STUDI EVALUASI PROGRAM PELATIHAN KERJA MENURUT PERSPEKTIF NARAPIDANA RESIDIVIS
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh :
Fransiscus Xaverius Galih Widyawan NIM : 079114143
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
HALAMAN MOTO
AD MAIOREM DEI GLORIAM
rampungkan yang belum rampung,
tuntaskan yang belum tuntas
AJA RUMANGSA ISA, TAPI ISA RUMANGSA
NARAPIDANA BUKANLAH ORANG JAHAT, MEREKA
HANYALAH ORANG TERSESAT
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini aku persembahkan
kepada Sang Kreator Agung Sang Hyang Widhi
Kepada Orang Tua dan Keluarga
Kepada Rekan dan Sahabat
vii
STUDI EVALUASI PROGRAM PELATIHAN KERJA MENURUT PERSPEKTIF NARAPIDANA RESIDIVIS
Fransiscus Xaverius Galih Widyawan
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisa evaluasi program pelatihan kerja di Lembaga Pemasyarakatan menurut perspektif narapidana residivis serta untuk mengetahui rekomendasi terhadap program pelatihan kerja yang dinilai tepat dalam pelaksanaan rehabilitasi narapidana residivis. Kedua fokus tersebut dinilai perlu untuk dibahas karena masih banyak mantan narapidana yang kembali melakukan pelanggaran kriminal sehingga terjadi pemenjaraan berulang. Pendekatan kualitatif deskriptif dipilih untuk menjawab kedua pertanyaan penelitian tersebut. Penelitian ini melibatkan 4 subjek narapidana residivis. Subjek dipilih menggunakan criterion sampling, yaitu dipilih dengan kriteria yang sudah pernah mengikuti program pelatihan kerja pada masa hukuman sebelumnya. Mengacu pada kedua fokus penelitian, hasil evaluasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa program pelatihan kerja untuk narapidana dalam rehabilitasi narapidana belum sepenuhnya memodali narapidana untuk menuju bebas dan kembali ke masyarakat. Hal ini dikarenakan narapidana tidak mempunyai hak konstitusional dalam pengambilan keputusan mengenai program pelatihan yang akan diselenggarakan, adanya prisonisasi dalam rehabilitasi, dan kesulitan mendapatkan pekerjaan setelah bebas sebagai akibat dari stigmatisasi masyarakat kepada mantan narapidana serta tidak adanya kontrol dan pengawasan bagi mantan narapidana. Rekomendasi yang diberikan adalah memberikan hak konstitusional kepada narapidana dalam pengambilan keputusan mengenai program yang akan dilaksanakan, memberikan bantuan penyaluran kerja setelah bebas serta meningkatkan kontrol dan pengawasan kepada mantan narapidana setelah bebas dan kembali ke masyarakat
viii
EVALUATIVE STUDY ON OCCUPATIONAL TRAINING PROGRAM ACCORDING TO RECIDIVIST PERSPECTIVE
Fransiscus Xavierius Galih Widyawan
ABSTRACT
This study aims to determine, describe and analyze the evaluation on occupational training programs in prisons according to inmates's perspectives and to provide recommendations on the occupational training program that is considered appropriate in rehabilitation recidivist prisoners. Those two focuses are needed to be discussed because there are many ex-convicts who returned doing criminal offense resulting in repeated detainment. Descriptive qualitative approach was chosen to answer two research questions. This study involves four recidivist convicts. Subjects were selected using criterion sampling, which is selected by criteria whether the one have completed job training programs during the previous sentence. Referring to those two focuses of the study, the results of the evaluation in this study indicates that job-training program for inmates in the rehabilitation of prisoners has not been fully preparing the inmates to go free and return to the community. This happened because inmates have no constitutional rights in choosing the training program to be held, the prisonization in rehabilitation, and the difficulties of getting a job after his/her release as a result of stigmatization society to former prisoners and the lack of control and oversight for former inmates. It is recommended to give constitutional rights to inmates in choosing which programs will be implemented, providing work after the release and improving the control and supervision of the ex-inmates after his release and return to the community.
x
KATA PENGANTAR
Tidak ada kata yang lebih tepat kecuali hatur sembah nuhun kepada Sang Hyang Widhi Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi, sangatlah sulit bagi peneliti untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Monica Eviandaru Madyaningrum., App. Psych selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu memberikan bimbingan dan pengarahan dengan saran dan pendapat yang sangat bermanfaat bagi penelitian ini. Terimakasih atas bimbingan, kesabaran dan diskusi yang mengantarkan pemikiran dan penalaran dalam mengembangkan pola pikir.
2. Bapak Djoko Setiyono, Bc.IP, SH, MM selaku Kepala Divisi Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kantor Wilayah Jawa Tengah yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di dalam Lembaga Pemasyarakatan di wilayah Jawa Tengah.
xi
melakukan penelitian di dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kota Magelang.
4. Bapak Kardi selaku Kepala Staff Bimbingan Kerja Narapidana Lembaga Pemasyarakatan yang telah membantu untuk mencari subjek yang diperlukan dan memberikan pengarahan dan bimbingan selama proses pengambilan data di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kota Magelang.
5. Ibu Dr. Crhistina Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. selaku wakil dekan sekaligus pejabat pengampu dekan sementara.
6. Segenap dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah mendidik dan mengajar peneliti selama proses perkuliahan.
7. Segenap staf kesekretariatan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Mas Gandung, Bu Nanik dan Pak Gie serta staf laboratorium Mas Muji dan Mas Doni yang membantu peneliti dalam pengurusan berkas-berkas, pengarsipan data dan praktikum selama perkuliahan.
8. Orang tua dan keluarga yang telah memberikan dukungan baik moral maupun materi selama proses perkuliahan sampai pengerjaan skripsi ini.
xii
10.Teman-teman dekat dan sahabat khusunya Chandra “Sukun”, Danang “Jampez”, Chacha dan Chici sebagai sahabat seperjuangan dari awal kuliah. Rio, Yosi, Tiok “Botak” sebagai sahabat yang senantiasa menemani selama ini.
11.Semua pihak yang senantiasa memberikan dukungan dan doa untuk keberhasilan peneliti dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawab sebagai mahasiswa, yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam tulisan ini.
Akhir kata, peneliti berharap Tuhan Yang Maya Esa berkenan membalas segala kebaikan dan kemurahan hati semua pihak yang telah memberi bantuan, dukungan dan doanya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki keterbatasan dan kekurangan. Oleh karena itu, saran, tanggapan dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan untuk memperbaiki skripsi ini. Peneliti berharap semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang Psikologi.
