• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI EVALUASI PROGRAM PELATIHAN KERJA MENURUT PERSPEKTIF NARAPIDANA RESIDIVIS Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "STUDI EVALUASI PROGRAM PELATIHAN KERJA MENURUT PERSPEKTIF NARAPIDANA RESIDIVIS Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
354
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI EVALUASI PROGRAM PELATIHAN KERJA MENURUT PERSPEKTIF NARAPIDANA RESIDIVIS

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh :

Fransiscus Xaverius Galih Widyawan NIM : 079114143

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTO

AD MAIOREM DEI GLORIAM

rampungkan yang belum rampung,

tuntaskan yang belum tuntas

AJA RUMANGSA ISA, TAPI ISA RUMANGSA

NARAPIDANA BUKANLAH ORANG JAHAT, MEREKA

HANYALAH ORANG TERSESAT

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini aku persembahkan

kepada Sang Kreator Agung Sang Hyang Widhi

Kepada Orang Tua dan Keluarga

Kepada Rekan dan Sahabat

(6)
(7)

vii

STUDI EVALUASI PROGRAM PELATIHAN KERJA MENURUT PERSPEKTIF NARAPIDANA RESIDIVIS

Fransiscus Xaverius Galih Widyawan

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisa evaluasi program pelatihan kerja di Lembaga Pemasyarakatan menurut perspektif narapidana residivis serta untuk mengetahui rekomendasi terhadap program pelatihan kerja yang dinilai tepat dalam pelaksanaan rehabilitasi narapidana residivis. Kedua fokus tersebut dinilai perlu untuk dibahas karena masih banyak mantan narapidana yang kembali melakukan pelanggaran kriminal sehingga terjadi pemenjaraan berulang. Pendekatan kualitatif deskriptif dipilih untuk menjawab kedua pertanyaan penelitian tersebut. Penelitian ini melibatkan 4 subjek narapidana residivis. Subjek dipilih menggunakan criterion sampling, yaitu dipilih dengan kriteria yang sudah pernah mengikuti program pelatihan kerja pada masa hukuman sebelumnya. Mengacu pada kedua fokus penelitian, hasil evaluasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa program pelatihan kerja untuk narapidana dalam rehabilitasi narapidana belum sepenuhnya memodali narapidana untuk menuju bebas dan kembali ke masyarakat. Hal ini dikarenakan narapidana tidak mempunyai hak konstitusional dalam pengambilan keputusan mengenai program pelatihan yang akan diselenggarakan, adanya prisonisasi dalam rehabilitasi, dan kesulitan mendapatkan pekerjaan setelah bebas sebagai akibat dari stigmatisasi masyarakat kepada mantan narapidana serta tidak adanya kontrol dan pengawasan bagi mantan narapidana. Rekomendasi yang diberikan adalah memberikan hak konstitusional kepada narapidana dalam pengambilan keputusan mengenai program yang akan dilaksanakan, memberikan bantuan penyaluran kerja setelah bebas serta meningkatkan kontrol dan pengawasan kepada mantan narapidana setelah bebas dan kembali ke masyarakat

(8)

viii

EVALUATIVE STUDY ON OCCUPATIONAL TRAINING PROGRAM ACCORDING TO RECIDIVIST PERSPECTIVE

Fransiscus Xavierius Galih Widyawan

ABSTRACT

This study aims to determine, describe and analyze the evaluation on occupational training programs in prisons according to inmates's perspectives and to provide recommendations on the occupational training program that is considered appropriate in rehabilitation recidivist prisoners. Those two focuses are needed to be discussed because there are many ex-convicts who returned doing criminal offense resulting in repeated detainment. Descriptive qualitative approach was chosen to answer two research questions. This study involves four recidivist convicts. Subjects were selected using criterion sampling, which is selected by criteria whether the one have completed job training programs during the previous sentence. Referring to those two focuses of the study, the results of the evaluation in this study indicates that job-training program for inmates in the rehabilitation of prisoners has not been fully preparing the inmates to go free and return to the community. This happened because inmates have no constitutional rights in choosing the training program to be held, the prisonization in rehabilitation, and the difficulties of getting a job after his/her release as a result of stigmatization society to former prisoners and the lack of control and oversight for former inmates. It is recommended to give constitutional rights to inmates in choosing which programs will be implemented, providing work after the release and improving the control and supervision of the ex-inmates after his release and return to the community.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Tidak ada kata yang lebih tepat kecuali hatur sembah nuhun kepada Sang Hyang Widhi Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi, sangatlah sulit bagi peneliti untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terimakasih kepada :

1. Ibu Monica Eviandaru Madyaningrum., App. Psych selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu memberikan bimbingan dan pengarahan dengan saran dan pendapat yang sangat bermanfaat bagi penelitian ini. Terimakasih atas bimbingan, kesabaran dan diskusi yang mengantarkan pemikiran dan penalaran dalam mengembangkan pola pikir.

2. Bapak Djoko Setiyono, Bc.IP, SH, MM selaku Kepala Divisi Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kantor Wilayah Jawa Tengah yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di dalam Lembaga Pemasyarakatan di wilayah Jawa Tengah.

(11)

xi

melakukan penelitian di dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kota Magelang.

4. Bapak Kardi selaku Kepala Staff Bimbingan Kerja Narapidana Lembaga Pemasyarakatan yang telah membantu untuk mencari subjek yang diperlukan dan memberikan pengarahan dan bimbingan selama proses pengambilan data di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kota Magelang.

5. Ibu Dr. Crhistina Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. selaku wakil dekan sekaligus pejabat pengampu dekan sementara.

6. Segenap dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah mendidik dan mengajar peneliti selama proses perkuliahan.

7. Segenap staf kesekretariatan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Mas Gandung, Bu Nanik dan Pak Gie serta staf laboratorium Mas Muji dan Mas Doni yang membantu peneliti dalam pengurusan berkas-berkas, pengarsipan data dan praktikum selama perkuliahan.

8. Orang tua dan keluarga yang telah memberikan dukungan baik moral maupun materi selama proses perkuliahan sampai pengerjaan skripsi ini.

(12)

xii

10.Teman-teman dekat dan sahabat khusunya Chandra “Sukun”, Danang “Jampez”, Chacha dan Chici sebagai sahabat seperjuangan dari awal kuliah. Rio, Yosi, Tiok “Botak” sebagai sahabat yang senantiasa menemani selama ini.

11.Semua pihak yang senantiasa memberikan dukungan dan doa untuk keberhasilan peneliti dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawab sebagai mahasiswa, yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam tulisan ini.

Akhir kata, peneliti berharap Tuhan Yang Maya Esa berkenan membalas segala kebaikan dan kemurahan hati semua pihak yang telah memberi bantuan, dukungan dan doanya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki keterbatasan dan kekurangan. Oleh karena itu, saran, tanggapan dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan untuk memperbaiki skripsi ini. Peneliti berharap semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang Psikologi.

Yogyakarta, Juni 2013

(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... ix

KATA PENGANTAR... x

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL... xvii

DAFTAR SKEMA... xviii

DAFTAR LAMPIRAN... xix

BAB I PANDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 12

(14)

xiv

1. Manfaat Teoritis ... 12

2. Manfaat Praktis ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 14

A. Kajian Umum Tentang Perkembangan Rehabilitasi Narapidana ... 14

1. Perkembangan Rehabilitasi Narapidana ... 14

a. Sejarah Perkembangan Sistem Hukum di Indonesia ... 14

b. Kajian Tentang Kelahiran Sistem Pemasyarakatan ... 23

2. Pemasyarakatan dan Rehabilitasi Narapidana ... 28

a. Pemasyarakatan Sebagai Proses... 28

b. Rehabilitasi Narapidana Dalam Proses Pemasyarakatan ... 38

B. Pelatihan Kerja dan Kaitannya Dengan Program Rehabilitasi ... 40

C. Kajian Tentang Narapidana dan Residivis ... 44

1. Pengertian Narapidana ... 44

2. PengertianResidive(Residivis) ... 45

3. Pengertian Narapidana Residivis ... 48

D. Correctional Psychology... 48

E. Evaluasi Program Pelatihan ... 55

(15)

xv

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 63

A. Metodologi Penelitian ... 63

B. Fokus Penelitian ... 64

C. Subjek Penelitian... 64

D. Metode Pengumpulan Data ... 65

E. Prosedur Analisis Data ... 67

F. Kredibilitas dan Reliabilitas Penelitian ... 69

1. Kredibilitas Penelitian... 69

2. Reliabilitas Penelitian... 70

BAB IV PELAKSANAAN, HASIL DAN PEMBAHASAN... 772

A. Proses Penelitian ... 72

1. Persiapan Penelitian ... 72

2. Pelaksanaan Penelitian ... 75

3. Proses Analisis Data... 77

4. Jadwal Pengambilan Data ... 78

B. Hasil Penelitian ... 84

1. Profil Subjek ... 84

2. Kategorisasi Tema Temuan... 93

C. Pembahasan Umum... 106

(16)

xvi

A. Kesimpulan ... 116

B. Keterbatasan Penelitian ... 117

C. Saran... 118

1. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 118

2. Bagi Institusi Lembaga Pemasyarakatan ... 118

3. Bagi Trainer Pelatihan Kerja dan Psikolog Koreksional ... 119

4. Bagi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma... 119

DAFTAR PUSTAKA... 120

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Panduan Wawancara tentang Evaluasi Pelatihan Kerja,

