• Tidak ada hasil yang ditemukan

No Halaman

Gambar 1. Bagan alir rencana penelitian ...Error! Bookmark not defined.

Gambar 2. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter tinggi tanaman saat panen pada kondisi intensitas cahaya rendah ...Error! Bookmark not defined.

Gambar 3. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array

karakter jumlah cabang total pada kondisi intensitas cahaya rendahError! Bookmark not

Gambar 4. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array

karakter jumlah buku total pada kondisi intensitas cahaya rendahError! Bookmark not de

Gambar 5. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array

karakter jumlah polong isi pada kondisi intensitas cahaya rendahError! Bookmark not d

Gambar 6. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter jumlah polong hampa pada kondisi intensitas cahaya rendah ...Error! Bookmark not defined.

Gambar 7. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array

karakter jumlah polong total pada kondisi intensitas cahaya rendahError! Bookmark not

Gambar 8. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter persentase polong isi pada kondisi intensitas cahaya rendah ...Error! Bookmark not defined.

Gambar 9. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter daya hasil per tanama pada kondisi intensitas cahaya rendah ...Error! Bookmark not defined.

Gambar 10. Grafik sebaran tinggi tanaman saat panen (TSP), jumlah cabang produktif (JCP), jumlah buku total (JBT), jumlah polong isi (JPI) pada kondisi intensitas cahaya rendah.Error! Bookmark not defined.

Gambar 11. Grafik sebaran jumlah polong hampa (JPH), jumlah polong total (JPT), persentase polong isi (C_PI), daya hasil (BBT/TAN) pada kondisi intensitas cahaya rendah.Error! Bookmark not defined.

Kedelai adalah komoditi yang bernilai ekonomi tinggi karena merupakan sumber utama protein nabati bagi bangsa Indonesia (Nugraha et al. 2002). Permintaan pasar terhadap kedelai terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk yang ditandai dengan peningkatan impor kedelai dari tahun ke tahun (Balitbang Deptan 2005a). Menurut Balitbang Deptan (2005b), konsumsi kedelai tahun 2004 adalah 2.015 juta ton, sedangkan produksi kedelai nasional hanya 0.707 juta ton sehingga Indonesia harus impor kedelai sebanyak 1.307 juta ton.

Peningkatan produksi kedelai merupakan langkah strategis yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional melalui perluasan areal panen dan peningkatan produktivitas. Salah satu alternatif untuk perluasan areal panen adalah dengan memanfaatkan lahan yang ada di bawah tegakan karet yang belum menghasilkan sehingga perlu tersedia varietas adaptif dan berdaya hasil tinggi di bawah tegakan karet. Pengembangan kedelai sebagai tanaman sela di bawah tegakan tanaman karet sangat potensial mengingat lahan yang tersedia cukup luas. Menurut Balitbang Deptan (2005a), potensi lahan di bawah tegakan tanaman perkebunan adalah sebesar 12.1 juta hektar, 3-4 % diantaranya merupakan areal tanaman baru yang belum menghasilkan (TBM) yang dapat dimanfaatkan untuk pertanaman kedelai dengan pola tumpang sari.

Kendala utama budidaya kedelai di bawah tegakan karet adalah berkurangnya intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman. Pengurangan intensitas cahaya dapat mencapai 75% pada tegakan karet yang berumur 4 tahun. Agar dapat memanfaatkan lahan yang ada di bawah tegakan tanaman perkebunan maka diperlukan pengembangan varietas yang mampu tumbuh sehingga dapat berproduksi dengan baik pada kondisi intensitas cahaya rendah (Sopandie et al. 2003a; Sopandie et al. 2003b; Sopandie et al. 2003c).

Peningkatan produktivitas merupakan tujuan utama pemuliaan kedelai yang dapat dicapai melalui seleksi untuk perbaikan daya hasil. Menurut Wricke dan Weber (1986), Conner et al. (1998) serta Falconer dan Mackay (1996), seleksi

untuk perbaikan potensi hasil dapat dilakukan secara langsung terhadap daya hasil atau tidak langsung melalui karakter yang lain.