Yogyakarta, Juni 2013
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN MOTTO... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... ix
KATA PENGANTAR... x
DAFTAR ISI... xii
DAFTAR TABEL... xvii
DAFTAR SKEMA... xviii
DAFTAR LAMPIRAN... xix
BAB I PANDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 12
xiv
1. Manfaat Teoritis ... 12
2. Manfaat Praktis ... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 14
A. Kajian Umum Tentang Perkembangan Rehabilitasi Narapidana ... 14
1. Perkembangan Rehabilitasi Narapidana ... 14
a. Sejarah Perkembangan Sistem Hukum di Indonesia ... 14
b. Kajian Tentang Kelahiran Sistem Pemasyarakatan ... 23
2. Pemasyarakatan dan Rehabilitasi Narapidana ... 28
a. Pemasyarakatan Sebagai Proses... 28
b. Rehabilitasi Narapidana Dalam Proses Pemasyarakatan ... 38
B. Pelatihan Kerja dan Kaitannya Dengan Program Rehabilitasi ... 40
C. Kajian Tentang Narapidana dan Residivis ... 44
1. Pengertian Narapidana ... 44
2. PengertianResidive(Residivis) ... 45
3. Pengertian Narapidana Residivis ... 48
D. Correctional Psychology... 48
E. Evaluasi Program Pelatihan ... 55
xv
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 63
A. Metodologi Penelitian ... 63
B. Fokus Penelitian ... 64
C. Subjek Penelitian... 64
D. Metode Pengumpulan Data ... 65
E. Prosedur Analisis Data ... 67
F. Kredibilitas dan Reliabilitas Penelitian ... 69
1. Kredibilitas Penelitian... 69
2. Reliabilitas Penelitian... 70
BAB IV PELAKSANAAN, HASIL DAN PEMBAHASAN... 772
A. Proses Penelitian ... 72
1. Persiapan Penelitian ... 72
2. Pelaksanaan Penelitian ... 75
3. Proses Analisis Data... 77
4. Jadwal Pengambilan Data ... 78
B. Hasil Penelitian ... 84
1. Profil Subjek ... 84
2. Kategorisasi Tema Temuan... 93
C. Pembahasan Umum... 106
xvi
A. Kesimpulan ... 116
B. Keterbatasan Penelitian ... 117
C. Saran... 118
1. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 118
2. Bagi Institusi Lembaga Pemasyarakatan ... 118
3. Bagi Trainer Pelatihan Kerja dan Psikolog Koreksional ... 119
4. Bagi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma... 119
DAFTAR PUSTAKA... 120
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Panduan Wawancara tentang Evaluasi Pelatihan Kerja,
Proses Rehabilitasi Narapidana
dan Rekomendasi yang Diberikan oleh Subjek ... 66
Tabel 2 Jadwal Wawancara Subjek 1 (YL)... 78
Tabel 3 Jadwal Wawancara Subjek 2 (A) ... 80
Tabel 4 Jadwal Wawancara Subjek 3 (HH) ... 81
Tabel 5 Jadwal Wawancara Subjek 4 (MM)... 82
xviii
DAFTAR SKEMA
Skema 1. Sejarah Perkembangan Rehabilitasi Narapidana di Indonesia ... 37
Skema 2. Studi Evaluasi Program Pelatihan Kerja
Untuk Narapidana Menurut Perspektif Narapidana
Residivis Dalam Pelaksanaan Rehabilitasi Narapidana ... 62
Skema 3. Alur proses pelatihan kerja di lapangan ... 114
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Koding Wawancara Subjek 1 ... 124
Lampiran 2. Koding Wawancara Subjek 2 ... 178
Lampiran 3. Koding Wawancara Subjek 3 ... 225
Lampiran 4. Koding Wawancara Subjek 4 ... 278
Lampiran 5. Surat Permohonan Ijin Penelitian Dari Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma... 326
Lampiran 6. Surat Ijin Penelitian Dari Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kantor Wilayah Jawa Tengah ... 328
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Persatuan Narapidana dan Mantan Narapidana Indonesia (NAPI
Indonesia) dalam deklarasinya pada tanggal 17 September 2006 menyebutkan
bahwa pemerintah tidak menunjukkan keseriusan dalam mengoptimalkan
pembinaan narapidana, yang terbukti dari banyaknya produk-produk hukum
yang mengebiri hak-hak narapidana dan seolah-olah merupakan pengakuan
secara tidak langsung bahwa pemerintah telah gagal membina narapidana. Di
sisi lain, pengabaian hak-hak narapidana disebabkan oleh kondisi pemerintah
yang belum mampu menyediakan dana yang memadai untuk membina
narapidana. Hal inilah yang menurut NAPI Indonesia menyebabkan Lembaga
Pemasyarakatan di Indonesia menjadi “sekolah kejahatan”. Pembinaan di
Lembaga Pemasyarakatan yang tidak maksimal menumbuhkan dendam sosial
dalam diri narapidana. Dalam deklarasinya tersebut, NAPI Indonesia juga
menyebutkan bahwa bilamana kondisi sosial tidak berubah, tidak sedikit
mantan narapidana yang kembali melakukan pelanggaran pidana dengan
skala lebih besar.
Pengelolaan Lapas yang over capacity dan pembinaan narapidana
merupakan persoalan yang harus dihadapi Kementrian Hukum dan HAM
Kemenkumham mengajukan dana sekitar RP 1,6 Triliun dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2011. Jumlah dana yang
diusulkan hampir sama dengan dana untuk Program Keluarga Harapan (PKH)
tahun 2011 sebesar 1,614 triliun untuk 1.116.000 Rumah Tangga Sangat
Miskin (RTSM). Jumlah ini juga jauh lebih besar daripada anggaran untuk
pengembangan pendidikan nasional yang hanya sebesar 1 triliun rupiah.
Dana sebesar itu diusulkan oleh Menteri Hukum dan HAM (menkumham)
Patrialis Akbar untuk memperbaiki Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan
rumah tahanan (rutan) yang telah melebihi kapasitas atauover capacity.
Perbandingan dana-dana layanan publik di atas menunjukkan betapa
dana pengelolaan Lembaga Pemasyarakatan cukup membebani APBN.
Apabila dana tersebut tidak benar-benar dimanfaatkan secara tepat, maka bisa
diandaikan bahwa negara justru membiayai kriminalitas. Pada tahun 2011
terdapat 219 lapas yang melebihi kapasitas di 24 Kantor Wilayah (Kanwil) di
seluruh Indonesia (“Kemenkumham minta tambahan”, 2011). Daya tampung lembaga pemasyarakatan seluruh Indonesia hanya 80.000 orang sedangkan
jumlah narapidana di seluruh Indonesia mencapai 135.000 sampai 140.000
narapidana (“Lembaga Pemasyarakatan Muaro Padang”, 2011). Dengan demikian terjadi kelebihan kapasitas sebesar 55.000 sampai 60.000
narapidana. Kemenkumham telah menghabiskan biaya sebesar Rp 710 Miliar
untuk membangun 31 lapas baru pada tahun 2010 yang dilanjutkan pada
tahun 2011. Pembangunan 31 lapas baru tersebut hanya mampu menampung
mencapai 45.000 narapidana (“Perbaiki Lapas, Menkumham minta”, 2011). Jumlah narapidana sebanyak itu selain menghabiskan anggaran negara di
sektor infrastruktur juga menghabiskan anggaran di sektor pemeliharaannya.
Jatah bahan makanan untuk narapidana per hari pada tahun 2010 sebesar Rp
8.025,00. Kenaikan harga bahan makanan tiap tahun semakin membebani
anggaran negara untuk pemeliharaan narapidana. Oleh karena itu, negara
memotong jatah bahan makanan per hari untuk narapidana di tahun 2011
menjadi Rp 7.670,00. Meskipun anggaran makan narapidana dipotong,
apabila dikalikan dengan jumlah narapidana saat ini tetap akan menghasilkan
angka yang tidak sedikit. Beban anggaran negara yang dikeluarkan tidak
berhenti sampai di pemeliharaan narapidana saja. Negara masih harus
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan pembinaan dan
pembimbingan narapidana.
Persoalan di atas semakin lebih rumit ketika mencermati bahwa
adanya residivis juga berkontribusi pada tingginya angka penghuni Lembaga
Pemasyarakatan. Di Lembaga Pemasyarakatan Kota Magelang contohnya,
berdasarkan data yang diperoleh pada akhir Desember 2011 terdapat 81
residivis dari 507 penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Sementara itu,
kapasitas Lembaga Pemasyarakatan Kota Magelang hanya untuk 368 orang.
Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa tanpa adanya residivis jumlah
narapidana penghuni Lembaga Pemasyarakatan sudah melebihi kapasitas.
Oleh karena itu, apabila jumlah kemunculan residivis dapat ditekan,
dalam mengurangi kepadatan penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Di sinilah
terlihat pentingnya program rehabilitasi atau pembinaan yang benar-benar
tepat sasaran sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya kasus
pemenjaraan berulang. Diandaikan apabila program pembinaan di dalam
Lembaga Pemasyarakatan bisa dengan efektif menyiapkan narapidana
beradaptasi dengan situasi di luar penjara, maka potensi seorang narapidana
untuk mengulang tindakan yang melanggar hukum setelah bebas akan dapat
ditekan.
