• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cyberbullying dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan

TINJAUAN UMUM KEJAHATAN CYBERBULLYING

A. Cyberbullying dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan

Kejahatan dunia maya yang timbul di era moderen dan globalisasi sekarang ini telah bermacam-macam jenis seperti penipuan lelang secara online, pemalsuan cek, penipuan kartu kredit/carding, penipuan identitas, pornografi anak dan lain-lainya. Salah satu kejahatan dunia maya (cybercrime) yang mengalami perkembangan adalah cyberbullying.61

Sebagai masyarakat informasi dunia, Indonesia mutlak berperan serta secara aktif dalam berbagai aspek pergaulan dunia internasional. Salah satu aspek yang saat ini tengah dihadapi dunia internasional adalah pemberantasan terhadap cybercrime. Mengingat karakteristik cybercrime yang bersifat menggunakan teknologi tinggi sebagai media, maka kebijakan kriminilasasi dibidang teknologi informasi harus memperhatikan perkembangan upaya penanggulangan cybercrime, baik regional maupun internasional dalam rangka harmonisasi dan uniformitas pengaturan cybercrime.62

Dengan dikeluarkan dan diberlakukannya pengaturan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka pengelolahan, penggunaan dan pemanfaatan informasi dan transaksi elektronik harus terus dikembangkan melalui infrastuktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama, sosial dan budaya masyarakat Indonesia, serta untuk menjaga, memelihara dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan demi kepentingan nasional63

61 Syafruddin Kalo dkk, “Kebijakan Kriminal Penanggulangan Cyber Bullying Terhadap Anak Sebagai Korban” USU Law Journal, Vol.5.No.2 (April 2017). h.34

62 Maulida Nur Muhlishotin, Cyberbullying Perspektif Hukum Pidana Islam. al-Jinâyah: Jurnal Hukum Pidana Islam Volume 3, Nomor 2,Desember 2017.h.385

63 Niniek Suparni, Cyberspace problematika dan Antisipasi Pengaturannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.112.

36

Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang cukup untuk menindak pidana cyberbullying, berbagai pendapat yang berkembang sejalan dalam menangani kasus kejahatan yang berhubungan dengan computer dan media yang secara tidak langsung juga berkaitan dengan masalah cybercrime, diantaranya adalah:64

1. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) mampu menangani kejahatan dibidang komputer (computer crime). Mardjono Reksodiputro kriminolog dari Universitas Indonesia yang menyatakan bahwa kejahatan komputer sebenarnya bukanlah kejahatan baru dan masih terjangkau oleh KUHP untuk menanganinya. Pengaturan untuk menangani kejahatan komputer sebaiknya diintegrasikan ke dalam KUHP dan bukan ke dalam Undang-Undang tersendiri;

2. Kejahatan yang berhubungan dengan komputer (cybercrime) memerlukan ketentuan khusus dalam KUHP atau Undang-Undang tersendiri yang mengatur tindak pidana komputer.

a. Sahetapy berpendapat bahwa hukum pidana yang ada tidak siap menghadapi kejahatan komputer, karena tidak segampang itu menganggap kejahatan komputer berupa pencurian data sebagai suatu pencurian. b. J. Sudama Sastroandjojo berpendapat menghendaki perlunya ketentuan

baru yang mengatur permasalahan tindak pidana komputer. Tindak pidana komputer haruslah ditangani secara khusus, karena cara-caranya, lingkungan, waktu dan letak dalam melakukan kejahatan komputer adalah berbeda dengan tindak pidana lain.

Undang-Undang khusus mengenai cybercrime diatas kemudian berakhir dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yaitu Undang-Undang pertama di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk legislasi yang sangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang meletakkan dasar

64 Maulida Nur Muhlishotin, Cyberbullying Perspektif Hukum Pidana Islam, Vol.3. No.2 Desember 2017, h.386.

pengaturan di bidang pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik65

Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah menyediakan kode-kode sosial bersama yang termuat didalamnya. Undang-Undang ini membahas hal-hal yang terkait dengan informasi melalui elektronik dan perbuatan yang mengganggu. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik terdapat 10 pasal yang menyimpan ancaman sanksi pidana bagi pelanggarnya, yakni mulai dari pasal 27 sampai dengan pasal 37.