Masalah yang dihadapi dalam pengembangan kedelai untuk toleransi terhadap intensitas cahaya rendah adalah belum ditentukan karakter seleksi yang tepat bagi perbaikan daya hasil kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah. Penentuan karakter seleksi dapat dilakukan berdasarkan pola pewarisan dari karakter yang ingin diperbaiki. Berdasarkan hasil studi pola pewarisan yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya ternyata belum dapat dipastikan karakter seleksi yang tepat bagi kedelai toleran intensitas cahaya rendah. Hal ini disebabkan oleh hasil studi pola pewarisan berbagai karakter kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah menunjukkan hasil yang berbeda-beda, namun terdapat kecenderungan bahwa daya hasil mempunyai nilai heritabilitas lebih tinggi dibandingkan dengan karakter lainnya (Sopandie et al. 2003c; Handayani 2003; La Muhuria 2007; Kisman 2007).

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian terdahulu maka terdapat peluang untuk menggunakan karakter komponen hasil maupun hasil sebagai karakter seleksi. Menurut Austin (1993), seleksi berdasarkan daya hasil pada lingkungan bercekaman menghadapi kendala karena sulit memisahkan faktor-faktor yang menyebabkan penurunan daya hasil. Hal ini didukung oleh Tester dan Bacic (2005) serta Ceccareli et al. (2007) bahwa kesulitan seleksi pada kondisi bercekaman adalah adanya interaksi genotipe dan lingkungan yang bersifat kualitatif.

Selain itu, seleksi berdasarkan daya hasil untuk perbaikan produktivitas kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah harus dilakukan di lingkungan target. Seleksi untuk perbaikan produktivitas kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah harus dilakukan di bawah tegakan karet atau lingkungan buatan yang menyerupai lingkungan di bawah tegakan yaitu di bawah naungan paranet. Seleksi pada lingkungan target tidak mudah karena sulit mendapatkan lingkungan yang dapat memberikan tingkat dan waktu cekaman yang sesuai.

Guna mengatasi kendala seleksi perbaikan produktivitas kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah maka diperlukan pembentukan marka seleksi bagi daya hasil pada kondisi intensitas cahaya rendah. Marka seleksi yang

diinginkan adalah marka yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan sehingga seleksi tidak perlu dilakukan di bawah naungan paranet atau tegakan karet. Menurut Mohan, et al. (1997) serta Farroq dan Azam (2002), salah satu marka yang dapat dimanfaatkan sebagai marka seleksi adalah marka molekuler yang terpaut dengan QTL yang mengendalikan daya hasil. Melalui pemanfaatan marka molekuler sebagai alat bantu seleksi maka sangat memungkinkan melakukan seleksi secara tidak langsung tanpa dipengaruhi oleh lingkungan dan seleksi tidak perlu dilakukan di lingkungan target.

Tujuan umum penelitian ini adalah menentukan karakter seleksi untuk meningkatkan akurasi seleksi sehingga dapat memaksimalkan kemajuan genetik yang diperoleh dalam pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya rendah. Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari studi pola pewarisan dan identifikasi marka RAPD yang terpaut dengan toleransi terhadap intensitas cahaya rendah (Gambar 1).

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa di antara karakter hasil dan komponen hasil yang dipelajari, ternyata daya hasil dapat digunakan sebagai karakter seleksi bagi perakitan varietas kedelai toleran intensitas cahaya rendah karena daya hasil mempunyai nilai heritabilitas arti sempit yang cukup tinggi. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa daya hasil mempunyai nilai heritabilitas arti luas maupun arti sempit lebih tinggi dibandingkan dengan karakter lainnya. Dalam pengembangan marka seleksi bagi daya hasil tinggi pada kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah diperoleh dua marka RAPD yang terpaut masing- masing dengan QTL yang mengendalikan jumlah buku produktif dan daya hasil.