Menurut wawancara dengan petugas Lembaga Pemasyarakatan Kota
Magelang (16 Januari 2012), residivis muncul dikarenakan adanya dua faktor,
yaitu faktor stigmatisasi masyarakat dan faktor prisonisasi di dalam
lingkungan Lembaga Pemasyarakatan. Faktor stigmatisasi masyarakat adalah
pandangan masyarakat mengenai mantan narapidana yang buruk sehingga
masyarakat cenderung menolak kehadiran mantan narapidana. Torkis (2009)
menyebutkan bahwa stigmatisasi muncul dikarenakan adanya rasa ketakutan
dan kekhawatiran masyarakat dimana mantan narapidana akan
mempengaruhi orang lain untuk melanggar hukum. Sedangkan faktor
prisonisasi merupakan terjadinya penyimpangan di dalam kehidupan penjara
yang diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan yang merusak kehidupan para
penghuni penjara. Dalam prisonisasi tersebut terdapat proses sosialisasi
dalam tembok penjara yang menunjukkan bahwa situasi di dalam tembok
penjara merupakan “sekolah tinggi kejahatan” bagi narapidana penghuni
tersebut dirasakan menekan dan menindas sehingga menghambat seorang
narapidana menjadi warga yang baik. Hal ini dikarenakan sistem sosial
narapidana yang mendukung dan melindungi narapidana yang mendalami
pola tingkah laku kriminal, namun tidak mendukung bahkan menindas yang
dirasakan mengancam narapidana yang menunjukkan loyalitasnya pada dunia
non kriminal. Romli (1982) menyatakan bahwa prisonisasi merupakan suatu
proses interaksi antar narapidana untuk menjadi lebih kriminil dari pada
sebelumnya narapidana tersebut masuk penjara.
Implikasi negatif dari kelebihan kapasitas turut menyumbang proses
prisonisasi dalam kehidupan sosial narapidana di dalam Lembaga
Pemasyarakatan. Sedangkan prisonisasi itu sendiri secara potensial
menimbulkan dampak negatif karena dengan adanya prisonisasi tujuan
pembinaan kepada narapidana cenderung berbelok ke arah yang menyimpang
karena terpengaruh kekuatan-kekuatan yang merusak dan terdapat dalam
interaksi sesama narapidana ( Didin dalam Azriadi, 2011). Dengan demikian,
prisonisasi membukakan pintu munculnya residivis karena selama di dalam
Lembaga Pemasyarakatan narapidana mendalami perilaku kriminal dari
sesama penghuni penjara. Oleh karena itu, Lembaga Pemasyarakatan sebagai
ujung tombak dari proses pemasyarakatan narapidana perlu melakukan
pembinaan yang tepat untuk mencegah pengulangan tindak pidana (Torkis,
2009).
Semua paparan di atas menunjukkan pentingnya kualitas pembinaan
menjadi “sekolah tinggi kejahatan” tetapi benar-benar sebagai tempat rehabilitasi bagi narapidana. Beberapa tahun ini pemerintah dan para praktisi
menyadari pentingnya penelitian untuk menentukan tindakan apa yang akan
diimplementasikan dalam program pemasyarakatan (Visher, 2006). Pada
kenyataannya, setiap narapidana pasti akan dibebaskan dari penjara dan
petugas pemasyarakatan kesulitan untuk memfasilitasi proses transisi
narapidana dengan baik (Petersilia, 2004). Penelitian mengenai re-entry
program beberapa tahun belakangan menurut Travis (dalam Visher, 2006)
menunjukkan terdapat “banyak rintangan dalam perjalanan dari penjara
kembali ke rumah”. Sementara itu, Visher (2006) menyimpulkan bahwa masih terdapat banyak kendala dalam merancang dan mengimplementasikan
intervensi dari re-entry program, sedangkan hasil penelitian-penelitian
tersebut akan melancarkan jalan untuk membantu narapidana keluar dari
penjara dan kembali ke rumah. Perhatian dalam bidang re-entry narapidana
telah menimbulkan antusiasme terhadap penemuan baru bagi program
rehabilitasi (Petersilia, 2004). Para pelaksana pemasyarakatan bekerja keras
untuk mengidentifikasi dan mengimplementasikan program yang mengurangi
kasus pelanggaran kembali setelah dari penjara. Selanjutnya Petersilia (2004)
juga menjelaskan bahwa pada waktu yang bersamaan kaum akademisi
mencoba untuk menghimpun pemikiran-pemikiran yang dapat menjadi
pedoman bagi para praktisi untuk memilih program. Akan tetapi, tidak jarang
dalam pelaksanaannya upaya-upaya ini diwarnai dengan adanya pertentangan
belum tentu dapat diterapkan karena berbenturan dengan kebijakan
pemerintah. Sebaliknya, kebijakan pemerintah tidak selalu tepat dikarenakan
belum tentu kebijakan tersebut dibangun berdasarkan pada proses penelitian
pendahuluan yang memadai. Oleh karena itu, Visher (2006) mengatakan
bahwa sudah saatnya para pelaksana dan peneliti bekerjasama untuk
merancang dan mencoba pembaharuan berdasarkan penelitian tentang
re-entryprogram.
Penelitian mengenai re-entry program itu sendiri di Indonesia masih
kurang mendapatkan perhatian. Hal ini seiring dengan masih minimnya
penelitian dalam bidang psikologi hukum di Indonesia (“Seminar Nasional : Penelitian Psikologi Hukum”, 2011). Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor) Yusti Probowati dalam seminar bertema Mengenal
Psiokologi Forensik di Universitas Muhammadiyah Lampung mengatakan
penelitian dalam bidang psikologi hukum di luar negeri sudah banyak
dilakukan. Kajian bidang psikologi hukum telah dibagi dalam bidang
psychology and criminology, psychology of court room, investigative
psychology, dancorrectional psychologyyang di dalamnya mencakup kajian
re-entry program. Dalam kesempatan yang sama Yusti juga menambahkan
bahwa penerapan Psikologi Hukum di Indonesia belum berkembang seperti
di luar negeri. Meskipun demikian, beberapa kasus kriminal telah diupayakan
berbagai pendekatan penyelidikan melalui Psikologi Forensik.
Sebagai salah satu upaya untuk menjawab kebutuhan akan penelitian
ini khususnya akan difokuskan pada topik re-entry program. Saat ini, salah
satu bentuk re-entry program yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan
di Indonesia untuk melakukan pembinaan dan pembimbingan bagi narapidana
untuk memasyarakatkan kembali narapidana setelah keluar dari penjara
adalah dengan memberikan pelatihan kerja (re-entry training) kepada
narapidana.
Noe mendefinisikan pelatihan (dalam Anggraini, 2007) sebagai suatu
kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh suatu perusahaan atau
institusi sebagai sarana untuk memfasilitasi proses belajar karyawan untuk
mencapai kompetensi dalam pekerjaannya. Kompetensi tersebut meliputi
pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang dianggap penting untuk
mencapai kinerja yang tinggi. Tujuan dari pelatihan tersebut adalah supaya
karyawan dapat menguasai pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang
dilatihkan dalam program pelatihan sehingga dapat diaplikasikan dalam
kegiatan mereka sehari-hari. Apabila pengertian tersebut diimplementasikan
bagi narapidana, maka pelatihan kerja pada narapidana merupakan bentuk
pelatihan kerja yang diberikan kepada narapidana selama menjalani hukuman
pidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Pelatihan kerja tersebut bertujuan
memberikan pengetahuan, keterampilan dan perilaku kerja yang dilatihkan
bagi narapidana sebagai upaya untuk mengembalikan mereka ke masyarakat
dalam dunia kerja. Pelaksanaan program tersebut berawal dari pembaharuan
sistem pidana di Indonesia dari penjara ke Lembaga Pemasyarakatan yang
Kehakiman, Sahardjo menegaskan bahwa terpidana adalah orang tersesat
yang perlu untuk dilindungi, dibina, dan dijadikan orang berguna bahkan
menjadi aktif dan produktif di masyarakat (Petrus & Wiwik, 2008). Dalam
perkembangan selanjutnya pelaksanaan program tersebut sebagai wujud dari
sistem pemasyarakatan semakin mantap setelah diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 15 UU No. 12 tahun 1995 yang
menyebutkan bahwa narapidana wajib mengikuti secara tertib program
pembinaan dan kegiatan tertentu. Menurut wawancara yang dilakukan dengan
petugas (16 Januari, 2012), pelatihan kerja yang dilakukan di dalam Lapas
diselenggarakan baik oleh pemerintah, Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri,
pihak ketiga atau instansi lain maupun kerjasama di antaranya. Pelaksanaan
program tersebut mengacu pada pasal 9 UU No.12 tahun 1995 bahwa dalam
rangka penyelenggaraan pembimbingan dan pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan, Menteri dapat mengadakan kerjasama dengan instansi
pemerintah terkait, atau perorangan yang kegiatannya seiring dengan
penyelenggaraan sistem pemasyarakatan. Pada kesempatan wawancara yang
sama, petugas juga menjelaskan bahwa desain program pelatihan kerja yang
di selenggarakan di setiap Lembaga Pemasyarakatan tidak sama karena
disesuaikan dengan kemampuan masing-masing Lembaga Pemasyarakatan.