Proses Rehabilitasi Narapidana

dan Rekomendasi yang Diberikan oleh Subjek ... 66

Tabel 2 Jadwal Wawancara Subjek 1 (YL)... 78

Tabel 3 Jadwal Wawancara Subjek 2 (A) ... 80

Tabel 4 Jadwal Wawancara Subjek 3 (HH) ... 81

Tabel 5 Jadwal Wawancara Subjek 4 (MM)... 82

(18)

xviii

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Sejarah Perkembangan Rehabilitasi Narapidana di Indonesia ... 37

Skema 2. Studi Evaluasi Program Pelatihan Kerja

Untuk Narapidana Menurut Perspektif Narapidana

Residivis Dalam Pelaksanaan Rehabilitasi Narapidana ... 62

Skema 3. Alur proses pelatihan kerja di lapangan ... 114

(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Koding Wawancara Subjek 1 ... 124

Lampiran 2. Koding Wawancara Subjek 2 ... 178

Lampiran 3. Koding Wawancara Subjek 3 ... 225

Lampiran 4. Koding Wawancara Subjek 4 ... 278

Lampiran 5. Surat Permohonan Ijin Penelitian Dari Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma... 326

Lampiran 6. Surat Ijin Penelitian Dari Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kantor Wilayah Jawa Tengah ... 328

(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Persatuan Narapidana dan Mantan Narapidana Indonesia (NAPI

Indonesia) dalam deklarasinya pada tanggal 17 September 2006 menyebutkan

bahwa pemerintah tidak menunjukkan keseriusan dalam mengoptimalkan

pembinaan narapidana, yang terbukti dari banyaknya produk-produk hukum

yang mengebiri hak-hak narapidana dan seolah-olah merupakan pengakuan

secara tidak langsung bahwa pemerintah telah gagal membina narapidana. Di

sisi lain, pengabaian hak-hak narapidana disebabkan oleh kondisi pemerintah

yang belum mampu menyediakan dana yang memadai untuk membina

narapidana. Hal inilah yang menurut NAPI Indonesia menyebabkan Lembaga

Pemasyarakatan di Indonesia menjadi “sekolah kejahatan”. Pembinaan di

Lembaga Pemasyarakatan yang tidak maksimal menumbuhkan dendam sosial

dalam diri narapidana. Dalam deklarasinya tersebut, NAPI Indonesia juga

menyebutkan bahwa bilamana kondisi sosial tidak berubah, tidak sedikit

mantan narapidana yang kembali melakukan pelanggaran pidana dengan

skala lebih besar.

Pengelolaan Lapas yang over capacity dan pembinaan narapidana

merupakan persoalan yang harus dihadapi Kementrian Hukum dan HAM

(21)

Kemenkumham mengajukan dana sekitar RP 1,6 Triliun dalam Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2011. Jumlah dana yang

diusulkan hampir sama dengan dana untuk Program Keluarga Harapan (PKH)

tahun 2011 sebesar 1,614 triliun untuk 1.116.000 Rumah Tangga Sangat

Miskin (RTSM). Jumlah ini juga jauh lebih besar daripada anggaran untuk

pengembangan pendidikan nasional yang hanya sebesar 1 triliun rupiah.

Dana sebesar itu diusulkan oleh Menteri Hukum dan HAM (menkumham)

Patrialis Akbar untuk memperbaiki Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan

rumah tahanan (rutan) yang telah melebihi kapasitas atauover capacity.

Perbandingan dana-dana layanan publik di atas menunjukkan betapa

dana pengelolaan Lembaga Pemasyarakatan cukup membebani APBN.

Apabila dana tersebut tidak benar-benar dimanfaatkan secara tepat, maka bisa

diandaikan bahwa negara justru membiayai kriminalitas. Pada tahun 2011

terdapat 219 lapas yang melebihi kapasitas di 24 Kantor Wilayah (Kanwil) di

seluruh Indonesia (“Kemenkumham minta tambahan”, 2011). Daya tampung lembaga pemasyarakatan seluruh Indonesia hanya 80.000 orang sedangkan

jumlah narapidana di seluruh Indonesia mencapai 135.000 sampai 140.000

narapidana (“Lembaga Pemasyarakatan Muaro Padang”, 2011). Dengan demikian terjadi kelebihan kapasitas sebesar 55.000 sampai 60.000

narapidana. Kemenkumham telah menghabiskan biaya sebesar Rp 710 Miliar

untuk membangun 31 lapas baru pada tahun 2010 yang dilanjutkan pada

tahun 2011. Pembangunan 31 lapas baru tersebut hanya mampu menampung

(22)

mencapai 45.000 narapidana (“Perbaiki Lapas, Menkumham minta”, 2011). Jumlah narapidana sebanyak itu selain menghabiskan anggaran negara di

sektor infrastruktur juga menghabiskan anggaran di sektor pemeliharaannya.

Jatah bahan makanan untuk narapidana per hari pada tahun 2010 sebesar Rp

8.025,00. Kenaikan harga bahan makanan tiap tahun semakin membebani

anggaran negara untuk pemeliharaan narapidana. Oleh karena itu, negara

memotong jatah bahan makanan per hari untuk narapidana di tahun 2011

menjadi Rp 7.670,00. Meskipun anggaran makan narapidana dipotong,

apabila dikalikan dengan jumlah narapidana saat ini tetap akan menghasilkan

angka yang tidak sedikit. Beban anggaran negara yang dikeluarkan tidak

berhenti sampai di pemeliharaan narapidana saja. Negara masih harus

mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan pembinaan dan

pembimbingan narapidana.

Persoalan di atas semakin lebih rumit ketika mencermati bahwa

adanya residivis juga berkontribusi pada tingginya angka penghuni Lembaga

Pemasyarakatan. Di Lembaga Pemasyarakatan Kota Magelang contohnya,

berdasarkan data yang diperoleh pada akhir Desember 2011 terdapat 81

residivis dari 507 penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Sementara itu,

kapasitas Lembaga Pemasyarakatan Kota Magelang hanya untuk 368 orang.

Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa tanpa adanya residivis jumlah

narapidana penghuni Lembaga Pemasyarakatan sudah melebihi kapasitas.

Oleh karena itu, apabila jumlah kemunculan residivis dapat ditekan,

(23)

dalam mengurangi kepadatan penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Di sinilah

terlihat pentingnya program rehabilitasi atau pembinaan yang benar-benar

tepat sasaran sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya kasus

pemenjaraan berulang. Diandaikan apabila program pembinaan di dalam

Lembaga Pemasyarakatan bisa dengan efektif menyiapkan narapidana

beradaptasi dengan situasi di luar penjara, maka potensi seorang narapidana

untuk mengulang tindakan yang melanggar hukum setelah bebas akan dapat

ditekan.