Hasil penelitian ini sangat bermanfaat untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan pemuliaan yang efisien untuk mengembangkan kedelai toleran intensitas cahaya rendah terutama yang berhubungan dengan kegiatan seleksi. Dengan mengintegrasikan teknik konvensional dengan teknik molekuler maka kegiatan pemuliaan kedelai toleran intensitas cahaya rendah bisa dipercepat. Diharapkan kegiatan pemuliaan untuk perakitan varietas kedelai toleran intensitas cahaya rendah pada masa yang akan datang akan menjadi lebih efisien.

Tujuan

Tujuan umum penelitian ini adalah mengembangkan karakter seleksi yang sesuai bagi kedelai toleran intensitas cahaya rendah sehingga akan memaksimalkan kemajuan genetik yang diperoleh, namun secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Memperoleh informasi tentang pola pewarisan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah

2. Mengidentifikasi QTL yang mengendalikan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah.

Gambar 1. Bagan alir rencana penelitian Ceneng, Godek, Slamet

dan Pangrango

Analisis dialel

Parameter genetik

Analisis QTL

Karakter seleksi untuk kedelai toleran intensitas cahaya rendah Genotipe terpilih

Marka molekuler terpaut QTL Pembentukan

RILs F6 Pembentukan F1

diallel lengkap

TINJAUAN PUSTAKA

Arah Pengembangan Kedelai

Tujuan pemuliaan adalah meningkatkan nilai ekonomi tanaman melalui peningkatan produktivitas atau kualitas produk yang dihasilkan sehingga menjadi lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia. Seringkali produktivitas tinggi tidak cukup untuk meningkatkan peneriman petani atau konsumen terhadap varietas yang dihasilkan sehingga peningkatan produktivitas harus diikuti dengan peningkatan kualitas seperti komposisi gizi atau bentuk dan warna (Chahal dan Gosal 2003).

Prioritas arah pemuliaan kedelai di Indonesia pada masa yang akan datang adalah peningkatan produktivitas tanaman untuk mendukung pengembangan kedelai yang sesuai bagi agroekosistem lahan kering beriklim basah dan lahan kering beriklim sedang (Sumarno et al. 2000; Arsyad 2000). Menurut Pinem (2000), pengembangan kedelai diarahkan untuk peningkatan produktivitas lahan beririgasi intensif, lahan kering bereaksi masam, lahan gambut, lahan pasang surut, serta lahan perkebunan rakyat, lahan perkebunan swasta atau BUMN, dan lahan hutan sosial.

Menurut Balitbang Deptan (2005b), peningkatan produksi kedelai dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan perluasan areal panen. Peningkatan produktivitas dapat dicapai dengan pemanfaatan varietas unggul berdaya hasil tinggi terutama diarahkan untuk daerah yang telah menjadi sentra produksi kedelai, tetapi produktivitas masih rendah seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, Jawa Barat, Lampung, Sumatra Utara, dan Sulawesi Selatan.

Potensi lahan untuk pengembangan kedelai adalah 1.7 juta hektar berupa lahan sawah, lahan kering, lahan pasang surut, lahan di bawah tegakan tanaman perkebunan dan lahan bukaan baru (Balitbang Deptan 2005b. Lahan di bawah tegakan perkebunan yang belum menghasilkan adalah salah satu lahan yang berpotensi untuk perluasan areal tanam kedelai melalui pola tumpangsari (Sopandie et al. 2003c). Menurut Balitbang Deptan (2005a), potensi lahan di bawah tegakan tanaman perkebunan adalah sebesar 12.1 juta hektar, 3-4 % di antaranya merupakan areal tanaman baru yang belum menghasilkan (TBM) yang dapat dimanfaatkan untuk pertanaman kedelai dengan pola tumpang sari.

Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan lahan di bawah tegakan tanaman perkebunan adalah rendahnya intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman sehingga mengganggu pertumbuhan dan produksi tanaman. Pemanfaatan lahan yang ada di bawah tegakan perkebunan perlu didukung oleh ketersediaan varietas yang toleran dan berdaya hasil baik pada kondisi di bawah tegakan tanaman perkebunan (Sopandie et al. 2003c; Sopandie et al. 2006; Sopandie 2006).

Pertumbuhan dan Produksi Kedelai pada Kondisi Intensitas Cahaya Rendah

Cahaya matahari mempunyai peran penting dalam proses fisiologi tanaman seperti fotosintesis, menutup dan membukanya stomata, pertumbuhan dan perkembangan, serta perkecambahan tanaman. Ketersediaan cahaya matahari sangat menentukan tingkat produksi tanaman. Tanaman menangkap cahaya matahari yang selanjutnya digunakan dalam proses fotosintesis sehingga intensitas cahaya matahari merupakan salah faktor yang membatasi proses fotosintesis (Levitt 1980; Taiz dan Zeiger 1991; Salisbury dan Ross 1992).

Kebutuhan cahaya bagi tanaman kedelai untuk mencapai fotosintesis maksimal adalah berkisar antara 0.3-0.8 kal/cm2/menit atau setara dengan 432- 1152 kal/cm2/hari (Salisbury dan Ross 1992). Nilai rata-rata intensitas cahaya matahari pada areal terbuka adalah 398.4 kal/cm2/hari, sedangkan nilai rata-rata intensitas cahaya matahari di bawah tegakan karet berumur 1, 2, 3 dan 4 tahun masing-masing adalah 326.7 kal/cm2/hari, 237.6 kal/cm2/hari dan 109.2 kal/cm2/hari, dan 38.2 kal/cm2/hari (Sopandie et al. 2002). Nilai intensitas cahaya di bawah tegakan karet umur 2 tahun setara dengan intensitas cahaya di bawah naungan paranet 25% dan umur 3 tahun setara dengan intensitas cahaya di bawah paranet 50%, sedangkan umur 4 tahun sudah kurang dari intensitas cahaya di bawah naungan paranet 75% (Chozin et al. 1998; Chozin et al. 1999).

Penurunan intensitas cahaya akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman. Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh intensitas cahaya matahari menunjukkan bahwa penurunan intensitas cahaya mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan penurunan hasil (Daubenmire 1974; Baharsjah 1980; Anderson dan Osmond 1987; Chaturvedi et al. 1996; Chozin et al. 1999). Di alam tanaman

akan memberikan respon terhadap intensitas cahaya rendah. Hasil penelitian Baharsjah (1980), Asadi et al. (1997), Elfarisna (2000), Khumaida (2002), Handayani (2003), La Muhuria (2007), dan Kisman (2007) menunjukkan bahwa pada kedelai terjadi perubahan karakter agronomi, morfologi, anatomi, fisiologi, dan molekuler sebagai akibat penurunan intensitas cahaya.

Perubahan morfologi dan agronomi kedelai akibat penurunan intensitas cahaya sampai 40% setelah perkecambahan mengakibatkan penurunan jumlah buku, jumlah cabang, diameter batang, jumlah polong, serta hasil biji pada tanaman kedelai. Penurunan intensitas cahaya menjadi 40% sejak pengisian polong menyebabkan penurunan jumlah polong, hasil biji, dan kadar protein kedelai (Baharsjah 1980). Hasil pengujian pada 28 galur kedelai di bawah naungan paranet 33% menunjukkan penurunan daya hasil berkisar antara 2-45% dibandingkan dengan hasil kondisi tanpa naungan atau intensitas cahaya penuh (Asadi et al. 1997). Intensitas cahaya rendah menyebabkan peningkatan tinggi tanaman serta penurunan jumlah cabang, jumlah buku, jumlah polong isi dan daya hasil (Handayani 2003). Sopandie et al (2002) melaporkan bahwa kedelai yang ditanam di bawah naungan paranet 50% mengalami penurunan hasil biji sampai 60% dibandingkan dengan kondisi tanpa naungan (Sopandie et al. 2002, Sopandie et al. 2003c).