Di Lembaga Pemasyarakatan Kota Magelang desain pelatihan biasanya
dirancang oleh petugas dengan mengikuti pangsa pasar dan kebutuhan
dasarnya setiap narapidana boleh mengikuti pelatihan kerja yang
diselenggarakan oleh Lembaga Pemasyarakatan, namun diutamakan peserta
pelatihan adalah narapidana yang menjelang bebas. Prioritas diberikan
kepada narapidana yang menjelang bebas dengan tujuan agar jeda waktu
antara pelatihan dan kebebasan narapidana tidak terlalu lama sehingga
narapidana setelah bebas nanti masih ingat dan paham tentang isi dari
pelatihan yang diberikan. Petugas juga menambahkan bahwa lamanya
pelatihan tergantung dari materi dan isi pelatihan yang diberikan, namun pada
umumnya sudah diprogram setiap tahun ada tiga kali pelatihan dan
masing-masing pelatihan tersebut diselenggarakan selama satu bulan.
Meski program tersebut telah menjadi program wajib sejak
diberlakukan UU No.12 tahun 1995, namun masih jarang dilakukan evaluasi
untuk melihat keefektifan program. Evaluasi yang ada biasanya dilakukan
oleh petugas (wawancara dengan petugas, 29 Februari 2012). Masyarakat
juga diberikan kesempatan untuk memberikan evaluasi dengan mengisi
kuesioner yang diberikan ketika menjadi konsumen dari pekerjaan para
narapidana. Namun, isi kuesioner tersebut cenderung pada kepuasan
masyarakat sebagai konsumen atas pelayanan dan hasil kerja narapidana.
Sedangkan evaluasi yang diberikan oleh narapidana adalah evaluasi secara
langsung dengan memberikan masukan tentang peralatan yang diperlukan.
Evaluasi semacam ini dalam amatan peneliti dinilai kurang efektif karena
tidak menyentuh seluruh bagian dari proses pelatihan kerja yang diberikan
pemenjaraan berulang. Narapidana sebagai subjek dan peserta perlu diberikan
kesempatan untuk memberikan evaluasi mengenai program pelatihan kerja
secara lebih mendalam. Hal ini dikarenakan pelatihan kerja merupakan
kebutuhan narapidana sebagai bekal untuk kembali ke masyarakat setelah
bebas dan habis masa pidananya.
Mengingat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya
residivis ditentukan oleh banyak hal, penelitian ini berfokus pada evaluasi
program pelatihan kerja. Fokus penelitan ini dipilih oleh peneliti karena
keterbukaan akses pada bidang pelatihan kerja di Lembaga Pemasyarakatan
serta mengikuti kemampuan kompetensi peneliti yang menempuh pendidikan
di tingkat strata satu. Menimbang situasi tersebut, maka penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui evaluasi program pelatihan kerja di Lembaga
Pemasyarakatan dari perspektif narapidana residivis.Oleh karena itu, untuk
mengkaji permasalahan tersebut secara empiris, peneliti mengambil tema
“Studi Evaluasi Program Pelatihan Kerja Narapidana Menurut Perspektif
Narapidana Residivis”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah :
a. Bagaimana evaluasi program pelatihan kerja di Lembaga Pemasyarakatan
b. Apa saja rekomendasi terhadap program pelatihan kerja yang dinilai tepat
dalam pelaksanaan rehabilitasi menurut narapidana residivis?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisa evaluasi program
pelatihan kerja di Lembaga Pemasyarakatan menurut perspektif
narapidana residivis.
b. Untuk mengetahui rekomendasi terhadap program pelatihan kerja yang
dinilai tepat dalam pelaksanaan rehabilitasi menurut narapidana residivis.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khasanah
ilmu Psikologi, khususnya di bidang Psikologi Sosial, Psikologi Forensik
dan Kriminologi khususnya Correctional Psychology dan Re-enty
Training Program yang secara khusus mengkaji program pelatihan kerja
di Lembaga Pemasyarakatan, baik sebagai penelitian lanjutan maupun
penelitian lain yang menggunakan subjek Narapidana.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai evaluasi
perogram pelatihan kerja di Lembaga Pemasyarakatan dari perspektif
narapidana residivis sehingga masyarakat diharapkan akan ikut
b. Berguna bagi Lembaga Pemasyarakatan dan pihak-pihak yang terkait
sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam memberikan
program pelatihan kerja yang sesuai dengan kebutuhan Narapidana.
c. Memberi dukungan bagi Narapidana untuk lebih termotivasi
14 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Umum Tentang Perkembangan Rehabilitasi Narapidana
1. Perkembangan Rehabilitasi Narapidana
a. Sejarah Perkembangan Sistem Hukum di Indonesia
Sejarah perkembangan rehabilitasi narapaidana dapat ditinjau
dengan mengacu pada perkembangan sistem hukum pidana di
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
berlaku di Indonesia saat ini merupakan salah satu dari sistem hukum
yang diwariskan oleh pemerintahan kolonial Belanda (Bahiej, 2006).
Selanjutnya, Bahiej (2006) menjelaskan tentang sejarah pemberlakuan
hukum pidana di Indonesia ke dalam tiga bagian.
1. Masa Sebelum Penjajahan Belanda
Masyarakat Indonesia telah mengenal dan menerapkan
hukum adat yang pada umumnya tidak tertulis, bersifat lokal dan
hanya berlaku di wilayah adat tertentu. Hukum adat tersebut belum
mengenal adanya pemisahan yang jelas antara hukum pidana dan
hukum perdata (Kanter & Sianturi dalam Bahiej, 2006). Pemisahan
antara hukum perdata yang besifat privat dengan hukum pidana
yang bersifat publik di Indonesia merupakan pengembangan dari
2. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan belanda
1. MasaVereenigde Oost Indishe Compagnie (VOC) tahun
1602-1799
Pemberlakuan hukum pidana Barat di Indonesia dimulai
sejak kadatangan VOC ke Indonesia. VOC memaksakan
aturan-aturan hukum yang dibawa dari Eropa untuk ditaati oleh
orang-orang pribumi sebagai usaha untuk memperbesar
keuntungan. Peraturan-peraturan yang dibuat VOC diumumkan
dalam bentuk plakaat yang dilepas setelah diumumkan namun
tidak tersimpan dalam arsip sehingga tidak ada kejelasan antara
peraturan mana yang masih berlaku dan yang tidak berlaku.
Oleh karena itu, VOC mengumpulkan kembali
peraturan-peraturan tersebut dan menyusunnya ke dalam Statuten van
Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642 (Kanter
& Sianturi dalam Bahiej, 2006). Meskipun pada tahun 1766
Statuta Batavia direvisi dan menghasilkan Statuta Batavia
Baru yang berlaku bagi pribumi maupun orang asing, namun
belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum
tersusun secara sistematis.
Setelah VOC dibubarkan pada tanggal 31 Desember
1799, kependudukan Belanda di Indonesia digantikan oleh
pemerintahannya, Rafles tidak melakukan
perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah berlaku.
2. MasaBesluiten Regering (Tahun 1814-1855)
Belanda kembali menduduki wilayah Indonesia setelah
Inggris meninggalkan Indonesia tahun 1810. Besluiten
Regering yang berdasarkan pasal 36 UUD Belanda merupakan
landasan dasar bagi raja untuk mempunyai kekuasan mutlak
dan tertinggi atas daerah jajahan. Dalam implementasinya, raja
mengangkat komisaris jendral untuk melaksanakan
pemerintahan di Hindia Belanda. Para komisaris jendral yang
pernah menjabat tidak pernah melakukan perubahan peraturan
dan tetap memberlakukan peraturan yang berlaku pada masa
Inggris karena menunggu kodifikasi hukum.