Subjek delik yang diakui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak hanya orang perorangan, tapi juga korporasi. baik orang perorangan maupun korporasi dapat melakukan tindak pidana informasi dan transaksi elektronikyang jumlahnya sebanyak 19 (sembilan belas) perbuatan yang diatur mulai Pasal 27 hingga Pasal 37 jo Pasal 45 hingga 51, sebagai berikut66

1. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

2. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian. 3. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

65 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 66 Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, Sistem Pertanggung Jawaban Pidana; Perkembangan dan Penerapan, (Jakarta: Raja Grafindo, 2015), h.96

38

4. Setiap orang degan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau menstransimisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

5. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.

6. setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA).

7. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

8. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apa pun.

9. Setiap orang dengan segaja dan tanpa hak melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau dokumen elektronik

10. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan. 11. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain.

12. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bersifat publik, dari, ke, dan dalam suatu komputer

dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sedang ditransmisikan.

13. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik. 14. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan

cara apa pun memindahkan atau mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem elektronik orang lain yang tidak berhak.

15. Setiap orang dengan sengaja dan hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjaditidak bekerja sebagaimana mestinya.

16. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki:

a. Perangkat keras atau perangkat lunak komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 27 sampai Pasal 33;

b. Sandi lewat komputer, kode akses, atau hal sejenis dengan itu ditujukan agar sistem elektronik menjadi dapa diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33.

17. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengerusakan informasi elektronik dan/atau dokumen elekronik dengan tujuan agar informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang auntentik.

40

Cybercrime, khususnya kejahatan terhadap progam komputer, adalah jenis

tindak pidana yang sulit dideteksi. Dalam cybercrime masalah pembuktian ini menjadi bagian yang penting, tetapi juga sulit. Pembuktian merupakan syarat memberikan keyakinan pada hakim agar menjatuhkan putusan. Hakim dilarang menjatuhkan putusan sendiri tanpa mendapat keyakinan paling sedikit dua alat bukti sah yang ada. Pasal 183 KUHAP mengatur67

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, bahwa suatu saat tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Dalam pasal 184 KUHAP,telah diberikan pembatasan berbagai alat bukti yang sah yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan. Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka telah secara sah berlaku pula alat bukti elektronik pada tahap penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008).68

Sanksi cyberbullying menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE dikenakan pasal 29 Undang-Undang ITE. Pasal 29 Undang-Undang ITE tersebut menentukan:69

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang diajukan secara pribadi.”

67 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana & Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Bandung: Citra Umbara, 2013), h.58.

68 Niniek Suparni, Cyberspace problematika dan Antisipasi Pengaturannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.127

69 Maulida Nur Muhlishotin, Cyberbullying Perspektif Hukum Pidana Islam, Vol.3. No.2 Desember 2017, h.392

Pasal ini mempunyai sanksi pidana sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 45B:

“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”

Disebutkan dalam Pasal 29 jo Pasal 45B tersebut bahwa ancaman (termasuk yang mengakibatkan kekerasan fisik,psikis, dan/atau kerugian materiil) tersebut hasruslah ditujukan secara pribadi. Pengancaman yang dimaksud dalam Pasal tersebut juga berupa ancaman membuka rahasia atau mencemar. Apa yang dimaskud pribadi yaitu orang perseorangan (manusia atau natural person) sehingga dengan demikian termasuk korporasi/penjelasan Pasal 29 tidak memberikan keterangan apapun. Tindak pidana ini hanya dapat dipertanggung jawabkan secara pidana kepada pelakunya apabila sasaran atau korban tindak pidana tersebut adalah orang perseorangan karena yang dapat merasa takut adalah manusia.