Perubahan anatomi meliputi peningkatan luas daun, kandungan klorofil a, kandungan klorofil b, namun terjadi penurunan kerapatan trikoma, tebal daun, lapisan palisade dan rasio klorofil a dan b (Elfarisna 2000; Handayani 2003; La Muhuria 2007; Kisman 2007). Perubahan fisiologi meliputi penurunan aktivitas berbagai enzim yang berhubungan dengan fotosintesis seperti ribulaose biphosphate carboxylase/oxygenase (Rubisco), sucrose phosphate synthase (SPS),

malatedehydrogenase (MDH), dan asam invertase (AI). Penurunan intensitas cahaya juga mengakibatkan penurunan laju fotosintesis maksimum dan laju transpor elektron maksimum, laju respirasi gelap dan titik kompensasi cahaya serta penurunan kandungan sukrosa dan pati (La Muhuria 2007).

Perubahan molekuler berhubungan dengan peningkatan ekspresi gen-gen yang mengendalikan fotosíntesis kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah. Khumaida (2002) telah melaporkan ekspresi gen-gen fotosíntesis seperti gen lhcp

(light harvesting complex binding protein) dan gen Rubisco meningkat sejalan dengan bertambah lamanya perlakuan naungan meskipun kedua gen ini belum dapat membedakan genotipe toleran dengan genotipe peka terhadap intensitas cahaya rendah. Khumaida (2002) juga melaporkan adanya kandidat gen-gen fotosíntesis pada kedelai seperti gen JJ3, CAB-3, phyB dan ATHB-2. Hasil analisis ekspresi kandidat gen ini yang dilakukan oleh Kisman (2007) menunjukkan bahwa pada genotipe kedelai yang toleran intensitas cahaya rendah, kandidat gen JJ3, phyB dan ATHB-2 terekspresi lebih kuat dibandingkan dengan genotipe peka.

Perubahan-perubahan spesifik yang terjadi pada kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah pada berbagai tingkatan merupakan bentuk adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Secara umum kemampuan tanaman untuk tumbuh dan berproduksi dengan baik pada kondisi intensitas cahaya rendah tergantung pada kemampuan tanaman untuk beradaptasi pada kondisi intensitas cahaya rendah. Adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah ditentukan oleh kemampuan tanaman untuk melakukan fotosintesis pada kondisi defisit cahaya (Sopandie 2006).

Menurut Hale dan Orcut (1987), adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah pada dasarnya dilakukan dengan dua cara melalui peningkatan luas daun untuk meningkatkan jumlah cahaya yang ditangkap dan mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan direfleksikan. Levitt (1980) menyatakan bahwa adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah dicapai melalui mekanisme penghindaran (avoidance), berkaitan dengan perubahan anatomi dan morfologi yang dilakukan oleh daun guna meningkatkan efisiensi fotosintesis dan mekanisme toleran, berkaitan dengan penurunan titik kompensasi cahaya dan respirasi.

Mekanisme penghindaran dilakukan melalui peningkatan luas daun untuk meningkatkan jumlah cahaya yang ditangkap serta mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan refleksikan sehingga jumlah cahaya yang digunakan oleh tanaman untuk melakukan fotosintesis meningkat. Struktur anatomi yang mendukung mekanisme penghindaranadalah kutikula, lapisan lilin dan bulu daun yang kurang berkembang (Levitt 1980).

Mekanisme toleransi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah berhubungan dengan penurunan laju respirasi dan titik kompensasi cahaya. Titik kompensasi cahaya adalah kondisi yang menunjukkan laju asimilasi CO2

sama dengan laju evolusi O2 dalam proses respirasi. Tanaman yang toleran

terhadap intensitas cahaya rendah akan menurunkan titik kompensasi cahaya dan laju respirasi sehingga produk fotosintesis dapat terakumulasi (Levitt 1980).