3. MasaRegering Reglement (1855-1926)
Perubahan sistem pemerintahan di Belanda dari
monarki konstitusional menjadi monarki parlementer
merupakan awal masaRegering Reglement. Selama berlakunya
masa Regering Reglement, beberapa kodifikasi hukum pidana
berhasil diundangkan, yaitu :
a. Wetboek van Strafrecht voov European yang disebut
sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Eropa yang
b. Aglemene Politie Strafreglement yang deisebut sebagai
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pribumi yang
diundangnan dengan Staatblad No.58 tahun 1872.
c. Politie Strafreglement yang diberlakukan bagi orang bukan
Eropa.
d. Wetbook van Strafrecht voor Netherlandsch-Indie yang
disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Hindia-Belanda yang diundangkan dengan Staatblad No.
732 tahun 1915 dan mulai berlaku 1 Januari 1918.
4. Masa Indische Staatregeling(1926-1942)
Pada masa ini sistem hukum di Indonesia semakin jelas
keberadaannya karena dalam pasal 131 jo. pasal 163 telah
dilakukan pembagian golongan penduduk Indonesia beserta
hukum yang berlaku. Indische Staatregeling merupakan dasar
bagi hukum pidana Belanda (Wetbook van Strafrecht voor
Netherlands-Indie) untuk tetap diberlakukan pada seluruh
penduduk Indonesia.
5. Masa Pendudukan Jepang
Pemerintahan tentara Jepang tidak melakukan
perubahan sistem hukum yang signifikan yang sebelumnya
berlaku di Indonesia karena dianggap tidak bertentangan
yang diberlakukan tetap menggunakan hukum pidana Belanda
yang berdasarkan pada pasal 131 jo. pasal 163.
Pada masa ini terdapat dualisme hukum pidana karena
wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian dibawah
penguasaan militer yang tidak saling membawahi. Angkatan
Laut Jepang menguasai wilayah Indonesia timur yang
berkedudukan di Makasar sedangkan Angkatan Darat Jepang
menguasai Wilayah Indonesia barat yang berkedudukan di
Jakarta (Kanter dan Sianturi dalam Bahiej, 2006).
3. Masa Setelah Kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945,
pemberlakuan hukum pidana di Indonesia dibagi ke dalam empat
masa dengan mengacu pada berlakunya empat konstitusi di
Indonesia, yaitu :
1. Tahun 1945-1949
Pada masa ini, konstitusi yang berlaku adalah konstitusi
Undang-Undang Dasar 1945. Pada awal kemerdekaan ini,
sistem hukum yang berlaku sementara tetap menggunakan
peraturan-peraturan yang sudah ada dan berlaku sejak
Indonesia belum merdeka. Kemudian pada tahun 1946
dikeluarkan UU No.1 tahun 1946 yang dijadikan dasar yuridis
bagi pemberlakuan hukum pidana warisan kolonial sebagai
telah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka,
namun secara de facto Indonesia masih berada dalam
penjajahan Belanda. Pada tanggal 22 September 1945 NICA
Belanda mengeluarkan aturan pidana yang berjudul Tijdelijke
Biutengewonge Bepalingen van Strafrecht
(Ketentuan-Ketentuan Sementara yang Luar Biasa Mengenai Hukun
Pidana). Kedua hukum yang dikeluarkan oleh pemerintahan
Indonesia dan pemerintahan Belanda diberlakukan secara
bersama-sama di wilayah Indonesia. Oleh karena itu, masa ini
disebut juga masa dualisme KUHP (Wantjik dalam Bahiej,
2006).
2. Tahun 1949-1950
Pada masa ini konstitusi UUD 1945 tidak berlaku lagi
dan digantikan Konstitusi Republik Indonesia. Berdasarkan
pada pasal 192 RIS, maka secara praktis hukum pidana yang
berlaku tetapWetboek van Strafrechtyang disebut juga sebagai
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Meskipun demikian,
dualisme KUHP masih berlangsung dalam masa ini.
3. Tahun 1950-1959
Pada tahun 1950 Belanda mengakui kedaulatan
Indonesia sehingga Indonesia kembali menjadi negara republik
kesatuan. Pada masa peralihan ini konstitusi yang berlaku
142 UUD Sementara, peraturan hukum yang dipakai tidak
mengalami perubahan dan tetap menggunakan KUHP.
Pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda juga mengakhiri
dualisme KUHP di Indonesia. Hal ini secara tegas ditetapkan
dalam UU No.73 tahun 1958 yang menyatakan bahwa UU
No.1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana berlaku
untuk seluruh wilayah Indonesia.
4. Tahun 1959-sekarang
Dekrit Preiden tanggal 5 Juli 1959 memberlakukan
kembali UUD 1945 sehingga Indonesia menjadi negara
kesatuan yang berbentuk republik dengan UUD 1945 sebagai
konstitusinya. Pada masa ini pemberlakuan sistem hukum
pidana tetap berdasarkan pada UU No.1 tahun 1946 dan
berlanjut sampai sekarang. Meskipun Indonesia setelah
merdeka mengalami empat kali perubahan konstitusi, namun
sumber hukum pidana tetap mengacu pada Wetboek van
Strafrecht (Kitab Undang-Undang Pidana) walaupun
pemberlakuannya tetap mendasarkan diri pada ketentuan
peralihan setiap konstitusi.
Sebagaimana Bahiej, Intan (2009) juga menjelaskan sejarah
pemidanaan di Indonesia ke dalam tiga bagian yang intinya sama
1. Sistem kepenjaraan (1945-1964)
Sistem kepenjaraan yang berlaku merupakan sistem
kepenjaraan di Eropa yang diterapkan oleh Belanda dengan
memberlakukan Gestichten Reglement (Reglement Penjara).
Tujuan dari sistem kepenjaraan ini adalah penjeraan. Penjara
sebagai tempat menampung para pelaku tindak pidana bertujuan
untuk membuat jera para pelaku supaya tidak mengulangi tindak
pidana dengan menerapkan peraturan-peraturan kepenjaraan yang
keras dan sering kali tidak manusiawi.
2. Sistem pemasyarakatan (1964-1995)
Pada era ini diberlakukan 10 prinsip pemasyarakatan
dengan tujuan pemidanaan adalah pembinaan dan pembimbingan
dengan tahapan orientasi, pembinaan dan asimilasi.
3. Sistem pemasyarakatan baru (1995-sekarang)
Sistem pemasyarakatan yang diberlakukan sejak tahun 1964
masih belum mempunyai dasar hukum tetap. Oleh karena itu pada
tahun 1995 diberlakukan Undang-Undang No. 12 tahun 1995
tentang pemasyarakatan sebagai bentuk penyempurnaan dari
sistem pemasyarakatan sebelumnya yang masih berbau kolonial.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat pergeseran sistem
pemidanaan dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan yang
diundangkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang
pemasyarakatan (Intan, 2009). Sementara itu, (Bahiej, 2006)
menyimpulkan bahwa induk peraturan hukum pidana di Indonesia
adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP
merupakan warisan sistem hukum pemerintahan kolonial Belanda
dengan nama asli Wetboek van Strafrecht Voor Nederlandsh Indie
yang pertama kali diberlakukan di Indonesia denganKoninklijk Besluit
(Titah Raja) No. 33 tanggal 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan
pada tanggal 1 Januari 1918 (Bahiej, 2006).
Pemberlakuan WvSNI sejak tanggal 1 Januari 1918 tersebut
menurut Baharudin (dalam Irwan & Wiwik, 2008) merupakan tonggak
berdirinya sistem pidana kepenjaraan secara institusional di Indonesia.