Menurut wawancara dengan petugas Lembaga Pemasyarakatan Kota

Magelang (16 Januari 2012), residivis muncul dikarenakan adanya dua faktor,

yaitu faktor stigmatisasi masyarakat dan faktor prisonisasi di dalam

lingkungan Lembaga Pemasyarakatan. Faktor stigmatisasi masyarakat adalah

pandangan masyarakat mengenai mantan narapidana yang buruk sehingga

masyarakat cenderung menolak kehadiran mantan narapidana. Torkis (2009)

menyebutkan bahwa stigmatisasi muncul dikarenakan adanya rasa ketakutan

dan kekhawatiran masyarakat dimana mantan narapidana akan

mempengaruhi orang lain untuk melanggar hukum. Sedangkan faktor

prisonisasi merupakan terjadinya penyimpangan di dalam kehidupan penjara

yang diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan yang merusak kehidupan para

penghuni penjara. Dalam prisonisasi tersebut terdapat proses sosialisasi

dalam tembok penjara yang menunjukkan bahwa situasi di dalam tembok

penjara merupakan “sekolah tinggi kejahatan” bagi narapidana penghuni

(24)

tersebut dirasakan menekan dan menindas sehingga menghambat seorang

narapidana menjadi warga yang baik. Hal ini dikarenakan sistem sosial

narapidana yang mendukung dan melindungi narapidana yang mendalami

pola tingkah laku kriminal, namun tidak mendukung bahkan menindas yang

dirasakan mengancam narapidana yang menunjukkan loyalitasnya pada dunia

non kriminal. Romli (1982) menyatakan bahwa prisonisasi merupakan suatu

proses interaksi antar narapidana untuk menjadi lebih kriminil dari pada

sebelumnya narapidana tersebut masuk penjara.

Implikasi negatif dari kelebihan kapasitas turut menyumbang proses

prisonisasi dalam kehidupan sosial narapidana di dalam Lembaga

Pemasyarakatan. Sedangkan prisonisasi itu sendiri secara potensial

menimbulkan dampak negatif karena dengan adanya prisonisasi tujuan

pembinaan kepada narapidana cenderung berbelok ke arah yang menyimpang

karena terpengaruh kekuatan-kekuatan yang merusak dan terdapat dalam

interaksi sesama narapidana ( Didin dalam Azriadi, 2011). Dengan demikian,

prisonisasi membukakan pintu munculnya residivis karena selama di dalam

Lembaga Pemasyarakatan narapidana mendalami perilaku kriminal dari

sesama penghuni penjara. Oleh karena itu, Lembaga Pemasyarakatan sebagai

ujung tombak dari proses pemasyarakatan narapidana perlu melakukan

pembinaan yang tepat untuk mencegah pengulangan tindak pidana (Torkis,

2009).

Semua paparan di atas menunjukkan pentingnya kualitas pembinaan

(25)

menjadi “sekolah tinggi kejahatan” tetapi benar-benar sebagai tempat rehabilitasi bagi narapidana. Beberapa tahun ini pemerintah dan para praktisi

menyadari pentingnya penelitian untuk menentukan tindakan apa yang akan

diimplementasikan dalam program pemasyarakatan (Visher, 2006). Pada

kenyataannya, setiap narapidana pasti akan dibebaskan dari penjara dan

petugas pemasyarakatan kesulitan untuk memfasilitasi proses transisi

narapidana dengan baik (Petersilia, 2004). Penelitian mengenai re-entry

program beberapa tahun belakangan menurut Travis (dalam Visher, 2006)

menunjukkan terdapat “banyak rintangan dalam perjalanan dari penjara

kembali ke rumah”. Sementara itu, Visher (2006) menyimpulkan bahwa masih terdapat banyak kendala dalam merancang dan mengimplementasikan

intervensi dari re-entry program, sedangkan hasil penelitian-penelitian

tersebut akan melancarkan jalan untuk membantu narapidana keluar dari

penjara dan kembali ke rumah. Perhatian dalam bidang re-entry narapidana

telah menimbulkan antusiasme terhadap penemuan baru bagi program

rehabilitasi (Petersilia, 2004). Para pelaksana pemasyarakatan bekerja keras

untuk mengidentifikasi dan mengimplementasikan program yang mengurangi

kasus pelanggaran kembali setelah dari penjara. Selanjutnya Petersilia (2004)

juga menjelaskan bahwa pada waktu yang bersamaan kaum akademisi

mencoba untuk menghimpun pemikiran-pemikiran yang dapat menjadi

pedoman bagi para praktisi untuk memilih program. Akan tetapi, tidak jarang

dalam pelaksanaannya upaya-upaya ini diwarnai dengan adanya pertentangan

(26)

belum tentu dapat diterapkan karena berbenturan dengan kebijakan

pemerintah. Sebaliknya, kebijakan pemerintah tidak selalu tepat dikarenakan

belum tentu kebijakan tersebut dibangun berdasarkan pada proses penelitian

pendahuluan yang memadai. Oleh karena itu, Visher (2006) mengatakan

bahwa sudah saatnya para pelaksana dan peneliti bekerjasama untuk

merancang dan mencoba pembaharuan berdasarkan penelitian tentang

re-entryprogram.

Penelitian mengenai re-entry program itu sendiri di Indonesia masih

kurang mendapatkan perhatian. Hal ini seiring dengan masih minimnya

penelitian dalam bidang psikologi hukum di Indonesia (“Seminar Nasional : Penelitian Psikologi Hukum”, 2011). Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor) Yusti Probowati dalam seminar bertema Mengenal

Psiokologi Forensik di Universitas Muhammadiyah Lampung mengatakan

penelitian dalam bidang psikologi hukum di luar negeri sudah banyak

dilakukan. Kajian bidang psikologi hukum telah dibagi dalam bidang

psychology and criminology, psychology of court room, investigative

psychology, dancorrectional psychologyyang di dalamnya mencakup kajian

re-entry program. Dalam kesempatan yang sama Yusti juga menambahkan

bahwa penerapan Psikologi Hukum di Indonesia belum berkembang seperti

di luar negeri. Meskipun demikian, beberapa kasus kriminal telah diupayakan

berbagai pendekatan penyelidikan melalui Psikologi Forensik.

Sebagai salah satu upaya untuk menjawab kebutuhan akan penelitian

(27)

ini khususnya akan difokuskan pada topik re-entry program. Saat ini, salah

satu bentuk re-entry program yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan

di Indonesia untuk melakukan pembinaan dan pembimbingan bagi narapidana

untuk memasyarakatkan kembali narapidana setelah keluar dari penjara

adalah dengan memberikan pelatihan kerja (re-entry training) kepada

narapidana.

Noe mendefinisikan pelatihan (dalam Anggraini, 2007) sebagai suatu

kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh suatu perusahaan atau

institusi sebagai sarana untuk memfasilitasi proses belajar karyawan untuk

mencapai kompetensi dalam pekerjaannya. Kompetensi tersebut meliputi

pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang dianggap penting untuk

mencapai kinerja yang tinggi. Tujuan dari pelatihan tersebut adalah supaya

karyawan dapat menguasai pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang

dilatihkan dalam program pelatihan sehingga dapat diaplikasikan dalam

kegiatan mereka sehari-hari. Apabila pengertian tersebut diimplementasikan

bagi narapidana, maka pelatihan kerja pada narapidana merupakan bentuk

pelatihan kerja yang diberikan kepada narapidana selama menjalani hukuman

pidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Pelatihan kerja tersebut bertujuan

memberikan pengetahuan, keterampilan dan perilaku kerja yang dilatihkan

bagi narapidana sebagai upaya untuk mengembalikan mereka ke masyarakat

dalam dunia kerja. Pelaksanaan program tersebut berawal dari pembaharuan

sistem pidana di Indonesia dari penjara ke Lembaga Pemasyarakatan yang

(28)

Kehakiman, Sahardjo menegaskan bahwa terpidana adalah orang tersesat

yang perlu untuk dilindungi, dibina, dan dijadikan orang berguna bahkan

menjadi aktif dan produktif di masyarakat (Petrus & Wiwik, 2008). Dalam

perkembangan selanjutnya pelaksanaan program tersebut sebagai wujud dari

sistem pemasyarakatan semakin mantap setelah diberlakukannya

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 15 UU No. 12 tahun 1995 yang

menyebutkan bahwa narapidana wajib mengikuti secara tertib program

pembinaan dan kegiatan tertentu. Menurut wawancara yang dilakukan dengan

petugas (16 Januari, 2012), pelatihan kerja yang dilakukan di dalam Lapas

diselenggarakan baik oleh pemerintah, Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri,

pihak ketiga atau instansi lain maupun kerjasama di antaranya. Pelaksanaan

program tersebut mengacu pada pasal 9 UU No.12 tahun 1995 bahwa dalam

rangka penyelenggaraan pembimbingan dan pembinaan Warga Binaan

Pemasyarakatan, Menteri dapat mengadakan kerjasama dengan instansi

pemerintah terkait, atau perorangan yang kegiatannya seiring dengan

penyelenggaraan sistem pemasyarakatan. Pada kesempatan wawancara yang

sama, petugas juga menjelaskan bahwa desain program pelatihan kerja yang

di selenggarakan di setiap Lembaga Pemasyarakatan tidak sama karena

disesuaikan dengan kemampuan masing-masing Lembaga Pemasyarakatan.