Mekanisme penghindaran pada kedelai merupakan mekanisme untuk meningkatkan jumlah cahaya yang ditangkap meliputi peningkatan luas daun, pengurangan ketebalan daun, pengurangan kepadatan trikoma dan peningkatan kandungan pigmen fotosintesis. Sampai saat ini mekanisme untuk mengurangi cahaya yang ditransmisikan dan direfleksikan belum dilaporkan pada kedelai (Khumaida 2002; Sopandie et al. 2002; La Muhuria 2007; Kisman 2007).

Mekanisme toleransi terhadap intensitas cahaya rendah pada kedelai meliputi peningkatan laju fotosintesis maksimum serta penurunan laju respirasi gelap dan titik kompensasi cahaya. Dalam kondisi intensitas cahaya rendah genotipe toleran memiliki laju fotosintesis maksimum lebih tinggi serta laju respirasi gelap dan titik kompensasi cahaya lebih rendah. Peningkatan laju fotosintesis serta penurunan laju respirasi gelap dan titik kompensasi cahaya ditunjukkan oleh kandungan sukrosa dan pati yang lebih tinggi pada genotipe toleran dibandingkan genotipe dalam kondisi intensitas cahaya rendah (La Muhuria 2007).

Berdasarkan hasil studi fisiologi terhadap respon dan mekanisme adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah sangat memungkinkan melakukan perbaikan daya hasil kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah. Perbaikan tanaman untuk meningkatkan produktivitas di lahan marjinal dapat diupayakan melalui perbaikan adaptasi terhadap cekaman abiotik untuk mencegah penurunan hasil (Sopandie 2006).

Pemuliaan bagi Lingkungan Bercekaman

Lingkungan bercekaman adalah lingkungan suboptimum bagi pertumbuhan dan produksi tanaman. Lingkungan suboptimum merupakan lingkungan yang beragam dan tidak sama tingkat cekamannya. Tujuan pemuliaan untuk perbaikan

produktivitas tanaman pada lingkungan bercekaman ditentukan oleh tingkat

cekaman pada lingkungan target (Sopandie et al. 2004; Sopandie 2006). Perbaikan produktivitas tanaman di lahan bercekaman dapat dilakukan melalui

perbaikan potensi hasil untuk mendapatkan varietas berdaya hasil tinggi dan perbaikan daya adaptasi tanaman untuk mendapatkan varietas yang toleran (Accevedo dan Fereres 1993). Menurut Baker (1993), produktivitas tanaman pada kondisi bercekaman ditentukan oleh potensi hasil tanaman serta daya

adaptasi tanaman terhadap cekaman.

Perbaikan potensi hasil merupakan upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman pada kondisi cekaman ringan atau sedang. Adanya interaksi genotipe dengan lingkungan dalam kondisi cekaman ringan atau sedang tidak menyebabkan perubahan rangking genotipe. Perbaikan potensi hasil dapat dilakukan melalui perbaikan kapasitas fotosintesis dan respirasi untuk meningkatkan biomassa tanaman dan perbaikan sink capacity dan partisi fotosintat (Accevedo dan Fereres 1993).

Upaya lain untuk perbaikan produktivitas tanaman pada tingkat cekaman ringan adalah pembentukan idiotype breeding (Romagosa dan Fox 1993).

Idiotype breeding adalah perbaikan tanaman dengan mengembangkan kombinasi karakter yang mendukung fotosintesis, pertumbuhan dan produksi tanaman. Keuntungan dari idiotype breeding adalah pemulia akan mempunyai gambaran yang jelas dalam menyeleksi karakter tanaman yang mendukung peningkatan potensi hasil (Romagosa dan Fox 1993;Sopandie 2006).

Perbaikan adaptasi tanaman merupakan upaya untuk perbaikan produktivitas tanaman pada kondisi cekaman berat (Romagosa dan Fox 1993). Kendala yang dihadapi dalam perbaikan produktivitas tanaman untuk lingkungan bercekaman berat adalah adanya interaksi genotipe dengan lingkungan. Interaksi genotipe dengan lingkungan terjadi jika genotipe memperlihatkan respon yang berbeda pada kondisi lingkungan yang berbeda.

