena apa kita orang hukuman atau gimana kita nggak...nggak tahu juga.” (KWS 3 – 2. No. 1077-1089). “Kalau mepet waktunya malah kita nggak...terlalu tergesa-gesa malah kita nggak fokus gitu lho, kadang nggak nyantel.” (KWS 3–2. No. 1139-1143)

Tema 6 : Rehabilitasi : Idealnya pembinaan, kenyataannya prisonisasi

Rehabilitasi narapidana dalam pemikiran subjek merupakan pemberian pembimbingan dan pembinaan dalam bidang agama, kepribadian, kesenian, keterampilan dan pekerjaan menurut bakat dan kemampuan narapidana. Rehabilitasi narapidana tersebut bertujuan untuk memperkuat keimanan supaya menyadari kesalahan, mengubah tingkah laku yang buruk menjadi baik, dan menjalankan aktivitas positif setelah bebas.

(Subjek 1 YL)

“Satu dari segi agama kita di sini kan melakukan kalau yang muslim sholat lima waktu wajib.” (KWS 1 – 2. No. 20-23). “…butuh itulah pengarahan kerjaan. Ya menurut skillnya masing-masing.” (KWS 1 –2. No. 95-98).

(Subjek 2 D)

Apakah program rehabilitasi di LP ini membantu mas D untuk menyadari kesalahannya, Itu ya udah mencukupi dan menyadari semuanya.” (KWS 2 –3. No. 94-110).

(Subjek 4 MM)

“Merubah tingkah laku waktu kita di luar, terus di situ itu biar besok kalau di luar tingkah lakunya biar berubah tidak seperti yang kemarin-kemarin, lebih bagus lagi.” (KWS 4 –2. No. 155-161). “Di sini dibimbing yang benar, dididik yang benar...apa e istilahe ibadah lima waktu, itu menjadikan tambah keimanan,

mboten..istilahe mboten gampang keneng, apa..kena goda lagi, kena bujukan rayu sama teman lagi dan bisa menjalankan aktivitas yang positif di luar nanti.” (KWS 4 –3. No. 27-37).

Akan tetapi, pelaksanaan rehabilitasi menjadi kurang optimal dan kurang efisien karena oleh adanya prisonisasi sesama narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini dikarenakan selain mengikuti rehabilitasi, narapidana selama menjalani pidana juga menjalin pergaulan dengan narapidana lain dari berbagai latar belakang kriminal dan pergaulan tersebut berlanjut sampai setelah bebas dan cenderung ke arah kriminal. Prisonisasi berawal dari obrolan sesama narapidana tentang dunia kriminal dan lebih mudah diserap karena terjadi dalam suasana santai. Selain itu, prisonisasi lebih mudah diserap oleh narapidana khususnya yang tidak punya dasar ilmu dan keterampilan sehingga lebih memilih meningkatkan kriminalitas dengan cara belajar dari sesama narapidana. Pembicaraan diseputar dunia kriminal berlanjut pada perencanaan kriminal sejak di dalam penjara untuk mencari modal setelah bebas. Hal ini berlanjut dan menjadi keterusan sehingga terjadi pemidanaan berulang. Prisonisasi tidak hanya terjadi di kalangan narapidana kriminal, tetapi juga terjadi di kalangan narapidana narkoba. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pergaulan sesama narapidana narkoba juga menimbulkan kemungkinan untuk kerjasama narkoba setelah bebas.

(Subjek 1 YL)

“Biasanya yang negatif mas, yang cepet ditangkep. (KWS 1– 2. No. 764-765). “...karena mungkin dia dasarnya satu, sudah nggak punya dasar ilmu..ilmu atau keterampilan dulu…” (KWS 1 – 2.

No. 767-771). “...dia ngapain juga ikut-ikut yang positif..mendingan yang gini cepet, paling resikonya masuk..itu kan..pikirannya mereka kan gitu, mas..mendingan tingkatin aja e...apa…kriminal kita lebih besar…”. (KWS 1 –2. No. 774-782).

(Subjek 2 D)

“Di sini kan ada yang kriminal, ada yang nggak. Itu kan kita perkenalannya campur semua. Ada terus kenal yang seperti kriminal-kriminal, kadang kita sebelum pulang, kan udah kenal...udah pulang...pengaruhnya...pengaruhnya terus temen itu main ke rumah, pengaruhnya cuma itu. Pengaruh terus ajak keluar ‘udah ayo kita keluar kerja’. Kerjanya yang nggak bener.” (KWS 2 –3. No. 398-411).