Di Lembaga Pemasyarakatan Kota Magelang desain pelatihan biasanya

dirancang oleh petugas dengan mengikuti pangsa pasar dan kebutuhan

(29)

dasarnya setiap narapidana boleh mengikuti pelatihan kerja yang

diselenggarakan oleh Lembaga Pemasyarakatan, namun diutamakan peserta

pelatihan adalah narapidana yang menjelang bebas. Prioritas diberikan

kepada narapidana yang menjelang bebas dengan tujuan agar jeda waktu

antara pelatihan dan kebebasan narapidana tidak terlalu lama sehingga

narapidana setelah bebas nanti masih ingat dan paham tentang isi dari

pelatihan yang diberikan. Petugas juga menambahkan bahwa lamanya

pelatihan tergantung dari materi dan isi pelatihan yang diberikan, namun pada

umumnya sudah diprogram setiap tahun ada tiga kali pelatihan dan

masing-masing pelatihan tersebut diselenggarakan selama satu bulan.

Meski program tersebut telah menjadi program wajib sejak

diberlakukan UU No.12 tahun 1995, namun masih jarang dilakukan evaluasi

untuk melihat keefektifan program. Evaluasi yang ada biasanya dilakukan

oleh petugas (wawancara dengan petugas, 29 Februari 2012). Masyarakat

juga diberikan kesempatan untuk memberikan evaluasi dengan mengisi

kuesioner yang diberikan ketika menjadi konsumen dari pekerjaan para

narapidana. Namun, isi kuesioner tersebut cenderung pada kepuasan

masyarakat sebagai konsumen atas pelayanan dan hasil kerja narapidana.

Sedangkan evaluasi yang diberikan oleh narapidana adalah evaluasi secara

langsung dengan memberikan masukan tentang peralatan yang diperlukan.

Evaluasi semacam ini dalam amatan peneliti dinilai kurang efektif karena

tidak menyentuh seluruh bagian dari proses pelatihan kerja yang diberikan

(30)

pemenjaraan berulang. Narapidana sebagai subjek dan peserta perlu diberikan

kesempatan untuk memberikan evaluasi mengenai program pelatihan kerja

secara lebih mendalam. Hal ini dikarenakan pelatihan kerja merupakan

kebutuhan narapidana sebagai bekal untuk kembali ke masyarakat setelah

bebas dan habis masa pidananya.

Mengingat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya

residivis ditentukan oleh banyak hal, penelitian ini berfokus pada evaluasi

program pelatihan kerja. Fokus penelitan ini dipilih oleh peneliti karena

keterbukaan akses pada bidang pelatihan kerja di Lembaga Pemasyarakatan

serta mengikuti kemampuan kompetensi peneliti yang menempuh pendidikan

di tingkat strata satu. Menimbang situasi tersebut, maka penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui evaluasi program pelatihan kerja di Lembaga

Pemasyarakatan dari perspektif narapidana residivis.Oleh karena itu, untuk

mengkaji permasalahan tersebut secara empiris, peneliti mengambil tema

“Studi Evaluasi Program Pelatihan Kerja Narapidana Menurut Perspektif

Narapidana Residivis”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah :

a. Bagaimana evaluasi program pelatihan kerja di Lembaga Pemasyarakatan

(31)

b. Apa saja rekomendasi terhadap program pelatihan kerja yang dinilai tepat

dalam pelaksanaan rehabilitasi menurut narapidana residivis?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisa evaluasi program

pelatihan kerja di Lembaga Pemasyarakatan menurut perspektif

narapidana residivis.

b. Untuk mengetahui rekomendasi terhadap program pelatihan kerja yang

dinilai tepat dalam pelaksanaan rehabilitasi menurut narapidana residivis.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khasanah

ilmu Psikologi, khususnya di bidang Psikologi Sosial, Psikologi Forensik

dan Kriminologi khususnya Correctional Psychology dan Re-enty

Training Program yang secara khusus mengkaji program pelatihan kerja

di Lembaga Pemasyarakatan, baik sebagai penelitian lanjutan maupun

penelitian lain yang menggunakan subjek Narapidana.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai evaluasi

perogram pelatihan kerja di Lembaga Pemasyarakatan dari perspektif

narapidana residivis sehingga masyarakat diharapkan akan ikut

(32)

b. Berguna bagi Lembaga Pemasyarakatan dan pihak-pihak yang terkait

sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam memberikan

program pelatihan kerja yang sesuai dengan kebutuhan Narapidana.

c. Memberi dukungan bagi Narapidana untuk lebih termotivasi

(33)

14 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Umum Tentang Perkembangan Rehabilitasi Narapidana

1. Perkembangan Rehabilitasi Narapidana

a. Sejarah Perkembangan Sistem Hukum di Indonesia

Sejarah perkembangan rehabilitasi narapaidana dapat ditinjau

dengan mengacu pada perkembangan sistem hukum pidana di

Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang

berlaku di Indonesia saat ini merupakan salah satu dari sistem hukum

yang diwariskan oleh pemerintahan kolonial Belanda (Bahiej, 2006).

Selanjutnya, Bahiej (2006) menjelaskan tentang sejarah pemberlakuan

hukum pidana di Indonesia ke dalam tiga bagian.

1. Masa Sebelum Penjajahan Belanda

Masyarakat Indonesia telah mengenal dan menerapkan

hukum adat yang pada umumnya tidak tertulis, bersifat lokal dan

hanya berlaku di wilayah adat tertentu. Hukum adat tersebut belum

mengenal adanya pemisahan yang jelas antara hukum pidana dan

hukum perdata (Kanter & Sianturi dalam Bahiej, 2006). Pemisahan

antara hukum perdata yang besifat privat dengan hukum pidana

yang bersifat publik di Indonesia merupakan pengembangan dari

(34)

2. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan belanda

1. MasaVereenigde Oost Indishe Compagnie (VOC) tahun

1602-1799

Pemberlakuan hukum pidana Barat di Indonesia dimulai

sejak kadatangan VOC ke Indonesia. VOC memaksakan

aturan-aturan hukum yang dibawa dari Eropa untuk ditaati oleh

orang-orang pribumi sebagai usaha untuk memperbesar

keuntungan. Peraturan-peraturan yang dibuat VOC diumumkan

dalam bentuk plakaat yang dilepas setelah diumumkan namun

tidak tersimpan dalam arsip sehingga tidak ada kejelasan antara

peraturan mana yang masih berlaku dan yang tidak berlaku.

Oleh karena itu, VOC mengumpulkan kembali

peraturan-peraturan tersebut dan menyusunnya ke dalam Statuten van

Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642 (Kanter

& Sianturi dalam Bahiej, 2006). Meskipun pada tahun 1766

Statuta Batavia direvisi dan menghasilkan Statuta Batavia

Baru yang berlaku bagi pribumi maupun orang asing, namun

belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum

tersusun secara sistematis.

Setelah VOC dibubarkan pada tanggal 31 Desember

1799, kependudukan Belanda di Indonesia digantikan oleh

(35)

pemerintahannya, Rafles tidak melakukan

perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah berlaku.

2. MasaBesluiten Regering (Tahun 1814-1855)

Belanda kembali menduduki wilayah Indonesia setelah

Inggris meninggalkan Indonesia tahun 1810. Besluiten

Regering yang berdasarkan pasal 36 UUD Belanda merupakan

landasan dasar bagi raja untuk mempunyai kekuasan mutlak

dan tertinggi atas daerah jajahan. Dalam implementasinya, raja

mengangkat komisaris jendral untuk melaksanakan

pemerintahan di Hindia Belanda. Para komisaris jendral yang

pernah menjabat tidak pernah melakukan perubahan peraturan

dan tetap memberlakukan peraturan yang berlaku pada masa

Inggris karena menunggu kodifikasi hukum.

3. MasaRegering Reglement (1855-1926)

Perubahan sistem pemerintahan di Belanda dari

monarki konstitusional menjadi monarki parlementer

merupakan awal masaRegering Reglement. Selama berlakunya

masa Regering Reglement, beberapa kodifikasi hukum pidana

berhasil diundangkan, yaitu :

a. Wetboek van Strafrecht voov European yang disebut

sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Eropa yang

(36)

b. Aglemene Politie Strafreglement yang deisebut sebagai

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pribumi yang

diundangnan dengan Staatblad No.58 tahun 1872.

c. Politie Strafreglement yang diberlakukan bagi orang bukan

Eropa.

d. Wetbook van Strafrecht voor Netherlandsch-Indie yang

disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Hindia-Belanda yang diundangkan dengan Staatblad No.