Sistem Pidana Penjara ini berlandaskan pada Gevangenis Reglement
atau Reglement Penjara tahun 1917, yaitu instrumen penjatuhan pidana
penjara dimana dalam pelaksanaannya memerlukan suatu wadah atau
tempat yang disebut Rumah-Rumah Penjara (Sujatno, 2004). Dalam
pelaksanaannya, pemerintah kolonial Belanda membangun penjara
yang dilengkapi dengan rumah sakit, bengkel kerja dan aturan penjara
yang membagi narapidana ke dalam beberapa golongan. Proses
kepenjaraan demikian sebenarnya sudah mengandung sedikit
pembaharuan pidana penjara. Namun pembaharuan tidak diwujudkan
dalam kenyataan karena polotik kolonial pemerinta Hindia Belanda
mempunyai hak hidup merdeka dan kehidupan yang bersendi
kemanusiaan (Poernomo, 1986). Bangunan penjara dan perlakuan
terhadap narapidana bukan untuk pembinaan melainkan sebagai
bentuk balas dendam atas kejahatan pelaku. Tujuan dari sistem
tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan pemerintah kolonial
dengan mempekerjakan narapidana di sektor perkebunan, ifrastruktur
transportasi jalan maupun persawahan. Hal tersebut dikarenakan
narapidana orang pribumi dianggap sebagai budak yang tidak perlu
dilindungi hak-haknya (Irwan & Wiwik, 2008).
b. Kajian Tentang Kelahiran Sistem Pemasyarakatan
Adanya kritik yang tajam mengenai keadaan yang buruk di
lingkungan rumah penjara memicu munculnya pembaharuan pidana
penjara menuju perbaikan nasib para narapidana berdasarkan asas
kemanusiaan. Bangsa Indonesia mempunyai sikap yang positif
terhadap perkembangan pembaharuan pidana penjara. Sikap ini
tampak berupa usaha untuk mewujudkan perluasan keadilan, terutama
bagi narapidana dan tata laksana perlakuan terhadap narapidana yang
manusiawi dan sekaligus berpengaruh kepada salah satu arah
pembangunan bangsa dengan secara sadar taat kepada hukum. Tujuan
dari tingkatan selanjutnya mengenai pembaharuan pidana penjara
adalah menjauhkan narapidana dari lingkungan buruk tembok penjara
dipisahkan dari hidup dan kehidupan kemasyarakatannya
(Poernomo,1986).
Pemasyarakatan sebagai tujuan dari pidana penjara dicetuskan
pada tanggal 5 Juli 1963 oleh Sahardjo, S.H sebagai menteri
kehakiman RI dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu
Hukum oleh Universitas Indonesia. Pada kesempatan tersebut,
Sahardjo mengemukakan pidatonya yang berjudul “Pohon Beringin
Pengayoman Hukum Pantjasila-Manipol/Usdek”. Isi dari pidato
Sahardjo mengemukakan konsepsi tentang hukum nasional yang
digambarkan dengan pohon beringin sebagai lambang dari
pengayoman. Sahardjo juga mengemukakan bahwa pohon beringin
dipandang sebagai penyuluh bagi petugas dalam memperlakukan
narapidana (Achmad & Romli, 1979). Dalam pidatonya tersebut,
Sahardjo merumuskan tujuan pidana penjara, yaitu disamping
menimbulkan rasa derita pada narapidana agar bertobat, mendidik
supaya ia menjadi anggota masyarakat Indonesia yang berguna. Secara
singkat, Sahardjo menyebut tujuan dari pidana penjara adalah
pemasyarakatan (Sujatno, 2004).
Konsepsi pemasyarakatan disempurnakan ketika
diselenggarakan konferensi dinas para pimpinan kepenjaraan pada
tanggal 27 April – 7 Mei 1964 di Lembang, Bandung. Hasil dari konferensi memutuskan bahwa pelaksanaan pidana penjara di
Dalam hal ini konsepsi pemasyarakatan bukan hanya sebagai tujuan
pidana penjara tatapi juga merupakan suatu sistem pembinaan kepada
narapidana (Achmad & Romli, 1979). Adapun konferensi dinas
tersebut merumuskan pokok-pokok konsepsi pemasyarakatan sebagai
berikut :
1. Orang yang tersesat diayomi juga, dengan memberikan kepadanya
bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam
masyarakat.
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam dari negara.
3. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan
bimbingan.
4. Negara tidak berhak membuat sesorang lebih buruk/lebih jahat
daripada sebelum ia masuk lembaga.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus
dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan
daripadanya.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat
mengisi waktu, atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan
atau kepentingan negara sewaktu saja.
7. Bimbingan dan didikan harus sesuai berdasarkan Pancasila.
8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai
manusia, meskipun telah tersesat.
10. Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru yang
sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program pembinaan dan
memindahkan lembaga-lembaga yang berada di tengah kota ke
tempat-tempat yang sesuai dengan kebutuhan proses
pemasyarakatan.
Konsepsi pemasyarakatan tersebut merupakan prinsip-prinsip
untuk pembinaan dan pembimbingan narapidana yang secara teoritis
akan menjadi tiga pokok pikiran pemasyarakatan, yaitu sebagai suatu
tujuan, sistem proses, dan metode untuk pelaksanaan pidana penjara di
Indonesia. Untuk melengkapi pengertian mengenai pemasyarakatan,
maka dikeluarkan Surat Keputusan Kepala Direktorat Pemasyarakatan
tahun 1965 (dalam Poernomo,1986) yang menyatakan bahwa :
pembinaan-pembinaan, mengalami perubahan-perubahan menjurus dan menjelma sembuh menjadi kehidupan yang positif antara narapidana dengan (unsur-unsur dari) masyarakat.
Setelah berjalan selama tiga puluh lima tahun, barulah
pergeseran tujuan pelaksanaan pidana penjara menuju tujuan
pemasyarakatan mencapai puncaknya setelah dikeluarkan dan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
pemasyarakatan (Sujatno, 2004). Pengertian mengenai sistem
pemasyarakatan tercantum dalam Pasal 1 ayat 2 UU No.12 Tahun
1995 sebagai berikut :
Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidanasehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangungan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Secara teknis pelaksanaannya diatur dalam PP Nomor 31
Tahun 1999 tentang pembinaan dan pembimbingan warga binaan
pemasyarakatan. Mengacu pada pasal 2 PP Nomor 31 Tahun 1999,
program pembinaan dan pembimbingan diperuntukkan bagi
yang meliputi kegiatan pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan
kemandirian. Sementara itu maksud dan tujuan dari program
pembinaan dan pembimbingan diatur dalam pasal 1 PP Nomor 31
Tahun 1999. Pasal tersebut menyatakan bahwa pembinaan adalah
kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan
jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan.
Sedangkan pembimbingan adalah pemberian tuntunan untuk
meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sikap dan
perilaku, prefesional, kesehatan jasmani dan rohani klien
pemasyarakatan.
2. Pemasyarakatan dan Rehabilitasi Narapidana
a. Pemasyarakatan Sebagai Proses
Konsepsi Pemasyarakatan diterjemahkan oleh Achmad dan
Romli (1979) bukan hanya sebagai rumusan terhadap tujuan dari
pidana penjara, tetapi sebagai suatu sistem pembinaan yang
berorientasi luas dengan pendekatan yang berpusat kepada
potensi-potensi yang ada baik dari individu yang bersangkutan maupun
ditengah masyarakat sebagai satu keseluruhan. Dengan demikian
sistem pemasyarakatan menjadi berbeda dengan sistem berdasarkan
rehabilitasi yang mengarahkan treatmen-focus-nya hampir secara
perkembangan selanjutnya sistem rehabilitasi ini melebarkan
treatmen-focus-nya kepada masyarakat yang juga disebut sebagai “community
based treatment” sehingga memiliki banyak persamaan dengan sistem
pemasyarakatan.
Konsep pemasyarakatan secara teori berarti kembali ke
masyarakat sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna (Romli,
1982). Romli (1982) juga menjelaskan bahwa sepuluh prinsip
pemasyarakatan secara jelas menunjukkan bahwa pemasyarakatan
secara tegas menolak prinsip retributif atau pembalasan bagi
nararipada melainkan penerimaan tujuan penghukuman yang bersifat
rehabilitatif.
Pelaksanaan sistem pemasyarakatan dilaksanakan oleh
Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga sebagai salah satu unit pelaksana
di lingkungan Departemen Kehakiman yang bertugas melaksanakan
pemasyarakatan dan bimbingan kemasyarakatan serta pengentasan
anak (Achmad dan Romli, 1979) yang dalam pelaksanaannya dibantu
oleh :
1. Direktorat Pemasyarakatan, yang bertugas melaksanakan
pembinaan di dalam lembaga.
2. Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak
(BISPA), yang melaksanakan pembinaan baik di dalam maupun di
luar lembaga.
Ketiga unit pelaksana tersebut berada pada tingkat pusat,
sedangkan pada tingkat wilayah, pelaksanaan sistem pemasyarakatan
dilakukan oleh :
1. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga
2. Kantor Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga
3. Kantor Lembaga-lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi
pelaksana di lapangan.
Setelah dikeluarkan Keputusan Presiden No. 47 tahun 1979,
Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga berubah nama menjadi
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Kemudian pada perkembangan
selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No.