(Subjek 3 HH)

“Masalahnya di dalam kamar kan nggak ada cerita lain mas di sini, ngobrolnya cuma itu-itu terus kadang ya..nggak ada bahan cerita untuk alur yang lebih baik itu kan kadang..namanya orang banyak kan kadang ya terus menyimpanglah, ya udah besok teruske ning njobo, gitu.” (KWS 3 – 2 No. 545-555). “Yang sesama napi..nangkep...kan kita ngomongnya santai, cuek, sambil ngrokokkan, sambil tiduran, sambil guyonan, lha itu malah bisa meningkat jadi serius mas, dalam arti keseriusan..ya udah besok nek metu tak petuk...kan ya bener kadang ada temen yang jemput, sampai luar nanti minum-minum terus kerja lagi kayak gitu...” (KWS 3 2 No. 603-615). “perencanaan jelek itu biasanya berawal dari dalam penjara sini. Perencanaan jelek itu umpamanya, oh sana pabrik kosong gini-gini-gini wis sesuk garap sik wis rampung leren nggo modal, kan gitu kan ada. Kadang cari modal ya...ya kayak gitu...wis sesuk pisan, pisan-pindo leren, gitu ada…tapi karena kerja pisan pindo njuk keterusan ya ada, masuk lagi.” (KWS 3 –2 No. 495-508).

(Subjek 4 MM)

“…istilahnya perkenalannya luas gitu lho pak, jadi kenal si A, tadinya nggak kenal sekarang kenal si A, kenal sama A, kenal sama B...besok kalau mau jalan lagi bisa kerja sama.” (KWS 4 –2 No. 671-677).

Tema 7 : Rekomendasi : Keberlanjutan pendampingan paska pidana

Setelah bebas dari Lembaga Pemasyarakatan, narapidana berjalan sendiri kembali ke masyarakat. Status sebagai mantan narapidana menimbulkan ketakutan masyarakat karena adanya stigma negatif terhadap mantan narapidana. Hal ini menyebabkan mantan narapidana kehilangan

kepercayaan sehingga kesulitan mencari pekerjaan maupun mencari pinjaman modal. Selain itu, stigma negatif masyarakat juga menimbulkan perasaan terasing dan rendah diri bagi mantan narapidana di tengah masyarakat. Berbarengan dengan itu, pergaulan setelah bebas juga mempengaruhi perilaku taat hukum mantan narapidana. Niat untuk berhenti kriminal menjadi sulit dan terhambat akibat pengaruh teman. Rasa solidaritas dan kekeluargaan selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang terbawa sampai bebas mendorong tindakan kriminal bersama. Setelah bebas tidak bisa melepaskan diri pergaulan ke arah kriminal dan saling mengajak kriminal karena status yang sama sebagai mantan narapidana dan memiliki kebutuhan yang sama. Mantan narapidana kembali melakukan kriminal karena tidak mendapatkan pekerjaan dan kembali pada kamunitas lamanya di dunia kriminal. Melakukan tindakan kriminal setelah bebas merupakan cara mudah guna mendapatkan modal untuk kerja dan usaha. Hal ini dikarenakan hilangnya kontrol dan pengawasan terhadap mantan narapidana karena pihak Lembaga Pemasyarakatan lepas tangan setelah narapidana bebas. Pola yang terjadi adalah narapidana bebas kemudian di luar saling mempengaruhi dalam pergaulan, terdesak kebutuhan ekonomi dan kesulitan kerja sehingga mendorong untuk melakukan kriminal lagi dan kembali masuk penjara.

(Subjek 1 YL)

“..pandangan masyarakat udah negatif dulu kalau sama mantan napi, iya kan...jadi kita mau masuk…mau masuk ke pabrik, kita bisa ngelas, bisa ini..kita mau masuk ke pabrik...di situ kan

kita...kepentok oleh ini...oleh status…”(KWS 1–2 No. 398-406). “...pergaulannya kan komunitasnya sama yang kemarin-kemarin...gitu kan ya, itu mungkin keluar-masuk sini terus, mas.” (KWS 1 2 No. 465-469). “Terus terang dari pribadi, satu ekonomi ya. Ekonomi kan kita masih kurang, iya kan. Cari kerjaan juga kesusahan. Larinya kan lagi ke komunitas yang itu lagi mas.” (KWS 1–2 No. 547-552).