732 tahun 1915 dan mulai berlaku 1 Januari 1918.

4. Masa Indische Staatregeling(1926-1942)

Pada masa ini sistem hukum di Indonesia semakin jelas

keberadaannya karena dalam pasal 131 jo. pasal 163 telah

dilakukan pembagian golongan penduduk Indonesia beserta

hukum yang berlaku. Indische Staatregeling merupakan dasar

bagi hukum pidana Belanda (Wetbook van Strafrecht voor

Netherlands-Indie) untuk tetap diberlakukan pada seluruh

penduduk Indonesia.

5. Masa Pendudukan Jepang

Pemerintahan tentara Jepang tidak melakukan

perubahan sistem hukum yang signifikan yang sebelumnya

berlaku di Indonesia karena dianggap tidak bertentangan

(37)

yang diberlakukan tetap menggunakan hukum pidana Belanda

yang berdasarkan pada pasal 131 jo. pasal 163.

Pada masa ini terdapat dualisme hukum pidana karena

wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian dibawah

penguasaan militer yang tidak saling membawahi. Angkatan

Laut Jepang menguasai wilayah Indonesia timur yang

berkedudukan di Makasar sedangkan Angkatan Darat Jepang

menguasai Wilayah Indonesia barat yang berkedudukan di

Jakarta (Kanter dan Sianturi dalam Bahiej, 2006).

3. Masa Setelah Kemerdekaan

Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945,

pemberlakuan hukum pidana di Indonesia dibagi ke dalam empat

masa dengan mengacu pada berlakunya empat konstitusi di

Indonesia, yaitu :

1. Tahun 1945-1949

Pada masa ini, konstitusi yang berlaku adalah konstitusi

Undang-Undang Dasar 1945. Pada awal kemerdekaan ini,

sistem hukum yang berlaku sementara tetap menggunakan

peraturan-peraturan yang sudah ada dan berlaku sejak

Indonesia belum merdeka. Kemudian pada tahun 1946

dikeluarkan UU No.1 tahun 1946 yang dijadikan dasar yuridis

bagi pemberlakuan hukum pidana warisan kolonial sebagai

(38)

telah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka,

namun secara de facto Indonesia masih berada dalam

penjajahan Belanda. Pada tanggal 22 September 1945 NICA

Belanda mengeluarkan aturan pidana yang berjudul Tijdelijke

Biutengewonge Bepalingen van Strafrecht

(Ketentuan-Ketentuan Sementara yang Luar Biasa Mengenai Hukun

Pidana). Kedua hukum yang dikeluarkan oleh pemerintahan

Indonesia dan pemerintahan Belanda diberlakukan secara

bersama-sama di wilayah Indonesia. Oleh karena itu, masa ini

disebut juga masa dualisme KUHP (Wantjik dalam Bahiej,

2006).

2. Tahun 1949-1950

Pada masa ini konstitusi UUD 1945 tidak berlaku lagi

dan digantikan Konstitusi Republik Indonesia. Berdasarkan

pada pasal 192 RIS, maka secara praktis hukum pidana yang

berlaku tetapWetboek van Strafrechtyang disebut juga sebagai

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Meskipun demikian,

dualisme KUHP masih berlangsung dalam masa ini.

3. Tahun 1950-1959

Pada tahun 1950 Belanda mengakui kedaulatan

Indonesia sehingga Indonesia kembali menjadi negara republik

kesatuan. Pada masa peralihan ini konstitusi yang berlaku

(39)

142 UUD Sementara, peraturan hukum yang dipakai tidak

mengalami perubahan dan tetap menggunakan KUHP.

Pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda juga mengakhiri

dualisme KUHP di Indonesia. Hal ini secara tegas ditetapkan

dalam UU No.73 tahun 1958 yang menyatakan bahwa UU

No.1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana berlaku

untuk seluruh wilayah Indonesia.

4. Tahun 1959-sekarang

Dekrit Preiden tanggal 5 Juli 1959 memberlakukan

kembali UUD 1945 sehingga Indonesia menjadi negara

kesatuan yang berbentuk republik dengan UUD 1945 sebagai

konstitusinya. Pada masa ini pemberlakuan sistem hukum

pidana tetap berdasarkan pada UU No.1 tahun 1946 dan

berlanjut sampai sekarang. Meskipun Indonesia setelah

merdeka mengalami empat kali perubahan konstitusi, namun

sumber hukum pidana tetap mengacu pada Wetboek van

Strafrecht (Kitab Undang-Undang Pidana) walaupun

pemberlakuannya tetap mendasarkan diri pada ketentuan

peralihan setiap konstitusi.

Sebagaimana Bahiej, Intan (2009) juga menjelaskan sejarah

pemidanaan di Indonesia ke dalam tiga bagian yang intinya sama

(40)

1. Sistem kepenjaraan (1945-1964)

Sistem kepenjaraan yang berlaku merupakan sistem

kepenjaraan di Eropa yang diterapkan oleh Belanda dengan

memberlakukan Gestichten Reglement (Reglement Penjara).

Tujuan dari sistem kepenjaraan ini adalah penjeraan. Penjara

sebagai tempat menampung para pelaku tindak pidana bertujuan

untuk membuat jera para pelaku supaya tidak mengulangi tindak

pidana dengan menerapkan peraturan-peraturan kepenjaraan yang

keras dan sering kali tidak manusiawi.

2. Sistem pemasyarakatan (1964-1995)

Pada era ini diberlakukan 10 prinsip pemasyarakatan

dengan tujuan pemidanaan adalah pembinaan dan pembimbingan

dengan tahapan orientasi, pembinaan dan asimilasi.

3. Sistem pemasyarakatan baru (1995-sekarang)

Sistem pemasyarakatan yang diberlakukan sejak tahun 1964

masih belum mempunyai dasar hukum tetap. Oleh karena itu pada

tahun 1995 diberlakukan Undang-Undang No. 12 tahun 1995

tentang pemasyarakatan sebagai bentuk penyempurnaan dari

sistem pemasyarakatan sebelumnya yang masih berbau kolonial.

Berdasarkan uraian di atas, terdapat pergeseran sistem

pemidanaan dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan yang

(41)

diundangkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang

pemasyarakatan (Intan, 2009). Sementara itu, (Bahiej, 2006)

menyimpulkan bahwa induk peraturan hukum pidana di Indonesia

adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP

merupakan warisan sistem hukum pemerintahan kolonial Belanda

dengan nama asli Wetboek van Strafrecht Voor Nederlandsh Indie

yang pertama kali diberlakukan di Indonesia denganKoninklijk Besluit

(Titah Raja) No. 33 tanggal 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan

pada tanggal 1 Januari 1918 (Bahiej, 2006).

Pemberlakuan WvSNI sejak tanggal 1 Januari 1918 tersebut

menurut Baharudin (dalam Irwan & Wiwik, 2008) merupakan tonggak

berdirinya sistem pidana kepenjaraan secara institusional di Indonesia.

Sistem Pidana Penjara ini berlandaskan pada Gevangenis Reglement

atau Reglement Penjara tahun 1917, yaitu instrumen penjatuhan pidana

penjara dimana dalam pelaksanaannya memerlukan suatu wadah atau

tempat yang disebut Rumah-Rumah Penjara (Sujatno, 2004). Dalam

pelaksanaannya, pemerintah kolonial Belanda membangun penjara

yang dilengkapi dengan rumah sakit, bengkel kerja dan aturan penjara

yang membagi narapidana ke dalam beberapa golongan. Proses

kepenjaraan demikian sebenarnya sudah mengandung sedikit

pembaharuan pidana penjara. Namun pembaharuan tidak diwujudkan

dalam kenyataan karena polotik kolonial pemerinta Hindia Belanda

(42)

mempunyai hak hidup merdeka dan kehidupan yang bersendi

kemanusiaan (Poernomo, 1986). Bangunan penjara dan perlakuan

terhadap narapidana bukan untuk pembinaan melainkan sebagai

bentuk balas dendam atas kejahatan pelaku. Tujuan dari sistem

tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan pemerintah kolonial

dengan mempekerjakan narapidana di sektor perkebunan, ifrastruktur

transportasi jalan maupun persawahan. Hal tersebut dikarenakan

narapidana orang pribumi dianggap sebagai budak yang tidak perlu

dilindungi hak-haknya (Irwan & Wiwik, 2008).

b. Kajian Tentang Kelahiran Sistem Pemasyarakatan

Adanya kritik yang tajam mengenai keadaan yang buruk di

lingkungan rumah penjara memicu munculnya pembaharuan pidana

penjara menuju perbaikan nasib para narapidana berdasarkan asas

kemanusiaan. Bangsa Indonesia mempunyai sikap yang positif

terhadap perkembangan pembaharuan pidana penjara. Sikap ini

tampak berupa usaha untuk mewujudkan perluasan keadilan, terutama

bagi narapidana dan tata laksana perlakuan terhadap narapidana yang

manusiawi dan sekaligus berpengaruh kepada salah satu arah

pembangunan bangsa dengan secara sadar taat kepada hukum. Tujuan

dari tingkatan selanjutnya mengenai pembaharuan pidana penjara

adalah menjauhkan narapidana dari lingkungan buruk tembok penjara

(43)

dipisahkan dari hidup dan kehidupan kemasyarakatannya

(Poernomo,1986).