M.01.PR.07.03 tanggal 12 Februari 1997 yang disusul oleh Surat
Edaran Dirjen Pemasyarakatan No. E.PR.07.03.17 tanggal 7 Maret
1997 BISPA berubah nama menjadi BAPAS.
Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga pada masa itu dalam
melaksanakan sistem pemasyarakatan yang berdasarkan pada sepuluh
prinsip pemasyarakatan masih harus memperhatikan unsur-unsur
sebagai berikut (dalam Achmad dan Romli, 1979) :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada pasal-pasal 13, 14, 14a
s/d f, 15,16, 17, 19, 23, 24, 25, dan 29.
2. Reglemen Penjara (Gestichen reglement) Stbl. 1917 No. 708 jo.
Stbl. 1948 No.77
Hal ini dikarenakan belum adanya Undang-Undang khusus
mengenai Pemasyarakatan. Dalam pelaksanaannya di lembaga
pemasyarakatan, Departemen Bina Tuna Warga telah melakukan
penyesuaian-penyesuaian yang dianggap perlu untuk melaksanakan
pembinaan narapidana. Penyesuaian-penyesuaian tersebut diketahui
dengan adanya surat Surat-surat. Edaran dari Mahkamah Agung dan
Surat-surat Keputusan Menteri Kehakiman. Hasil penelitian
observasi-evaluasi sistem pemasyarakatan yang dilakukan Universitas
Padjadjaran tahun 1974-1975 (dalam Acmad dan Romli, 1979)
menunjukkan bahwa telah dikeluarkan Surat Edaran kurang lebih tiga
ratus buah. Selanjutnya, Achmad dan Romli (1979) menjelaskan
bahwa Surat Edaran No. KP.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1965
tentang “Pemasyarakatan sebagai Proses” mengemukakan bahwa
pembinaan narapidana dewasa dilakukan melalui empat tahap sebagai
suatu kesatuan proses yang bersifat terpadu, yang meliputi :
1. Tahap Pertama
Setiap Narapidana yang masuk Lapas diteliti untuk
mengetahui segala sesuatu tentang diri narapidana seperti
sebab-sebab melakukan pelanggaran hukum dan segala keterangan yang
dapat diperoleh dari berbagai pihak mulai dari keluarga, bekas
majikan atau atasan, teman sekeja, korban, serta dari petugas
Sujatno (2004) menjelaskan bahwa pembinaan tahap ini
disebut sebagai pembinaan tahap awal yang dilakukan di dalam
Lapas dengan pengawasan maksimum (maximum security) selama
sepertiga masa pidana sejak yang bersangkutan berstatus sebagai
narapidana. Tahapan ini merupakan masa pengamatan, penelitian
dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perencanaan
pelaksanaan program pembinaan dan kemandirian.
2. Tahap Kedua
Setelah pembinaan dilakukan paling lama sepertiga masa
pidana dan menurut Dewan Pembina Pemasyarakatan yang kini
berubah nama menjadi Tim Pengamat Pemasyarakatan sudah
dicapai kemajuan dalam diri narapidana, maka yang bersangkutan
memperoleh kebebasan yang lebih banyak dan ditempatkan di
Lapas dengan medium security. Kemajuan narapidana yang
dimaksud adalah telah menunjukkan keinsyafan, perbaikan,
disiplin dan patuh terhadap peraturan lembaga.
3. Tahap Ketiga
Jika proses pembinaan telah berjalan sampai setengah masa
pidana dan menurut Tim Pengawas Pemasyarakatan terdapat
kemajuan, baik secara fisik, mental maupun keterampilan, maka
wadah pembinaannya diperluas dengan asimilasi dengan
masyarakat luar. Dalam proses asimilasi ini, narapidana diberikan
masyarakat luar, mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah umum,
atau bekerja di luar tetapi tetap berada dalam pengawasan dan
bimbingan petugas Lapas.
4. Tahap Keempat
Tahap ini merupakan tahap terakhir yang dilakukan setelah
menjalani proses pembinaan sampai dua per tiga masa pidana atau
sekurang-kurangnya sembilan bulan. Pada tahap ini dilakukan
perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak
berakhirnya tahap lanjutan sampai berakhirnya masa pidana
narapidana. Kepada narapidana yang memenuhi syarat diberikan
cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat dan pelaksanaan
pembinaan dilakukan di luar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan
(Bapas).
Proses perkembangan sistem pemasyarakatan semakin
mantap setelah diundangkannya Undang-Undang No. 12 tahun
1995 tentang pemasyarakatan yang dalam pelaksanaannya diatur
oleh PP No. 31 tahun 1999. Berlandaskan pada pasal 4 ayat 1 PP
No.31 tahun 1999, pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan
narapidana dilakukan oleh petugas pemasyarakatan yang terdiri
1. Pembina Pemasyarakatan
Pembina pemasyarakatan adalah petugas
pemasyarakatan yang melaksanakan pengamanan narapidana
dan anak didik pemasyarakatan di Lapas.
2. Pengaman Pemasyarakatan
Pengaman pemasyarakatan adalah petugas
pemasyarakatan yang melaksanakan pengamanan narapidana
dan anak didik pemasyarakatan di Lapas
3. Pembimbing Kemasyarakatan
Pembimbing kemasyarakatan adalah petugas
pemasyarakatan yang melaksanakan pembimbingan klien di
Bapas
Penyelenggaraan pembinaan dan pembimbingan narapidana
dalam hal ini diatur dalam pasal 9 UU No. 12 tahun 1995 jo. pasal
5 PP No.31 tahun 1999 bahwa menteri dapat mengadakan kerja
sama dengan instansi pemerintah terkait, badan-badan
kemasyarakatan lainnya, atau perorangan yang kegiatannya sesuai
dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan.
Setelah dikeluarkan PP No.31 tahun 1999 tersebut, maka
proses pelaksanaan pemasyarakatan menjadi tiga tahapan.
Berlandaskan pasal 7 dan 9 PP No.31 tahun 1999, ketiga proses
1. Pembinaan tahap awal yang dimulai sejak yang bersangkutan
berstatus sebagai narapidana sampai sepertiga dari masa
pidana.
2. Pembinaan tahap lanjutan yang dibagi ke dalam dua tahap.
Tahap lanjutan pertama dilakukan sejak berakhirnya
pembinaan tahap awal sampai dengan setengah dari masa
pidana. Kemudian tahap kedua dilakukan sejak berakhirnya
tahap lanjutan pertama sampai dua per tiga masa pidana.
3. Pembinaan tahap akhir dilaksanakan sejak berakhirnya tahap
lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana narapidana
yang bersangkutan.
Adapun rincian dari masing-masing tahapan tersebut
terdapat dalam pasal 10 PP No. 31 tahun 1999 sebagai berikut :
1. Pembinaan tahap awal
a. Masa pengamatan, pengenalanm dan penelitian lingkungan
paling lama satu bulan.
b. Perencanaan program peminaan kepribadian dan
ke.mandirian
c. Pelaksanaan program kepribadian dan kemandirian.
d. Penilaian program pembinaan tahap awal.
2. Pembinaan tahap lanjutan
a. Perencanaan program pembinaan lanjutan.
c. Penilaian program pembinaan lanjutan.
d. Perencanaan dan pelaksanaan asimilasi.
3. Pembinaan tahap akhir
a. Perencanaan program integrasi.
b. Pelaksanaan program integrasi
c. Pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir.
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.
M.01-PP.02.01 tahun 1990 bab 2 pasal 2 mengatakan bahwa
pembinaan narapidana dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Departemen Kehakiman Republik Indonesia
selaku instansi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
pembinaan narapidana yang berada di Lembaga
Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara. Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) adalah Unit Pelaksana Teknis di bidang
pemasyarakatan sebagai wadah kegiatan pembinaan terpidana
menurut sistem pemasyarakatan (Keputusan Menteri Kehakiman
Republik Indonesia No. M.01-PP.02.01 tahun 1990 bab 1 pasal 1
huruf c). Kepala Lapas dalam hal ini berperan untuk menetapkan
petugas pemasyarakatan yang bertugas sebagai wali narapidana
dan anak didik pemasyarakatan (pasal 4 ayat 2 PP No. 31 tahun
1999) . Oleh karena itu, sebagaimana tercantum dalam penjelasan
sebagai ujung tombak atas pelaksanaan sistem pemasyarakatan
melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi.