(Subjek 2 D)

“...di sana sih memperngaruhi juga, soalnya kan udah di cap.” (KWS 2 3 No. 578-580). “Kadang ya sama temen-temen, kan temen-temen yang sesama gitu, jadinya itu..jadi ikut-ikutan lagi.” (KWS 2 1 No. 124-127). “Waktu tani itu kita pengaruh dari temen. Temen kan biasa main ke rumah, udah keluar nyolong, udah...ngambil...udah.” (KWS 2 –3 No. 530-534).

(Subjek 3 HH)

“…mau cari pinjaman orang udah pernah dihukum kan di luar untuk mencari kepercayaan kan sulit gitu lho.” (KWS 3 – 2 No. 323-326). “…jadi kita udah kayak orang asing gitu lho, kalau keluar itu kayaknya...kayak kita udah merasa minder sendiri gitu lho.” (KWS 3 –2 No. 339-343).“Iya pengaruh temen kuat. Kita di dalem kan udah kayak saudara, melebihi saudara mas di sini, melebihi segalanya lah temen itu di sini itu udah kayak saudara kandung di sini mas temen itu.” (KWS 3 3 No. 700-706). “Kalau berhenti sih mau berhenti sih berhenti, tapi pengaruhnya temen itu luar biasa.” (KWS 3 –3 No. 731-734). “Sama-sama cari modal lah mas, cari uang yang gede sekalian terus kita bisa berhenti. Pada dasarnya gitu semua.”(KWS 3– 3 No. 265-269). “Tapi kalau bebas murni ya lepas sudah...cap tiga jari lepas sudah…e…LP udah nggak berhak lagi...gini-gini dan itu udah nggak berhak lagi.” (KWS 3 –2 No. 638-643).

(Subjek 4 MM)

“Saya pulang belum ada kerja yang tetap, terus saya..apa..terpengaruh sama teman, jalankan jual-beli narkoba lagi...” (KWS 4 –1 No. 39-43).

Melihat hal itu, maka menjadi penting bahwa program pelatihan kerja tidak hanya berhenti di dalam Lembaga Pemasyarakatan, namun berlanjut sampai narapidana bebas dengan membantu mengarahkan dan menyalurkan narapidana ke dalam dunia kerja. Keberlanjutan tersebut adalah dengan menyalurkan narapidana setelah bebas ke dalam dunia kerja sesuai dengan keterampilan yang diperoleh dari pelatihan kerja. Pihak

Lembaga Pemasyarakatan diharapkan membantu memberikan jaminan bahwa mantan narapidana sudah bertobat dan siap bekerja serta jaminan untuk mendapatkan pekerjaan yang mapan. Hubungan baik dengan petugas hendaknya juga tetap terjaga supaya tetap memberikan pengarahan agar mantan narapidana tidak terjerumus ke dalam dunia kriminal lagi. Selain itu, perlu adanya penyuluhan kepada keluarga dan masyarakat agar menerima kembali mantan narapidana dan mendukung mereka supaya tidak mengulangi tindakan kriminal.

(Subjek 1 YL)

“…pelatihannya nggak cuma terputus setelah kita keluar,gitu pengennya..kita tetap berhubungan sampai kita bener-bener dapet kerjaan di luar..gitu ya..jangan putus hubungan.” (KWS 1–2 No. 853-859). “Pengennya saya gitu, dari sini berani menjamin ya...membantulah...istilahnya membantu untuk menjamin...bahwa anak ini benar-benar sudah baik dan mampu bekerja.” (KWS 1–2 No. 423-429). “kita kan pengennya masih berhubungan dengan sini...jadi...sebagai bapak lah...kita kan udah anggap pegawai-pegawai di sini sebagai bapak kita kan ya, yang sering mengarahkan kita, yang sering menuntun kita.” (KWS 1 2 No. 530-537).

(Subjek 2 D)

“Kalau saya...untuk lebih mantab dan percaya dibantu dari sini, ceritanya kayak gitu...dibantu untuk memasukkan kerja tapi dari pihak LP sini.” (KWS 2–3 No. 505-510).

(Subjek 3 HH)

“Saran saya sih ya itu...gimana pegawai LP, khususnya LP sini lah, keluar tapi dah bisa ditampung dicarikan kerja…umpamanya kerja apa...ini bisanya orang ini bisanya apa, nah di carikan lapangan

Dokumen terkait