Pemasyarakatan sebagai tujuan dari pidana penjara dicetuskan

pada tanggal 5 Juli 1963 oleh Sahardjo, S.H sebagai menteri

kehakiman RI dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu

Hukum oleh Universitas Indonesia. Pada kesempatan tersebut,

Sahardjo mengemukakan pidatonya yang berjudul “Pohon Beringin

Pengayoman Hukum Pantjasila-Manipol/Usdek”. Isi dari pidato

Sahardjo mengemukakan konsepsi tentang hukum nasional yang

digambarkan dengan pohon beringin sebagai lambang dari

pengayoman. Sahardjo juga mengemukakan bahwa pohon beringin

dipandang sebagai penyuluh bagi petugas dalam memperlakukan

narapidana (Achmad & Romli, 1979). Dalam pidatonya tersebut,

Sahardjo merumuskan tujuan pidana penjara, yaitu disamping

menimbulkan rasa derita pada narapidana agar bertobat, mendidik

supaya ia menjadi anggota masyarakat Indonesia yang berguna. Secara

singkat, Sahardjo menyebut tujuan dari pidana penjara adalah

pemasyarakatan (Sujatno, 2004).

Konsepsi pemasyarakatan disempurnakan ketika

diselenggarakan konferensi dinas para pimpinan kepenjaraan pada

tanggal 27 April – 7 Mei 1964 di Lembang, Bandung. Hasil dari konferensi memutuskan bahwa pelaksanaan pidana penjara di

(44)

Dalam hal ini konsepsi pemasyarakatan bukan hanya sebagai tujuan

pidana penjara tatapi juga merupakan suatu sistem pembinaan kepada

narapidana (Achmad & Romli, 1979). Adapun konferensi dinas

tersebut merumuskan pokok-pokok konsepsi pemasyarakatan sebagai

berikut :

1. Orang yang tersesat diayomi juga, dengan memberikan kepadanya

bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam

masyarakat.

2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam dari negara.

3. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan

bimbingan.

4. Negara tidak berhak membuat sesorang lebih buruk/lebih jahat

daripada sebelum ia masuk lembaga.

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus

dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan

daripadanya.

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat

mengisi waktu, atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan

atau kepentingan negara sewaktu saja.

7. Bimbingan dan didikan harus sesuai berdasarkan Pancasila.

8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai

manusia, meskipun telah tersesat.

(45)

10. Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru yang

sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program pembinaan dan

memindahkan lembaga-lembaga yang berada di tengah kota ke

tempat-tempat yang sesuai dengan kebutuhan proses

pemasyarakatan.

Konsepsi pemasyarakatan tersebut merupakan prinsip-prinsip

untuk pembinaan dan pembimbingan narapidana yang secara teoritis

akan menjadi tiga pokok pikiran pemasyarakatan, yaitu sebagai suatu

tujuan, sistem proses, dan metode untuk pelaksanaan pidana penjara di

Indonesia. Untuk melengkapi pengertian mengenai pemasyarakatan,

maka dikeluarkan Surat Keputusan Kepala Direktorat Pemasyarakatan

tahun 1965 (dalam Poernomo,1986) yang menyatakan bahwa :

(46)

pembinaan-pembinaan, mengalami perubahan-perubahan menjurus dan menjelma sembuh menjadi kehidupan yang positif antara narapidana dengan (unsur-unsur dari) masyarakat.

Setelah berjalan selama tiga puluh lima tahun, barulah

pergeseran tujuan pelaksanaan pidana penjara menuju tujuan

pemasyarakatan mencapai puncaknya setelah dikeluarkan dan

diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

pemasyarakatan (Sujatno, 2004). Pengertian mengenai sistem

pemasyarakatan tercantum dalam Pasal 1 ayat 2 UU No.12 Tahun

1995 sebagai berikut :

Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidanasehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangungan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Secara teknis pelaksanaannya diatur dalam PP Nomor 31

Tahun 1999 tentang pembinaan dan pembimbingan warga binaan

pemasyarakatan. Mengacu pada pasal 2 PP Nomor 31 Tahun 1999,

program pembinaan dan pembimbingan diperuntukkan bagi

(47)

yang meliputi kegiatan pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan

kemandirian. Sementara itu maksud dan tujuan dari program

pembinaan dan pembimbingan diatur dalam pasal 1 PP Nomor 31

Tahun 1999. Pasal tersebut menyatakan bahwa pembinaan adalah

kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan terhadap Tuhan

Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan

jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan.

Sedangkan pembimbingan adalah pemberian tuntunan untuk

meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sikap dan

perilaku, prefesional, kesehatan jasmani dan rohani klien

pemasyarakatan.

2. Pemasyarakatan dan Rehabilitasi Narapidana

a. Pemasyarakatan Sebagai Proses

Konsepsi Pemasyarakatan diterjemahkan oleh Achmad dan

Romli (1979) bukan hanya sebagai rumusan terhadap tujuan dari

pidana penjara, tetapi sebagai suatu sistem pembinaan yang

berorientasi luas dengan pendekatan yang berpusat kepada

potensi-potensi yang ada baik dari individu yang bersangkutan maupun

ditengah masyarakat sebagai satu keseluruhan. Dengan demikian

sistem pemasyarakatan menjadi berbeda dengan sistem berdasarkan

rehabilitasi yang mengarahkan treatmen-focus-nya hampir secara

(48)

perkembangan selanjutnya sistem rehabilitasi ini melebarkan

treatmen-focus-nya kepada masyarakat yang juga disebut sebagai “community

based treatment” sehingga memiliki banyak persamaan dengan sistem

pemasyarakatan.

Konsep pemasyarakatan secara teori berarti kembali ke

masyarakat sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna (Romli,

1982). Romli (1982) juga menjelaskan bahwa sepuluh prinsip

pemasyarakatan secara jelas menunjukkan bahwa pemasyarakatan

secara tegas menolak prinsip retributif atau pembalasan bagi

nararipada melainkan penerimaan tujuan penghukuman yang bersifat

rehabilitatif.

Pelaksanaan sistem pemasyarakatan dilaksanakan oleh

Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga sebagai salah satu unit pelaksana

di lingkungan Departemen Kehakiman yang bertugas melaksanakan

pemasyarakatan dan bimbingan kemasyarakatan serta pengentasan

anak (Achmad dan Romli, 1979) yang dalam pelaksanaannya dibantu

oleh :

1. Direktorat Pemasyarakatan, yang bertugas melaksanakan

pembinaan di dalam lembaga.

2. Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak

(BISPA), yang melaksanakan pembinaan baik di dalam maupun di

luar lembaga.

(49)

Ketiga unit pelaksana tersebut berada pada tingkat pusat,

sedangkan pada tingkat wilayah, pelaksanaan sistem pemasyarakatan

dilakukan oleh :

1. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga

2. Kantor Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga

3. Kantor Lembaga-lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi

pelaksana di lapangan.

Setelah dikeluarkan Keputusan Presiden No. 47 tahun 1979,

Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga berubah nama menjadi

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Kemudian pada perkembangan

selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No.

M.01.PR.07.03 tanggal 12 Februari 1997 yang disusul oleh Surat

Edaran Dirjen Pemasyarakatan No. E.PR.07.03.17 tanggal 7 Maret

1997 BISPA berubah nama menjadi BAPAS.

Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga pada masa itu dalam

melaksanakan sistem pemasyarakatan yang berdasarkan pada sepuluh

prinsip pemasyarakatan masih harus memperhatikan unsur-unsur

sebagai berikut (dalam Achmad dan Romli, 1979) :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada pasal-pasal 13, 14, 14a

s/d f, 15,16, 17, 19, 23, 24, 25, dan 29.