Skema 1
Sejarah Perkembangan Rehabilitasi Narapidana di Indonesia Sebelum penjajahan
Belanda
Sesudah kedatangan Belanda
Setelah kemerdekaan
Sistem Kepenjaraan (sampai tahun 1964) (Hukuman sebagai bentuk
balas dendam dan tidak berperikemanusiaan)
Sistem Pemasyarakatan Dr. Sahardjo (1964-1995) (Hukuman sebagai bentuk
rehabilitasi)
Sistem Pemasyarakatan Baru (1995-sekarang)
UU No. 12 Tahun 1995 (UU tentang Pemasyarakatan)
PP No. 31 tahun 1999 (Pelaksanaan UU
b. Rehabilitasi Narapidana Dalam Proses Pemasyarakatan
Pembaharuan sistem pemasyarakatan oleh Dr. Saharjo telah
merumuskan tujuan dari pemidanaan adalah pemasyarakatan (Irwan &
Wiwik, 2008). Hal ini berarti bahwa setiap orang yang dijatuhi
hukuman pidana penjara akan di masyarakatkan melalui rehabilitasi
dan resosialisasi sebelum kembali ke masyarakat. Rehabilitasi dan
resosialisasi dalam proses pemasyarakatan tidak dapat di pisahkan satu
sama lain karena merupakan suatu proses yang berkesinambungan
(Sujatno, 2004). Rehabilitasi narapidana diwujudkan melalui tahapan
pembinaan kepribadian dan kemandirian (Sujatno, 2004), sedangkan
resosialisasi narapidana diwujudkan dalam bentuk asimilasi dan
integrasi (Romli, 1982 ; Poernomo 1986)
Rehabilitasi narapidana diterjemahkan oleh Sujatno (2004)
sebagai proses therapeutic, dimana ketika narapidana masuk Lembaga
Pemasyarakatan merasa dalam keadaan yang tidak harmonis dengan
masyarakat. Oleh karena itu, narapidana menjalani proses
penyembuhan yang dapat dilakukan dengan syarat yaitu terciptanya
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan antara petugas
sebagai pembina, narapidana sebagai warga binaan dan mesyarakat
sebagai wadah kehidupan dan penghidupannya. Selanjutnya, Sujatno
(2004) menjelaskan untuk tercapainya tujuan tersebut pemasyarakatan
menerapkan dua program pembinaan dan pembimbingan yaitu
Resosialisasi narapidana dalam pengertiannya menurut Romli
(1982) merupakan suatu proses interaksi antara narapidana, petugas
lembaga pemasyarakatan dan masyarakat, dan dalam proses interaksi
tersebut termasuk mengubah sistem nilai-nilai dari narapidana,
sehingga narapidana akan dengan baik dan efektif mengadaptasi
kembali norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Poernomo (1986) menambahkan bahwa kegiatan asimilasi dan
integrasi dalam pelaksanaan resosialisasi mempunyai arti penting bagi
narapidana sebagai latihan untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan masyarakat. Kegiatan tersebut memberikan kelonggaran
bagi narapidana untuk berinteraksi secara langsung dengan masyarakat
karena sebelumnya narapidana menjalani proses tertutup di dalam
lingkungan tembok penjara. Dengan demikian narapidana dapat
berlatih untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat dan
memperoleh perubahan sikap tentang apa sesungguhnya menjalani
pidana penjara. Hal ini dikarenakan di dalam lingkungan tembok
penjara terdapat berbagai watak dan sifat dalam lingkungan
masyarakat mini dibandingkan masyarakat luar yang sesungguhnya.
Irwan dan Wiwik (2008) menambahkan tujuan asimilasi yaitu sebagai
cara untuk menghilangkan citra buruk penjara pasca hukuman dan
memperkenalkan narapidana ke masyarakat dengan harapan
memberikan manfaat baik bagi narapidana, masyarakat maupun
B. Pelatihan Kerja dan Kaitannya dengan Program Rehabilitasi
Sujatno (2004) menjelaskan bahwa dalam sistem pemasyarakatan
terdapat dua jenis program pembinaan dan pembimbingan, yaitu pembinaan
kepribadian dan pembinaan kemandirian. Pembinaan kepribadian ditujukan
kepada pembinaan mental dan watak narapidana. Tujuan pembinaan
kepribadian ini adalah supaya narapidana menjadi manusia seutuhnya,
bertaqwa dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan masyarakat. Yang
dimaksud dengan “agar menjadi manusia seutuhnya” adalah upaya untuk
memulihkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan kepada fitrahnya
dalam hubungan menusia dengan Tuhannya, manusia dengan pribadinya,
manusia dengan sesamanya, manusia dengan lingkungannya (penjelasan
umum tentang pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995). Pembinaan
kepribadian meliputi pembinaan dalam bidang (Sujatno, 2004) :
1. Pembinaan kesadaran beragama
2. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara
3. Pembinaan kemampuan intelektual
4. Pembinaan kesadaran hukum
5. Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat.
Sementara itu, pembinaan kemandirian diarahkan pada pembinaan
bakat dan keterampilan kepada narapidana supaya dapat kembali berperan
sesuai dengan pendapat Thaher (dalam Irwan dan Wiwik, 2008) yang
menyatakan bahwa tujuan pembinaan kemandirian adalah untuk membentuk
narapidana yang setelah bebas menjadi manusia yang mandiri dalam artian
akan mendapatkan lapangan kerja yang sesuai dengan keterampilan yang
mereka peroleh selama di lembaga pemasyarakatan. Sujatno (2004)
menjelaskan pembinaan kemandirian dilaksanakan melalui program-program
sebagai berikut :
1. Keterampilan usaha mandiri
2. Keterampilan usaha industri kecil
3. Keterampilan sesuai dengan bakat masing-masing
4. Keterampilan dalam usaha industri atau kegiatan pertanian
Berdasarkan hasil wawancara dengan staff bimbingan kerja Lembaga
Pemasyarakatan kota Magelang (16 Januari 2012), pelaksanaan pembinaan
kemandirian dilakukan dengan memberikan pelatihan kerja kepada
narapidana. Narapidana dipekerjakan setiap harinya dengan memberikan
pekerjaan bagi para narapidana dan sifatnya wajib untuk diikuti (berdasarkan
pasal 15 ayat 1 UU NO.12 tahun 1995). Hal ini sesuai dengan pendapat Irwan
dan Wiwik (2008) bahwa salah satu kegiatan yang dinilai penting dan sangat
berguna bagi narapidana adalah dengan memberikan pelatihan. Program
pelatihan yang diberikan tetap mengacu pada prinsip pemasyarakatan bahwa
pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi
negara saja, melainkan diharapkan memberikan manfaat sebagai bekal hidup
di masyarakat (Torkis, 2009).
Achmad dan Romli (1979) menjelaskan bahwa para pakar telah
mengemukakan bahwa hasil dari pekerjaan yang dilakukan oleh narapidana
diperuntukkan bagi yang bersangkutan untuk membiayai diri dan keluarganya.
Berlandaskan pada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.
M.01-PP.02.01 tahun 1990 pasal 4 ayat 1, dalam pembinaan keterampilan
kerja bagi narapidana menuju proses pembauran yang dilaksanakan bersama
pihak ketiga, wajib diberikan imbalan jasa yang besarnya sekurang-kurangnya
Rp 2000,00 seorang setiap hari kerja. Sedangkan yang dimaksud keterampilan
kerja tercantum dalam pasal 4 ayat 3, yaitu keterampilan yang dapat
menghasilkan suatu produk baik jasa maupun barang tertentu. Dengan
demikian, pemberian pekerjaan tersebut akan menjadi salah satu usaha dalam
kerangka kebutuhan re-edukasi dan resosialisai narapidana sebagai program
rehabilitasi, karena (dalam Achmad & Romli (1979) :
1. Bagi narapidana, pemberian pekerjaan ini berarti :
a. Sebagai pelajaran bahwa dengan bekerja keras dan halal dapat
menjamin kebutuhan hidup tanpa melakukan suatu tindak kejahatan ;
b. Menanamkan semangat kerja yang dapat menikmati hasilnya sendiri ;
c. Memberikan keyakinan diri bahwa setelah bebas akan mempunyai
kesenangan untuk bekerja dan mempunyai keahlian ;
d. Lebih menghargai penghasilan yang diperoleh dari usaha dan jerih