Interaksi genotipe dengan lingkungan dikelompokkan menjadi dua yaitu interaksi yang bersifat kuantitatif dan interaksi yang bersifat kualitatif. Interaksi genotipe dengan lingkungan yang bersifat kuantitatif tidak menyebabkan perubahan rangking genotipe. Genotipe yang unggul pada satu lingkungan tetap

unggul pada lingkungan yang berbeda. Interaksi genotipe lingkungan yang bersifat kualitatif merupakan kendala dalam pemuliaan bagi lingkungan bercekaman berat karena mengakibatkan perubahan rangking genotipe. Genotipe berdaya hasil tinggi pada satu lingkungan bisa mengalami penurunan hasil yang cukup tajam pada lingkungan berbeda akibat pengaruh cekaman (Romagosa dan Fox 1993; Roy 2000; Bernardo 2002; Chahal dan Gosal 2003).

Menurut Ceccareli (1996), interaksi genotipe dengan lingkungan yang bersifat kualitatif merupakan salah satu kesulitan dalam pemuliaan untuk lingkungan bercekaman terutama pada saat melakukan seleksi. Menurut Ceccareli et al. (2007), seleksi pada lingkungan bercekaman harus dilakukan di lingkungan target sehingga dapat memaksimalkan ekspresi gen-gen yang mengendalikan daya hasil maupun daya adaptasi tanaman terhadap cekaman.

Interaksi genotipe lingkungan menyebabkan seleksi untuk perbaikan daya hasil pada kondisi bercekaman tidak mudah karena daya hasil sangat dipengaruhi oleh lingkungan sehingga daya hasil mempunyai nilai heritabilitas yang rendah (Ceccareli 1994). Agar seleksi menjadi lebih efisien maka diperlukan penetapan karakter seleksi yang tepat untuk memilih genotipe yang dapat mempertahankan daya hasil pada lingkungan bercekaman.

Seleksi pada kondisi bercekaman dapat dilakukan berdasarkan fenotipe, marka molekular, dan gabungan antara fenotipe dan marka molekuler (Bernardo 2002). Seleksi berdasarkan fenotipe menjadi sulit karena nilai heritabilitas yang rendah dan adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan yang bersifat kualitatif. Untuk meningkatkan efisiensi seleksi maka seleksi dapat dilakukan menggunakan marka molekuler. Marka molekuler yang terpaut dengan QTL atau yang mengendalikan daya hasil pada kondisi bercekaman serta QTL yang mengendalikan toleransi terhadap cekaman merupakan salah satu marka yang dapat dijadikan alat bantu seleksi (Forster et al. 2000; Hussain 2006).

Perakitan Varietas Kedelai Toleran Intensitas Cahaya Rendah

Upaya peningkatan produksi kedelai sebagai tanaman sela di bawah tegakan perkebunan menghadapi kendala yaitu rendahnya intensitas cahaya akibat naungan kanopi tanaman utama. Oleh karena itu diperlukan varietas kedelai yang

adaptif dan berproduksi tinggi pada kondisi intensitas cahaya rendah (naungan). Upaya pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya rendah telah berhasil dilakukan, tetapi masih terbatas pada tingkat cekaman ringan (naungan 33%) yaitu pola tumpangsari kedelai dengan jagung (Asadi et al. 1997). Upaya pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya rendah dengan tingkat cekaman berat yaitu dalam pola tumpangsari dengan tanaman perkebunan telah dilakukan oleh Sopandie et al. (2002), Sopandie et al. (2003c) serta Sopandie et al. (2006).

Pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya rendah dimulai dengan melakukan karakterisasi pada plasma nutfah yang tersedia untuk mendapatkan informasi tentang keragaman dari karakter yang akan diperbaiki. Menurut

Dokumen terkait