2. Reglemen Penjara (Gestichen reglement) Stbl. 1917 No. 708 jo.

Stbl. 1948 No.77

(50)

Hal ini dikarenakan belum adanya Undang-Undang khusus

mengenai Pemasyarakatan. Dalam pelaksanaannya di lembaga

pemasyarakatan, Departemen Bina Tuna Warga telah melakukan

penyesuaian-penyesuaian yang dianggap perlu untuk melaksanakan

pembinaan narapidana. Penyesuaian-penyesuaian tersebut diketahui

dengan adanya surat Surat-surat. Edaran dari Mahkamah Agung dan

Surat-surat Keputusan Menteri Kehakiman. Hasil penelitian

observasi-evaluasi sistem pemasyarakatan yang dilakukan Universitas

Padjadjaran tahun 1974-1975 (dalam Acmad dan Romli, 1979)

menunjukkan bahwa telah dikeluarkan Surat Edaran kurang lebih tiga

ratus buah. Selanjutnya, Achmad dan Romli (1979) menjelaskan

bahwa Surat Edaran No. KP.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1965

tentang “Pemasyarakatan sebagai Proses” mengemukakan bahwa

pembinaan narapidana dewasa dilakukan melalui empat tahap sebagai

suatu kesatuan proses yang bersifat terpadu, yang meliputi :

1. Tahap Pertama

Setiap Narapidana yang masuk Lapas diteliti untuk

mengetahui segala sesuatu tentang diri narapidana seperti

sebab-sebab melakukan pelanggaran hukum dan segala keterangan yang

dapat diperoleh dari berbagai pihak mulai dari keluarga, bekas

majikan atau atasan, teman sekeja, korban, serta dari petugas

(51)

Sujatno (2004) menjelaskan bahwa pembinaan tahap ini

disebut sebagai pembinaan tahap awal yang dilakukan di dalam

Lapas dengan pengawasan maksimum (maximum security) selama

sepertiga masa pidana sejak yang bersangkutan berstatus sebagai

narapidana. Tahapan ini merupakan masa pengamatan, penelitian

dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perencanaan

pelaksanaan program pembinaan dan kemandirian.

2. Tahap Kedua

Setelah pembinaan dilakukan paling lama sepertiga masa

pidana dan menurut Dewan Pembina Pemasyarakatan yang kini

berubah nama menjadi Tim Pengamat Pemasyarakatan sudah

dicapai kemajuan dalam diri narapidana, maka yang bersangkutan

memperoleh kebebasan yang lebih banyak dan ditempatkan di

Lapas dengan medium security. Kemajuan narapidana yang

dimaksud adalah telah menunjukkan keinsyafan, perbaikan,

disiplin dan patuh terhadap peraturan lembaga.

3. Tahap Ketiga

Jika proses pembinaan telah berjalan sampai setengah masa

pidana dan menurut Tim Pengawas Pemasyarakatan terdapat

kemajuan, baik secara fisik, mental maupun keterampilan, maka

wadah pembinaannya diperluas dengan asimilasi dengan

masyarakat luar. Dalam proses asimilasi ini, narapidana diberikan

(52)

masyarakat luar, mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah umum,

atau bekerja di luar tetapi tetap berada dalam pengawasan dan

bimbingan petugas Lapas.

4. Tahap Keempat

Tahap ini merupakan tahap terakhir yang dilakukan setelah

menjalani proses pembinaan sampai dua per tiga masa pidana atau

sekurang-kurangnya sembilan bulan. Pada tahap ini dilakukan

perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak

berakhirnya tahap lanjutan sampai berakhirnya masa pidana

narapidana. Kepada narapidana yang memenuhi syarat diberikan

cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat dan pelaksanaan

pembinaan dilakukan di luar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan

(Bapas).

Proses perkembangan sistem pemasyarakatan semakin

mantap setelah diundangkannya Undang-Undang No. 12 tahun

1995 tentang pemasyarakatan yang dalam pelaksanaannya diatur

oleh PP No. 31 tahun 1999. Berlandaskan pada pasal 4 ayat 1 PP

No.31 tahun 1999, pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan

narapidana dilakukan oleh petugas pemasyarakatan yang terdiri

(53)

1. Pembina Pemasyarakatan

Pembina pemasyarakatan adalah petugas

pemasyarakatan yang melaksanakan pengamanan narapidana

dan anak didik pemasyarakatan di Lapas.

2. Pengaman Pemasyarakatan

Pengaman pemasyarakatan adalah petugas

pemasyarakatan yang melaksanakan pengamanan narapidana

dan anak didik pemasyarakatan di Lapas

3. Pembimbing Kemasyarakatan

Pembimbing kemasyarakatan adalah petugas

pemasyarakatan yang melaksanakan pembimbingan klien di

Bapas

Penyelenggaraan pembinaan dan pembimbingan narapidana

dalam hal ini diatur dalam pasal 9 UU No. 12 tahun 1995 jo. pasal

5 PP No.31 tahun 1999 bahwa menteri dapat mengadakan kerja

sama dengan instansi pemerintah terkait, badan-badan

kemasyarakatan lainnya, atau perorangan yang kegiatannya sesuai

dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan.

Setelah dikeluarkan PP No.31 tahun 1999 tersebut, maka

proses pelaksanaan pemasyarakatan menjadi tiga tahapan.

Berlandaskan pasal 7 dan 9 PP No.31 tahun 1999, ketiga proses

(54)

1. Pembinaan tahap awal yang dimulai sejak yang bersangkutan

berstatus sebagai narapidana sampai sepertiga dari masa

pidana.

2. Pembinaan tahap lanjutan yang dibagi ke dalam dua tahap.

Tahap lanjutan pertama dilakukan sejak berakhirnya

pembinaan tahap awal sampai dengan setengah dari masa

pidana. Kemudian tahap kedua dilakukan sejak berakhirnya

tahap lanjutan pertama sampai dua per tiga masa pidana.

3. Pembinaan tahap akhir dilaksanakan sejak berakhirnya tahap

lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana narapidana

yang bersangkutan.

Adapun rincian dari masing-masing tahapan tersebut

terdapat dalam pasal 10 PP No. 31 tahun 1999 sebagai berikut :

1. Pembinaan tahap awal

a. Masa pengamatan, pengenalanm dan penelitian lingkungan

paling lama satu bulan.

b. Perencanaan program peminaan kepribadian dan

ke.mandirian

c. Pelaksanaan program kepribadian dan kemandirian.

d. Penilaian program pembinaan tahap awal.

2. Pembinaan tahap lanjutan

a. Perencanaan program pembinaan lanjutan.

(55)

c. Penilaian program pembinaan lanjutan.

d. Perencanaan dan pelaksanaan asimilasi.

3. Pembinaan tahap akhir

a. Perencanaan program integrasi.

b. Pelaksanaan program integrasi

c. Pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir.

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.

M.01-PP.02.01 tahun 1990 bab 2 pasal 2 mengatakan bahwa

pembinaan narapidana dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal

Pemasyarakatan Departemen Kehakiman Republik Indonesia

selaku instansi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan

pembinaan narapidana yang berada di Lembaga

Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara. Lembaga

Pemasyarakatan (Lapas) adalah Unit Pelaksana Teknis di bidang

pemasyarakatan sebagai wadah kegiatan pembinaan terpidana

menurut sistem pemasyarakatan (Keputusan Menteri Kehakiman

Republik Indonesia No. M.01-PP.02.01 tahun 1990 bab 1 pasal 1

huruf c). Kepala Lapas dalam hal ini berperan untuk menetapkan

petugas pemasyarakatan yang bertugas sebagai wali narapidana

dan anak didik pemasyarakatan (pasal 4 ayat 2 PP No. 31 tahun

1999) . Oleh karena itu, sebagaimana tercantum dalam penjelasan

(56)

sebagai ujung tombak atas pelaksanaan sistem pemasyarakatan

melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi.

Skema 1

Sejarah Perkembangan Rehabilitasi Narapidana di Indonesia Sebelum penjajahan

Belanda

Sesudah kedatangan Belanda

Setelah kemerdekaan

Sistem Kepenjaraan (sampai tahun 1964) (Hukuman sebagai bentuk

balas dendam dan tidak berperikemanusiaan)

Sistem Pemasyarakatan Dr. Sahardjo (1964-1995) (Hukuman sebagai bentuk

rehabilitasi)

Sistem Pemasyarakatan Baru (1995-sekarang)

UU No. 12 Tahun 1995 (UU tentang Pemasyarakatan)

PP No. 31 tahun 1999 (Pelaksanaan UU

(57)

b. Rehabilitasi Narapidana Dalam Proses Pemasyarakatan

Pembaharuan sistem pemasyarakatan oleh Dr. Saharjo telah

merumuskan tujuan dari pemidanaan adalah pemasyarakatan (Irwan &

Wiwik, 2008). Hal ini berarti bahwa setiap orang yang dijatuhi

hukuman pidana penjara akan di masyarakatkan melalui rehabilitasi

dan resosialisasi sebelum kembali ke masyarakat. Rehabilitasi dan

resosialisasi dalam proses pemasyarakatan tidak dapat di pisahkan satu

sama lain karena merupakan suatu proses yang berkesinambungan

(Sujatno, 2004). Rehabilitasi narapidana diwujudkan melalui tahapan

pembinaan kepribadian dan kemandirian (Sujatno, 2004), sedangkan

resosialisasi narapidana diwujudkan dalam bentuk asimilasi dan

integrasi (Romli, 1982 ; Poernomo 1986)

Rehabilitasi narapidana diterjemahkan oleh Sujatno (2004)

sebagai proses therapeutic, dimana ketika narapidana masuk Lembaga

Pemasyarakatan merasa dalam keadaan yang tidak harmonis dengan

masyarakat. Oleh karena itu, narapidana menjalani proses

penyembuhan yang dapat dilakukan dengan syarat yaitu terciptanya

keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan antara petugas

sebagai pembina, narapidana sebagai warga binaan dan mesyarakat

sebagai wadah kehidupan dan penghidupannya. Selanjutnya, Sujatno

(2004) menjelaskan untuk tercapainya tujuan tersebut pemasyarakatan

menerapkan dua program pembinaan dan pembimbingan yaitu

(58)

Resosialisasi narapidana dalam pengertiannya menurut Romli

(1982) merupakan suatu proses interaksi antara narapidana, petugas

lembaga pemasyarakatan dan masyarakat, dan dalam proses interaksi

tersebut termasuk mengubah sistem nilai-nilai dari narapidana,

sehingga narapidana akan dengan baik dan efektif mengadaptasi

kembali norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Poernomo (1986) menambahkan bahwa kegiatan asimilasi dan

integrasi dalam pelaksanaan resosialisasi mempunyai arti penting bagi

narapidana sebagai latihan untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungan masyarakat. Kegiatan tersebut memberikan kelonggaran

bagi narapidana untuk berinteraksi secara langsung dengan masyarakat

karena sebelumnya narapidana menjalani proses tertutup di dalam

lingkungan tembok penjara. Dengan demikian narapidana dapat

berlatih untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat dan

memperoleh perubahan sikap tentang apa sesungguhnya menjalani

pidana penjara. Hal ini dikarenakan di dalam lingkungan tembok

penjara terdapat berbagai watak dan sifat dalam lingkungan

masyarakat mini dibandingkan masyarakat luar yang sesungguhnya.

Irwan dan Wiwik (2008) menambahkan tujuan asimilasi yaitu sebagai

cara untuk menghilangkan citra buruk penjara pasca hukuman dan

memperkenalkan narapidana ke masyarakat dengan harapan

memberikan manfaat baik bagi narapidana, masyarakat maupun

(59)

B. Pelatihan Kerja dan Kaitannya dengan Program Rehabilitasi

Sujatno (2004) menjelaskan bahwa dalam sistem pemasyarakatan

terdapat dua jenis program pembinaan dan pembimbingan, yaitu pembinaan

kepribadian dan pembinaan kemandirian. Pembinaan kepribadian ditujukan

kepada pembinaan mental dan watak narapidana. Tujuan pembinaan

kepribadian ini adalah supaya narapidana menjadi manusia seutuhnya,

bertaqwa dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan masyarakat. Yang

dimaksud dengan “agar menjadi manusia seutuhnya” adalah upaya untuk

memulihkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan kepada fitrahnya

dalam hubungan menusia dengan Tuhannya, manusia dengan pribadinya,

manusia dengan sesamanya, manusia dengan lingkungannya (penjelasan

umum tentang pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995). Pembinaan

kepribadian meliputi pembinaan dalam bidang (Sujatno, 2004) :

1. Pembinaan kesadaran beragama

2. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara

3. Pembinaan kemampuan intelektual

4. Pembinaan kesadaran hukum

5. Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat.

Sementara itu, pembinaan kemandirian diarahkan pada pembinaan

bakat dan keterampilan kepada narapidana supaya dapat kembali berperan

(60)

sesuai dengan pendapat Thaher (dalam Irwan dan Wiwik, 2008) yang

menyatakan bahwa tujuan pembinaan kemandirian adalah untuk membentuk

narapidana yang setelah bebas menjadi manusia yang mandiri dalam artian

akan mendapatkan lapangan kerja yang sesuai dengan keterampilan yang

mereka peroleh selama di lembaga pemasyarakatan. Sujatno (2004)

menjelaskan pembinaan kemandirian dilaksanakan melalui program-program

sebagai berikut :

1. Keterampilan usaha mandiri

2. Keterampilan usaha industri kecil

3. Keterampilan sesuai dengan bakat masing-masing

4. Keterampilan dalam usaha industri atau kegiatan pertanian

Berdasarkan hasil wawancara dengan staff bimbingan kerja Lembaga

Pemasyarakatan kota Magelang (16 Januari 2012), pelaksanaan pembinaan

kemandirian dilakukan dengan memberikan pelatihan kerja kepada

narapidana. Narapidana dipekerjakan setiap harinya dengan memberikan

pekerjaan bagi para narapidana dan sifatnya wajib untuk diikuti (berdasarkan

pasal 15 ayat 1 UU NO.12 tahun 1995). Hal ini sesuai dengan pendapat Irwan

dan Wiwik (2008) bahwa salah satu kegiatan yang dinilai penting dan sangat

berguna bagi narapidana adalah dengan memberikan pelatihan. Program

pelatihan yang diberikan tetap mengacu pada prinsip pemasyarakatan bahwa

pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi

(61)

negara saja, melainkan diharapkan memberikan manfaat sebagai bekal hidup

di masyarakat (Torkis, 2009).

Achmad dan Romli (1979) menjelaskan bahwa para pakar telah

mengemukakan bahwa hasil dari pekerjaan yang dilakukan oleh narapidana

diperuntukkan bagi yang bersangkutan untuk membiayai diri dan keluarganya.

Berlandaskan pada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.

M.01-PP.02.01 tahun 1990 pasal 4 ayat 1, dalam pembinaan keterampilan

kerja bagi narapidana menuju proses pembauran yang dilaksanakan bersama

pihak ketiga, wajib diberikan imbalan jasa yang besarnya sekurang-kurangnya

Rp 2000,00 seorang setiap hari kerja. Sedangkan yang dimaksud keterampilan

kerja tercantum dalam pasal 4 ayat 3, yaitu keterampilan yang dapat

menghasilkan suatu produk baik jasa maupun barang tertentu. Dengan

demikian, pemberian pekerjaan tersebut akan menjadi salah satu usaha dalam

kerangka kebutuhan re-edukasi dan resosialisai narapidana sebagai program

rehabilitasi, karena (dalam Achmad & Romli (1979) :

1. Bagi narapidana, pemberian pekerjaan ini berarti :

a. Sebagai pelajaran bahwa dengan bekerja keras dan halal dapat

menjamin kebutuhan hidup tanpa melakukan suatu tindak kejahatan ;

b. Menanamkan semangat kerja yang dapat menikmati hasilnya sendiri ;

c. Memberikan keyakinan diri bahwa setelah bebas akan mempunyai

kesenangan untuk bekerja dan mempunyai keahlian ;

d. Lebih menghargai penghasilan yang diperoleh dari usaha dan jerih

Gambar

Tabel 2 Jadwal Wawancara Subjek 1 (YL)..........................................................
Tabel 1Panduan Wawancara tentang Evaluasi Pelatihan Kerja, Proses
Tabel 2Jadwal Wawancara Subjek 1 (YL)
Tabel 3
+4

Referensi

Dokumen terkait

Suatu ruang vektor adalah suatu himpunan objek yang dapat dijumlahkan satu sama lain dan dikalikan dengan suatu bilangan, yang masing-masing menghasilkan anggota lain

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah